Paparan Topik

Dana BOS dan Polemik Pembiayaan Makan Siang Gratis

Dana BOS merupakan dana alokasi khusus nonfisik untuk mendukung biaya operasional nonpersonalia bagi satuan pendidikan sebagai pelaksana program wajib belajar. Usul penggunaan dana BOS untuk mendanai program makan siang gratis tidak tepat.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Transparansi Dana BOS – Tuah Anggraeni, salah seorang siswi di SMP 2 Ungaran, Kabupaten Semarang, yang mendapat dana bantuan operasional sekolah sedang mengamati daftar keluar-masuknya dana BOS yang dipasang di dinding sekolahnya, Senin (5/9/2005). Transparansi data penggunaan dana BOS melalui papan pengumuman perlu dilakukan untuk meminimalkan terjadinya penyalahgunaan dana tersebut.

Fakta Singkat

Dana Bantuan Operasional Sekolah

  • Dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar.
  • BOS merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan kewajiban pemerintah untuk membiayainya.
  • Program dana BOS dimulai pertama kali pada 2005, jumlah sasaran peserta didik yang menerima dana BOS sebanyak untuk 28,9 juta siswa SD/MI dan 10,8 juta siswa SMPT/MTs, dengan total anggaran sebesar Rp 5,136 triliun.
  • Pada 2024, dana BOS yang dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam APBN 2024 sebesar Rp 57 triliun yang akan disalurkan ke 419.218 sekolah.
  • Program makan siang gratis adalah program kampanye unggulan pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
  • Menurut ICW, program makan siang gratis dengan BOS celah korupsinya cukup tinggi. Berdasarkan data ICW, sejak 2016 hingga 2021, ada sebanyak 240 kasus korupsi di dunia pendidikan, korupsi dana BOS menjadi yang terbanyak, yakni 52 kasus.

 

Menyusul keunggulan berdasarkan hitung cepat Pemilu 2024, janji kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka untuk melakukan program makan siang gratis menjadi sorotan. Realisasi program yang mereka umbar selama kampanye ini terus dipertanyakan, sebab memerlukan kebutuhan anggaran jumbo.

Menurut rencana, program ini akan diberikan untuk menyasar siswa, anak-anak, balita, hingga ibu hamil, yang totalnya diperkirakan 82,9 juta orang. Menurut kalkulasi Indonesia Food Security Review (IFSR), program makan siang gratis memerlukan uang sekitar Rp 450 triliun per tahun dengan acuan Rp 15.000 per porsi.

Gagasan menyediakan makan siang gratis bertujuan untuk pemenuhan gizi guna mempercepat pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Program ini digadang-gadang sebagai langkah strategis guna menciptakan generasi unggul dan menjadi negara maju.

Namun, sejak pertama kali dilontarkan, program makan siang gratis terus memantik perdebatan. Selain memerlukan anggaran yang tidak sedikit, program tersebut dianggap tidak menyentuh persoalan di akar rumput.

Program populis tersebut juga dinilai banyak pihak akan mengorbankan sejumlah program sosial lainnya melalui pemotongan anggaran yang telah ada dalam APBN. Semula muncul wacana bahwa makan siang gratis akan menyedot anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Terbaru, muncul pernyatan jika program ini akan dibiayai menggunakan anggaran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Wacana ini pertama kali dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Airlangga Hartarto, saat meninjau simulasi program makan siang gratis di SMP Negeri 2 Curug, Tangerang, Banten, Kamis (29/2/2024).

“Kami mengusulkan pola pendanaannya melalui Bantuan Operasional Sekolah spesifik atau BOS Spesifik atau BOS Afirmasi khusus menyediakan makan siang untuk siswa,” ujar Airlangga.

Usul tersebut lantas memicu perdebatan. Banyak pihak menilai penggunaan dana BOS untuk membiayai makan siang gratis tidak tepat. Sebab, akan mengganggu pembiayaan pendidikan, yang sebenarnya jumlahnya sudah sangat minim.  

KOMPAS/PRIYOMBODO

Informasi tentang alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) terpampang di tiap pintu kelas SDN Kenari 08 Jakarta, Sabtu (2/9/2006). Selebaran itu bertujuan menginformasikan pada orangtua siswa untuk menghindari kesalahpahaman tentang alokasi dana BOS.

Apa itu Dana BOS?

Merujuk laman jendela.kemdikbud.go.id, dana Bantuan Operasional Sekolah atau yang dikenal dana BOS adalah dana alokasi khusus nonfisik untuk mendukung biaya operasional nonpersonalia bagi satuan pendidikan sebagai pelaksana program wajib belajar.

