Kronologi | Hari Pers Nasional

Riwayat Gedung Societeit Solo menjadi Monumen Pers Nasional

Monumen Pers Nasional menjadi saksi perjalanan pers Indonesia berjuang melawan penjajahan pada masa revolusi. Inilah tempat konferensi pertama yang mengumpulkan seluruh wartawan di negeri yang baru merdeka. Konferensi ini menjadi cikal bakal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

KOMPAS/EDDY HASBY

Solo Pantas “Dihadiahi” Monumen Pers Nasional (bekas Gedung Sociteit Sasana Suka tempat lahirnya PWI), karena di Kota ini, media massa cetak tumbuh dan tumbang silih berganti. Di masa lalu peran kota ini dalam perkembangan pers, cukup menonjol. Solo misalnya menjadi saksi sejarah dari lahirnya dua organisasi wartawan. Sebelum PWI seperti tersebut di muka, ada Persatoean Djoernalis Indonesia atau disingkat Perdi (23 Desember 1933), salah satu organisasi wartawan yang pertama di masa penjajahan Belanda (9/2/1996).

Sebelum berubah nama, gedung Monumen Pers Nasional dikenal dengan nama Societeit Sasana Soeka yang dibangun pada tahun 1918 oleh Mangkunegara VII. Tujuan pendiriannya untuk tempat pertemuan kerabat Mangkunegara, sehingga letaknya kurang dari satu kilometer dari Pura Mangkunegara.

Gedung Societeit Sasana Soeka pernah menjadi lokasi mengumpulkan para wartawan bumiputera pada 9-10 Februari 1946. Pertemuan ini bertujuan membentuk sebuah organisasi untuk menyatukan seluruh elemen persuratkabaran nasional yang kemudian diberi nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Pada tahun 1956 tercetus ide untuk mendirikan Yayasan Museum Pers Indonesia. Berbagai perdebatan mengiringi rencana pendirian museum pers. PWI menginginkan gedung Societeit Sasana Soeka di Solo untuk dijadikan museum pers karena alasan historis. Namun, Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Solo yang berkantor di gedung tersebut merasa keberatan.

Cita-cita untuk mendirikan museum pers Indonesia baru terlaksana pada tahun 1978 setelah pihak PMI Kota Solo bersedia dipindahkan. Gedung Societeit Sasana Soeka kemudian berganti nama menjadi Monumen Pers Nasional, dan pada tahun 2010 ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya.

1918


Mangkunegara VII memerintahkan untuk membangun gedung pertemuan kerabat Mangkunegara yang letaknya kurang dari satu kilometer dari Pura Mangkunegara. Gedung tersebut diberi nama Societeit Sasana Soeka yang memperlihatkan sisi modern Kota Surakarta saat itu.

1933


Diadakan sebuah pertemuan di gedung Societeit Sasana Soeka, diprakarsai oleh Sarsito Mangunkusumo dan para insinyur untuk membentuk Solosche Radio Vereeniging. Pertemuan ini menjadi cikal bakal radio publik yang dikelola oleh kaum bumiputera.

1942-1945


Pada masa pendudukan Jepang gedung Societeit Sasana Soeka digunakan sebagai tempat kegiatan sosial untuk membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia dan menjadi markas Palang Merah Indonesia (PMI).

9 Februari 1946


Konferensi pertama wartawan pejuang kemerdekaan Indonesia diadakan di gedung Societeit Sasana Soeka. Dari konferensi ini lahirlah organisasi profesi wartawan pertama di Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan ketua terpilih Mr Soemanang. PWI dibentuk sebagai wadah mempersatukan persuratkabaran nasional untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap perjajahan.

1956


Dalam peringatan lahirnya PWI BM Diah, S Tahsin, Rosihan Anwar, dan kawan-kawan mencetuskan ide mendirikan Yayasan Museum Pers Indonesia.

20 Agustus 1970


PWI cabang Surakarta berinisiatif mendirikan Monumen Pers. Bangunan ini akan didirikan tepat di depan Kodim 073 atau kantor Palang Merah Indonesia Kota Solo. Monumen Pers di Solo akan menelan biaya kurang lebih Rp 21 juta.

17 Februari 1971


PWI cabang Surakarta menyetujui agar gedung PMI Solo yang berlokasi di Jalan Gajah Mada untuk segera dikosongkan untuk melakukan pengukuran gedung yang akan digunakan sebagai lokasi Monumen Pers.

Kliping Harian Kompas tanggal 16 Januari 1978 tentang pemugaran gedung Societeit Sasana Soeka yang akan dijadikan Monumen Pers Nasional.

