Kronologi | Pemilihan Umum

Riwayat Fusi Partai Nasionalis: dari PDI Menjadi PDI Perjuangan

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan lahir dari dinamika politik Orde Baru. Sejak dideklarasikan pada 10 Januari 1973 partai berlambang banteng ini seringkali mengalami konflik. Kini PDI Perjuangan menjadi salah satu partai besar yang para kadernya menguasai lembaga pemerintahan.

KOMPAS/JOHNNY TG

Orasi Megawati Soekarnoputri pada HUT PDI Perjuangan ke-26 di Surabaya. Kota Surabaya pada hari Minggu (7/3/1999) praktis menjadi “milik” Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Di semua jalan dan sudut kota terlihat warna merah, karena dipenuhi warga dan simpatisan PDI Perjuangan yang mengenakan seragam atau membawa bendera berwarna merah.

Pada awal pemerintahan, Presiden Soeharto menggagas penggabungan atau fusi partai-partai politik yang saat itu jumlahnya cukup banyak. Wacana ini juga diharapkan dapat menciptakan keamanan dan ketertiban di dalam pemerintahan. Oleh karena itu, Presiden Soeharto membagi partai-partai tersebut dalam dua kelompok besar, golongan nasionalis dan golongan Islamis.

Partai-partai yang termasuk dalam golongan nasionalis ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Mereka pada awalnya bersepakat untuk membentuk Kelompok Demokrasi Pembangunan. Namun, kemudian pada 10 Januari 1973 kelima partai tersebut bersepakat untuk berfusi dalam satu wadah baru bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Dalam perjalanannya PDI mengalami banyak konflik yang disebabkan dari kalangan internal maupun eksternal. Pemerintah Orde Baru pun ikut terlibat dalam penyelesaian konflik tersebut. Namun, penyelesaian yang terjadi hanya tidak sampai ke akar masalah. Peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) menjadi puncak dari konflik PDI yang dibiarkan berlarut-larut.

Dari peristiwa Kudatuli tersebut maka lahirlah pecahan PDI yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Pada awalnya, kepengurusan Megawati ini mendapatkan tekanan, namun kelompok ini memiliki banyak simpatisan. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 PDI pimpinan Megawati berganti nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Lambang partai pun berubah dengan kepala banteng bermata merah dan mulut putih itu berada di dalam lingkaran.

Sepanjang keikutsertaan PDI Perjuangan dalam Pemilu, partai ini mampu meraih suara yang cukup banyak. Tercatat pada Pemilu 1999, 2004, 2014, dan 2019 PDI Perjuangan meraih posisi pertama. Bahkan pada tahun 2001–2004 Megawati Soekarnoputri naik sebagai Presiden. Pada tahun 2014–2019 Joko Widodo yang merupakan kader PDI Perjuangan berhasil memenangi Pemilu Presiden. Pada Pemilu 2019, Joko Widodo kembali memenangi persaingan untuk meraih kursi Presiden pada periodenya yang kedua.

7 Februari 1970

Presiden Soeharto mengumpulkan sejumlah partai peserta Pemilu 1971 di Istana Negara Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Soeharto melontarkan ide mengenai penggabungan atau fusi partai-partai politik dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah golongan nasionalis dan kelompok kedua adalah golongan Islamis.

24 Maret 1970

Partai-partai yang termasuk dalam golongan nasionalis terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Kelima partai ini sepakat untuk bekerjasama dalam satu kelompok yang bernama Kelompok Demokrasi Pembangunan. Tujuan dari Badan Kerjasama ini adalah untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

2 Januari 1973

Kelompok Demokrasi Pembangunan menyatakan siap untuk melakukan fusi menjadi satu partai. Hal ini seturut dengan konsesus MPRS dan gagasan dari Presiden Soeharto tentang penyederhanaan partai politik.

