KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga naik perahu eretan melintasi Sungai Ciliwung yang dari Kampung Melayu, Jakarta Timur menuju Bukit Duri, Jakarta Selatan, Rabu (27/7/2022). Hari Sungai Nasional yang ditetapkan tiap tanggal 27 Juli bertujuan untuk memberikan motivasi kepada masyarakat agar lebih peduli sungai. Sungai Ciliwung yang panjangnya mencapai 130 kilometer adalah salah satu dari 13 sungai yang melintasi Ibu Kota. Ciliwung, sebagai sebuah sungai purba, menjadi saksi kehidupan manusia yang tinggal di sepanjang tepiannya dan menjadikannya sumber kehidupan sejak ratusan, bahkan ribuan tahun silam. Daya dukung Ciliwung bagi kehidupan manusia yang hidup di sepanjang tepiannya sudah melampaui ambang batas.
Fakta Singkat
- Hari Sungai Nasional diperingati setiap tanggal 27 Juli dan ditetapkan melalui PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.
- Tujuan peringatan Hari Sungai Nasional adalah memberikan kesadaran pada manusia, baik itu masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta, akan dampak aktivitas terhadap sungai.
- Indonesia memiliki kira-kira 70.000 batang sungai yang lantas terbagi dalam 42.210 DAS.
- Sungai Kapuas di Kalimantan Barat adalah sungai terpanjang di Indonesia, mencapai panjang 1.143 kilometer.
- Banyaknya batang sungai mendukung cadangan air tawar. Indonesia menduduki peringkat keenam sebagai negara dengan cadangan air tawar terbesar (2.020 kilometer kubik).
- Sungai tidak hanya menjadi jalur air, namun juga sumber mata pencaharian, pusat sosial-ekonomi, pertumbuhan budaya, hingga saksi peradaban.
- Sebanyak 46 persen dari total 70.000 batang sungai di Indonesia berada dalam keadaan tercemar berat.
- Sebanyak 4.489 DAS di Indonesia memerlukan pemulihan. Termasuk di dalamnya adalah DAS Kapuas dan Musi yang memiliki lahan kritis hingga 700.000 hektar.
- PP Nomor 38 Tahun 2011 menggariskan peringatan Hari Sungai Nasional melalui berbagai aktivitas, termasuk pembersihan sampah dan gangguan aliran di sungai, penanaman tumbuh-tumbuhan di sempadan sungai, dan penyelenggaraan loka karya peduli sungai.
Setiap tahunnya, pada tanggal 27 Juli, masyarakat Indonesia akan memperingati Hari Sungai Nasional. Hari peringatan nasional ini pertama kali ditetapkan secara resmi pada 27 Juli 2011 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan berlaku segera pada tanggal penetapan PP.
Mengacu pada aturan tersebut, sungai didefinisikan sebagai alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.
Penetapan hari peringatan ini bertujuan untuk mendorong kepedulian masyarakat Indonesia terhadap wilayah sungai di sekitar mereka. Peringatan Hari Sungai Nasional juga ditujukan bagi para pemangku kebijakan, pemerintah, dan korporasi swasta untuk melakukan pemantauan langsung terhadap kondisi sungai. Mewarnai peringatan ini, berbagai aktivitas dan kegiatan pun diselenggarakan oleh berbagai pihak.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto udara Sungai Ciliwung yang mengelilingi Jatinegara, Jakarta Timur dan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (24/7/2020). Ciliwung sebagai sebuah sungai purba menjadi saksi kehidupan manusia yang tinggal di sepanjang tepiannya dan menjadikannya sumber kehidupan sejak ratusan, bahkan ribuan tahun silam. Hari Sungai Nasional ditetapkan pemerintah pada tanggal 27 Juli sejak tahun 2011. Kepedulian masyarakat dan pemerintah diharapkan dapat menjaga kelestariannya dari kerusakan dan pencemaran yang semakin parah.
