Paparan Topik | Lingkungan

Konsep dan Penerapan ESG

Kerusakan lingkungan dan masalah sosial yang terus berlanjut mendorong perlunya komitmen signifikan dari entitas usaha. Penerapan ESG mendorong entitas usaha untuk terlibat secara nyata dan memungkinkan pengawasan oleh publik dan investor.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga bersantai sembari menikmati suasana sore di Hutan Kota Gelora Bung Karno, Jakarta, dengan latar gedung pencakar langit, Minggu (25/6/2023). Ruang terbuka hijau di Kompleks GBK ini dulunya adalah lahan lapangan golf driving range. Hutan kota ini bisa dinikmati secara gratis. Banyak warga menghabiskan waktu di sini sekadar untuk ngobrol, makan bersama, membaca buku, bermain bersama keluarga, hingga membuat konten untuk media sosial.

Fakta Singkat

  • ESG merupakan kependekan dari environment (lingkungan), social (sosial), dan governance (tata kelola) dan dipahami sebagai indikator yang mengedepankan kegiatan pembangunan, investasi, ataupun bisnis yang berkelanjutan yang dapat terukur.
  • Pengimplementasian ESG ditujukan bagi entitas usaha dengan mengintegrasikan berbagai prinsip dalam praktik bisnis dan investasi.
  • Rumusan ESG tidak lepas dari krisis lingkungan dan sosial yang terus terjadi, termasuk juga dengan gagalnya Tujuan Pembangunan Milenium/Millennium Development Goals.
  • Istilah ESG pertama kali disebut secara resmi pada 2004 melalui laporan oleh United Nations Global Compact.
  • Prinsip dan komponen indikator ESG telah hadir jauh sebelum 2004, termasuk pada tahun 1971 melalui Prinsip Sullivan yang dirancang Pendeta Leon Sullivan sebagai kode etik menjalankan bisnis di Afrika Selatan.
  • Kaum muda masa kini memiliki kepedulian yang besar pada produk dan perusahaan yang mengikuti komponen ESG, sehingga mendorong perubahan pada selera pasar.
  • Di Indonesia, implementasi ESG kian populer dalam 2-3 tahun terakhir terutama dengan kewajiban pembuatan Laporan Berkelanjutan yang ditetapkan OJK.

Secara konsisten, planet bumi kian bertambah sesak. Pertumbuhan jumlah manusia terus meningkat dalam angka yang signifikan. Pada pertengahan November 2022, populasi dunia telah mencapai 8 miliar, jumlah yang bahkan mencapai empat kali lipat dari tahun 1950. Hampir dua tahun kemudian, per April 2024, angka tersebut sudah mendapat tambahan lagi hingga 100 juta manusia.

Di saat bersamaan, kehadiran manusia berikut aktivitasnya mengusung konsekuensi bagi lingkungan global. Aktivitas ekstraktif, dengan mengeruk sumber-sumber daya alam secara masif dan konsisten, menciptakan kerusakan yang luar biasa. Kehadiran Pulau Sampah Pasifik Raksasa (Great Pasific Garbage Patch) di Samudera Pasifik, pemanasan global, kepunahan endemik, dan habisnya hutan-hutan di berbagai negara menjadi beberapa buktinya.

Pada taraf lebih lanjut, rusaknya lingkungan lantas memberikan kembali dampaknya pada manusia. Masyarakat di berbagai penjuru dunia harus menghadapi cuaca yang ekstrem dan penuh ketidakpastian. Musim dingin berlangsung lebih lama dari biasanya, sementara musim hujan datang terlambat. Ribuan hektar lahan pertanian dan perkebunan rusak, menganggu upaya pemenuhan pangan dunia.

Di saat bersamaan, muncul penyakit-penyakit baru yang menghinggapi manusia. Sungai yang kotor, laut yang tercemar, dan lahan yang terkontaminasi mengancam kehidupan. Belum lagi, permasalahan lain seperti munculnya kelompok-kelompok marjinal akibat kerusakan alam, masyarakat adat yang tersingkir, hingga kemiskinan yang signifikan.

Dalam berbagai kondisi demikian, berbagai entitas usaha atau bisnis didorong untuk menunjukkan komitmen terkait lingkungan yang lebih tegas. Hal ini mengingat entitas tersebut memiliki skala aktivitas yang masif dan berdampak besar. Menjalankan proses ekonomi yang berkelanjutan menjadi kaidah baru dalam operasional bisnis dunia.