Program dana BOS merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). UUD 1945 Pasal 31 secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Alokasi anggaran pendidikan yang dimandatkan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.

Lebih eksplisit terekam dalam UU Sisdiknas, setidaknya ada empat pasal yang mengatur tentang kewajiban pemerintah dalam memberikan pendidikan yang dibutuhkan warga, yaitu Pasal 11, Pasal 34, Pasal 41, dan Pasal 44. Pasal 11 Ayat (1) misalnya, menyatakan bahwa kewajiban pemerintah mengadakan pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi. Pasal 34 Ayat (2), pemerintah menjamin bahwa pendidikan dasar tanpa dipungut biaya.

Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut adalah pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat dengan menjamin bahwa peserta didik tidak terbebani oleh biaya pendidikan.

Dana program BOS diberikan kepada sekolah oleh pemerintah untuk membantu mereka dalam membayar biaya operasional sekolah. Dana ini dapat digunakan untuk membiayai administrasi dan pemeliharaan, pembelian peralatan belajar yang diperlukan, dan sebagainya. Sehingga satuan pendidikan tidak lagi membebani biaya operasional sekolah kepada siswanya, khususnya siswa miskin.

Melalui program BOS, pemerintah bertujuan untuk meringankan beban masyarakat khususnya pembiayaan pendidikan dalam rangka perluasan akses dan upaya peningkatan mutu pendidikan, mempercepat pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada sekolah-sekolah yang belum memenuhi SPM, dan pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada sekolah-sekolah yang sudah memenuhi SPM.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan. Komponen dana BOS Reguler meliputi: penerimaan peserta didik baru; pengembangan perpustakaan; pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler; pelaksanaan asesmen dan evaluasi pembelajaran; dan pelaksanaan administrasi kegiatan sekolah.

Selain itu, untuk pembiayaan langganan daya dan jasa; pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan (GTK); pemeliharaan sarana dan prasarana; penyediaan alat multimedia pembelajaran; penyelenggaraan kegiatan peningkatan kompetensi keahlian; penyelenggaraan kegiatan dalam mendukung keterserapan lulusan; dan pembayaran honor.

Selain dana BOS Reguler, ada pula dana BOS Kinerja dan BOS Afirmasi. Dana BOS Kinerja adalah dana BOS yang digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan Satuan Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang dinilai berkinerja baik. Komponen penggunaan dana BOS Kinerja ditujukan bagi sekolah yang melaksanakan Program Sekolah Penggerak, sekolah yang memiliki prestasi, dan sekolah yang memiliki kemajuan terbaik.

Sedangkan dana BOS afirmatif atau afirmasi adalah program pemerintah pusat bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang berada di daerah tertinggal. Tujuannya untuk membantu peningkatan mutu pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. 

KOMPAS/PRIYOMBODO

Orang tua murid kelas satu SD Negeri Sukabumi Utara 09 Pagi Jakarta, tampak gembira ketika sekolah tersebut berencana membagikan buku paket pelajaran secara gratis kepada siswa didiknya Selasa (21/2/2006). Buku tersebut merupakan subsidi dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional pemerintah daerah DKI Jakarta.

Sejarah Dana BOS

Berdasarkan catatan Arsip Kompas, program dana BOS pertama kali dimulai pada 2005. Program ini muncul sebagai kewajiban pemerintah untuk menjamin hak warga negara Indonesia mendapatkan pendidikan.

Di sisi lain, program BOS juga dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan ini tidak terlepas dari kondisi harga minyak dunia yang mencapai di atas 60 dolar AS per barrel, sedangkan harga minyak dunia yang diasumsikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya sebesar 24 dolar AS per barrel.

Pengurangan subsidi tersebut membawa konsekuensi logis terjadinya kenaikan harga BBM. Yang selanjutnya juga menimbulkan efek domino, yaitu terjadinya juga kenaikan harga barang-barang dan jasa. Salah satu sektor yang terkena dampak langsung adalah sektor rumah tangga.

Dalam rangka mengurangi beban masyarakat berpenghasilan rendah akibat kenaikan harga BBM, pemerintah mengalokasikan dana kompensasi yang disalurkan dalam bentuk Program Kompensasi Pengurang Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM). Program ini didistribusikan ke dalam empat bidang, yaitu: pendidikan, kesehatan, infrastruktur pedesaan, dan bantuan langsung tunai.