Data Sungai di Indonesia
Dalam memandang sungai sebagai sumber kehidupan dan pusat peradaban, masyarakat Indonesia patut bersyukur dengan banyaknya kehadiran tubuh sungai di Indonesia. Terdapat kurang lebih 70.000 batang sungai di seluruh wilayah Indonesia. Perlu dipahami, batang sungai sendiri merujuk pada alur jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya yang dimulai dari hulu sampai muara dengan dibatasi oleh garis sempadan di sisinya.
Mengacu pada laporan Basis Data Geospasial 2020 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari jumlah tersebut, pemerintah membagi kembali batang sungai ke dalam 42.210 daerah aliran sungai (DAS).
Sebagai catatan, DAS merujuk pada suatu kesatuan kawasan yang memiliki sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi untuk menampung dan mengalirkan curah hujan di wilayah tersebut. Besarnya jumlah DAS menunjukkan luasnya persebaran sungai di Indonesia.
Pulau Sulawesi menyimpan DAS terbanyak dibanding kawasan pulau besar lainnya, mencapai jumlah 8.904 DAS. Di peringkat selanjutnya, terdapat wilayah Maluku (8.000 DAS), Sumatera (7.619 DAS), dan Bali-Nusa Tenggara (5.630 DAS).
Nantinya, pemerintah juga membagi lagi kumpulan beberapa DAS ke dalam kategori Wilayah Sungai. Diatur melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, konsep ini merujuk pada kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air yang terdiri dari beberapa DAS dan/atau pulau kecil.
Pemerintah membagi Wilayah Sungai ke dalam lima kategori. Kelimanya adalah Wilavah Sungai Lintas Negara; Wilayah Sungai Lintas Provinsi; Wilayah Sungai Strategis Nasional; Wilayah Sungai Lintas Kabupaten/ Kota; dan Wilayah Sungai dalam Satu Kabupaten/Kota. Salah satu contohnya adalah Wilayah Sungai Citarum yang terdiri atas 19 DAS.
Lebih lanjut, Indonesia memiliki Sungai Kapuas sebagai sungai terpanjang. Terletak di Provinsi Kalimantan Barat, Sungai Kapuas memiliki total panjang hingga 1.143 kilometer. Selanjutnya, sungai terpanjang kedua adalah Sungai Mahakam yang berada di Provinsi Kalimantan Timur dengan total panjang mencapai 920 kilometer.
Sungai Terpanjang di Indonesia |
||
Nama Sungai |
Lokasi |
Panjang Sungai (kilometer) |
Kapuas |
Kalimantan Barat |
1.143 |
Mahakam |
Kalimantan Timur |
920 |
Barito |
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan |
890 |
Batanghari |
Sumatera Barat dan Jambi |
800 |
Musi |
Sumatera Selatan |
750 |
Mamberamo |
Papua |
670 |
Begawan Solo |
Jawa Tengah dan Jawa Timur |
548 |
Digul |
Papua |
525 |
Indragiri |
Riau |
500 |
Seruyan |
Kalimantan Tengah |
350 |
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Masifnya persebaran sungai di Indonesia turut berdampak pada besarnya cadangan air tawar bagi masyarakat. Mengacu pada data lembaga Central Intelligence Agency (CIA), Amerika Serikat, Indonesia menduduki peringkat keenam negara dengan cadangan air tawar terbesar di dunia.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Anak-anak mandi di Lubuk Leuwigoong, Dusun Kompa, Desa Cimahi, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sabtu (18/7/2020). Menurut warga sekitar genangan air di pinggir Sungai Citarum tersebut terbentuk dari sisa galian pasir tahun 1989 hingga 1994 dan akhirnya dibiarkan begitu saja hingga kini. Kini lokasi tersebut sering dimanfaatkan anak-anak untuk tempat bermain.
