Kronologi | Hari Film Nasional

Riwayat Perfilman di Indonesia

Film menjadi sarana hiburan yang banyak digemari. Industri ini dalam perjalanan sejarahnya, telah banyak mengalami pasang surut. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak sineas muda Indonesia melahirkan film yang digemari penonton, kerap memecahkan rekor jumlah penonton, dan meraih penghargaan internasional.

Dokumentasi Foto: Imajinari/SYAFIRA MUTHIARY

Salah satu adegan dalam Film “Agak Laen”. Pada awal 2024, Film “Agak Laen”, meraih sukses besar. Sejak pertama kali tayang pada 1 Februari lalu, film bergenre horor komedi ini sudah ditonton lebih dari 8,9 juta orang.

Indonesia mulai mengenal film sejak awal abad ke-20, saat masih bernama Hindia Belanda. Film atau Gambar Idoep, demikian orang-orang pada masa itu menyebutnya, pertama kali dipertontonkan pada tanggal 5 Desember 1900 di Batavia (kini Jakarta),

Pada hari itu, tepat lima tahun setelah film pertama kali diperkenalkan di Grand Café, Paris, Perancis oleh Lumiere bersaudara pada tanggal 28 Desember 1895. Film di Batavia itu diputar oleh sebuah perusahaan Bioskop milik orang Belanda yang terletak di Kebon Jae, wilayah Tanah Abang.

Sejak itu, film menjadi sarana hiburan yang sangat populer di kalangan masyarakat dan peminatnya terus meningkat. Pada saat yang sama, industri film juga terus berkembang pesat. Meski demikian, dalam perjalanannya, industri film tidak selamanya berjalan mulus. Industri ini telah banyak mengalami pasang surut sepanjang sejarahnya.

KOMPAS/WISNU DEWABRATA

Nazar Tujuh Juta Penonton. Kuartet komika Indra Jegel, Oki Rengga, Bene Dion, dan Boris Bokir, tampil dengan baluran cat warna perak dan emas di sekujur tubuh demi merayakan keberhasilan film mereka Agak Laen (2024) tembus total penonton tujuh juta orang. Mereka tampil di atas skydeck halte Bundaran HI, Selasa (27/2/2024) sore, menyapa orang-orang yang lalu lalang.

Berikut linimasa perjalanan perfilman di Indonesia:

1900

Pada 5 Desember 1900, film pertama kali hadir di Hindia Belanda. Ditandai dengan iklan di surat kabar Bintang Betawi pada 4 Desember 1900 yang menampilkan pengumuman bahwa Nederlandsch Bioscoop Maatschappij akan memutar sebuah film di sebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae, Batavia. Film yang dimainkan ketika itu adalah film dokumenter tanpa suara perjalanan ratu dan raja Belanda di Den Haag.

1901

Diadakan sejumlah pemutaran film untuk umum di lapangan terbuka yang disebut sebagai openlucht bioscoop atau layar tancap, di antaranya di Deca Park (Gambir), Lapangan Mangga Besar, Lapangan Beos, dan Los Pasar Tanah Abang.

Pemutaran film masih dilakukan secara berkeliling, belum memiliki gedung permanen. Harga karcisnya: f 0,5 untuk orang Tionghoa dan f 0,25 untuk orang Slam (pribumi dan Islam).

KOMPAS/CHRYS KELANA

Gedung bioskop baru, New Garden Hall, Blok M, Jakarta, diresmikan 21 Desember 1972.

1903

Untuk mendorong kelas atas yang memiliki selera menonton film, dibangun sebuah bioskop profesional pertama bernama The Royal Bioscope. Harga tanda masuk: f. 1,50 untuk loge, f.1,00 untuk kelas satu, f. 0,50 untuk kelas dua, f. 0,25 untuk orang Jawa.

1916

Pemerintah membentuk Ordonansi Bioscoope untuk mengatur masuknya film-film asing ke dalam negeri seiring berkembangnya perfilman dan menjamurnya bisnis bioskop di Hindia Belanda.

