KOMPAS/Dudy Sudibyo
Ribuan orang di halaman Masjid Agung Al-Alhazar menyambut jenazah Buya Hamka yang akan disholatkan di dalam masjid tersebut. Di antara mereka saling berebut untuk mengangkat atau sekedar menyentuh keranda.
Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10.41 WIB pada bulan Ramadhan, bangsa Indonesia kehilangan tokoh besar. Seorang ulama, cendekiawan, dan sastrawan bernama Buya Hamka. Beliau wafat setelah tujuh hari dirawat dalam keadaan setengah sadar di Rumah Sakit Pusat Pertamina karena komplikasi penyakit jantung, diabetes dan radang paru-paru. Berbagai usaha telah ditempuh tim dokter untuk memulihkan, namun rupanya Tuhan berkehendak lain.
Sekitar satu jam sebelum meninggal dunia dokter mempersilakan keluarga dekat mengaji di sisi Buya Hamka. Nyonya Siti Chadidja (istri Hamka) dan beberapa anaknya bergantian membacakan surat Yasin, sementara yang lainnya berdoa khusuk. Mereka juga terus berulang-ulang melafalkan “Laaa Ilaha Ilallah, Muhammadar Rasulullah…”.
Menjelang mangkat, Afis, putra ke-9 Hamka memimpin saudara-saudaranya membaca doa melepas arwah. Selanjutnya, dokter memberitahukan bahwa sudah saatnya Buya berpulang. Tak lama kemudian Ulama besar itu pun menghembuskan nafas terakhir. Semuanya berlangsung tenang dan sempurna menurut ajaran Islam. Selain keluarga dekat, yang menemani hadir pada saat itu adalah mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir yang juga teman seperjuangan almarhum dan Humas Departemen Dalam Negeri Feisal Tamin.
Saat jenazah almarhum tiba di kediaman menjelang tengah hari, sudah banyak warga menunggu. Suasana makin ramai karena rumah beliau di Jalan Raden Patah berdekatan Masjid Agung Al-Azhar, yang waktu itu penuh oleh jemaah yang akan melaksanakan Sholat Jumat.
Sejumlah pejabat tinggi negara datang melayat, antara lain, Presiden Soeharto, Wakil Presiden dan Nyonya Nelly Adam Malik, Menko Kesra Soerono, Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, Menteri Muda Koperasi Bustanil Arifin, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara. Selain itu, juga datang melayat sejumlah anggota DPR, pimpinan MUI, tokoh Islam dan para tokoh masyarakat.
KOMPAS/Dudy Sudibyo
Menjelang Buya Hamka meninggal dunia anak-anaknya bergantian membacakan surat Yasin di sisi tempat tidur Buya Hamka di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan (24/7/1981).
Tak lama setelah Presiden dan Waki Presiden meninggalkan kediaman almarhum, jenazah kemudian diusung ke Masjid Agung Al-Azhar untuk disholatkan. Para petugas bersusah payah membuka jalan ditengah kerumunan manusia yang terus bertambah dan masing-masing berusaha mendekat. Di sana sini terdengar teriakan “Selamat Jalan Buya” dan pekikkan “Allahu Akbar!”. Ribuan jemaah ikut mensholatkan jenazah Buya Hamka, bahkan masjid yang berkapasitas 10 ribu orang itu tidak mampu menampung, hingga banyak jemaah yang ikut sholat jenazah di halaman masjid.
Sepanjang perjalanan dari Masjid Al-Azhar ke pemakanan Tanah Kusir pun tak kalah ramainya. Iring-iringan kendaraan pengantar sepanjang tiga kilometer tersendat oleh masyarakat yang berjejal di tepi jalan. Sementara di Pemakaman Tanah Kusir sudah ramai dengan orang yang ingin menyaksikan upacara pemakaman.
Dalam sambutannya mewakili keluarga, Buya Malik, yang merupakan sahabat almarhum semasa muda saat menjadi mubaligh memuji Buya Hamka sebagai ulama besar yang lidahnya tidak pernah berhenti membaca ayat-ayat Al Quran. Ia juga meminta agar masyarakat melepas kepergian almarhum dengan tulus Ikhlas.