10 Januari 1973

Lima partai politik yang digolongkan dalam kelompok nasionalis dan telah tergabung dalam Kelompok Demokrasi Pembangunan secara resmi telah berfusi dalam satu wadah bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Deklarasi pembentukan PDI ditandatangani oleh lima pimpinan partai politik, yakni Achmad Sukarmidjaja dan Drs. Moh. Sadri (IPKI), Drs. Ben Mang Reng Say dan FS Wignjosoemarso (Partai Katolik), Alexander Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo), Sugiarto Murbantoko dan Djon Pakan (Murba), serta Mh. Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI).

14 Januari 1973

Susunan Kepengurusan Pusat Partai Demokrasi Indonesia telah terbentuk dengan 25 orang anggota Majelis Pimpinan Pusat dan 11 orang anggota Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Mohamad Isnaeni didapuk menjadi Ketua Umum DPP PDI dan Sabam Sirait menjadi Koordinator Sekretaris Jenderal PDI.

19 Februari 1975

Terjadi perubahan dalam kepengurusan Partai Demokrasi Indonesia. Majelis Pimpinan Pusat menunjuk Sanusi Hardjadinata sebagai Ketua Umum DPP PDI yang baru menggantikan Mohamad Isnaeni yang menduduki jabatan dalam pimpinan MPR/DPR. Selain itu, ditunjuk pula Usep Ranuwidjaja untuk menduduki kursi Ketua PDI menggantikan Soenawar Soekowati yang menjadi Menteri Negara bidang Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Pembangunan II.

12–13 April 1976

Kongres I PDI dilaksanakan di Jakarta dengan dibuka secara langsung oleh Presiden Soeharto. Dalam Kongres I PDI ini, Sanusi Hardjadinata ditetapkan sebagai Ketua Umum DPP PDI secara aklamasi. Namun, dalam kongres ini juga terjadi beberapa konflik internal antartokoh elite partai terutama penggantian Mohamad Isnaeni–Soenawar Soekowati dengan Sanusi Hardjadinata–Usep Ranuwidjaja. Namun, konflik ini dianggap telah selesai setelah Mohamad Isnaeni–Soenawar Soekowati tidak duduk lagi dalam DPP PDI hasil kongres.

14–16 Januari 1978

Konflik internal PDI yang bermula dari Kongres I masih menggelinding bagai bola panas di dalam tubuh partai. Bahkan konflik ini memunculkan dua kubu, Isnaeni–Soenawar dengan Sanusi–Usep. Namun pada akhirnya, konflik ini dapat mereda setelah mengundang pihak ketiga dan tercapainya kesepakatan. Salah satunya adalah menggabungkan dua kubu yang berseteru dalam satu kepengurusan baru DPP PDI. Hal ini membuat Mohamad Isnaeni dan Soenawar Soekowati masuk kembali dalam jajaran ketua DPP PDI.

16 Oktober 1980

Sanusi Hardjadinata secara tiba-tiba mengumumkan untuk mundur dari jabatan Ketua Umum DPP PDI karena alasan kesehatan. Pengumuman ini membuat beberapa anggota partai terkejut karena sebelumnya tidak ada tanda-tanda Sanusi akan mundur. Keputusan ini kemudian membuat DPP PDI menyiapkan Kongres II PDI untuk memilih ketua umum yang baru.

13–17 Januari 1981

Kongres II PDI dilaksanakan di Jakarta setelah beberapa kali mengalami perubahan jadwal. Sebelumnya terjadi penolakan terselenggaranya Kongres II PDI oleh mereka yang menyebut diri “Kelompok Empat” karena dianggap melanggar AD/ART PDI. Ketua DPP PDI Mohamad. Isnaeni membantah tunduhan tersebut. Kongres II PDI tetap berjalan dengan terpilihnya Soenawar Soekowati sebagai Ketua Umum DPP PDI yang baru. Soenawar kemudian menarik anggota PDI yang tergabung dalam “Kelompok Empat” dari keanggotaan MPR/DPR.

KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF

Kongres PDI Macet, Kongres III PDI yang berakhir Kamis malam (18/4/1986), pukul belum diketahui nasibnya. Masalah yang mengganjal adalah tata cara pemilihan pengurus baru DPP.

18 September 1985

Muncul perselisihan antara Hardjanto Sumodisastro, Ketua PDI dengan Soenawar Soekawati, Ketua Umum PDI terkait dengan penyelenggaraan Kongres PDI. Hardjanto mendesak DPP PDI untuk menyelenggarakan Kongres pada tahun 1986 karena menurut ketentuan AD/ART partai harus mengadakan kongres lima tahun sekali. Namun, Soenawar tidak setuju diadakan kongres. Ia lebih memilih untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas). Soenawar beralasan terlalu dekat dengan Pemilu 1987.

12 Januari 1986

Di tengah penyelesaian konflik PDI untuk menyelenggarakan Kongres atau Munas, Ketua Umum DPP PDI Soenawar Soekowati meninggal dunia karena serangan jantung dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta.

15–18 April 1986

Kongres III PDI akhirnya dilaksanakan di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta. Dalam kongres ini terjadi konflik antargenerasi muda dengan generasi tua PDI dalam memperebutkan kursi Ketua Umum. Setelah empat hari penyelenggaraan, susunan DPP PDI masih juga belum terbentuk. Oleh karenanya, kemudian kongres diserahkan kepada pemerintah.

2 Mei 1986

Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal Benny Moerdani, dan Menteri Muda Sekretaris Kabinet Moerdiono menyusun kepengurusan DPP PDI yang kabarnya juga mendengarkan suara anggota DPP PDI. Pada akhirnya Soerjadi terpilih sebagai Ketua Umum DPP PDI dan Nicholas Daryanto terpilih sebagai Sekretaris Jenderal yang baru. Susunan pengurus DPP PDI yang baru juga terdiri dari kalangan muda yang tidak terlibat dari konflik PDI sebelumnya.

21–25 Juli 1993

Diadakan Kongres IV PDI di Medan dengan agenda pemilihan Ketua Umum untuk periode 1993–1998. Soerjadi pun maju kembali sebagai calon ketua umum, namun pencalonannya ini banyak ditentang. Keadaan ini semakin memanas hingga timbul keributan di arena kongres. Pada hari terakhir Soerjadi terpilih sebagai Ketua Umum DPP PDI secara aklamasi. Namun, terpilihnya Soerjadi masih belum diterima oleh pemerintah sebelum kedua kubu yang berkonflik saling bersepakat. Bahkan, Wakil Presiden Try Sutrisno yang dijadwalkan untuk menutup kongres menolak untuk datang.

4 Agustus 1993

Pemerintah menganggap Kongres IV PDI di Medan gagal sehingga status kepemimpinan DPP PDI adalah kosong atau vakum. Karenanya, Mendagri Yogie SM meminta kepada PDI untuk membentuk caretaker, yakni lembaga perantara selama masa kevakuman partai.

2–6 Desember 1993

Caretaker PDI mengadakan Kongres Luar Biasa diadakan di Surabaya. Pada KLB ini muncullah sosok Megawati Soekarnoputri sebagai calon Ketua Umum DPP PDI. Pencalonan Megawati ini banyak ditentang oleh beberapa pihak. Bahkan pemerintah pun juga khawatir apabila Megawati terpilih. Berbagai cara dilakukan untuk menjegal Megawati. Namun, hingga KLB hari terakhir pukul 24.00, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum DPP PDI 1993–1998.

20–24 Juni 1996

Beberapa pihak yang menentang terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI mengadakan kongres tandingan di Medan. Kongres ini tidak direstui oleh kepengurusan Megawati. Namun di lain pihak, pemerintah justru memberikan izin terhadap kongres di Medan. Kongres ini pun kemudian mengukuhkan Soerjadi sebagai Ketua Umum DPP PDI versi Medan. Terpilihnya Soerjadi pun juga disetujui oleh pemerintah.

