Daerah

Provinsi Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Barat terkenal sebagai daerah yang memiliki beragam tempat wisata alam yang indah dan eksotis. Gili Trawangan, Pantai Senggigi dan Gunung Rinjani adalah nama-nama destinasi wisata di provinsi ini.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Rinjani Menanti Pengakuan Dunia – Aktivitas Gunung Barujari dari bawah Puncak Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, Minggu (24/1/2016). Saat ini, gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 3.726 m dpl tersebut tengah menanti untuk diakui sebagai Geopark Dunia.

Fakta Singkat

Ibukota
Mataram

Hari Jadi
17 Desember 1958

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 64/1958

Luas Wilayah
20.153,15 km2

Jumlah Penduduk
5.320.092 jiwa (2020)

Pasangan Kepala Daerah
Gubernur Zulkieflimansyah

Wakil Gubernur Sitti Rohmi Djalilah

Provinsi Nusa Tenggara Barat atau biasa disingkat NTB terletak di ujung barat Kepulauan Nusa Tenggara. Provinsi ini memiliki 378 pulau kecil dengan dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Ratusan pulau itu membentang sepanjang selatan Indonesia.

Provinsi yang terkenal dengan destinasi wisata yang menarik ini di awal kemerdekaan Indonesia masuk dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil yang beribukota di Singaraja. Kemudian, wilayah Provinsi Sunda Kecil dibagi menjadi tiga provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 tahun 1958.

Adapun Nusa Tenggara Barat terdiri dari daerah Lombok dan Sumbawa. Ibu kota provinsi ini terletak di Kota Mataram yang berada di Pulau Lombok. Hari jadi provinsi ini ditetapkan pada tanggal 17 Desember 1958.

Lambang Nusa Tenggara Barat berlatar belakang perisai sebagai gambaran jiwa pahlawan. Lambangnya terdiri dari enam unsur, yakni bintang, kapas dan padi, rantai, menjangan, gunung, dan kubah. Bintang melambangkan lima sila Pancasila. Kapas dan padi melambangkan kemakmuran. Rantai melambangkan 45 sebagai kemerdekaan Indonesia (1945). Menjangan merupakan satwa yang banyak terdapat di Pulau Sumbawa. Gunung melambangkan gunung tertinggi di NTB yakni Gunung Rinjani dan kubah melambangkan ketaatan beragama masyarakat NTB.

Dengan luas wilayah 20.153,15 kilometer persegi, NTB dihuni oleh 5,32 juta jiwa pada tahun 2020. Secara administratif, provinsi ini terdiri atas 8 kabupaten, 2 kota, 116 kecamatan, dan 1.146 desa/kelurahan. Saat ini, NTB dipimpin oleh Gubernur Zulkieflimansyah dan Wakil Gubernur Sitti Rohmi Djalilah.

Sejarah Pembentukan

Nusa Tenggara Barat merupakan daerah yang kaya akan tinggalan arkeologi. Salah satu di antaranya berada di Kabupaten Dompu, yang terletak di bagian timur Pulau Sumbawa.

Peninggalan arkeologi di daerah  Dompu terdiri dari berbagai macam jenis yang berasal dari berbagai zaman atau peradaban. Beberapa diantaranya adalah batu alam besar dan batu silinder dari zaman prasejarah, struktur bata Bukit Dorobata dari zaman kerajaan Hindu, makam kuno dari peradaban kerajaan Islam, serta goa Jepang dari zaman penjajahan tentara Jepang.

Penemuan lain menunjukkan, dari hasil ekskavasi di Gunung Piring, Desa Trowai, Kecamatan Pujut – Lombok Tengah (1975), kira-kira pada akhir  zaman perunggu, enam belas abad lampau, Pulau Lombok bagian selatan telah dihuni oleh sekelompok manusia yang kebudayaannya sama dengan penduduk Vietnam Selatan.