Ordonansi Bioscoope lebih bersifat pengawasan pada mekanisme perizinan sebelum film ditayangkan. Ordonansi ini seringkali dikenal sebagai komisi sensor. Ordonansi Film 1916 mengalami tujuh kali pembaruan.

1926

Film cerita pertama yang dibuat di Hindia Belanda, Loetoeng Kasaroeng, yang menyajikan legenda terkenal asal Jawa Barat dibuat oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers di Bandung pada di bawah naungan Java Film Company.

Pembuatan film ini mendapat dukungan dan bantuan besar dari Bupati Bandung, Wiranatakusumah V. Penayangan perdana dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927.

Sejak keberhasilan Loetoeng Kasaroeng, industri perfilman semakin populer. Semakin banyak bermunculan film-film produksi Hindia Belanda, antara lain, Lily van Java (1928), Ria Rago (1929), dan Nyai Dasimah (1929). Film pada era ini didominasi oleh legenda rakyat dan kisah drama tragedi.

1930-an

Ini adalah masa berkembangnya industri perfilman di Hindia Belanda. Muncul banyak bioskop dan perusahaan perfilman di Hindia Belanda, yang sebagian besar dimiliki oleh orang etnis Tionghoa.

Hal itu membuat banyak film bernafaskan cerita klasik atau legenda rakyat Tiongkok, seperti Sam Pek Eng Tay, Delapan Jago Pedang, Doea Siloeman Oeler, dan Tie Pat Kai Kawin.

1931

Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung membuat film berjudul Atma de Vischer. Film ini menjadi film bicara pertama di Hindia Belanda.

1934

Pada 13 September, Perkumpulan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda atau Nederlandsch Indische Bioscoop-bond didirikan. Tujuannya untuk memperkuat barisan bioskop dalam menghadapi masa-masa yang sulit akibat krisis ekonomi dan kecenderungan sensor yang sembarangan.

Ketuanya Holthaus dari Centraale Theater Buitenzorg, sekretarisnya Liono dari perusahaan film Remaco, bendaharanya Van Der Ie dari Centraale Bioscoop Batavia, dan ada dua orang komisaris, yaitu Yo Heng Siang dari Globe Bioscoop dan Oey Soen Tjan dari Cinema Palace Batavia.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

1937

Sutradara kelahiran Belanda, Albert Balink, menciptakan film Terang Boelan yang mengisahkan kehidupan masyarakat bumiputra di Hindia Belanda. Adapun ceritanya ditulis oleh Saeroen.

Film ini sukses menjadi box office, diputar di Hindia dan Singapura. Di Singapura film ini mengumpulkan 200 ribu dolar Singapura. Oleh sutradara Mischbah Yusa Biran, film ini dianggap sebagai titik tolak perkembangan film Indonesia.

1940

Pada bulan Juli, Syarikat Artis Indonesia didirikan oleh Mohammad Sin. SARI terdiri dari pemain sandiwara, pemain film, pengarang cerita, hingga akademisi.

Maksud tujuannya adalah untuk merapatkan persaudaraan di antara anggota-anggotanya, memperbaiki kehidupan dan penghidupan, serta memelihara dan mempertinggi kesenian Indonesia pada umumnya.

1941

Terjadi booming produksi film di Hindia Belanda. Tercatat sebanyak 41 judul film yang diproduksi pada tahun ini, terdiri dari 30 film cerita dan 11 film yang bersifat dokumenter.

Film yang diproduksi kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan sedikit laga. Roekiah, Rd Mochtar, dan Fifi Young menjadi artis yang sangat populer pada masa itu.

1942

Pada bulan Maret, seiring pergantian kekuasaan ke tangan pemerintahan militer Jepang, seluruh kebudayaan barat di Hindia Belanda, termasuk film-film impor yang kebanyakan berasal dari Amerika, dilarang.

Pemerintah pendudukan Jepang kemudian menggantinya dengan film-film Jepang yang banyak diputar di bioskop. Film-film yang dimainkan pada masa pendudukan Jepang harus berisikan pesan antibarat. 