27 Juli 1996

Terjadi bentrokan di markas DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta antara pendukung Soerjadi yang meminta kepada kepengurusan Megawati agar keluar dari kantor tersebut. Hal ini dipicu dari mimbar bebas yang diadakan oleh kubu Megawati menolak hasil Kongres Medan. Kubu Soerjadi yang tidak terima kemudian melancarkan aksi kerusuhan. Bahkan aksi ini semakin memanas dan menjalar ke wilayah-wilayah lain di Jakarta. Aksi ini kemudian dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996).

25–27 Agustus 1998

Kongres V PDI di Palu semakin menunjukkan tidak diterimanya PDI pimpinan Megawati. Pemerintah dalam hal ini adalah Presiden BJ Habibie masih mengakui PDI pimpinan Soerjadi. Dalam kongres ini muncul gagasan untuk merujukkan kembali Megawati dengan Soerjadi, namun kedua kubu masih sulit untuk didamaikan. Hingga pada akhirnya Budi Hardjono terpilih sebagai Ketua Umum DPP PDI setelah nama Megawati tidak dimasukkan dalam daftar calon Ketua Umum.

8–10 Oktober 1998

Kongres PDI pimpinan Megawati diadakan di Bali setelah mendapatkan izin dari Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Kongres ini sebagai jalan untuk mengukuhkan kepemimpinan Megawati di dalam partai berlambang banteng ini dan mendeklarasikan Megawati sebagai calon presiden dalam Pemilu 1999. Selain itu, kongres memunculkan wacana untuk mengganti nama dan lambang PDI sesuai dengan peraturan untuk ikut dalam pemilu.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Dari kiri, Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan presiden ke-5 RI yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat menghadiri peringatan HUT Ke-44 PDI-P di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (10/1/2017). Dalam pidato politiknya, Megawati menyatakan PDI-P akan terus mendukung pemerintahan saat ini.

14 Februari 1999

Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan perubahan nama dan lambang PDI di Stadion Utama Senayan yang dihadiri 200 ribu simpatisan. Nama partai pun berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Lambang PDI Perjuangan masih berupa kepala banteng. Namun, apabila pada lambang lama kepala banteng berada di dalam segi lima, pada lambang baru kepala banteng dengan mata merah dan mulut putih itu berada di dalam lingkaran.

1 September 1999

Sidang Pleno Panitia Pemilihan Indonesia menyebutkan, ada 21 partai politik peserta pemilu yang mendapatkan kursi. Hanya enam parpol lolos ketentuan electoral threshold, yaitu mendapat lebih dari dua persen kursi DPR. Salah satunya adalah PDI Perjuangan yang meraih suara terbanyak dengan 33,76% suara sehingga mendapatkan jatah kursi DPR sebanyak 153.

20 Oktober 1999

Sidang Paripurna MPR dengan agenda pemilihan Presiden dan Wakil Presiden masa jabatan 1999–2004. Dalam sidang tersebut nama Megawati dijagokan untuk terpilih sebagai Presiden mengingat banyaknya anggota PDI Perjuangan yang duduk di parlemen. Namun, pada akhirnya Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur terpilih sebagai Presiden menggantikan BJ Habibie dan Megawati menduduki jabatan sebagai Wakil Presiden. Hasil ini membuat beberapa simpatisan PDI Perjuangan kecewa dan marah, namun Megawati mampu menenangkannya.

23 Juli 2001

Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya oleh MPR setelah ia mengeluarkan dekrit untuk membekukan lembaga parlemen tersebut. Hal ini membuat Megawati Soekarnoputri naik sebagai Presiden periode 2001–2004 dengan didampingi oleh Wakil Presiden Hamzah Haz dari Partai Persatuan Pembangunan.

5 April 2004

Dalam Pemilu Legislatif 2004, PDI Perjuangan memperoleh suara paling banyak yakni 28.292 suara mengungguli partai-partai lainnya.