Penemuan arkeologis itu juga mengatakan bahwa apa yang ditemukan di Gunung Piring sama persis dengan apa yang ditemukan di Gua Tabon dan Gua Sasak di Pulau Pallawan (Pilipina Tengah), Gilimanuk (Bali), dan Malolo (Sumba). Berdasarkan itu semua, disimpulkan bahwa kebudayaan penghuni Gunung Piring itu adalah kebudayaan yang termasuk ke dalam Shan Huyn Kalanny Pottery Tradition seperti disebut dalam buku “Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat”. Terhadap manusia pendukung kebudayaan tersebut, berbagai pihak telah menyimpulkan bahwa merekalah pendatang dan penghuni pertama Pulau Lombok.

Menurut Babad Lombok, kerajaan tertua di Pulau Lombok bernama Kerajaan Laeq. Akan tetapi sumber lain menyebutkan, kerajaan tertua di Pulau Lombok adalah Kerajaan Suwung yang dibangun dan diperintah oleh seorang raja bernama Betara Indera, seperti disebutkan dalam Babad Suwung. Setelah Kerajaan Suwung ini surut, muncul Kerajaan Lombok.

Pada abad IX-XI, berdiri satu kerajaan di Lombok bernama Kerajaan Sasak. Nama kerajaan ini ditemukan dalam kentongan perunggu di Pujungan Tabanan. Dalam kentongan tersebut, dikisahkan kemenangan Kerajaan Sasak atas Kerajaan Bali yang diperkirakan dibuat pada masa Anak Wungsu. Namun, belum banyak diketahui mengenai susunan pemerintahan dan bentuk kerajaan ini.

Menurut sumber sejarah, Kerajaan Sasak digantikan oleh Kerajaan Kedaro yang terletak di wilayah Belongas (sekarang Kecamatan Gerung). Ratu Maspanji yang berasal dari tanah Jawa merupakan ratu pertama Kerajaan Kedaro. Kerajaan ini kemudian pindah ke wilayah Pengantap dan berubah nama menjadi Kerajaan Samarkaton. Peninggalan kerajaan ini berupa pakaian kerajaan, dan alat kerajaan seperti gong yang disimpan di Penujak.

Kerajaan lain yang pernah berdiri di NTB adalah Kerajaan Dompu. Raja yang memimpin adalah Raja Dompu Ketiga yang menggantikan Dewa Indra Dompu. Wilayah kecil di kerajaan ini dipimpin oleh empat jenis Neuhi atau kepala suku. Neuhi Huu adalah kepala suku di Kecamatan Huu, Neuhi Saneo di wilayah Saneo, Neuhi Nowa di wilayah Nowa, dan Neuhi Tonda di wilayah Tonda.

Kerajaan Bima atau biasa disebut Kerajaan Mbojo oleh masyarakat NTB juga pernah berdiri di NTB. Letak kerajaan ini berada di teluk yang memiliki air tenang sehingga kerajaan ini pada masanya pernah dijadikan sebagai pelabuhan dan penyebaran agama Hindu.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Istana Kerajaan Bima di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, akhir Mei 2013 lalu. Kota tersebut pada masa Kerajaan Bima di abad XVI memegang peranan penting dalam perkembangan sejarah nusantara.

Lintasan sejarah juga menunjukkan, Lombok dan Sumbawa mendapatkan pengaruh dari Majapahit sejak abad ke-14. Pada saat itu, Laksamana Nala dari Majapahit berhasil menaklukkan kerajaan di kedua pulau ini. Kitab Negarakertagama yang dibuat pada abad ke-14 menyebutkan, Bima, Dompu, Taliwang, Seran, dan Utan Kadali sebagai daerah-daerah kerajaan lokal yang menjadi bagian dari ambisi Patih Gadjah Mada untuk ditaklukkan. Bahkan, patih Majapahit ini sempat berkunjung ke Lombok untuk melakukan inspeksi dan mengatur pemerintahan.