Di bidang pendidikan, dana kompensasi yang disalurkan dalam bentuk Bantuan Khusus Murid (BKM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). BKM diberikan dalam bentuk beasiswa kepada siswa yang dianggap miskin, sedangkan BOS diberikan kepada sekolah.

Program yang diberikan untuk sekolah-sekolah tingkat SD dan SMP ini dimaksudkan sebagai subsidi biaya operasional sekolah kepada seluruh siswa dan disalurkan langsung melalui satuan pendidikan. Harapannya, satuan pendidikan tidak lagi membebani biaya operasional sekolah kepada siswanya, terutama siswa dari masyarakat miskin. Hal ini diharapkan mampu mengurangi beban orangtua siswa dari pungutan-pungutan sekolah yang sangat membebani.

Pada 2005, jumlah sasaran peserta didik yang menerima dana BOS sebanyak untuk 28,9 juta siswa SD/MI dan 10,8 juta siswa SMPT/MTs, dengan total anggaran sebesar Rp 5,136 triliun. Rinciannya, dana satuannya (unit cost) setiap siswa SD dan sederajat sebesar Rp 235.000 per tahun, untuk seorang siswa SMP dan sederajat Rp 324.500 per tahun.

Saat itu, cakupan BOS meliputi: biaya pendaftaran siswa baru; biaya buku pelajaran pokok dan penunjang untuk perpustakaan; biaya pemeliharaan sekolah; biaya ujian sekolah, ulangan umum bersama, dan ulangan umum harian; biaya honor guru; biaya transportasi siswa kurang mampu yang mengalami kesulitan transportasi dari dan ke sekolah (“Pendidikan Gratis Disosialisasikan”, Kompas, 18 Juni 2005).

Seiring berjalannya waktu, anggaran BOS terus ditingkatkan, cakupan BOS pun meluas. Sasaran dana BOS tidak hanya untuk tingkat SD dan SMP saja, tetapi juga sekolah menengah atas/kejuruan (SMA/SMK) dan semua jenjang sekolah luar biasa (SLB).

Beberapa daerah kemudian juga didorong untuk menyediakan dana BOS daerah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana BOS daerah itu digunakan untuk menambah BOS dari pemerintah pusat, sehingga mempercepat mewujudkan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.

Pada 2011, mekanisme pengelolaan dana BOS berubah untuk menyesuaikan dengan asas desentralisasi money follow function. Dana BOS dimasukkan dalam pengelolaan daerah sehingga menjadi tanggung jawab tiga kementerian, yakni Kementerian Keuangan untuk penyaluran anggaran ke pemerintah daerah, Kementerian Dalam Negeri untuk pengelolaan dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran, dan Kementerian Pendidikan untuk peruntukan dan penggunaan anggaran.

Pada 2015, Bank Dunia menerbitkan sebuah laporan yang mengkaji program BOS setelah satu dekade implementasi. Dalam laporannya, Bank Dunia mengakui bahwa program tersebut telah memberikan memberikan sejumlah dampak positif.

Sejak diperkenalkan pada 2005, program BOS telah memberikan dampak kepada sekitar 43 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat pertama di Indonesia. Angka partisipasi pada sekolah menengah tingkat pertama, khususnya siswa termiskin, naik secara signifikan, sebesar 26 persen. BOS juga dianggap telah mengurangi kesenjangan antara kelompok pendapatan, serta mengurangi tingkat putus sekolah terutama di SMP. 

Pada 2020, dana BOS disalurkan langsung dari Kementerian Keuangan ke sekolah, memotong birokrasi yang rumit. Harapannya, dengan mekanisme baru ini, tidak akan ada lagi hambatan penyaluran dana BOS ke sekolah.

Kemudian, pada 2021, perhitungan biaya satuan BOS menjadi berbasis kondisi dan kebutuhan daerah. Perhitungan biaya satuan seperti itu mengubah mekanisme sebelumnya, yakni berbasis jumlah siswa di tiap sekolah.

Perhitungan biaya satuan BOS Reguler menjadi berbasis kondisi dan kebutuhan daerah memakai dua indikator. Pertama, indeks kemahalan konstruksi (IKK) dari Badan Pusat Statistik. Kedua, indeks besaran peserta didik.

Pada 2024, dana BOS yang dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam APBN 2024 sebesar Rp 57 triliun yang akan disalurkan ke 419.218 sekolah. Dana BOS 2024 meliputi dana BOS sebanyak Rp 52,07 triliun, dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebanyak Rp 3,9 triliun, dan dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan sebanyak Rp 1,55 triliun.