5 Juli 2004

Pemilihan Presiden tahun 2004 yang untuk pertama kali dipilih oleh rakyat secara langsung menampilkan lima pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada Pemilu ini, PDI Perjuangan mengajukan Megawati untuk maju kembali sebagai calon Presiden dengan didampingi oleh Hasyim Muzadi. Hasilnya nama Megawati-Hasyim Muzadi berada di urutan kedua di bawah pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Karena calon pasangan masih belum memenuhi persyaratan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, dua pasangan teratas akan dipilih kembali dalam Pemilu Presiden putaran kedua.

20 September 2004

Pada Pemilu Presiden putaran kedua nama Megawati-Hasyim Muzadi harus mengakui keunggulan dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Hal ini membuat Megawati tidak terpilih kembali menjadi Presiden dan PDI Perjuangan menjadi partai oposisi di dalam pemerintahan.

9 April 2009

Pada Pemilu Legislatif 2009, partai yang berlambangkan kepala banteng ini harus mengakui keunggulan dari Partai Demokrat. PDI Perjuangan hanya meraih suara 14.600.091 yang menempatkannya dalam urutan ketiga secara nasional. Hasil ini pun masih membuat PDI Perjuangan berada sebagai partai oposisi pemerintahan.

8 Juli 2009

Pada Pemilu Presiden 2009, Megawati yang diusung oleh PDI Perjuangan dipasangkan dengan Prabowo Subianto dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Namun, untuk kedua kalinya Megawati harus kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dalam satu putaran saja.

9 April 2014

Pemilu Legislatif untuk periode jabatan 2014–2019 membuahkan hasil yang cukup signifikan bagi PDI Perjuangan. Setelah Pemilu 2009, PDI Perjuangan terlempar dari posisi pertama, maka pada Pemilu 2014 partai yang identik dengan warna merah ini berhasil kembali menjadi partai dengan suara paling banyak.

9 Juli 2014

Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan mengajukan nama Joko Widodo yang merupakan kader partai untuk maju sebagai calon Presiden periode 2014–2019. Prestasi Jokowi ketika menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta menjadi pertimbangan PDI Perjuangan mendukung keputusan sang ketua umum. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo–Jusuf Kalla mampu mengalahkan pasangan Prabowo Subianto–Hatta Rajasa.