Pada konteks tersebut, fenomena tersebut dapat diukur melalui indikator ESG, kependekan dari environment (lingkungan), social (sosial), dan governance (tata kelola). Perangkat nilai dan indikator ini memastikan agar dunia usaha secara nyata dan terukur terlibat dalam upaya menjaga dan memulihkan bumi.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ruang terbuka hijau (RTH) di antara belantara gedung dan hunian yang memadati di kawasan jantung Jakarta, Kamis (25/1/2024). Dalam laman informasi jakartasatu.jakarta.go.id, RTH DKI Jakarta seluas 33,34 kilometer persegi. Jumlah itu mencakup 5,2 persen dari luas Jakarta yang mencapai 661,5 kilometer persegi.

Sekilas tentang Indikator ESG

Pemahaman terhadap ESG dapat ditelisik dari definisinya sendiri. Merujuk pada Kompas.id (24/6/2024, Generasi yang Membangun Kembali Bumi), ESG dipahami sebagai konsep yang mengedepankan kegiatan pembangunan, investasi, ataupun bisnis yang berkelanjutan yang dapat terukur dari segi dampak terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Pengimplementasian ESG dilakukan oleh entitas usaha dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial, juga tata kelola yang baik dalam setiap praktik bisnis dan investasi. Hal ini termasuk proses produksi, konsumsi, dan distribusi yang berorientasi pada daya dukung lingkungan dan aktivitas ekonomi yang  berkelanjutan.

Tujuan dari ESG sendiri tidak lepas dari konteks situasi lingkungan dan sosial yang berlangsung saat ini. Kondisi bumi telah begitu jauh dari kata “baik-baik saja”, sehingga entitas usaha juga didorong untuk mengambil peran. Pengambilan peran ini tentu saja memerlukan seperangkat indikator sebagai tolak ukur yang dapat dilihat secara kasat. Pada titik itulah ESG menunjukkan fungsinya.

ESG penting untuk menjadi instrumen bagi investor dalam menyaring perusahaan sekaligus mendorong perusahaan untuk bertindak secara bertanggung jawab. Dengan indikator objektif, investor dapat memilih peletakkan dana investasinya ke lembaga-lembaga yang secara nyata mewujudkan tanggung jawab kepedulian sekitar. Selain itu, ESG juga dapat menjadi alat pengawasan terhadap perusahaan agar tidak terlibat dalam praktik-praktik berisiko dan tidak etis.

Sejarah Konsep dan Perumusan ESG

Mengacu pada situs ESG Update––situs web yang berfokus pada penyediaan berita, informasi, dan pembaruan soal praktik ESG bagi perusahaan, investor, dan berbagai sektor––sebutan ESG sendiri pertama kali disebutkan secara resmi pada tahun 2004 oleh lembaga United Nations Global Compact. Melalui laporan Who Cares Wins: Connecting Financial Markets to a Changing World, disampaikan cara-cara untuk mengintegrasikan komponen dasar ESG ke dalam operasi bisnis perusahaan.

Lebih lanjut, pada tahun 2015, konsep ESG memperoleh panggung yang lebih besar dengan diterbitkannya dokumen bertajuk Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. Dokumen tersebut merupakan hasil pembahasan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama dengan perwakilan dari ratusan negara lain terkait komitmen penjagaan lingkungan.

Pada pertemuan tersebut, Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs)––yang dirumuskan pada awal abad ke-21 dan menekankan delapan tujuan pembangunan global yang harus dicapai pada tahun 2015––dianggap gagal. Sebagai gantinya, pertemuan internasional tersebut merumuskan konsep baru lewat 17 poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

Konsep tersebut banyak menyinggung komponen-komponen dalam ESG. Melalui SDGs, para pemimpin dunia merumuskan agenda-agenda global untuk pembangunan berkelanjutan yang akan menciptakan masa depan yang lebih baik pada tahun 2030. Melalui 169 target konkret dan indikator pencapaian yang spesifik, ESG secara resmi diakomodasi dan menjadi komponen yang harus bisa diterapkan serta diukur.