Cadangan air tawar di Indonesia mencapai angka 2.020 kilometer kubik pada tahun 2020. Angka ini bahkan lebih besar dari total gabungan cadangan air tawar negara-negara Uni Eropa yang mencapai 1.700 kilometer kubik. Di bawah Indonesia, terdapat negara India dengan cadangan air sebesar 1.910 kilometer kubik
Sebagai catatan, lima negara lain yang berada di atas Indonesia (Brasil, Rusia, Amerika Serikat, Kanada, dan Kolombia) sama-sama memiliki luas wilayah daratan yang begitu besar. Indonesia menunjukkan keunikannya tersendiri karena merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah daratan yang hanya mencapai sepertiga dari total luas negara.
Titik-titik sumber air tawar di Indonesia kebanyakkan berasal dari pegunungan dan juga wilayah-wilayah dengan densitas hutan yang tinggi untuk penyerapan. Sumber-sumber air tersebut kemudian dialirkan oleh sungai-sungai yang dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Artinya, distribusi cadangan air di Indonesia sungguh bergantung pada vitalnya kesehatan sungai di masing-masing wilayah.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas bongkar muat kapal yang melintasi Sungai Kapuas di Pelabuhan Dwikora Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (23/3/2018). Sungai Kapuas menjadi akses mobilitas barang dan warga di kalimantan Barat.
Fungsi Sungai
Dalam konteks masyarakat modern, fungsi sungai telah lama dinomorduakan dalam laju rutinitas kehidupan manusia yang lebih banyak berorientasi pada daratan sebagai lokus utama aktivitas. Padahal, sejarah dan juga situasi masa kini sesungguhanya menunjukkan kehadiran sungai yang signifikan, sama sekali tidak sepele, dan menjadi sebuah pusat kehidupan tersendiri.
Masyarakat tradisional Indonesia menumpukan kehidupan mereka pada sungai. Sebelum adanya pembangunan jalan-jalan raya trans-nasional, pertumbuhan pemukiman mengikuti lekuk tubuh sungai.
Pencaharian pangan, pusat ekonomi, transportasi, bahkan kultural pun lahir dan bertumbuh di sisi-sisinya. Lebih lagi, sungai juga pernah menjadi lokus migrasi manusia, lalu lintas perdagangan rempah yang mahsyur, tempat ritual peribadatan, sumber otoritas hulu dan hilir, bahkan benteng pertahanan pada masa perang gerilya.
Mengacu pada situs resmi Sungai Citarum yang dibuat oleh pemerintah Jawa Barat, Supardiyono Sobirin sebagai anggota Tim Ahli DAS Citarum dan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda turut menegaskan bahwa sungai adalah tempat tumbuhnya peradaban manusia.
Masyarakat kuno memanfaatkan sungai sebagai sumber langsung kebutuhan air rumah tangga, pertanian, dan perikanan. Fungsi tersebut masih bertahan meski tidak lagi populer di kota-kota besar. Di zaman modern, dengan jumlah manusia yang semakin banyak, fungsi sungai bertambah melalui rekayasa pembangunan bendungan-bendungan untuk pembangkit tenaga listrik hingga irigasi pertanian skala besar.
Kehidupan yang berorientasi pada sungai secara kasat ditunjukkan di tubuh Sungai Kapuas. Dermaga Kapuas Indah menjadi salahs satu pintu transportasi tersibuk. Kapal bandong hilir mudik mengangkut tidak hanya penumpang, namun juga bermacam barang kebutuhan harian seperti bahan bangunan, bahan makanan, dan juga bahan bakar minyak. Kapal bandong bisa menempuh jarak hingga 600 kilometer dalam waktu 7-10 hari perjalanan mengarungi Sungai Kapuas.
Di saat bersamaan, pinggir sungai diwarnai oleh hilir-mudik manusia dan giat usaha juga. Ratusan buruh angkut mengangkuti barang-barang dari kapal ke dermaga, begitu juga sebaliknya. Rumah-rumah makan didirikan di sepanjang sungai dan menawarkan pemandangan yang eksotis. Toko-toko kelontong pun tidak ketinggalan, menjajakan cemilan dan minuman.
