Paparan Topik

Potret Toleransi di Tengah Pluralisme

Hari Toleransi Internasional merupakan momentum untuk menumbuhkan kesadaran publik tentang pentingnya sikap toleransi. Toleransi adalah sikap tanggung jawab menjunjung hak asasi manusia, pluralisme, demokrasi, dan tatanan hukum.

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE

Pengunjung berfoto di halaman Klenteng Soei Goeat Kiong (Chandra Nadi) di Palembang, Sumsel, Rabu (26/8/2020). Semangat keberagaman dan toleransi di Palembang kental terasa melalui berbagai situs bersejarah dan interaksi antar masyarakat.

Fakta Singkat

Hari Toleransi Internasional:
16 November

Sejarah Penetapan:

  • Deklarasi Prinsip-prinsip Toleransi UNESCO 1995
  • Ketetapan PBB 1996

Nilai Freedom House Indonesia 2022:
59 dari 100

Indeks Demokrasi Indonesia 2022:
6,71 dari 10

Indeks Kota Toleran 2021                          :

  • Angka tertinggi dicapai Kota Singkawang (6,48 dari total 7)
  • Angka terendah Kota Depok (3,38 dari total 7)

Jumlah Kasus/Peristiwa Intoleran 2021:

  • 171 kasus (Setara Institut)

Hari Toleransi Internasional atau International Day of Tolerance diperingati setiap 16 November sejak ditetapkan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations General Assembly) pada tahun 1996 melalui Resolusi 51/95.

Penetapan ini berawal dari ketetapan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) yang memperingati Tahun Toleransi atau Year for Tolerance pada 1995 dan mengundangkan Deklarasi Prinsip-prinsip Toleransi (Declaration of Priciples on Tolerance) pada 16 November 1995. Deklarasi ini didukung dan ditandatangani oleh negara-negara anggota UNESCO waktu itu.

Dalam Artikel 1 pada Deklarasi tersebut dijelaskan bahwa toleransi berarti penghormatan, penerimaan, dan apresiasi atas keberagaman yang kaya dari kebudayaan dunia kita, bentuk-bentuk ekspresi dan cara kita menjadi manusia.

Sikap toleransi dipupuk dengan pengetahuan, sikap keterbukaan, komunikasi, serta kebebasan berpikir, hati nurani, serta kepercayaan. Toleransi yang dimaksud bukanlah sekedar sikap memberi tempat (concession), menjadikan bawahan (condescension), maupun pembiaran akan suatu keburukan (indulgence). Ketiganya mungkin memiliki praktek pembiaran yang serupa terhadap kelompok lain, tetapi cara pandang terhadap kelompok tersebut berbeda dan belum penuh seperti yang dimaksudkan dalam deklarasi.

Lebih lanjut deklarasi menyebutkan bahwa toleransi adalah sikap tanggung jawab menjunjung hak asasi manusia, pluralisme, demokrasi, dan tatanan hukum. Bersama dengan itu, toleransi bukan dimaksudkan untuk toleransi bagi ketidakadilan sosial maupun meninggalkan dan melemahkan kepercayaan yang setiap individu telah miliki dan hidupi sendiri.

Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas dalam peringatan Hari Toleransi Internasional 2021, menjelaskan bahwa inti peringatan ini adalah untuk merayakan keberagaman dan toleransi dalam wujud nyata, serta untuk memastikan bahwa semua orang memahami pentingnya memberi ruang satu sama lain. “Setiap kita perlu terus menumbuhkan kesadaran bahwa keragaman agama, bahasa, budaya, dan etnis bukanlah dalih untuk konflik, tetapi kekayaan umat manusia. Keragamaan adalah potensi bagi kita untuk saling mengenal dan berkolaborasi dalam kebaikan dan mewujudkan kemaslahatan bersama”, ungkap Menteri Agama RI.

KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN

Suasana di Pondok Pesantren Kauman, Desa Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jumat (9/3/2018). Toleransi beragama mengakar di Lasem sejak ratusan tahun lalu.

Penghargaan UNESCO-Madanjeet Singh

Untuk mengapresiasi dan mendukung upaya-upaya promosi dan pendidikan toleransi, UNESCO memiliki Penghargaan UNESCO-Madanjeet Singh untuk Promosi Toleransi dan Non-Kekerasan (Non-Violence) bagi aktivitas-aktivitas saintifik, artistik, kebudayaan maupun komunikasi yang memiliki dampak signifikan bagi promosi semangat toleransi dan non-kekerasan tersebut. Penghargaan ini bernilai 100.000 Dollar Amerika.  Penghargaan ini diberikan setiap dua tahun sekali dan dianugerahkan tepat pada peringatan Hari Toleransi Internasional.