17 April 2019

Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden periode tahun 2019–2024 dilaksanakan secara serentak. PDI Perjuangan meraih hasil yang maksimal dalam pemilu kali ini. Melalui hitung cepat Litbang Kompas, PDI Perjuangan berada diposisi pertama. Pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo–Ma’ruf Amin juga unggul atas Prabowo Subianto–Sandiaga Uno. Hal ini membuat PDI Perjuangan memiliki banyak wakil di dalam lembaga eksekutif maupun legislatif.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Kelompok Demokrasi Pembangunan * Merupakan kelompok lima parpol, PNI, Parkindo, Katolik, IPKI dan Murba ; Tudjuan meningkatkan kesedjahteraan rakjat”. KOMPAS, 25 Maret 1970, hal. 1.
  • “Kelompok demokrasi pembangunan siap berfusi”. KOMPAS, 3 Januari 1973, hal. 1.
  • “Partai Demokrasi Indonesia”. KOMPAS, 12 Januari 1973, hal. 1.
  • “Susunan lengkap pengurus pusat Partai Demokrasi Indonesia”. KOMPAS, 16 Januari 1973, hal. 12.
  • “Perobahan Pengurus Partai Demokrasi Indonesia * Sanusi Hardjadinata Ketua Umum”. KOMPAS, 20 Februari 1975, hal. 1.
  • “Konggres PDI Akhirnya Dibuka Senin Sore”. KOMPAS, 13 April 1976, hal. 1.
  • “Kongres I PDI Berakhir: Akhirnya Semua Pihak Dapat Praktekkan Demokrasi dalam Tubuh Sendiri”. KOMPAS, 14 April 1976, hal. 1.
  • “Moh. Sanusi Hardjadinata undurkan diri sebagai Ketua Umum DPP-PDI”. KOMPAS, 17 Oktober 1980, hal. 1.
  • “Ketua DPP PDI Mh Isnaeni: Tidak benar, kongres ke-II bertentangan dengan AD/ART”. KOMPAS, 12 Desember 1980, hal. 12.
  • “Kongres II PDI 13-17 Januari”. KOMPAS, 5 Januari 1981, hal. 1.
  • “DPP PDI Hasil Kongres II Diakui Syah oleh Pemerintah”. KOMPAS, 29 Januari 1981, hal. 1.
  • “Kongres III PDI, Arena pertemuan konsep perjuangan”. KOMPAS, 19 September 1985, hal. 12.
  • “Soenawar Soekowati meninggal dunia”. KOMPAS, 13 Januari 1986, hal. 1.
  • “Presiden Soeharto Membuka Kongres III PDI: Keanggotaan Kekuatan Sospol Berdasar Kader Tidak Berarti Proses Depolitisasi”. KOMPAS, 16 April 1986, hal. 1.
  • “Kongres PDI Hari Kedua: Dua “Jago” Calon Ketua Umum Mulai Mengepakkan Sayapnya”. KOMPAS, 17 April 1986, hal. 1.
  • “Kongres III PDI Berakhir: Kepengurusan DPP PDI 1986/1993 Dilimpahkan kepada Pemerintah”. KOMPAS, 19 April 1986, hal. 1.
  • “Drs Soerjadi Ketua Umum PDI, Daryanto Sekretaris Jenderal”. KOMPAS, 3 Mei 1986, hal. 1.
  • “Kongres IV PDI Ricuh”. KOMPAS, 22 Juli 1993, hal. 1.
  • “Presiden Membuka Kongres IV PDI * Hendaknya Diselesaikan Secara Demokratis”. KOMPAS, 22 Juli 1993, hal. 1.
  • “Soerjadi Terpilih Secara Aklamasi Jadi ketua Umum”. KOMPAS, 23 Juli 1993, hal. 1.
  • “Belum Menentu, Nasib Kongres PDI dan Soerjadi * Kongres Diambil Alih Lagi”. KOMPAS, 24 Juli 1993, hal. 1.
  • “Kelompok 17 dan DPP PDI Peralihan”. KOMPAS, 25 Juli 1993, hal. 1.
  • “Kongres PDI Tidak Diperpanjang * Wapres Tidak Akan Menutup Kongres”. KOMPAS, 25 Juli 1993, hal. 1.
  • “Kongres IV PDI Hanya Hasilkan Surat Pernyataan * Selesai Tanpa Penutupan dan Kemelut Kian Kusut”. KOMPAS, 26 Juli 1993, hal. 1.
  • “Mendagri Yogie SM: Kepemimpinan PDI Vakum, Anggota F-PDI Diminta Ikuti Aturan Lama”. KOMPAS, 5 Agustus 1993, hal. 1.
