KOMPAS//WAWAN H PRABOWO
Bahasa Indonesia lahir dan berkembang hingga kini setelah melalui perjalanan panjang dalam pembentukannya. Bahasa Melayu yang telah digunakan sebagai bahasa pengantar (lingua franca) di wilayah Nusantara dipilih menjadi bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Setelah itu, bahasa Indonesia seperti mendapatkan kekuatan politik. Bahasa Indonesia sebagai motor penggerak modernitas sekaligus identitas nasional yang tengah bangkit, dijadikan bahasa tandingan dalam menghadapi bahasa Belanda dan Melayu Riau yang diresmikan penggunaannya oleh pemerintah Belanda.
Pasca-1945, bahasa Indonesia terus disempurnakan melalui upaya standarisasi ejaan. Dua motor penggeraknya adalah media massa dan pendidikan. Kini, upaya pengembangan, pembinaan, pelindungan, dan penegakan kebijakan bahasa dan sastra Indonesia terus dilakukan untuk menyetarakan kedudukan Bahasa Indonesia di kancah global.
Abad ke-7
Bahasa Melayu mulai diketahui keberadaanya sejak akhir abad ke-7. Bahasa Melayu merupakan Bahasa perantara utama (lingua franca) di Nusantara dan Asia Tengara hingga abad ke-17.
17 Maret 1824
Pemerintah Belanda dan Kerajaan Inggris menandatangani Traktat London yang isinya membagi wilayah kekuasaan masing-masing, Belanda menguasai kepulauan Indonesia sementara Inggris memerintah kawasan Semenanjung Malaya dan Singapura. Pusat kebudayaan Melayu terbagi dua, yaitu Kerajaan Riau-Lingga dan Kerajaan Johor.
1897
Adanya perbedaan penggunaan ejaan di antara Melayu Riau dengan Melayu semenanjung Malaya membuat seorang linguis Belanda A.A. Fokker mengusulkan agar ada penyeragaman ejaan .
1901
Ch. A. van Ophuijsen bersama Engku Nawari Gelar Soetan Ma’mur dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun sebuah sistem ejaan. Ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan van Ophuijsen.
28 Agustus 1916
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) mengusulkan agar Bahasa Melayu digunakan sebagai pengantar dalam pengajaran kolonial di Hindia Belanda dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag.
2 Mei 1926
Pada persiapan Kongres Pemuda Pertama di Jakartra, M Tabrani mengusulkan agar bahasa persatuan yang akan digunakan disebut sebagai bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. Usul tersebut memicu perdebatan di antara M Tabrani, M Yamin, Djamaloedin, dan Sanusi Pane. Keputusan ditunda hingga Kongres Pemuda Kedua.
28 Oktober 1928
Para pemuda yang hadir pada Kongres Pemuda Kedua di Jakarta sepakat menggunakan nama “bahasa Indonesia” sebagai bahasa persatuan. Kesepakatan ini tertuang dalam butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda.
25-28 Juni 1938
Diadakan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Pencetusnya Raden Mas Soedarjo Tjokrosisworo, seorang wartawan harian Soeara Oemoem Surabaya. Kongres ini bertujuan menetapkan standarisasi Bahasa Indonesia.
20 Oktober 1942
Dibentuk Komisi Bahasa Indonesia yang tugasnya menentukan kata-kata yang umum bagi bangsa Indonesia. Pada akhir pendudukan Jepang telah ditetapkan 7.000 istilah baru.
18 Agustus 1945
Bahasa Indonesia ditetapkan menjadi Bahasa Resmi Negara yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 36 menetapkan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara.
18 Juni 1947
Komisi Bahasa yang baru dibentuk kembali. Panitia pekerja bahasa Indonesia berhasil menentukan kira-kira 5.000 istilah baru. Setelah penyerahan kedaulatan kepada bangsa Indonesia, pekerjaan tersebut dilanjutkan oleh Komisi Istilah.
17 Maret 1947
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, R. Soewandi, menetapkan penyusunan ejaan ulang lebih sederhana daripada ejaan van Ophuijsen. Ejaan itu diberi nama Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Contohnya, pada pemakaian ejaan/fonem [u] untuk menggantikan ejaan [oe].