Sungai Kapuas tidak hanya menjadi pintu bagi dinamika modernitas. Kehadirannya memberikan aksesibilitas bagi masyarakat daerah pedalaman. Kapal bandong memampukan mereka memperoleh bahan-bahan kebutuhan. Selain itu, menggunakan kapal kecil, masyarakat pedalaman juga bisa mendatangi daerah kota.
Di pinggir sungai, mudah ditemukan rumah lanting atau rumah kayu terapung. Rumah tersebut biasa ditemukan di sekitar pasar dan difungsikan sebagai penginapan. Biasanya, untuk menunggu angkutan kembali, masyarakat pedalaman akan sementara waktu menginap di rumah lanting (Kompas.id, 23/2/2022, Sungai Kapuas Mengalir Jauh).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ponton pengangkut batu bara dari daerah hulu menyusuri Sungai Mahakam yang membelah Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (25/12/2019). Sungai Mahakam yang panjangnya mencapai lebih dari 900 kilometer ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air, potensi perikanan, dan prasarana transportasi.
Sungai juga telah menjadi lokus kultural peradaban. Hal ini tampak dari banyaknya karya besar seniman yang mengabadikan atau merefleksikan hubungan manusia dengan sungai. Misalnya “Bengawan Solo” karya almarhum Gesang, ”Sebiduk di Sungai Musi”, hingga foto atau lukisan yang memperlihatkan refleksi pemandangan di air.
Di berbagai tempat, lekatnya kehidupan dan peradaban pada sungai telah membuatnya menjadi simbol perubahan, penyucian, hingga kesuburan. Sungai membentuk keanekaragaman budaya (termasuk bahasa) manusia dan keanekaragaman hayati spesies hewan dan tumbuhan. Seiring waktu, beragam budaya ini berinteraksi dan terus berevolusi secara beriringan dalam cara yang kompleks namun saling bergantung dengan ekosistem sosial-ekologis bentang sungai.
Harmoni kehidupan dengan sungai jelas berada jauh dari masa kini, khususnya pada masyarakat urban. Pada masyarakat tradisional, harmoni tersebut dibentuk dengan membiarkan sungai mengendalikan kehidupan manusia.
Di masa kini, justru kondisi sungai itulah yang ditentukan manusia. Pembangunan tanggul dan bendungan serta ekstraksi sumber daya sungai oleh masyarakat industri menomorduakan harmoni dengan sungai (Kompas.id, 22/3/2023, Mengembalikan Harmoni dengan Irama Sungai).
Dalam konteks urban dan industrial, sungai dipandang semata sebagai tempat mengalirnya air. Padahal, melampaui itu, ia jugalah menjadi saksi pertumbuhan peradaban. Kompleksitas identitasnya dilupakan, baik secara biologis, historis, geofisika, dan kultural.
Artikel terkait
Persoalan terkait sungai
Relasi harmonis manusia dengan sungai kian merosot seiring perkembangan zaman yang berorientasi pada akumulasi kapital dan industrialisasi. Semakin tergerusnya makna harmonis sungai mendorong sikap yang reduksionis––menjadikan sungai acapkali sebagai tempat sampah raksasa, tempat bermuaranya segala yang terbuang dari kehidupan manusia. Hal ini terwujud konkret melalui kondisi sungai-sungai di Indonesia masa kini.
Kompas.id (13/1/2023, Optimalisasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan untuk Pemulihan DAS) mencatat bahwa banyak DAS di Indonesia yang masih memiliki lahan kritis sehingga bisa meningkatkan risiko bencana banjir. Pemulihan DAS pun terus dilakukan dengan upaya rehabilitasi hutan dan lahan hingga 77.103 hektar sepanjang 2022.
Mengacu kembali pada laporan Basis Data Geospasial 2020 oleh KLHK, secara keseluruhan Indonesia memiliki 42.210 DAS. Dari jumlah tersebut, 4.489 DAS memerlukan pemulihan. Adapun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, sebanyak 108 DAS menjadi prioritas untuk dipulihkan.