  • “Kongres PDI Dibuka Hari Ini * Penggembosan Megawati Makin Mencolok”. KOMPAS, 2 Desember 1993, hal. 1.
  • “Mega Hampir Pasti Terpilih”. KOMPAS, 5 Desember 1993, hal. 1.
  • “Megawati Nyatakan Diri sebagai Ketua Umum DPP PDI 1993-1998 * Tepat Pukul 24.00 KLB Dibubarkan Polisi”. KOMPAS, 7 Desember 1993, hal. 1.
  • “Soerjadi Hampir Pasti Terpilih”. KOMPAS, 22 Juni 1996, hal. 1.
  • “Pemerintah tak Layani PDI Pimpinan Megawati * Soetardjo Soerjogoeritno: Tindakan Sepihak, Contoh tidak Baik”. KOMPAS, 28 Juni 1996, hal. 1.
  • “Kronologi Kerusuhan 27 Juli”. KOMPAS, 29 Juli 1996, hal. 1.
  • “Pangab Jangan Terpancing Hasutan Oknum yang tak Bertanggung Jawab”. KOMPAS, 29 Juli 1996, hal. 1.
  • “14 DPD Calonkan Megawati Soekarnoputri *Rusuh, Kongres PDI Dipercepat”. KOMPAS, 26 Agustus 1998, hal. 1.
  • “Budi Hardjono, Ketua Umum DPP PDI”. KOMPAS, 27 Agustus 1998, hal. 1.
  • “Wiranto Izinkan Kongres PDI”. KOMPAS, 1 Oktober 1998, hal. 1.
  • “Kongres PDI Perjuangan Dibuka Hari Ini: Puluhan Ribu Hadir”. KOMPAS, 8 Oktober 1998, hal. 1.
  • “Megawati Calon Presiden”. KOMPAS, 9 Oktober 1998, hal. 1.
  • “PDI Tolak Ganti Nama”. KOMPAS, 10 Oktober 1998, hal. 1.
  • “PDI Perjuangan Dideklarasikan: Stadion Utama Merah Total”. KOMPAS, 15 Februari 1999, hal. 1.
  • “PPI: 21 Parpol Peroleh Kursi DPR”. KOMPAS, 2 September 1999, hal. 1.
  • “Megawati: Hentikan Tindakan Kekerasan”. KOMPAS, 21 Oktober 1999, hal. 1.
  • “Presiden Berlakukan Dekrit”. KOMPAS, 23 Juli 2001, hal. 1.
  • “Abdurrahman Wahid Lambaikan Tangan”. KOMPAS, 24 Juli 2001, hal. 1.
  • “Presiden Megawati Soekarnoputri: Kabinet Demisioner”. KOMPAS, 24 Juli 2001, hal. 1.
  • “Hasil Sementara Penghitungan Suara Pemilu 2004: PDI-P Masih Teratas – Partai Demokrat dan PKS Menyodok”. KOMPAS, 6 April 2004, hal. 1.
  • “Semua Capres Optimistis Unggul”. KOMPAS, 6 Juli 2004, hal. 1.
  • “Penghitungan Suara Sementara Putaran Kedua * Pemilu Presiden 2004”. KOMPAS, 21 September 2004, hal. 1.
  • “Demokrat Geser Golkar dan PDI-P * Hujan Protes Warnai Pelaksanaan Pemilu”. KOMPAS, 10 April 2009, hal. 1.
  • “Yudhoyono Terdepan Mega-Pro dan JK-Wiranto Masih Tunggu Hasil Resmi”. KOMPAS, 9 Juli 2009, hal. 1.
  • “Demokrat Beri Selamat kepa PDI-P: Gerindra Paling Banyak Rebut Suara dari Partai Berkuasa”. KOMPAS, 10 April 2014, hal. 14.
  • “Jokowi-JK Unggul *4 Lembaga Survei Unggulkan Prabowo-Hatta, 8 Unggulkan Jokowi-JK, Pengumuman KPU 22 Juli”. KOMPAS, 10 Juli 2014, hal. 1.
  • “Bersatu Untuk Bangsa”. KOMPAS, 18 April 2019, hal. 1.
  • “Pemilu Legislatif: Ada 9 Parpol Berpotensi Duduk di DPR”. KOMPAS, 18 April 2019, hal. 1.
Buku
  • Kaligis, Retor A.W. 2014. Marhaen dan Wong Cilik: Membedah Wacana dan Praktik Nasionalisme bagi Rakyat Kecil dari PNI sampai PDI Perjuangan. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
  • Saragih, Raliansen, dkk. 2000. Jejak Langkah 27 Tahun: dari PDI ke PDI Perjuangan. Jakarta: DPP PDI Perjuangan.
  • Zulkifli, Arif. 1996. PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Penulis
Martinus Danang

Editor
Susanti Agustina Simanjuntak