Kehadiran SGDs secara serta merta mendorong suksesnya penerapan ESG. Kian banyak investor yang meminta lebih banyak informasi keuangan tentang perusahaan berkaitan dengan iklim. Di saat bersamaan, pemerintah dan regulator mulai membuat persyaratan pelaporan baru untuk perusahaan.

Bahkan, di tahun yang sama, didirikan juga lembaga Taskforce on Climate-related Financial Disclosure (TCFD). Tujuan lembaga tersebut adalah mendukung dan membantu perusahaan bisnis dan lembaga lain untuk melaporkan risiko terkait perubahan iklim secara lebih efektif.

Meskipun konsep ESG secara resmi disebutkan pada tahun 2004 dan menjadi arus utama sejak 2015, namun substansi dan komponennya telah ada sejak lama. Menurut ESG Update, bahkan hal ini dapat ditelisik sejak tahun 1970-an.

Misalnya, pada tahun 1971, Pendeta Leon Sullivan merancang kode etik untuk menjalankan bisnis di Afrika Selatan yang kemudian dikenal sebagai Prinsip Sullivan. Kode dengan nama Investasi Bertanggung Jawab Sosial (Socially Responsible Investing/SRI) digunakan sebagai alat yang memungkinkan investor untuk memilih portofolio sesuai dengan prinsip-prinsip mereka.

Sebagai konteks, kala itu pemerintahan Afrika Selatan masih secara kental menjalankan bisnis dan pemerintahan apartheid. Di saat bersamaan, penderitaan masyarakat lokal mendorong dunia internasional memberikan tekanan dan kecaman. Dari laporan yang menerapkan Prinsip Sullivan, diketahui bahwa bahkan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat sekalipun tidak berusaha mengurangi diskriminasi di Afrika Selatan.

Berkat laporan-laporan ini, berbagai pihak mulai menarik investasi mereka dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Afrika Selatan. Sejak tahun 1970-an hingga awal 1990-an, lembaga-lembaga besar menghindari investasi di Afrika Selatan di bawah apartheid. Akhirnya, arus investasi negatif memaksa kelompok bisnis yang mewakili mayoritas pengusaha Afrika Selatan untuk menyusun piagam yang menyerukan diakhirinya apartheid.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Situ Lembang yang menyediakan kolam dan taman menjadi alternatif tempat rekreasi bagi warga, Jakarta, Jumat (10/8/2018). Keberadaan taman di tengah kota ini dapat menjadi ruang terbuka hijau dan oase di tengah sesaknya kawasan tengah kita ibukota yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik warga.

Lebih lanjut, cikal bakal ESG juga tampak pada tahun 1995 ketika Forum Investasi Sosial Amerika Serikat (United States Social Investment Forum/SIF) menerbitkan daftar investasi berkelanjutan di Amerika Utara. Dengan total besaran investasi hingga USD 639 miliar, daftar tersebut menyoroti para pemegang saham yang berinvestasi tidak hanya berlandaskan profit, namun juga prinsip.

Dari sini, juga muncul wadah-wadah pelaporan lain seperti Global Reporting Initiative (GRI) pada tahun 1997. Awalnya menangani isu-isu pelaporan lingkungan, GRI juga mengembangkan fokus untuk mengangkat isu-isu sosial dan tata kelola.

Dorongan akan akomodasi komponen ESG juga muncul dari John Elkington, penulis dan pebisnis Inggris. Melalui buku Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of 21st Century Business yang ia terbitkan pada 1998, Elkington mengemukakan konsep bisnis dengan akomodasi prinsip triple-bottom-line––sebuah paradigma berkeberlanjutan dengan tiga unsur penting, yaitu people, planet, dan profit.

Dari bukunya, Elkington menekankan perlunya pembobotan faktor-faktor non-keuangan pada perhitungan evaluasi bisnis. Dia juga ingin mendorong agar pegiat bisnis bisa dan harus membantu masyarakat mencapai tiga tujuan yang saling terkait yaitu kemakmuran ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesetaraan sosial.

Pada tahun-tahun berikutnya, terutama sejak tahun 2015, prinsip dan kerangka kerja ESG kian konsisten dikembangkan. Pengembangan ini memberikan arahan yang lebih mendalam pada perusahaan tentang bagaimana mereka bisa mengintegrasikan ESG dan melaporkan pengimplementasian faktor-faktor ESG dalam operasional bisnis.

