Kronologi | Hari Aksara Internasional

Hari Aksara Internasional: Jalan Panjang Manusia Melek Huruf

Perjalanan manusia menemukan aksara sebagai alat komunikasi telah dimulai sejak 8000 tahun sebelum masehi, tetapi hingga tahun 1965 masih terdapat 350 juta orang di seluruh dunia buta huruf. Pentingnya literasi sebagai hak asasi manusia menjadi latar belakang munculnya Hari Aksara Internasional.

KOMPAS/MOCH S HENDROWIJONO

Lomba Pemberantasan Buta Huruf

Salah satu lokasi pembelajaran buta huruf di desa Sonoageng, Kec Prambon, Jawa Timur, pertengahan November 1974.

 

Konferensi Dunia Menteri Pendidikan untuk Pemberantasan Buta Aksara yang diselenggarakan di Teheran, Iran, pada 8–19 September 1965 menjadi titik awal gagasan Hari Aksara Internasional atau International Literacy Day. Kongres menghasilkan, antara lain, langkah bersama mengurangi angka buta huruf yang mencapai 350 juta orang dalam jangka waktu 10 tahun (1965–1975).

Pada 26 Oktober 1966 UNESCO menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional yang pertama kali diperingati pada tahun 1967. Sejak itu peringatan Hari Aksara Internasional rutin diperingati setiap tahun untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya literasi sebagai hak asasi manusia, dan untuk memajukan agenda literasi menuju masyarakat yang lebih melek huruf.

Gagasan pemberantasan buta huruf juga dilakukan di Indonesia sejak tahun 1946 dan baru disebarluaskan ke seluruh tanah air pada tahun 1949. Pada tahun 1945 sekitar 90 persen penduduk di Indonesia masih buta huruf. Catatan ini membaik pada tahun 1959. Angka buta huruf berkurang menjadi sekitar 42 persen atau sebanyak 24 juta orang.

Pada periode 1961–1964 Indonesia mencatat 37 juta aksarawan baru. Namun, angka ini menurun pada tahun 1967. Hasil pencatatan di 39 kabupaten menunjukkan sekitar 20 persen penduduk Indonesia masih buta huruf (Kompas, 8 September 1970).

Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk buta aksara di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 2,96 juta orang atau 1,71 persen dari total jumlah penduduk. Persentase ini sedikit berkurang dari tahun 2019 dengan angka 1,78 persen atau 3,08 juta orang.

Upaya meningkatkan angka melek huruf terus dilakukan di seluruh dunia. UNESCO menyebutkan pada tahun 2021 masih terdapat sekitar 773 juta anak muda dan orang dewasa masih kurang keterampilan literasi dasar.

Hari Aksara Internasional tahun 2021 mengambil tema “Melek Huruf untuk Pemulihan yang Berpusat pada Manusia: Mempersempit Kesenjangan Digital”. Tema ini muncul di tengah pandemi Covid-19 yang mengganggu pembelajaran tatap muka anak-anak, remaja, dan orang dewasa.

Kronologi Sejarah Aksara dan Hari Aksara Internasional

8000 SM
Bangsa Sumeria mulai menggunakan sistem penulisan non-alfabet berupa tanda sederhana untuk menunjukkan jumlah pangan di lumbung. Tanda-tanda tersebut seperti bulatan, lempengan, dan kerucut.

3500–3000 SM
Bangsa Sumeria menggunakan aksara untuk mencatat perjanjian dagang di atas lempengan tanah liat. Naskah perjanjian itu disimpan dalam wadah dari tanah liat dan diberi segel. Pada wadah juga dituliskan isi dalam lempengan. Tulisan ini berkembang dengan metode piktogram menggunakan potongan kayu sebagai pulpen. Tulisan disusun dari kanan ke kiri tetapi belum ada spasi. Bangsa Sumeria dianggap sebagai penemu awal tulisan.

