Foto | Hari Film Nasional

Teguh Karya: Sutradara Idealis dengan Karya Terbaik

Kekuatan film Teguh Karya terletak pada tema-tema tentang kehidupan yang diangkat dan cara penyajiannya yang pas.

KOMPAS/Jimmy S Harianto)

Sutradara film Teguh Karya, dalam sebuah diskusi film di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki (7/3/1978).

KOMPAS/Efix Mulyadi

Teguh Karya tahun 1983

Filmografi

  • Wajah Seorang Laki-Laki (1971)
  • Cinta Pertama (1973)
  • Ranjang Pengantin (1974)
  • Kawin Lari (1975)
  • Perkawinan Semusim (1977)
  • Badai Pasti Berlalu (1977)
  • November 1828 (1979)
  • Usia 18 (1980)
  • Di Balik Kelambu (1982)
  • Secangkir Kopi Pahit (1983)
  • Doea Tanda Mata (1984)
  • Ibunda (1986)
  • Pacar Ketinggalan Kereta (1986)

Sejarah perfilman Indonesia tidak bisa lepas dari seorang Teguh Karya. Sutradara yang sejak 1971 sampai 1986 telah menghasilkan sekitar 13 film layar lebar, 11 di antaranya meraih Piala Citra, dan enam di antaranya memberinya gelar Sutradara Terbaik. Belum lagi apresiasi dan penghargaan yang pernah diterima dari luar negeri.

Selain film, Teguh Karya juga menyutradarai sinema televisi. Karyanya yang berjudul Pulang (1987) dan Arak-Arakan (1992) mendapat banyak pujian. Bahkan, sinema yang berjudul Siti Zubaedah masuk nominasi Festival Sinetron Indonesia 1997.

Sejak tahun 1969 sedikitnya sudah 21 sinema televisi yang disutradarainya. Di antaranya membawakan naskah saduran, mulai dari karya T. Williams (Permainan Gelas), Wiyard Browne (Orang-Orang yang Pulang), Anton Chekov (Kawan Lama), hingga Kenneth Sawyer Goodman (Kabut Natal).

Teguh Karya adalah seorang seniman film. Kekuatan utama film-film karyanya terletak pada kemampuannya menangkap realitas kehidupan masyarakat dan kemudian menghadirkannya kembali secara pas.

Tema-tema filmnya banyak menyoroti tentang manusia yang terombang-ambing mencari identitas dalam keluarga maupun masyarakat. Misalnya, pencarian identitas keluarga muncul dengan baik dalam film Ibunda (1986), sedangkan pencarian identitas dalam masyarakat tercermin lewat Wajah Seorang Laki-Laki (1971), November 1828 (1979), dan Doea Tanda Mata (1984).

Ditunjang oleh bakatnya sebagai seorang penata artistik, film-film Teguh Karya menjadi terkesan rapi dan terencana, terutama dalam hal penataan setting, dialog, kostum, properti, dan tata rias.

Lahir dengan nama Liem Tjoan Hok (setelah dibaptis menjadi Steve Liem dan belakangan menjadi Teguh Karya) di Maja, Pandeglang, 22 September 1934. Ia anak tertua dari lima bersaudara. Ayahnya Tedja Laksana Karya adalah seorang pedagang kecil. Teguh Karya mengaku sangat kagum pada figur ibunya, Naomi Yahya. Menurutnya, selain yang telah melahirkan, ibunya juga menumbuhkan kepekaan kepadanya agar mau mengerti orang lain.

Dunia teater merupakan panggilan jiwa Teguh Karya. Pada awal karier sebagai sutradara, ia memilih berkarya di panggung tersebut, meskipun sadar waktu itu dunia teater tidak bisa diandalkan untuk tempat mencari nafkah.

Pendidikan teater dan film ia peroleh dari Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) di Yogyakarta tahun 1954–1957, East West Center, University of Hawaii (1961) dan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) tahun 1957–1962. Sekolah terakhir inilah yang kemudian memantapkan garis hidupnya sebagai seniman.

Ia mendirikan Teater Populer tahun 1968 saat menjadi asisten manajer bagian kesenian dan budaya di Hotel Indonesia, Jakarta. Beberapa aktor besar Indonesia pun lahir dari teater tersebut, seperti Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Alex Komang, Hengki Sulaiman dan beberapa lainnya. Pelan-pelan Teguh yang kagum dengan Usmar Ismail dan Asrul Sani ini menemukan sosok yang utuh sebagai seniman teater, lantas merambah ke dunia film, termasuk film televisi.

Teguh Karya wafat pada 11 Desember 2001 dalam usia 67 tahun. Kesehatannya terus menurun setelah terserang stroke tiga tahun sebelumnya. Dari lingkungan terdekatnya, termasuk yang dikatakan Niniek L Karim maupun Christine Hakim, kesehatan Teguh Karya merosot sejak 1998. Dia mengalami depresi melihat kerusuhan yang melanda Jakarta berikut peristiwa penjarahan dan pemerkosaan.

KOMPAS/Mamak Sutamak

Teguh Karya, sutradara film “November 1828” tengah mendandani seorang pendukung film tersebut di Sanggar Teater Populer, Jakarta. Film tersebut diproduksi pada tahun 1979.

KOMPAS/JB Kristanto

Teguh Karya dan Menteri Daoed Joesoef di lokasi syuting film “Novemver 1828”.

KOMPAS/Don Sabdono

Acara diskusi film/sinetronik dengan tema “kita tingkatkan mutu film nasional “ di Bali pada pertengahan Agustus 1986.

KOMPAS/Sujiwo Tejo

Teguh Karya sedang menyutradarai teater “Inspektur Jenderal”.

KOMPAS/Hasanuddin Assegaff

Teguh Karya meraih Piala Citra sebagai Sutradara Terbaik FFI 89 dalam film Pacar Ketinggalan Kereta yang juga menjadi Film Terbaik. 

KOMPAS/Yurnaldi

Bertempat di pendopo Sanggar Teater Populer di kawasan Kebon Pala, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (16/10/2001), sutradara film dan pimpinan Teater Populer Teguh Karya menerima penghargaan Life Time Achievement dari Panitia Festival Film Asia Pasifik. Penghargaan yang diserahkan Adi Soerya Abdi itu diberikan atas pengabdian Teguh Karya di dunia perfilman Indonesia.

Referensi

KOMPAS, 5 Maret 1969. Wawancara Teguh Karya

KOMPAS, 17 OKtober 1993. Wajah Seorang Teguh Karya

KOMPAS, 25 Oktober 1993. Kemampuan Menangkap Realitas adalah Kekuatan Teguh Karya

KOMPAS, 12 Januari 2000. Jangan Pernah Lupa Teguh Karya

KOMPAS, 12 Desember 2001. Teguh Karya Telah Tiada

Foto lainnya dapat diakses melalui https://www.kompasdata.id/
Klik foto untuk melihat sumber.