Popularitas ESG sebagai Indikator Bisnis

Inisiatif entitas usaha untuk mengadopsi ESG mampu mendukung operasional bisnis, baik dalam konteks berdaya dalam menjawab masalah yang ada dan juga menarik pasar. Dalam satu dekade terakhir, ESG kian menjadi pusat perhatian dalam dunia usaha. Popularitas ESG, baik di pasar global maupun dalam negeri, menjadi daya tarik sendiri bagi para investor maupun konsumen terhadap entitas usaha terkait.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus CEO Sintesa Group, Shinta W Kamdani, pada Juni 2024 mengatakan bahwa sejak dua tahun terakhir, kian banyak perusahaan di Indonesia yang mengimplementasikan ekonomi sirkular dan prinsip ESG. Jika dahulu hal ini diwujudkan oleh perusahaan-perusahaan besar, belakangan ESG juga sudah mulai diadopsi oleh perusahaan-perusahaan rintisan (start-up) bahkan UMKM (Kompas.id, 24/6/2024, Generasi yang Membangun Kembali Bumi).

Popularitas ESG ditunjukkan oleh besarnya aset-aset yang telah berbasikan ESG. Di Eropa, dalam rentang waktu 2020-2022 saja, jumlah aset yang berbasiskan ESG meningkat dari sekitar 12 triliun dollar AS menjadi 14 triliun dollar AS. Di Jepang, angka ini meningkat dari 2,8 triliun dollar AS menjadi 4,3 triliun dollar AS.

Tren popularitas serupa juga ditunjukkan oleh negara-negara di Asia, termasuk pula Asia Tenggara. Menurut Morningstar, China telah memimpin dengan 45 persen penguasaan Sustainable Fund Asset Under Management (Kompas, 28/6/2024, ESG atau ”Greenwashing”?)

Selain karena kewajiban dari pemerintah dan permasalahan sosial dan lingkungan yang terjadi, kecenderungan pasar yang kian selektif juga menjadi alasan popularitas ESG. Survei Mandiri Institut dalam ESG Report 2022 menemukan bahwa 90 persen dari 190 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia menyatakan alasan implementasi ESG untuk meningkatkan nilai perusahaan mereka.

Selain itu, 76 persen perusahaan menyatakan alasan meningkatkan reputasi perusahaan, 49 persen beralasan untuk memperluas basis konsumen dan klien, dan 29 persen memilih alasan memenuhi keinginan investor dan klien.

Data-data demikian menunjukkan bahwa implementasi ESG berbanding lurus dengan jangkauan pasar masa kini. Lebih luas lagi, data tersebut juga menunjukkan kecenderungan selera pasar dalam memilih operasional bisnis yang berlandaskan pada ESG.

Di saat bersamaan, 85 perusahaan menyatakan bahwa alasan implementasi ESG adalah menguntungkan masyarakat dan lingkungan. Hal ini memberikan angin segar bagi kepedulian dan kesadaraan dunia usaha dalam merespon masalah empiris. Sementara 78 persen juga memilih karena adanya peraturan dari pemerintah.

Situasi demikian juga didukung oleh hasil penelitian Amalia dan Kusuma dalam artikel akademik Pengaruh Kinerja Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola terhadap Kinerja Pasar dengan Kontroversi ESG sebagai Variabel Pemoderasi. Keduanya menemukan adanya korelasi positif antara penerapan ESG terhadap kinerja pasar.

Peningkatan tren investasi berkelanjutan berdampak pada penilaian kinerja perusahaan yang tidak hanya berdasar pada aspek keuangan saja, tetapi juga melalui aspek non-keuangan, yaitu informasi terkait ESG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja ESG berpengaruh positif terhadap kinerja bisnis perusahaan. Kinerja pasar akan meningkat jika kinerja ESG mengalami peningkatan.

Kaum Muda yang Berkesadaran

Kebangkitan popularitas ESG secara global juga tidak lepas dari kesadaran generasi muda, sebagai konsumen utama dan terbesar, akan krisis yang terjadi di sekitar mereka. Generasi muda cenderung selektif dalam memilih produk, tempat kerja, hingga opsi investasi.

Entitas usaha yang menjunjung nilai-nilai keberlanjutan lebih diminati dibandingkan yang masih menerapkan konsep konvensional dan ekstraktif––membuat generasi muda bahkan juga disebut sebagai “generasi pemilih/picky”.