Pada bulan Oktober, Jepang mendirikan organisasi khusus untuk menangani film yang bernama Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa) dikepalai oleh S. Oya.

Sesudah itu, Jepang juga mendirikan badan usaha film yang bernama Nippon Eiga Sha yang juga dikenal dengan Nichi’ei. Perusahaan ini bertugas untuk memonopoli distribusi film-film ke bioskop. Para pengusaha bioskop yang nama bioskopnya masih menggunakan nama barat harus diganti dengan nama-nama Jepang

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

1945

Pada 6 Oktober, terjadi serah terima pimpinan Nippon Eiga Sha dari T. Ishimoto kepada R.M. Soetarto. Sebagai penggantinya, didirikan Berita Film Indonesia, yang bernaung di bawah Kementerian Penerangan RI.

1948

Berita Film Indonesia diambil alih dan diubah oleh Belanda menjadi South Pasific Film Corp (SPFC).

Pada tahun yang sama, sekolah film dan teater pertama di Indonesia bernama Cino Drama Atelier didirikan oleh Dr. Huyung (Hinatsu Heitara), seorang tentara Jepang keturunan Korea yang memilih memihak Indonesia.

Pemerintah melalui Kementerian Penerangan juga mendirikan Lembaga Pendidikan Film dan Drama yang dinamakan Cine Drama Institute sebagai wadah pendidikan perfilman dan sandiwara.

1950

Usmar Ismail bersama teman-temannya mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI). Film produksi pertamanya adalah Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi) yang bercerita tentang perjuangan Divisi Siliwangi.

Shooting dimulai pada 30 Maret. Hari pertama pengambilan gambar film ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional (HFN) oleh Dewan Film Indonesia (DFI) dalam pertemuan organisasi-organisasi perfilman, 11 Oktober 1962.

Kementerian Penerangan mengubah bentuk BFI menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) lalu berganti menjadi Perusahaan Film Negara (PFN)

1951

Perseroan Artis Republik Indonesia (PERSARI) didirikan pada 23 April sebagai tempat bernaung para artis film dan sandiwara.

PERSARI dipimpin oleh Djamaluddin Malik. PERSARI tercatat sebagai perusahaan film yang paling produktif saat itu.

KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Suasana pemutaran film Warkop berjudul “Gee..eer (Gede Rasa)” di Jakarta, Jumat (31/3/2023). Pemutaran film ini merupakan bagian dari acara “Refleksi Legenda Film Komedi” yang dilaksanakan Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3), Humoria.id, Persatuan Seniman Komedi Indonesia (Paski), dan Sinematek Indonesia dalam rangka Hari Film Nasional.

1954

Pada 6 Agustus, asosiasi yang mewadahi perusahaan-perusahaan film dibentuk dengan nama Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), dipimpin oleh Djamaluddin Malik sebagai ketua dan Usmar Ismail sebagai wakilnya.

1955

30 Maret – 5 April, untuk pertama kalinya Festival Film Indonesia diselenggarakan. Kegiatan ini diketuai oleh Djamaluddin Malik, didedikasikan untuk industri perfilman dan di sisi lain bertujuan untuk menyeleksi film Indonesia yang akan diikutsertakan dalam festival-festival film internasional.

1956

Pada 13 Maret, Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) didirikan, diketuai oleh Soerjo Soemanto.

1964

Pada 5 Maret, keluar Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman. Dasar pertimbangan terbitnya Penetapan Presiden adalah bahwa perfilman merupakan alat publikasi massa yang sangat penting untuk “Nation Building” dan “Character Building” dalam rangka mencapai tujuan revolusi.

Pada 22 Maret, Soemardjono bersama teman-temannya membentuk Ikatan Karyawan Film dan Televisi.

Pada 9 Mei, Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) dibentuk di bawah Lekra. Tujuannya untuk melakukan pemboikotan terhadap film-film Imperialis dari Amerika Serikat dan Eropa yang masuk ke Indonesia, kemudian menggantinya dengan film dari negara-negara sosialis.