2700 SM
Bangsa China mengembangkan sistem penulisan non-alfabet yang dikembangkan Ts’ang Chich.

1750 SM
Undang-Undang Hammurabi dari Babilonia ditulis dengan menggunakan tulisan cuneiform (aksara paku). Undang-undang ini terukir di atas potongan batu yang telah diratakan dan tercatat sebagai Undang-undang pertama di dunia.

1500 SM
Sistem non-alfabet China berkembang di Banpo. Sistem ini mengembangkan media untuk menulis berupa kertas dan tinta.

1200 SM
Bangsa Phoenisia (sekarang wilayah sekitar Lebanon) mengembangkan alfabet 22 huruf yang menjadi cikal bakal aksara yang digunakan saat ini. Alfabet ini menjadi titik awal aksara yang digunakan di Eropa selain aksara Arab dan Ibrani.

1000 SM
Aksara Bangsa Phoenisia tertulis di peti mati raja mereka, Raja Ahiram dan Byblos.

700 SM
Heiroglif Zapotec digunakan masyarakat di lembah Oaxaca. Aksara ini menjadi acuan sistem aksara bangsa Maya, Aztec, dan bangsa lain dari utara Meksiko sampai Amerika Selatan.

350-400
Prasasti Yupa, prasasti tertua di Indonesia dibuat pada masa Kerajaan Kutai, di wilayah Muara Kaman, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti ini berbahasa Sansekerta menggunakan huruf Pallawa.

11 Mei 868
Buku tercetak pertama di dunia Chin kang pan-jo po-lo-mi (Sutra Intan) terbit. Buku ini berbahasa China dengan ilustrasi di bagian depan dicetak dengan metode pencetakan balok menggunakan panel balok kayu yang diukir dengan tangan secara terbalik. Buku ini ditemukan di situs suci Gua Mogao atau Gua Seribu Budha yang merupakan pusat agama Budha pada abad ke-4 sampai abad ke-14.

Buku Sutra Intan (Diamond Sutra)
Buku Sutra Intan (Diamond Sutra). Sumber: www.diamond-sutra.com

970–1051
Bi Sheng, dari Yingshan, Hubei, China menemukan metode cetak dengan tipe huruf yang dapat dipindahkan menggantikan panel blok cetak.

1297
Metode pencetakan panel kayu muncul kembali ketika Hakim Wang Chen mencetak risalah tentang pertanian dan praktik pertanian yang disebut Nung Shu. Wang Chen merancang proses untuk membuat kayu lebih tahan lama dan presisi. Nung Shu dianggap sebagai buku produksi massal pertama di dunia.

1440
Johannes Gutenberg mulai bereksperimen dengan pencetakan di Strasbourg, Prancis pada tahun 1440. Desain Gutenberg adalah mengganti kayu dengan logam dan blok cetak, dengan setiap huruf versi Eropa. Mesin cetak yang disempurnakan dan siap digunakan secara komersial baru tersedia pada tahun 1450.

14 September 1908
Pemerintah Hindia-Belanda membentuk Commisie voor Inlandsche Scool en volklechtuur (Komisi Bacaan Rakyat). Tugas komisi ini untuk memilih bacaan yang sesuai dan layak untuk kaum pribumi.

22 September 1917
Komisi Bacaan Rakyat bertransformasi menjadi Balai Poestaka (Balai Pustaka). Selain mengumpulkan bahan bacaan, Balai Pustaka juga bertugas mencetak dan menerbitkan bahan bacaan. D. A Rinkes dipercaya sebagai pimpinan pertama Balai Pustaka.

8-19 September 1965
Konferensi Dunia Menteri Pendidikan untuk Pemberantasan Buta Aksara diselenggarakan di Teheran, Iran. Pada konferensi ini gagasan Hari Aksara Internasional lahir (International Literacy Day).