Ketika Majapahit runtuh, kerajaan kembar Goa-Tallo di Pulau Sulawesi bangkit dan giat memperluas kekuasaannya hingga daerah Nusa Tenggara. Pada tahun 1628, Sumbawa ditaklukkan oleh kerajaan asal Sulawesi ini dan kemudian menyusul penaklukan Kerajaan Selaparang di Pulau Lombok pada tahun 1639. Pada tahapan selanjutnya, raja-raja asal Bali juga sempat menguasai Lombok dari awal abad ke-17 hingga akhir abad ke-19.

Pada tahun 1611, Belanda dengan kapal dagangnya tiba di NTB, namun kedatangannya tidak disambut baik oleh masyarakat NTB khususnya Kerajaan Bima. Belanda mengatasi konflik tersebut dengan mengutus Stephen van Hegen untuk membuat perjanjian damai dengan Kerajaan Bima.

Perjanjian perdamaian tersebut berisi lima poin utama, yakni pertama Kesultanan Bima dan Dompu tidak akan menyerang Makassar dan hanya anggota kompeni yang boleh mengunjungi wilayah Bima. Kedua, wilayah Bima dan Makassar dilarang melakukan kontak sama sekali. Ketiga, pedagang asing dilarang melakukan hubungan dagang dengan Bima, kecuali mendapat ijin khusus dari kompeni. Kelima, penyebaran agama Kristen harus melalui izin Kesultanan Bima dan Dompu.

Di bawah kekuasaan Belanda, NTB dibagi menjadi beberapa afdeeling (wilayah administratif) yang kemudian afdeeling tersebut dipecah lagi menjadi beberapa onderafdeeling (wilayah kecil di dalam wilayah administratif). Afdeeling Lombok dibagi menjadi tiga onderafdeeling (Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat). Tiap-tiap afdeeling dikuasai oleh pihak Belanda dan setiap kegiatan atau perencanaan masyarakat harus melalui izin pemimpin afdeeling.

Pemerintahan Belanda di NTB runtuh ketika Jepang mengambil alih kekuasaan sekitar tahun 1942. Kesengsaraan masyarakat NTB terlihat jelas saat pemerintahan Jepang lantaran saat itu pemerintah Jepang mengontrol ketat seluruh kegiatan dan sistem pemerintahan masyarakat.

Jepang yang menekankan sistem militer memberikan dampak pada jatuhnya ekonomi NTB. Di sisi pendidikan Jepang juga mengganti seluruh kurikulum dengan pendidikan Jepang. Pendidikan kemiliteran yang diberikan pada rakyat adalah Gyu-gun (prajurit sukarela), Heiho (tentara pembantu), Tokubetsu (polisi khusus angkatan laut). Di sisi agama, aktivitas penyebaran keagamaan sangat dibatasi. Perguruan Islam ditutup, aktivitas pengajian dan pesantren banyak yang terhenti. Beberapa sekolah yang masih diizinkan beroperasi pun harus melalui pengawasan dan izin pihak Jepang.

NTB dinyatakan tertutup dari dunia luar ketika Jepang menyegel dan mengambil paksa radio-radio milik NTB. Surat kabar juga dikuasai oleh Jepang untuk memberitakan keunggulan-keunggulan Jepang pada saat itu. Saat itu, satu-satunya surat kabar yang boleh beredar adalah Bali Shinbun yang diterbitkan di Denpasar.

Pada saat Jepang menyerah kepada Sekutu, berita kekalahan tersebut sama sekali tidak diketahui oleh rakyat karena radio dan surat kabar sudah sejak lama dirampas oleh Jepang. Akhirnya, pada tanggal 27 September 1945 Jepang secara resmi mengumumkan kekalahannya di Lombok dan bendera Jepang diganti dengan bendera Indonesia.

Kemudian dibentuklah Komite Nasional Indonesia cabang Bima yang dipimpin oleh Ishak Abdullah. Komite ini bertugas mengawasi wilayah-wilayah NTB yang sebelumnya dikuasai Jepang agar tidak diambil alih oleh pihak manapun. Kemudian datang juga utusan dari Komite Nasional Indonesia untuk membentuk wilayah Lombok Timur dan Lombok Tengah yang dilengkapi dengan terbentuknya barisan buruh di NTB.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1950, dibentuklah daerah administratif Sunda Kecil, dan NTB menjadi bagian dari Sunda Kecil. Selanjutnya berdasarkan UU Darurat Nomor 9 tahun 1954, nama Sunda Kecil diubah menjadi Nusa Tenggara.