Madanjeet Singh adalah nama dermawan penyantun utama penghargaan ini yang telah mendedikasikan hidupnya untuk perkembangan perdamaian dan harmoni komunal di dunia dan khususnya di Pakistan dan India. Singh yang adalah seorang artis, penulis, diplomat, dan sekaligus UNESCO Goodwill Ambassador pada tahun 2000. Lahir pada 16 April 1924 di Lahore (saat ini termasuk wilayah Pakistan), Singh pernah mengemban tugas sebagai Duta Besar India di Asia, Amerika Selatan, Afrika, dan Eropa, dan pada tahun 2000 mendirikan South Asia Foundation yang bergerak di bidang promosi pengembangan kebudayaan, pendidikan, dan ekonomi yang berkelanjutan.

Dimulai sejak tahun 1996, saat ini terdapat 12 orang atau institusi yang telah menerima penghargaan ini atau disebut sebagai laureates dari UNESCO-Madanjeet Singh Prize. Kedua belas orang atau institusi tersebut adalah pihak-pihak yang mengupayakan perdamaian di daerah-daerah konflik, seperti Centre Résolution Conflits di Congo, Anarkali Honaryar di Afganistan, Aung San Suu Kyi di Myanmyar, Paus Shenouda III Gereja Ortodoks Koptik di Mesir, Asosiasi 32 organisasi bernama Pro-femmes Twese Hamwe di Rwanda.

Toleransi di Indonesia

Terdapat beberapa indikator yang mengukur tingkat toleransi di Indonesia. Untuk indeks yang menilai dari level negara, terdapat indeks Freedom House yang mengukur hak politik dan kebebasan sipil dari 210 negara. Pada level daerah di Indonesia, terdapat dua indeks yang mengukur tingkat toleransi yakni Indeks Kota Toleran dan Indeks Demokrasi Indonesia.

Survei yang dilakukan Freedom House memberi nilai 0-100 untuk mengukur kualitas hak politik dan kebebasan sipil suatu negara. Angka 100 menunjukkan tingginya toleransi dan demokrasi di suatu negara. Data dari Freedom House tahun 2022 menunjukkan bahwa sepuluh negara dengan nilai Freedom House tertinggi adalah Finlandia, Norwegia, Swedia, Selandia Baru, Kanada, Denmark, Irlandia, Luxembourg, Belanda, dan Uruguay.

Sepuluh Negara dengan Nilai Freedom House Tertinggi
No Negara Nilai
1 Finlandia 100
2 Norwegia 100
3 Swedia 100
4 Selandia Baru 99
5 Kanada 98
6 Denmark 97
7 Irlandia 97
8 Luxembourg 97
9 Belanda 97
10 Uruguay 97

Indonesia mendapat nilai 59 pada tahun 2022, lebih tinggi dari banyak negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Filipina (55), Malaysia (50), Singapura (47), Thailand (29), Brunei (28), Kamboja (24), Vietnam (19), Laos (13), Myanmar (9). Tetapi lebih rendah dari Timor Leste (72).

Sepuluh Negara dengan Nilai Freedom House Terendah
No Negara Nilai
1 Sudan Selatan 1
2 Suriah 1
3 Tibet (Provinsi RRT) 1
4 Turkmenistan 2
5 Eritrea 3
6 Korea Utara 3
7 Donbas Timur 4
8 Sahara Barat 4
9 Equatorial Guinea 5
10 Republik Afrika Tengah 7

Badan Pusat Statistik juga mengadakan penelitian tahunan untuk mengukur kualitas demokrasi dan toleransi di Indonesia dengan nama Indeks Demokrasi Indonesia. Indeks ini terdiri dari dua puluh lima indikator, tiga di antaranya berkaitan dengan toleransi beragama, tiga lainnya berkaitan dengan toleransi gender, etnis, dan kelompok, sementara indikator lainnya berkaitan dengan kebebasan berkumpul dan berserikat serta hak-hak politik serta sipil lainnya. Indeks ini mengalami pembaruan indikator pada tahun 2018 dan tahun 2021 sehingga perbandingan data keseluruhan hanya dapat dilakukan pada rentang tahun 2018-2020.

Penelitian BPS tersebut menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir, dari rentang nilai 0-100 dengan nilai 100 menunjukkan kualitas demokrasi dan toleransi paling tinggi, Indonesia secara keseluruhan mengalami naik-turun nilai kualitas demokrasi dan toleransi. Pada tahun 2018 nilai rata-rata IDI Indonesia berada pada 72,39, meningkat menjadi 74,92 pada tahun 2019, lalu menurun kembali pada tahun 2020 menjadi 73,66.