Sementara merujuk data terakhir dari Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) KLHK, pada tahun 2018 terdapat 2,3 juta hektar lahan kritis dari 15 DAS di berbagai wilayah. Lahan kritis terluas terdapat di dua DAS, yakni Kapuas (Kalimantan Barat) dan Musi (Sumatera Selatan), dengan mencapai lebih dari 700.000 hektar.
Selain itu, tiga DAS lain di Jawa juga tercatat memiliki lahan kritis hingga lebih dari 100.000 hektar. Ketiganya adalah Brantas (Jawa Timur) dengan luas lahan kritis 100.064 hektar, Citarum (Jawa Barat) seluas 197.626 hektar, dan Solo (Jawa Tengah) dengan luas103.057 hektar.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga menaiki kapal Klotok (sebutan perahu bermesin) melintasi Sungai Martapura, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (9/2/2020). Kapal Klotok telah menjadi moda transportasi dan wisata susur sungai layaknya bus air di kota Banjarmasin yang memiliki julukan Kota Seribu Sungai. Tranportasi air ini melayani naik turun penumpang melalui sejumlah dermaga di pinggiran Sungai Martapura ke beberapa tujuan wisata jarak pendek hingga jarak jauh seperti Lok Baintan, Pulau Kembang atau Pulau Bakut Kabupaten Barito Kuala.
Mengacu pada situs Indonesia.go.id yang mengutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS), situasi yang ada bahkan lebih parah lagi. Sebanyak 46 persen dari total 70.000 batang sungai di Indonesia dikatakan berada dalam keadaan tercemar berat. Selain itu, 32 persen sungai lainnya masuk dalam keadaan tercemar sedang-berat, 14 persen tercemar sedang, dan 8 persen tercemar ringan.
Bukan tanpa dampak, sungai yang tercemar memberikan ancaman luar biasa bagi manusia. Di Sungai Dadap, Banten misalnya. Nelayan-nelayan harus berjibaku dengan sampah untuk bisa memperoleh tangkapan air seperti ikan dan udang. Tumpukan sampah telah membunuh dan mengusir biota air. Namun lebih daripada itu, kehadiran sampah juga menganggu mobilitas nelayan dengan merusak, bahkan bisa mematahkan, baling-baling perahu. Sejak 2008, para nelayan harus bekerja ekstra dengan biaya ekstra.
Tak hanya itu, kehadiran sampah juga mencemari air tanah. Banyak sumur yang tidak bisa terpakai karena airnya yang berbau. Masyarakat pun kelimpungan mencari sumber-sumber air. Sungai Dadap sendiri adalah satu dari sembilan sungai yang mencemari Teluk Jakarta. Tiap harinya, teluk tersebut menerima 23 ton sampah dari kesembilan sungai (Kompas.id, 12/12/2019, Nelayan Dadap Rasakan Dampak Pencemaran Sungai).
Buruknya situasi sungai di Indonesia sampai-sampai menorehkan rekor global. Pada tahun 2018, Sungai Citarum di Jawa Barat memperoleh gelar sungai terkotor di dunia oleh Bank Dunia. Tak hanya itu, hingga kini media-media asing masih kerap memberitakan Sungai Citarum, bersamaan juga dengan Sungai Ciliwung di Jakarta dan Sungai Gangga di negara India, sebagai sungai paling tercemar di dunia.
Yayasan Greeneration Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat lingkungan, mencatat dua sebab utama polusi sungai. Yang pertama, akibat aktivitas domestik msayarakat. Hingga kini, sungai masih dipersepsikan sebagai tempat pembuangan umum rumah tangga yang nantinya akan menghantarkan sampah-sampah tersebut ke laut. Dalam konteks ini, buruknya manajemen sampah dan ketersediaan tempat sampah menjadi sub-faktor tersendiri.
Kedua, akibat masifnya aktivitas industrial. Pembuangan limbah––seperti pada umumnya limbah pestisida, tekstil, dan tailing––dilakukan ke sungai tanpa melalui tahap pengolahan terlebih dahulu.