Dari dana BOS yang nilainya total Rp 52,07 triliun, sebanyak Rp 22,72 triliun disalurkan ke 219.684 sekolah dasar dengan 43,67 juta peserta didik, sebanyak Rp 11,65 triliun disalurkan ke 41.733 sekolah menengah pertama dengan 9,82 juta murid, dan sebanyak Rp 8,41 triliun diberikan ke 13.949 sekolah menengah atas dengan 5,17 juta siswa.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Poster mengenai fungsi dana bantuan operasional sekolah (BOS) terpampang di papan pengumuman di SD Negeri Sukabumi Utara 09 Pagi, Jakarta Barat, Jumat (29/12/2006). Dana BOS yang dikucurkan pemerintah kepada sekolah masih rawan terhadap berbagai praktik penyimpangan.

Penolakan Dana BOS untuk Makan Siang Gratis

Wacana memasukkan anggaran program makan siang gratis ke dalam anggaran BOS memicu banyak penolakan, terutama dari kalangan guru. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai, menggunakan skema dana BOS afirmasi bagi pembiayaan program makan siang gratis setiap hari di sekolah adalah wujud ketidakberpihakan pada layanan pendidikan yang adil dan berkualitas (“Bila Pakai Dana BOS, Makan Siang Gratis Malah Gerogoti Kesejahteraan Guru”, Kompas, 3 Maret 2024).

Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengatakan bahwa usulan tersebut menunjukkan kegagalan memahami tujuan kebijakan dana BOS dan BOS afirmasi. BOS sesuai dengan definisinya adalah pogram pemerintah Indonesia yang memberikan bantuan keuangan kepada sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta.  

Selama bertahun-tahun dana BOS digunakan untuk biaya operasional seperti gaji guru dan karyawan, kebutuhan belajar mengajar seperti buku, kertas, alat tulis kantor, dan keperluan lain seperti biaya listrik, air, dan perawatan gedung sekolah.

Sedangkan dana BOS afirmatif atau afirmasi adalah program pemerintah pusat bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang berada di daerah tertinggal. Tujuannya untuk membantu peningkatan mutu pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. 

FSGI juga membeberkan bahwa selama ini besaran dana BOS masih minim. Bahkan masih kurang untuk pembiayaan operasional pendidikan di sekolah yang terus meningkat.

Seperti disebutkan sebelumnya, total dana BOS dalam APBN 2024 hanya Rp 57 triliun. Sementara anggaran yang dibutuhkan untuk makan siang gratis diperkirakan mencapai Rp 450 triliun per tahun. Artinya, dana BOS tidak akan mampu untuk membiayai makan siang gratis. Apabila dipaksakan, hal ini berpotensi menghentikan layanan pendidikan lainnya yang lebih esensial. 

Di sisi lain, menurut FSGI, makan siang gratis berpotensi mubazir ketika anak menolak memakannya karena beragam alasan, seperti tidak suka, alergi makanan tertentu, dll. Mengacu pada hasil kajian PISA pun, Indonesia tidak termasuk negara yang anak-anaknya mengalami kekurangan makan.

Penolakan penggunaan dana BOS untuk membiayai makan siang gratis juga disampaikan oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). P2G mendesak pemerintah selanjutnya untuk mematangkan program ini tanpa mengutak-atik anggaran pendidikan, termasuk dana BOS.

Menurut Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, dana BOS yang diberikan pemerintah pusat selama ini digunakan 50 persen lebihnya untuk membayar guru dan tenaga kependidikan. Jika program makan siang gratis mengambil dana BOS, sengkarut masalah kesejahteraan guru makin sulit terselesaikan.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih juga menolak keras wacana pemerintah yang akan mengalihkan alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk realisasi program makan siang gratis. Ia menegaskan bahwa negara harus taat dengan regulasi anggaran pendidikan yang telah ditetapkan.

Fikri juga menyayangkan keputusan pemerintah yang diam-diam mengurangi alokasi dana BOS sebanyak Rp 539 miliar pada tahun 2023 dengan alasan defisit APBN. Dirinya mendesak pemerintah terutama Kemendikbudristek dan Kemenag untuk memperjuangkan agar alokasi dana BOS tidak diutak-atik. Apalagi, kebijakan program makan siang gratis masih belum jelas anggaran maupun nomenklaturnya. 

KOMPAS/PRIYOMBODO

Siswa memperlihatkan menu makan siangnya pada kegiatan simulasi program makan siang gratis untuk siswa di SMP Negeri 2 Curug, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (29/2/2024). Pada kesempatan tersebut disediakan empat menu makan siang yaitu siomay, gado-gado, dan ayam goreng, semur telur yang dibanderol senilai Rp 15.000 per porsi. Program makan siang gratis menjadi salah satu topik bahasan sidang kabinet paripurna tentang rencana kerja pemerintah dan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2025.