19 Februari 1971


Pihak PMI Solo mengadakan rapat untuk membahas pengosongan gedung PMI. Hal ini disebabkan karena sebelumnya mereka tidak diberitahu oleh pihak PWI untuk segera mengosongkan gedung. Polemik ini menyebabkan karyawan PMI Solo yang jumlahnya sekitar 100 orang gelisah karena kehilangan tempat bekerja. Walikota Solo saat itu, Kusnandar tidak tahu menahu tentang pengosongan gedung PMI.

25 Februari 1971


Ketua Umum PMI Pusat, Mayjen Prof. Dr. Satrio menjelaskan bahwa masalah gedung PMI yang akan digunakan sebagai Monumen Pers telah selesai. Mayjen Satrio mengakatan bahwa masalah tersebut hanyalah salah paham. Dia juga memberikan masukan apabila PWI ingin mendirikan Monumen Pers lebih baik mendirikan gedung sendiri. Namun, bagi Mayjen Satrio tidak menutup kemungkinan bahwa gedung PMI yang merupakan bekas Societeit Sasana Soeka dapat digunakan untuk keperluan lainnya asalkan sesuai dengan prosedurnya.

5 Februari 1976


PWI cabang Surakarta akan mengadakan Pameran Pers pada 9-11 Februari 1976 dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun PWI ke-30 di Gedung PMI Solo. Gedung tersebut dipilih karena di tempat itu PWI dilahirkan. Pameran Pers mengundang penerbit-penerbit koran dari Solo, Yogyakarta, Semarang, Bandung, dan Jakarta.

9 Februari 1976


Ketua PWI Pusat, Harmoko mengemukakan rencana untuk membangun Monumen Nasional di Kota Solo. Selain monumen sejarah, Solo akan dijadikan monumen hidup pers Indonesia dengan memusatkan kegiatan peningkatan mutu kewartawanan di kota tersebut. Pemilihan Kota Solo dengan pertimbangan bahwa PWI lahir di kota tersebut.

18 Mei 1976


Rencana pembangunan Monumen Pers Nasional di Solo masih terkendala oleh pemilihan tanah. Sekretaris PWI cabang Solo, N. Sakdani Darmopamujo mengatakan bahwa idealnya Monumen Pers Nasional ditempatkan di bekas Gedung Societet Sasana Soeka karena sebagai tempat lahirnya PWI. Namun, pihak PMI yang menempati gedung tersebut merasa keberatan.

6 Juni 1976


Gubernur Jawa Tengah, Supardjo Rustam menilai bahwa Monumen Pers Nasional yang akan dibangun di Kota Solo merupakan salah satu kebanggaan nasional. Hal ini untuk menjelaskan kepada pihak PMI Solo yang keberatan dengan rencana tersebut. Supardjo Rustam juga menambahkan bahwa pemilihan gedung tersebut dilatarbelakangi oleh alasan historis tempat PWI dibentuk.

8 Januari 1978


Gedung bekas markas PMI Kota Solo secara resmi dipugar untuk persiapan Gedung Monumen Pers Nasional. Pemugaran ini dimulai dengan diturunkannya papan nama PMI cabang Solo dengan disaksikan oleh R.M. Soedarto selaku Sekretaris PMI cabang Solo, Sumaryono dari PWI cabang Solo, dan Letkol Sarlan Adisucipto selaku Kepala Biro Umum Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya, kantor PMI Solo akan dipindahkan ke Kompleks Rumah Sakit Dr. Muwardi, Jebres, Solo.

12 Januari 1978


Gedung Sasana Soeka yang digunakan sebagai lokasi Monumen Pers Nasional terus dipugar dan dikerjakan dengan giat. Pihak PWI berencana meresmikan gedung tersebut pada 9 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto pada peringatan HUT PWI ke-32.

7 Februari 1978


Presiden Soeharto menurut rencana akan meresmikan gedung Monumen Pers Nasional di Jalan Gadjah Mada no. 59 Solo bertepatan dengan hari ulang tahun PWI yang ke-32 pada 9 Februari 1978. Ny. Tien Soeharto juga direncanakan akan melakukan uparaca bedol wukir sebagai pertanda bahwa gedung tersebut digunakan untuk menyimpan benda-benda bersejarah yang memiliki nilai historis dalam perkembangan pers Indonesia. PWI juga akan mengadakan konferensi kerja di gedung tersebut pada 9-11 Februari 1978.

Presiden Soeharto Kamis meresmikan Monumen Pers Nasional di Solo dan menyaksikan pameran pers bersama Nyonya Tien Soeharto (9/2/1978). KOMPAS/JULIUS POURWANTO

9 Februari 1978


Presiden Soeharto meresmikan gedung Monumen Pers Nasional dalam peringatan HUT PWI ke-32. Dalam pidatonya Presiden Soeharto mengatakan bahwa Monumen Pers Nasional menjadi pengingat untuk mengembalikan pers nasional menjadi kekuatan yang memperkokoh persatuan rakyat di tengah kebebasan pers yang tidak terkendali.