Padahal, Peraturan Menteri LHK Nomor 3 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Untuk Kawasan Industri telah menetapkan agar setiap pelaku industri wajib mengelola limbah yang dihasilkan agar sesuai dengan mutu air limbah sebelum dibuang ke sungai. Meski demikian, masih sangat banyak pelaku industri yang tidak menaati peraturan ini.
Artikel terkait
Pelaksanaan Hari Sungai Nasional
Untuk mencapai pemulihan ekosistem sungai––juga lebih-lebih pemulihan harmoni manusia dengan sungai––diperlukan dorongan untuk penyadaran kembali akan vitalnya fungsionalitas sungai. Hari Sungai Nasional menjadi salah satu caranya, dimana cara peringatannya sendiri telah digariskan dalam PP Nomor 23 Tahun 2011.
Mengacu pada Pasal 74, dituliskan bahwa Hari Sungai Nasional ditujukan untuk dilaksanakan oleh berbagai kelompok. Mulai dari pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat untuk bersama-sama melakukan pemantauan langsung kondisi sungai.
Tujuan besar dari peringatan ini adalah menyadarkan manusia akan pengaruh kegiatan yang dilakukannya terhadap sungai. Pengaruh tersebut termasuk yang negatif, yakni yang merugikan fungsi sungai, maupun pengaruh positif yang menguntungkan fungsi sungai.
Pasal 74 juga menggariskan enam macam kegiatan yang dapat dilakukan dalam Hari Sungai Nasional. Keenamnya antara lain pembersihan sampah dan gangguan aliran di sungai, mengidentifikasi sumber pencemaran sungai, aktivitas penanaman tumbuh-tumbuhan yang sesuai di sempadan sungai, sosialisasi langsung di lapangan, penyelenggaraan loka karya peduli sungai, hingga membuat kesepakatan untuk tindak lanjut bersama.
Dari sini, pasal tersebut lantas diterjemahkan lewat berbagai giat konkret. Hari Sungai Nasional 2019 misalnya, menjadi ruang kolaborasi sejumlah organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) di Pekanbaru, kelompok budaya dan seni, serta volunteer World Wide Fund for Nature (WWF). Mereka menyatukan diri dalam Koalisi Masyarakat Peduli Sungai.
KOMPAS/EDDY HASBY
Jembatan Ampera merupakan ikon kota Palembang, melintas di atas Sungai Musi mengubungkan wilayah Seberang Ulu dan Seberang Ilir, Rabu (26/08/2020). Kini jembatan megah itu berdampingan dengan Jembatan Lintas Rel Terpadu di kota Palembang.
Mengacu pada situs WWF Indonesia, koalisi ini memperingati Hari Sungai Nasional pada tahun tersebut di Pekanbaru, Riau. Pemilihan Riau sendiri didasarkan pada lokus daerah yang begitu lekat dengan konteks ekosistem sungai. “Riau adalah provinsi sungai. Toponimi ‘Riau’ berasal dari kata Rio/Riaouu yang artinya sungai atau tempat yang ramai. Karena memang demikianlah di masa lalu, sungai adalah pusat aktivitas manusia dan makhluk hidup lain,” kata Eko Handyko, salah satu ketua panitia.
Apalagi, Provinsi Riau dilalui empat sungai besar, yakni Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar. Oleh karena itu, Handyko menegaskan bahwa sudah sepatutnya Riau menjadi yang terdepan dalam gerak mengembalikan sungai sebagai bagian penting kehidupan masyarakat.
Sebagai bagian dari aktivitas yang diselenggarakan, terdapat penanaman 500 bibit bunga, lomba mewarnai yang diikuti puluhan siswa SD yang tinggal di sekitar lokasi, lomba foto dengan caption terbaik yang diunggah ke media sosial, gelaran pojok baca, dan penandatangan kain putih berisi komitmen menjaga sungai oleh masyarakat sekitar.