KOMPAS/DWI BAYU RADIUS

Koordinator Majelis Pembimbing Santri Pondok Pesantren Qothrotul Falah, Nurul Huda Maarif (keempat dari kiri) berdiskusi mengenai toleransi dengan beberapa santri di Kabupaten Lebak, Banten, Senin (20/6/2016). Kerukunan beragama menjadi ajaran penting di pondok pesantren yang terletak di Desa Sumurbandung, Kecamatan Cikulur, Lebak itu. Santri Qothrotul Falah terbiasa berdialog dengan pemeluk agama lain.

Pada level kota di Indonesia pengukuran sikap toleransi dilakukan melalui Indeks Kota Toleran. Indeks ini mengukur tingkat toleransi masyarakat di 94 kota di Indonesia. Penelitian ini dilakukan oleh Setara Institute dengan menggunakan kerangka Brian J. Grim dan Roger Finke yang mengukur kualitas toleransi masyarakat dari tiga indikator yakni favoritisme atau pengistimewaan
pemerintah terhadap kelompok-kelompok agama tertentu (kebijakan praktisnya), peraturan Pemerintah yang membatasi kebebasan beragama, serta regulasi sosial yang membatasi kebebasan beragama.

Setara Institute menambahkan satu indikator lagi yakni komposisi penduduk kota berdasarkan agama (demografi agama). Masing-masing indikator tersebut memiliki proporsi nilai yang berbeda dan total nilai dari seluruh indikator bervariasi antara nilai 1-7 dengan angka 7 sebagai nilai terbaik.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Penjual buah keliling melintas di depan mural keberagaman di kolong jalan layang Rawa Panjang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (7/8/2020). Keberagaman, toleransi dan menghormati perbedaan terus disuarakan untuk menumbuhkan kebersamaan dalam membangun bangsa.

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2021, kota-kota dengan nilai Indeks Kota Toleran tertinggi adalah Singkawang, Manado, Salatiga, Kupang, dan Tomohon. Semuanya terletak di luar pulau Jawa. Sementara kota-kota dengan nilai terendah terdapat pada kota Depok, Banda Aceh, Cilegon, Pariaman, dan Langsa.

Indikator-indikator menunjukkan hasil penelitian dan penilaian kualitas toleransi dan demokrasi di Indonesia. Nilai tersebut tidak sekedar nilai, ia merepresentasikan situasi-situasi konkret yang terjadi terkait budaya toleransi di Indonesia. Untuk melihat lebih detail indikator tersebut, Imparsial melakukan perhitungan kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama di Indonesia yang menunjukkan tantangan pengembangan budaya toleransi.

Pada 2018-2019 tercatat terdapat 31 kasus intoleransi, dua belas diantaranya dalah kasus pelarangan ritual, pengajian, ibadah, 11 kasus pelarangan pendirian tempat ibadah, 3 kasus perusakan tempat ibadah, 2 kasus larangan perayaan kebudayaan etnis tertentu, 1 kasus penetapan hukum pemerintah daerah yang mengatur cara berpakaian sesuai agama tertentu, 1 kasus larangan pemerintah terhadap aliran kepercayaan tertentu, 1 kasus penolakan bertetangga dengan orang tidak seagama.

Data lain dari Setara Institute menunjukkan bahwa pada tahun 2020 terdapat 180 peristiwa pelanggaran dan 424 tindakan pelanggaran toleransi. Data tersebut meningkat menjadi 171 peristiwa pelanggaran dan 318 tindakan pelanggaran pada tahun 2021.

Peristiwa pelanggaran dalam hal ini merupakan suatu kejadian yang terjadi di satu hari yang sama, sementara tindakan pelanggaran mengacu pada variasi aktor pelanggar Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan variasi kategori tindakan yang terjadi dalam satu peristiwa pelanggaran. Misalnya: peristiwa perusakan Masjid A terdiri atas tiga tindakan yakni ujiaran kebencian kelompok tertentu, tindakan perusakan, dan tindakan pembiaran oleh aparat penegak hukum.

Imparsial menilai bahwa tantangan penegakan demokrasi dan toleransi di Indonesia masih ada baik di level konseptual maupun hukum. Di level konseptual, sekalipun Indonesia menganut Pancasila sebagai ideologi negara, kebebasan beragama masih sering dipandang sebagai kebebasan tanpa batas. Di level hukum, masih ada aturan hukum di daerah yang bertentangan dengan kebebasan beragama dan penegak hukum juga sering tidak sungguh mengedepankan hukum nasional ketika terjadi gerakan-gerakan intoleran. Dalam hal ini, perkembangan nilai-nilai toleransi sangat tergantung pada kehadiran negara dan kebijakan Pemerintah.  (LITBANG KOMPAS)