11 April 1978


Monumen Pers Nasional akan dikelola oleh suatu yayasan yang anggotanya terdiri dari PWI, Serikat Perusahaan Pers, unsur Pemerintah Daerah Jawa Tengah, dan unsur Departemen Penerangan. Pengurus PWI Pusat juga menyerukan kepada seluruh penerbit surat kabar dan organisasi pers untuk membantu mengumpulkan benda-benda koleksi yang akan dipajang di Monumen Pers Nasional.

23 Oktober 1978


Menteri Penerangan, Ali Moertopo mengingatkan kepada pengurus pusat PWI untuk menyediakan tempat dokumentasi pers di dalam Monumen Pers Nasional. Oleh karena itu akan dibangun gedung perpustakaan dan tempat penyimpanan benda-benda sejarah atau dokumentasi pers yang bersebelahan dengan gedung Monumen Pers Nasional.

Patung tokoh-tokoh perintis Pers Indonesia diletakkan di dalam gedung aula Monumen Pers Nasional di Solo, Jawa Tengah (4/1/2016). KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

26 April 1980


Bunyi kentongan Kyai Swara Gugah (penggugah suara) dipukul secara bertahap oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo sebagai tanda diresmikannya beberapa gedung tambahan Monumen Pers Nasional.

7 Agustus 1981


Monumen Pers Nasional akan dikelolah oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers yang berada di bawah Departemen Penerangan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No 145/ KEP/ MENPEN/1981.

21 November 1988


Monumen Pers Nasional yang ditangani oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers beranggotakan wakil dari seluruh penerbitan atau masyarakat pers yang ada di Indonesia. Hal ini merupakan upaya mengembangkan sarana dan potensi-potensi yang dimiliki oleh Monumen Pers Nasional. Langkah ini sebagai bentuk perbaikan Monumen Pers Nasional yang selalu mengalami defisit.

20 Juni 2010


Monumen Pers Nasional ditetapkan sebagai salah satu bangunan Cagar Budaya wilayah Jawa Tengah melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM. 57/ PW. 007/ MKP/2010.

16 Maret 2011


Monumen Pers Nasional ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.06/PER/M.KOMINFO/ 03/2011.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Mendjelajah Nusantara: Monumen Pers Di Sala”, dalam KOMPAS, 21 Agustus 1970 hal. 2.
  • “Gedung Palang Merah Sala didjadikan “Museum Pers””, dalam KOMPAS, 20 Februari 1971 hal. 1.
  • “Dr Satrio : PMI Sala tetap tempati gedungnja”, dalam KOMPAS, 26 Februari 1971 hal. 1.
  • “Pameran pers di Solo”, dalam KOMPAS, 5 Februari 1976 hal. 9.
  • “Monumen Pers Nasional akan dibangun di Sala”, dalam KOMPAS, 11 Februari 1976 hal. 3.
  • “Berita daerah: Belum ada tanah untuk Monumen Pers Nasional”, dalam KOMPAS, 18 Mei 1976 hal. 9.
  • “Berita Daerah: Museum Pers”, dalam KOMPAS, 7 Juli 1976 hal. 9.
  • “Gedung Sasanasuko dipugar untuk MPN”, dalam KOMPAS, 12 Januari 1978 hal. 8.
  • “Bekas markas PMI Jadi monument”, dalam KOMPAS, 16 Januari 1978 hal. 6.
  • “Pada HUT-32 PWI: Persiden resmikan monumen pers nasional di Sala”, dalam KOMPAS, 7 Februari 1978 hal. 1.
  • “Presiden pada peresmian Monumen Pers Nasional: Syukurlah semuanya telah berlalu”, dalam KOMPAS, 10 Februari 1978 hal. 1.
  • “Monumen pers dikelola suatu yayasan”, dalam KOMPAS, 12 April 1978 hal. 12.
  • “Perpustakaan lengkapi gedung monumen Pers Nasional”, dalam KOMPAS 24 Oktober 1978 hal. 12.
  • “Tambahan gedung Monumen Pers: Bunyi kentongan Kyai Swara Gugah tandai peresmian”, dalam KOMPAS, 27 April 1980 hal. 1.
  • “Monumen Pers akan Dikelola Yayasan”, dalam KOMPAS, 22 November 1988 hal. 6.
  • “Societeit, Ngesus, dan Kamera Udin”, dalam KOMPAS, 21 Februari 2016 hal. 18.

Penulis
Martinus Danang
Editor
Inggra Parandaru