Sebagai puncak peringatan, masyarakat luas lantas diundang untuk menyaksikan berbagai pentas seni pada malam hari. Pertunjukkan tersebut dilaksanakan di sebuah panggung dengan konsep desain perahu Melayu untuk menguatkan pesan “kembali ke Riau (sungai)”.
Sementara pada penyelenggaraannya yang paling aktual, yakni di tahun 2023, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah kerja sama bersih-bersih sungai. Hal ini dilakukan di Sungai Cikeruh, Jawa Barat, dengan melibatkan ratusan orang relawan. Gerakan ini sendiri diinisiasi oleh Pandawara Group yang membukan ajakan relawan melalui media sosial Instagram.
Pembersihan sungai dilakukan dalam durasi kurang lebih tiga jam. Gilang Rahma, salah satu anggota Pandawara Group, menyebutkan bahwa jumlah peserta bersih-bersih Sungai Cikeruh mencapai 700 orang. Sebelumnya, kelompok ini juga pernah berhasil menghimpun ribuan masyarakat untuk membersihkan pantai di Lampung dan Banten.
“Sampah itu tidak akan ada di sungai kalau tidak ada yang buang. Otomatis, kesadaran masyarakat, terutama yang tinggal di pelataran sungai, baik di hilir maupun di hulu. Mereka masih dengan gampang buang sampah ke sungai tanpa rasa bersalah,” ujar Gilang. Sebagai catatan, aliran Sungai Cikeruh sendiri bermuara di Sungai Citarum (Kompas.id, 31/7/2023, Rayuan Jaga Sungai dari Media Sosial).
Pada akhirnya, berbagai kegiatan ini menjadi kemajuan luar biasa bagi upaya kolektif menjawab permasalahan sungai di Indonesia. Secara beriringan, partisipasi langsung para relawan dalam perbaikan lingkungan, ditambah pula promosi melalui media sosial, mampu menghasilkan euforia yang luar biasa bagi harmoni dengan alam. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Kompas.id. (2022, Februari 23). Sungai Kapuas Mengalir Jauh. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/foto-cerita/2022/02/23/sungai-kapuas-mengalir-jauh
- Kompas.id. (2023, Maret 22). Mengembalikan Harmoni dengan Irama Sungai. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/20/mengambalikan-harmoni-dengan-irama-sungai
- Kompas.id. (2023, Januari 15). Optimalisasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan untuk Pemulihan DAS. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/12/optimalisasi-rehabilitasi-hutan-dan-lahan-untuk-pemulihan-das
- Kompas.id. (2019, Desember 12). Nelayan Dadap Rasakan Dampak Pencemaran Sungai . Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/utama/2019/12/12/nelayan-dadap-rasakan-dampak-pencemaran-sungai
- Kompas.id. (2023, Juli 31). Rayuan Jaga Sungai dari Media Sosial . Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/07/26/rayuan-jaga-sungai-dari-media-sosial
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Basis Data Geospasial 2020. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.
• Central Intelligence Agency. (t.thn.). Field Listing – Total renewable water resources. Diambil kembali dari cia.gov: https://www.cia.gov/the-world-factbook/field/total-renewable-water-resources/
• Indonesia.go.id. (2023, Agustus 11). Ayo Peduli Kebersihan Sungai! Diambil kembali dari Indonesia.go.id: https://indonesia.go.id/kategori/editorial/7337/ayo-peduli-kebersihan-sungai?lang=1
• Greeneration Foundation. (2022, Maret 9). Pencemaran Sungai Kian Jadi Polemik di Indonesia, Ini Solusinya . Diambil kembali dari greeneration.org: https://greeneration.org/publication/green-info/pencemaran-sungai-kian-jadi-polemik-di-indonesia-ini-solusinya/
• World Wide Fund for Nature. (2019, Agustus 12). Deklarasi Hari Sungai Nasional. Diambil kembali dari wwf.id: https://www.wwf.id/id/blog/deklarasi-hari-sungai-nasional