1952
Kamus Umum Bahasa Indonesia disusun, namun belum diterbitkan.
28 Oktober – 2 November 1954
Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan memprakasai Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Pembahasan pada kongres ini berfokus kepada upaya penyempurnaan bahasa Indonesia. Dibentuk panitia untuk menyusun bahasa Indonesia yang praktis.
1957
Panitia yang dibentuk sebelumnya pada Kongres Bahasa II, berhasil menyusun suatu ejaan yang dinamakan Ejaan Pembaharuan.
1959
Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia) sepakat untuk menyamakan ejaan bahasa di kedua negara tersebut yang dikenal sebagai Ejaan Melindo. Namun, akibat konfrontasi dengan Malaysia, peresmian ejaan ini diurungkan .
1966
Lembaga Bahasa dan Kesusastraan mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK) yang merupakan usaha lanjutan dari panitia ejaan Melindo.
16 Agustus 1972
Presiden Soeharto, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1972. Ejaan Yang Disempurnakan untuk menyelaraskan sistem ejaan bahasa Indonesia dengan bahasa Malaysia.
31 Agustus 1972
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
28 Oktober — 3 November 1978
Dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Tujuan kongres Bahasa Indonesia ketiga ini adalah untuk memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, baik sebagai Bahasa Nasional maupun sebagai Bahasa Negara.
21–26 November 1983
Kongres Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta. Kongres keempat ini tidak hanya membahas permasalahan kebahasaaan, tetapi juga kesusastraan.
28 Oktober — 3 November 1988
Kongres Bahasa V digelar di Jakarta. Pada kongres ini Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
28 Oktober — 2 November 1993
Kongres Bahasa VI digelar di Jakarta. Kongres keenam ini mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa diubah menjadi Lembaga Bahasa Indonesia. Kongres juga mengusulkan penyusunan Undang-Undang Bahasa Indonesia.
26–30 Oktober 1998
Diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Jakarta. Kongres ini mengusulkan pembentukan Badan Pertimbangan Bahasa.
14–17 Oktober 2003
Kongres Bahasa VIII dilaksanakan di Jakarta. Tujuan kongres ini untuk memantapkan posisi bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa dan alat pemersatu berbagai kelompok etnis ke dalam satu kesatuan bangsa. Pada kongres ini juga diusulkan bulan Oktober sebagai bulan bahasa.
28 Oktober — 1 November 2008
Kongres Bahasa Indonesia IX digelar di Jakarta. Salah satu rekomendasi kongres ini yaitu mengamanatkan kepada pemerintah dan DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kebahasaan menjadi Undang-Undang Kebahasaan sesuai dengan amanat UUD 45, Pasal 36c.
9 Juli 2009
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan ditetapkan.
28–31 Oktober 2013
Kongres Bahasa X dilaksanakan di Jakarta. Salah satu rekomendasinya adalah meminta pemerintah untuk meningkatkan sosialisasi hasil-hasil pembakuan bahasa Indonesia dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa.
28–31 Oktober 2018
Kongres Bahasa XI digelar di Jakarta. Kongres ini membahas peluang dan tantangan dalam pengembangan, pembinaan, pelindungan, pemanfaatan, serta penegakan kebijakan bahasa dan sastra Indonesia untuk membawa bangsa Indonesia berjaya pada era global.
Artikel terkait
Referensi
- Kridalaksana, Harimurti. 1991 Masa Lampau Bahasa Indonesia : sebuah bunga rampai. Yogyakarta: Kanisius.
- Kridalaksana, Harimurti. 2018. Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
- Kushartanti . 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Puar, Yusuf Abdullah. 1980. Setengah Abad Bahasa Indonesia. Jakarta: Idayus.
- Samuel, Jerome. 2017. Bahasa Indonesia: Takdir Unik Suatu Bahasa Nasional. Revolusi Tak kunjung Selesai. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- “Sejarah Bahasa Indonesia: Tipis dan Tergesa”. Kompas. 11 Mei 2019, hal.18.
- “Bahasa dan Kebangsaan Indonesia”. Kompas, 19 Agustus 2020, hal. 6.
Penulis
Arief Nurrachman
Editor
Susanti Agustina Simanjuntak