KOMPAS/Dudy Sudibyo
Setelah selesai penguburan Nyonya Chadidjah (istri Buya Hamka) menabur bunga di pusara suaminya di TPU Tanah Kusir.
Haji Adul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka lahir 17 Februari 1908 di Nagari Sungai Batang Kampung Molek, persis di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat. Ibunya Safiah adalah perempuan kampung biasa dan ayahnya Haji Rasul atau Doktor Syeikh Haji Abdulkarim Amrullah juga bukan orang berada tetapi cerdas dan terpandang sebagai ulama sekaligus tokoh pembaharu di Minangkabau. Ia juga pemimpin pesantren Sumatera Thawalib di Padang Panjang.
Semasa hidupnya Buya Hamka dikenal sebagai ulama Muhammdiyah, tokoh Masyumi dan Ketua Majelis Ulama Pertama. Ia adalah seorang humanis yang rendah hati. Khutbah atau pidatonya memikat banyak orang. Di satu sisi, Hamka juga seorang yang memiliki prinsip yang tegas, terutama dalam hal aqidah. Sikap itulah yang kadang berseberangan dengan penguasa
Pada masa Pemerintahah Presiden Soekarno, karena perbedaan sikap politik, Hamka pernah dipenjara selama dua tahun empat bulan. Namun saat Presiden RI pertama itu meninggal dunia, atas wasiat Soekarno sendiri yang minta disholatkan oleh Buya Hamka, dengan lapang dada ia bersedia menjadi imam Sholat Jenazah lawan politiknya itu.
Demikianpun pada era Ode Baru, dirinya memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI karena tidak mau berselisih dengan pemerintah terkait fatwa MUI, yang mengharamkan umat Islam merayakan Natal bersama. Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara yang mewakili pemerintah dalam sambutan pemakaman Buya Hamka kala itu menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada apa-apa antara pemerintah dengan Buya Hamka. Bahkan, Alamsyah mengatakan bahwa bukan hanya umat Islam saja yang kehilangan atas berpulangnya Buya Hamka, tetapi juga bangsa Indonesia kehilangan ulama besar, cendekiawan besar, pemimpin besar, dan pahlawan bangsa.
Dalam dunia sastra Indonesia, Buya Hamka termasuk ke dalam angkatan Pujangga Baru, seangkatan dengan Sutan Takdir Alisjahba dan Arjmin Pane. Menurut kritikus sastra HB Jassin (Kompas, 25 Juli 1981), karya-karya sastra Hamka memberi pengaruh dan inspirasi pada orang lain. Tidak sekedar cerita indah tetapi membawa amanat. Kebanyakan buku-buku Hamka bernuansa sedih, namun menggugah perasaan orang untuk terharu. Beberapa karya yang paling dikenal adalah roman berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939), dan novel Merantau ke Deli (1939). Karya monumental lainnya Tafsir Alquran Al-Azhar yang ia selesaikan saat di dalam penjara.
KOMPAS/Dudy Sudibyo
Foto kenangan saat perayaan ulang tahun Buya Hamka ke-70 di aula Masjid Agung Al-Azhar. Hamka didampingi istrinya Siti Chadidjah menyaksikan Nyonya Fatmawati Soekarno membantu Buya membagi potongan kue ulang tahun yang berbentuk masjid. Mohammad Hatta tampak pula menyaksikan.
KOMPAS, 25 Juli 1981, hal 1. Ribuan Umat Melepas kepergian Buya Hamka
KOMPAS, 25 Juli 1981, hal 1. “Dakwahnya Menyejukkan Hati”
KOMPAS, 25 Juli 1981. Hal 6. Hamka Selalu Mencari Pengalaman Hidup.
Foto lainnya dapat diakses melalui https://www.kompasdata.id/
Klik foto untuk melihat sumber.