Kronologi | Pilkada Serentak

Fenomena Kotak Kosong dalam Pilkada

Pemilu kotak kosong di Indonesia merupakan fenomena politik yang terjadi ketika hanya ada satu pasangan calon (paslon) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilu lainnya. Kondisi ini membuat pilihan memilih paslon tersebut atau pemilih memiliki opsi untuk memilih "kotak kosong".

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Surat suara Pilkada Semarang 2020 saat hanya ada satu pasangan calon wali kota/wakil wali kota, di TPS Gedung Sobokartti, Kota Semarang, Jawa Tengah (9/12/2020). Pemilih bisa memilih calon yang ada atau mencoblos kotak/kolom kosong.

Pemilu kotak kosong pertama kali dikenal pada Pilkada tahun 2015, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemilu tetap harus berlangsung meskipun hanya ada satu pasangan calon. Hal ini terjadi setelah perubahan dalam undang-undang pemilu yang mengizinkan pilkada tetap dilaksanakan walaupun hanya satu paslon yang memenuhi syarat. Pemilih diberi pilihan untuk memilih “kotak kosong” jika mereka tidak setuju dengan satu-satunya kandidat yang tersedia.

Keberadaan pasangan calon tunggal disebabkan pula oleh persoalan regulasi. Fenomena calon tunggal di daerah muncul akibat kelonggaran aturan di Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Dalam Pasal 40 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan paslon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD. Atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD daerah bersangkutan. Terkait kotak kosong yang hanya ada di daerah yang pilkadanya memiliki paslon tunggal ini tertuang dalam Pasal 54C Ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Ada beberapa alasan mengapa hanya ada satu paslon dalam suatu pilkada, beberapa alasan diantaranya karena dominasi politik partai-partai politik besar mendominasi pencalonan, sehingga tidak ada kandidat alternatif yang mampu bersaing, Koalisi Besar dimana banyak partai politik yang berkoalisi mendukung satu kandidat, sehingga sulit bagi kandidat lain untuk maju, Kurangnya Minat atau Faktor personal atau finansial bisa menjadi penghambat bagi calon lain untuk maju.

Pemilu kotak kosong sering dilihat sebagai cerminan ketidakpuasan pemilih terhadap calon yang ada atau kondisi politik lokal yang tidak memberikan pilihan yang bervariasi. Kemenangan kotak kosong dapat menjadi sinyal bahwa pemilih menginginkan perubahan dan tidak puas dengan dominasi politik oleh satu kelompok.

Sejarah merekam bagaimana kotak kosong yang ada di pilkada dengan paslon tunggal kerap kali dipandang sebagai ”bukan kekuatan”. Padahal jumlah paslon tunggal dari pilkada ke pilkada cenderung meningkat.

Data KPU mencatat, pada Pilkada 2015 ada tiga paslon tunggal. Jumlahnya bertambah jadi 9 di Pilkada 2017. Pada Pilkada 2018 angkanya naik menjadi 16 paslon tunggal dan di Pilkada 2020 bertambah jadi 25 paslon tunggal.

Hanya satu pilkada paslon tunggal yang dimenangi kotak kosong, yakni Pilkada Kota Makassar 2018 dengan suara mencapai 53,2 persen, unggul dari paslon tunggal, Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Kasus di Makassar ini tak bisa lepas dari gerakan mobilisasi yang dilakukan dari paslon yang gagal berlabuh di pilkada karena tidak mendapat tiket dukungan parpol.

Di luar Pilkada Makassar, semua paslon tunggal menang. Di pilkada terakhir tahun 2020, dari 25 paslon tunggal yang terdata, semuanya memenangi kontestasi dengan perolehan suara melebihi rata-rata pilkada yang diikuti dengan dua atau lebih paslon. Bahkan, dari 25 daerah itu ada sembilan pilkada yang kemenangannya melebihi 90 persen suara.

Kalau ditotal mulai Pilkada 2015 hingga Pilkada 2020, dari total 53 calon tunggal, hanya satu yang kalah, sedangkan sebanyak 52 menang, atau setara dengan 98,11 persen.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga dari Gerakan Coblos Kotak Kosong berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Surabaya, Jawa Timur (17/9/2024). Unjuk rasa merupakan bentuk protes dan perlawan terhadap para pimpinan partai yang telah gagal menyerap aspirasi rakyat. Mereka mengajak warga untuk mencoblos kotak kosong. Dalam Pilkada Surabaya, pasangan yang mendaftar sebagai calon walikota dan wakil walikota adalah pasangan petahan yaitu Eri Cahyadi dan Armuji.

Pada Pilkada Serentak 2024 putusan MK tentang syarat ambang batas pencalonan turun, dari sebelumnya 20 persen jumlah kursi atau 25 persen suara sah menjadi berkisar 6,5-10 persen dari jumlah daftar pemilih tetap sesuai putusan MK terbaru. Pilkada serentak 2024 masih berpotensi adanya Pilkada kotak kosong, tercatat total ada 43 daerah yang hanya memiliki satu pasangan bakal calon yang mendaftar. Rinciannya, di 1 provinsi, 37 kabupaten, dan 5 kota.

Dari 43 pasangan bakal calon tunggal tersebut, tidak ada satu pun kandidat yang mendapatkan dukungan penuh dari 18 partai politik peserta pemilu. Sebagian parpol, terutama yang tidak memiliki kursi di DPRD, belum memberikan dukungan. Namun, akumulasi persentase suara dari parpol yang belum memberikan dukungan itu tidak ada yang mencapai ambang batas pencalonan yang berkisar 6,5-10 persen suara sah pada pemilu lalu.

Berikut Rekam Pilkada Kotak Kosong di Indonesia