1965-an

Pasca-kejadian 30 September 1965, produksi film Indonesia mengalami penurunan drastis. Hal ini disebabkan kondisi sosial-politik dan ekonomi yang tidak stabil.

 KOMPAS/PAT HENDRANTO

Bintang-bintang Terbaik.  Cukup meriah suasana dikolam renang Hotel Indonesia Sabtu (17/6/1972) yang lalu ketika bintang-bintang film terbaik 1971 menerima tanda-tanda penghargaan. Gubernur Ali Sadikin ketika menyerahkan tanda penghargaan kepada aktor dan aktris terbaik 1971. Mereka yang menerima penghargaan: Lenny Marlina (aktris terbaik), aktor terbaik W.D. Mochtar, Rima Melati, (juara harapan I aktris), Rachmat Hidajat (juara harapan I aktor), Widyawati (juara harapan II aktris), Maruli Sitompul (juara harapan II aktor), Mieke Widjaja (juara harapan III aktris), Farouk Afero (juara harapan III aktor), Suzana (juara harapan IV aktris) dan Sukarno M Noor (juara harapan IV).

1970-an

Perfilman Indonesia mulai bangkit kembali. Ditandai dengan produksi film yang meningkat pesat hingga mencapai puluhan judul setiap tahunnya. Film-film yang tergolong sukses atau populer pada periode tersebut, seperti film Cinta Pertama (1973) dan Badai Pasti Berlalu (1977) karya sutradara Teguh Karya.

Kemudian, ada film karya sutradara lulusan sekolah film di Rusia, Sjumandjaja yaitu Si Doel Anak Betawi (1972), lalu ada film karya sutradara Teguh Esha yang berjudul Ali Topan Anak Jalanan (1977), serta Gita Cinta dari SMA yang disutradarai Arizal dan dibintangi Rano Karno, Yessy Gusman, dan Ade Irawan.

Pada era ini, film bergenre komedi di Indonesia mulai banyak bermunculan. Aktor-aktor komedi yang pupuler di antaranya adalah Bing Slamet, Ateng, Iskak, Eddy Sud, dan Benyamin Sueb.

1970

Pada 11 Juli, untuk pertama kalinya Jaya Ancol Drive In Theatre dibuka untuk umum. Ini menjadi bioskop drive-in cinema pertama di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.

Pembangunannya dimulai 1 April 1970 di atas tanah seluas 5 hektare dengan biaya Rp 280 juta yang sepenuhnya ditanggung oleh PT Pembangunan Jaya. Tempat parkir mobilnya mampu menampung 850 mobil atau seluas 40.000 meter persegi, serta sebuah playground yang dapat menampung 400 tempat duduk.

Layar film berukuran 19 meter x 40 meter yang terpasang di arena drive in ini masih jelas menayangkan gambarnya hingga jarak terjauh 200 meter. Untuk itu, pengelola mendatangkan peralatan dari Jepang berupa tiga proyektor Toshiba ukuran 35/70.

Pengunjung yang akan menikmati sajian film akan ditarik biaya antara Rp 100 sampai Rp 500 per orang, tergantung dari film yang diputar. Tiap malam pertunjukan berlangsung dari pukul 19.00 – 24.00.

KOMPAS/MARSELLI

Calon penonton sedang bersiap membeli karcis di sebuah gedung bioskop di Jakarta, Sabtu, 26 Februari 1982.

1975

22 Oktober, di atas tanah 1,8 hektare, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikan Gedung Pusat Perfilman Nasional (Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail/PPHUI) di Jalan Rasuna Said, Jakarta, seluas 11.550 meter persegi.

Gedung ini mulai dibangun pada Juli 1974. Melalui gedung ini, dititipkan setumpuk harapan bahwa muncul gagasan dan karya perfilman yang bermutu yang akan ikut mengangkat perfilman nasional.

1980-an

Memasuki era 1980-an, produksi film di Indonesia semakin subur. Pada periode ini juga telah terjadi perubahan teknologi pembuatan film ke arah yang lebih maju. Film nasional sudah dapat diproduksi dalam bentuk kaset video. Periode ini juga menjadi masa keemasan film-film komedi Indonesia. Warkop DKI menjadi salah satu penyumbang film komedi terbanyak saat itu.