26 Oktober 1966
Pada sesi ke-14 Konferesi umum UNESCO, tanggal 8 September ditetapkan sebagai Hari Aksara Internasional. Penetapan ini bertujuan untuk mengingatkan komunitas internasional akan pentingnya literasi bagi individu, komunitas dan masyarakat, dan perlunya upaya intensif menuju masyarakat yang lebih melek huruf.

8 September 1967
Peringatan Hari Aksara Internasional pertama. Sejak itu, peringatan Hari Aksara Internasional  berlangsung setiap tahun di seluruh dunia untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya literasi sebagai masalah martabat dan hak asasi manusia, dan untuk memajukan agenda literasi menuju masyarakat yang lebih melek huruf.

2–8 September 1975
Deklarasi Persepolis di Persepolis, Iran dalam Simposium Internasional untuk Literasi yang diadakan UNESCO. Literasi digambarkan sebagai kontribusi untuk pembebasan manusia.

Ny Eriyah, penduduk Kaliboja, Pekalongan saat menjadi tutor di kelompok belajarnya di Pekalongan. Eriyah menerima hadiah I dari UNESCO dalam rangka Hari Aksara Internasional (HAI) 1987 (3/9/1987). Selain piagam, ibu empat anak ini juga memperoleh uang Rp5.000 rubel atau senilai Rp8,4 juta yang diterima di Paris 8 September 1987.

5–9 Maret 1990
PBB menyatakan tahun 1990 sebagai Tahun Literasi Internasional pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien, Thailand.

14–18 Juli 1997
Konferensi Internasional kelima tentang Pembelajaran Orang Dewasa (CONFINTEA V) di Hamburg, Jerman, menghasilkan Deklarasi Hamburg tentang Pembelajaran Orang Dewasa. Selama konferensi ini pentingnya keaksaraan orang dewasa menjadi sorotan.

26–28 April 2000
Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, yang diselenggarakan oleh UNESCO, menghasilkan Kerangka Aksi Dakar. Keaksaraan menjadi agenda utama dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar dasar remaja dan orang dewasa melalui pendekatan keaksaraan fungsional, dan untuk mengurangi tingkat keaksaraan orang dewasa hingga 50 persen.

2003–2012
UNESCO memimpin Dekade Literasi PBB menggunakan mekanisme Literacy Initiative for Empowerment (LIFE) untuk mengambil tindakan dan meningkatkan tingkat melek huruf di seluruh dunia.

2009–2010

  • CONFINTEA V diselenggarakan di Brazil.
  • Laporan Global pertama tentang Pembelajaran dan Pendidikan Orang Dewasa, GRALE I, diluncurkan oleh UNESCO Institute for Lifelong Learning (UIL) yang menyajikan wawasan tentang literasi dari seluruh wilayah dunia.

19–22 Mei 2015
Deklarasi Incheon dihasilkan pada Forum Pendidikan Dunia yang diadakan di Incheon, Korea Selatan. Deklarasi ini merangkum komitmen Pendidikan 2030 untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang inklusif dan merata serta pembelajaran seumur hidup untuk semua dan mengakui peran penting literasi.

8 September 2021
Hari Aksara Internasional 2021 diperingati dengan mengangkat tema Literacy for a human-centred recovery: Narrowing the digital divide (Melek huruf untuk pemulihan yang berpusat pada manusia: Mempersempit kesenjangan digital).

Referensi

Buku

Ibrahim, Idy Subandi, dan Yosal Nurbaya Iriantara. 2017. Komunikasi yang Mengubah Dunia: Revolusi dari Aksara hingga Media Sosial (Ensiklopedi Teknologi Komunikasi). Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Arsip Kompas

“8 September: hari Aksarawan Internasional”. Kompas, 8 September 1970, hlm. 2

“Hampir Tiga Juta Orang Masih Buta Aksara”. Kompas, 6 September 2021, hlm. 5

Penulis
Inggra Parandaru

Editor
Susanti Agustina Simanjuntak