Situasi ini secara lebih gamblang ditunjukkan dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan dalam periode 5-8 Juni 2024 dan menyasar generasi produktif usia 17-44 tahun (generasi milienial dan Z). Kualitas dan harga produk memang masih menjadi alasan utama yang memimpin pemilihan konsumsi. Namun faktor-faktor sosial dan kelingkungan juga tampak dominan dalam pembuatan pertimbangan.

Hasilnya, 92,9 persen responden mempertimbangkan apakah produsen menjamin hak pekerjanya seperti upah, jam kerja, hingga kesetaraan jender. Selain itu, sebanyak 89,6 persen responden juga melihat apakah barang yang diproduksi lebih ramah lingkungan.

Dalam konteks ini, eco-label yang disematkan menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan, sejumlah penelitian menyebutkan, generasi muda rela membayar lebih untuk produk ramah lingkungan.

Bahkan, prinsip serupa juga dijunjung ketika kaum muda hendak memilih tempat bekerja. Lingkungan kerja yang nyaman (96,4 persen) dan menjunjung tinggi nilai keberlanjutan (94,7 persen) menjadi dua motif teratas dalam memilih perusahaan tempat bekerja. Dari situ, barulah muncul pertimbangan atas gaji (85,2 persen) dan kesesuaian dengan minat (77,9 persen) (Kompas.id, 2/7/2024, ESG di Perusahaan, Tuntutan Tinggi Kaum Muda pada Korporasi Berkelanjutan).

Regulasi Kewajiban ESG di Indonesia

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus CEO Sintesa Group, Shinta W Kamdani, pada Juni 2024 menyebutkan tren positif yang terjadi di antara perusahaan-perusahaan di Indonesia. Implementasi terhadap ESG kian meluas di berbagai sektor. Menurutnya, salah satu penyebab hal tersebut adalah dorongan kewajiban bagi berbagai lembaga publik dan emiten untuk memberikan Laporan Berkelanjutan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Hadirnya ketentuan laporan keuangan berkelanjutan sudah lama diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia melalui OJK. Kehadiran laporan  berkelanjutan memungkinkan  perusahaan untuk mengkomunikasikan kinerja dan dampak bisnis yang ditimbulkannya.

Shinta menilai bahwa kerangka kerja dan alat ukur sudah tersedia. Jumlah konsultan yang bisa membantu pembuatan laporan pun cukup banyak. Dampaknya, tentu saja jumlah emiten dan lembaga yang patuh akan laporan keuangan berkelanjutan sudah cukup besar (Kompas.id, 24/6/2024, Generasi yang Membangun Kembali Bumi).

Secara lebih konkret, ketetapan oleh OJK tersebut tertera melalui Peraturan OJK Nomor  51/POJK.03/2017 tentang  Penerapan  Keuangan  Berkelanjutan  Bagi  Lembaga Jasa  Keuangan,  Emiten,  dan  Perusahaan  Publik. Dalam poin pertimbangan pertama, ditekankan perlunya sistem perekonomian nasional yang mengedepankan keselarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

Lebih lanjut, pada Pasal 10, ditetapkan bahwa LJK  (Lembaga  Jasa  Keuangan),  Emiten,  dan  Perusahaan  Publik  wajib  menyusun  Laporan Keberlanjutan. Kewajiban untuk menyampaikan dan melaporkan ini wajib dimulai pada tahun 2019.

Selain Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017, terdapat beberapa aturan dasar lain yang melandasi semangat dan komponen dalam ESG. Termasuk di antaranya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Meski begitu, menjadi catatan tersendiri bahwa sejatinya hingga kini belum ada aturan khusus yang menggunakan dan memuat konsep ESG secara jelas dan tegas di Indonesia. Bahkan, istilah ESG tidak disebutkan secara eksplisit dan jelas dalam Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana santap siang di area kantin di dalam gedung Wisma BCA Foresta, BSD, Tangerang, Banten, Kamis (16/6/2022). Wisma BCA Foresta, BSD menjadi salah satu perwujudan upaya pembangunan berkelanjutan yang dimiliki BCA sebagai bangunan ramah lingkungan pertama yang menerapkan teknologi berbasis ramah lingkungan.