1990-an

Industri film Indonesia mengalami kelesuan, produksi film menurun drastis. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: adanya VCD dan DVD bajakan; munculnya stasiun televisi swasta; banjirnya film-film impor yang masuk ke Indonesia; mutu film nasional yang sangat rendah; serta krisis ekonomi.

Meski demikian, pada awal Reformasi, muncul sejumlah tokoh yang memberi ruang bagi perkembangan film secara drastis. Kemunculan sebuah film drama black-comedy berjudul Kuldesak (1998) yang dibuat oleh Riri Riza, Mira Lesmana, Nan Achnas, dan Rizal Mantovani dianggap menjadi titik perubahan industri perfilman Indonesian dan generasi baru perfilman Indonesia.

 KOMPAS/ARYA GUNAWAN

Film Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho (tengah) meraih hadiah pertama dalam seksi kompetisi sutradara muda Festival Film Internasional Tokyo (FFIT) ke-7 yang berlangsung di Kyoto (3/10/1994). Pemenang kedua dan ketiga di seksi ini berturut-turut adalah film Perancis Amateur (karya Hal Hartley) dan Fresh (sutradara Boaz Yakin, AS).

1992

BSF berubah menjadi Lembaga Sensor Film (LSF).

1995-2000

Seiring menjamurnya televisi swasta, industri film mengalami kemunduran dari sisi jumlah penonton. Pada masa ini banyak beredar film nasional di bisokop bertema romansa dibumbui adegan dewasa alias 17 tahun ke atas.

Pada masa ini pula banyak bioskop legendaris bertumbangan dan gulung tikar.

2000-an

Industri perfilman Indonesia mulai bangkit. Film Petualangan Sherina (2000) yang diproduksi Miles Film dianggap menjadi penanda kebangkitan. Film drama musikal anak ini berhasil mendapatkan 1,6 juta penonton, termasuk angka fantastis kala itu.

Setelah itu, hadir film drama romantis remaja berjudul Ada Apa dengan Cinta? atau AADC? (2002), yang sangat fenomenal dan populer pada masanya, hingga mendapatkan 2,7 juta penonton.

Di sisi lain, kehadiran teknologi digital membawa angin segar bagi perfilman Indonesia. Hal ini memungkinkan produksi film dengan biaya lebih murah sehingga membuka pintu bagi banyak sineas muda bisa membuat film.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Hari Pertama Pemutaran Film AADC 2 – Warga antre membeli tiket film Ada Apa Dengan Cinta 2 pada hari pertama pemutaran film tersebut di bioskop Empire XXI, Yogyakarta, Kamis (28/4/2016). Film yang juga diputar di Malaysia dan Brunei Darussalam tersebut mendapat tanggapan positif oleh masyarakat dari berbagai kalangan.

2002

Seiring dengan bergeliatnya film pendek, lahirlah Minikino, organisasi pertama di Tanah Air yang berfokus pada film pendek dan mendedikasikan diri dalam promosi dan pengembangan jaringan kerja film pendek.

2012 – 2019

Industri film memperlihatkan perkembangan pesat. Menurut Bekraf, sejak tahun 2013 industri film Indonesia memproduksi rata-rata 110 – 130 film per-tahun.

Sejalan dengan itu, terjadi peningkatan jumlah penonton di atas 8 juta-9 juta orang. Hingga momentumnya terjadi pada tahun 2016 ketika jumlah penonton menembus 30 juta orang. Setelah itu, jumlah penonton terus meningkat pesat, menjadi 42,7 juta pada 2017, 50 juta pada 2018, dan menjadi 51,2 juta penonton pada 2019.