Rawan Korupsi

Selain tidak tepat, penggunaan dana BOS untuk program makan siang gratis juga dinilai rawan disalahgunakan. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), selama ini praktik korupsi di sektor pendidikan termasuk dalam lima besar korupsi berdasarkan sektor di Indonesia, bersama dengan sektor anggaran desa, pemerintahan, transportasi, dan perbankan (“Waspadai Celah Korupsi Rencana Dana BOS untuk Makan Siang Gratis”, Kompas, 4 Maret 2024).

Berdasarkan penelitian ICW tahun 2021, sejak 2016 hingga 2021, ada sebanyak 240 kasus korupsi di dunia pendidikan dengan kerugian negara mencapai Rp 1,6 triliun. Jika dilihat ke belakang lagi, sejak 2006 hingga September 2021, ada 665 korupsi yang menyebabkan negara rugi hingga Rp 2,9 triliun.

Dari 240 kasus korupsi sektor pendidikan selama 2016 – 2021, korupsi dana BOS menjadi yang terbanyak, yakni 52 kasus. Dengan rincian, sebanyak 37 kasus atau 71 persen di antaranya terjadi di level sekolah dan selalu melibatkan kepala sekolah, serta 14 kasus lainnya terjadi di level dinas pendidikan daerah. Adapun modus paling umumnya ialah kegiatan atau laporan pertanggungjawaban fiktif.

Melihat fakta tersebut, peneliti ICW, Almas Sjafrina, mengingatkan bahwa program makan siang gratis dengan BOS ini celah korupsinya cukup tinggi. Dibutuhkan komite sekolah yang berintegritas untuk memastikan dana BOS menjadi tepat guna melahirkan generasi masa depan yang berkualitas. Jika tidak, program ini justru jadi bancakan baru korupsi dan merugikan anak-anak sebagai penerima manfaat.

Hal serupa juga diungkapkan peneliti UIII dan Indonesia Women, Peace dan Security Center Ramita Paraswati dalam artikel “Mengkritisi Program Makan Siang Gratis” di Kompas (22/2/2024). Ditinjau dari bidang ekonomi, program ini berpeluang meningkatkan korupsi dan inflasi. Dalam pelaksanaannya, program makan siang gratis membuka banyak celah masalah.

Dalam pendataan misalnya, secara statistik, data penerima mungkin dapat diperoleh dari sekolah dan puskesmas, tetapi perlu ada pembaruan data setiap tahun. Celah ketidaksesuaian data ini bisa digunakan oknum-oknum tertentu untuk mencari keuntungan sehingga sasaran program tidak sesuai dengan target seharusnya.

Selain itu, terbuka kemungkinan penyimpangan dalam pelaksanaannya, tidak hanya di level pusat, tetapi juga di level akar rumput. Kongkalikong antara oknum pejabat dan pelaku usaha, seperti pebisnis katering dan susu, untuk memenangi tender dalam pengadaan makan siang gratis ini dimungkinkan terjadi.

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai program makan siang gratis bagi siswa yang menjadi janji kampanye Prabowo-Gibran sedari awal tidak jelas konsep dan tujuannya.

Ubaid menilai program makan siang gratis belum terlalu mendesak untuk diterapkan. Dia menyarankan, anggaran yang diperkirakan jumbo itu lebih baik digunakan untuk memperbaiki kualitas sarana dan prasarana sekolah dan peningkatan kesejahteraan guru serta tenaga kependidikan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Aturan
  • Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan.
Arsip Kompas
  • “Pendidikan Gratis Disosialisasikan”, Kompas, 18 Juni 2005.
  • “Pendidikan Bagi Orang Miskin: BOS Datang, Sekolah Gratiskah?”, Kompas, 26 September 2005.
  • “Dana BOS Tidak Lagi Dihitung Berdasarkan Jumlah Siswa”, Kompas, 24 September 2020.
  • “Korupsi Sektor Pendidikan Menjalar di Semua Lini”, Kompas, 27 Agustus 2022.
  • “Mengkritisi Program Makan Siang Gratis”, Kompas, 22 Februari 2024.
  • “Bila Pakai Dana BOS, Makan Siang Gratis Malah Gerogoti Kesejahteraan Guru”, Kompas, 3 Maret 2024.
  • “Waspadai Celah Korupsi Rencana Dana BOS untuk Makan Siang Gratis”, Kompas, 4 Maret 2024.
Internet