Wujud Penerapan ESG

Memang diakui bahwa popularitas penerapan komponen ESG di Indonesia telah begitu tinggi dalam periode 2-3 tahun belakangan. Namun, perlu dipahami juga bahwa giat terbesar yang dilakukan masih terbatas pada aspek kepatuhan, khususnya dalam penyusunan dan pembuatan laporan keuangan berkelanjutan.

Di saat bersamaan, sebagai alat ukur baru, masih banyak pengusaha dan aktor bisnis yang belum paham betul penerapan ESG. Dari pihak pemerintah, solusi pragmatis adalah memberikan kerangka kerja dan alat ukur, lalu mewajibkan perusahaan membuat laporan. Oleh karenanya, pelaksanaan ESG kerap masih berkutat pada soal kepatuhan, belum berorientasi pada perubahan.

Mengacu pada situs resmi Waste4Change, salah satu perusahaan yang dirintis pada orientasi lingkungan, masalah demikian tampak dari hasil survei yang dilakukan oleh The Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD).

Hasilnya, 40 persen perusahaan di Indonesia masih kurang memahami pentingnya penerapan ESG. Selain itu, survei berbeda yang juga dilakukan oleh IBCSD menemukan bahwa ESG Index di Indonesia pada tahun 2021 menduduki peringkat 36 dari 47 pasar modal dunia.

Meski demikian, penerapan ESG di Indonesia terus berjalan. Upaya penerjemahan dan pelaksanaan ESG, bagaimanapun terbatasnya, menjadi langkah maju bagi pengarusutamaan kepedulian atas tata kelola, lingkungan, dan masyarakat.

Waste4Change menyoroti upaya implementasi ESG melalui peluncuran pasar karbon pada September 2023. Peluncuran ini secara spesifik dan konkret menjawab komponen lingkungan (environment) dalam ESG dengan cara mengurangi komposisi karbon yang mencemari udara. Apalagi, kehadiran pasar karbon dipercaya mampu membantu Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi hingga mencapai 29 persen pada 2030 nanti.

Selain itu, terkait penerapan komponen tata kelola (governance), Waste4Change menyoroti wacana skema smart bin di Ibu Kota Nusantara (IKN). Penerapan inovasi ini akan mendorong efisiensi alur pengangkutan sampah disekitar IKN. Caranya, yakni dengan mendeteksi tempat sampah mana saja yang sudah penuh untuk diangkut truk pengangkut dan pemisahakan sampah melalui teknologi material recovery facility.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Karyawan bermain gim di waktu istirahat siang di Wisma BCA Foresta, BSD, Tangerang, Banten, Kamis (16/6/2022).

Dari sisi entitas swasta, contoh penerapan ESG yang nyata dan seimbang dapat merujuk pada perusahaan PT Bank Central Asia (BCA) Tbk di industri keuangan. Sepanjang tahun 2023, BCA telah menggelontorkan penyaluran pembiayaan hijau yang nilainya mencapai Rp202,6 triliun.

Selain itu, BCA juga berupaya menjaga daya dukung lingkungan dengan mengoperasikan gedung Wisma BCA Foresta di Cisauk, Banten, yang didesain dengan konsep keberlanjutan, ramah lingkungan, dan hemat energi.

Selain aspek lingkungan, BCA juga menerapkan tata kelola berkelanjutan melalui unit kerja Sub-Divisi ESG sejak 2019. Secara struktural, sub-divisi ini menjadi bagian dari Divisi Sekretariat dan Komunikasi Perusahaan dan melaporkan kinerja keuangan berkelanjutan kepada Presiden Direktur.

Keberadaan Sub-Divisi ESG memastikan penerapan keuangan berkelanjutan dilakukan dengan maksimal, termasuk melalui pencapaian target rencana aksi keuangan berkelanjutan (RAKB) yang menjadi indikator performa kunci (key performance indicator/KPI) (Kompas.id, 24/6/2024, Generasi yang Membangun Kembali Bumi).

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Artikel Akademik
  • Amalia, R., & Kusuma, I. W. (2023). Pengaruh Kinerja Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola terhadap Kinerja Pasar dengan Kontroversi ESG sebagai Variabel Pemoderasi. ABIS: Accounting and Business Information Systems Journal Vol 11 No.2, 175-194.
Arsip Kompas
Internet