Semakin banyak film yang mampu memperoleh lebih dari 1 juta penonton. Sejumlah film yang rilis pada periode ini tercatat sebagai film terlaris, di antaranya: Habibie & Ainun (2012) 4,6 juta penonton; Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Part 1. (2016) 6,8 juta penonton, Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016) 3,6 juta penonton; Warkop DKI Reborn: Jangkrik Bos! Part 2. (2017) 4 juta penonton; Pengabdi Setan (2017) 4,2 juta penonton; Dilan 1990 (2018) 6,3 juta penonton; Dilan 1991 (20019) 5,2 juta penonton.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Film Prenjak karya Wregas Bhanuteja diputar dalam pemutaran film Indonesia dalam Film Pendek di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (19/7/2016). Selain Prenjak, diputar juga film berjudul “Dajang Soembi, Perempoean Jang Dikawaini Andjing”, Kitorang Basudara”, dan “Semalam Anak Kita Pulang”.

2020

Di tengah perkembangan pesat, industri film harus menghadapi kenyataan pahit. Pada awal tahun 2020, akibat pandemi Covid-19, diberlakukan pembatasan sosial. Dampaknya, jumlah film yang berhasil diproduksi merosot hingga 55 persen. Sebagian film yang berhasil diproduksi juga gagal ditayangkan di layar lebar karena penutupan bioskop. Asosiasi Produser Film (Aprofi) bahkan memperkirakan potensi kehilangan pendapatan industri film mencapai 1,6 triliun rupiah dari tiket bioskop.

Namun, di tengah kondisi ini, industri film Indonesia menolak untuk menyerah. Sejumlah perubahan dilakukan. Salah satunya adalah memanfaatkan layanan streaming atau pelantar digital. Seiring dengan itu juga terjadi perubahan pola perilaku masyarakat dalam menonton sebuah film. Terjadi peningkatan menonton film secara daring. Salah satunya tergambar dari peningkatan jumlah pelanggan aktif Netflix di Indonesia. Pelanggan aktif Netflix meningkat sekitar 10 kali lipat dari 94.000 pada 2017 menjadi sekitar 900.000 pada tahun 2020.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

2022

Tahun 2022 menjadi momen kebangkitan sekaligus tahun kejayaan industri film nasional. Momen kebangkitan ini bersamaan pula dengan semakin kondusifnya pengendalian pandemi Covid-19. Kondisi demikian turut mendorong antusiame masyarakat untuk kembali merasakan keseruan menonton film beramai-ramai. Tercatat ada 54,07 juta penonton sepanjang 2022.

Beberapa film produksi dalam negeri meraih kesuksesan besar dan berhasil ditonton lebih dari 1 juta orang, di antaranya KKN di Desa Penari dengan 10 juta penonton; Pengabdi Setan 2: Communion dengan 6,3 juta penonton; Miracle in Cell No. 7 dengan 5,8 juta penonton; dan Ngeri-ngeri Sedap dengan 2,8 juta penonton.

(LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/RADITYA HELABUMI 

Poster film Ivana di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (4/8/2022). Film-film horor yang muncul sejak awal tahun ini dianggap sukses secara industrial dengan mencatatkan jumlah penonton yang tinggi.

Referensi

Buku
  • Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950. Depok: Komunitas Bambu.
  • Tjasmadi, H.M. Johan, dkk (ed.). 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera.
  • Siagian, Gayus. 2010. Sejarah Film Indonesia: Masa Kelahiran-Pertumbuhan. Jakarta: FFTV-IKJ.
  • 2023. “Bangkit setelah Polemik: Industri Perfilman di Indonesia pada Awal Masa Orde Baru,” Jurnal Histma, Vol 8, No 2.
Arsip Kompas
  • “Megah dan Marah di Gedung Pusat Perfilman”, Kompas, 18 Oktober 2018.
  • “Ancol: Mewujudkan Mimpi di Bekas Rawa,” Kompas, 23 Juni 2019.
  • “Antusiasme Penonton Film Indonesia Melampaui Penonton Film Hollywood,” Kompas, 21 Oktober 2022.
  • “Sejarah Bioskop Indonesia dari Masa Hindia Belanda hingga Perang Kemerdekaan,” Kompaspedia, 30 Maret 2022.
  • “Industri Perfilman Indonesia: Sejarah, Kebijakan, dan Tantangan,” Kompaspedia, 26 Desember 2022.
Internet