Provinsi Nusa Tenggara kemudian dibagi menjadi tiga Daerah Tingkat I, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur berdasarkan UU Nomor 64 tahun 1958.

Geografis

Provinsi NTB terletak antara 8⁰10’-9⁰5’ Lintang Selatan dan 115⁰46’-119⁰05’ Bujur Timur. Di sebelah utara, NTB berbatasan dengan Laut Jawa dan Laut Flores, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, di sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok dan Provinsi Bali, dan di sebelah timur berbatasan dengan Selat Sape dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Wilayah NTB tercatat seluas 20.153,15 kilomerter persegi atau setara dengan 1,05 persen dari luas wilayah Indonesia. Dari luas tersebut, sebesar 76,64 persennya merupakan wilayah Sumbawa, sedangkan sisanya adalah wilayah Lombok.

Selain dua pulau besar tersebut, NTB memiliki 378 pulau kecil, namun hanya 40 pulau yang berpenghuni. Pulau-pulau kecil tersebut antara lain Pulau Mojo, Gili Trawangan, Pulau Satonda, Pulau Gili Meno, Pulau Gili Air, Pulau Gili Nanggu, Pulau Liang, Pulau Ngali, Pulau Lawang, Pulau Medang, Pulau Bungin, dan Pulau Sangeang. Sebagian pulau kecil tak berpenghuni oleh warga sekitar dijadikan sebagai objek pariwisata alam.

NTB memiliki tujuh gunung, yakni Gunung Rinjani, Gunung Tambora, Gunung Sangeang, Gunung Batu Lantee, Gunung Doro Oromboha, Gunung Doro Leme, dan Gunung Doro Kuta. Dari ketujuh gunung tersebut, Gunung Rinjani merupakan gunung tertinggi di Lombok, sedangkan Gunung Tambora merupakan gunung tertinggi di Sumbawa.

NTB termasuk wilayah rawan bencana alam karena letaknya berada dalam lingkaran cincin api (ring of fire). Secara tektonik, Lombok merupakan kawasan seismik aktif. Lombok berpotensi diguncang gempa karena terletak di antara dua pembangkit gempa dari selatan dan utara. Dari selatan terdapat zona subduksi lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Pulau Lombok, sedangkan dari utara terdapat struktur geologi Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrusting).

KOMPAS/SUSI IVVATY

Pulau Satonda dilihat dari pelabuhan Kenanga Kecamatan Tambora Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat.

Pemerintahan

Sejak berdiri sebagai provinsi tahun 1958, Provinsi NTB telah dipimpin oleh delapan gubernur. Gubernur pertama NTT adalah AR Moh. Ruslan Tjakraningrat yang memulai masa jabatannya pada tanggal 14 Agustus 1958 dan berakhir pada 1968. Gubernur selanjutnya adalah HR Wasita Kusuma yang menjabat selama dua periode (1968-1973 dan 1973-1978), kemudian diteruskan oleh Gubernur Gatot Soeherman yang menjabat selama dua periode (1978-1983 dan 1983-1988).

Pada tahun 1988, H Warsito  terpilih memimpin NTB yang keempat. Warsito mengendalikan tampuk pemerintahan di NTB selama  dua periode (1988-1993 dan 1993-1998) sebelum digantikan Harun Al Rasyid pada tanggal 31 Agustus 1998. Harun Al Rasyid menjabat Gubernur NTB hingga tanggal 31 Agustus 2003.

Tahun 2003 hingga 1 september 2008, H Lalu Serinata dan Wakil Gubernur HB Thamrin Rayes memimpin NTB sebagai Gubernur NTB keenam. Di masa kepemimpinan Serinata, sejumlah program diluncurkan, seperti Gerbang E-Mas dengan Program Emas Bangun Desa. Selain itu, pada masa ini pembangunan Bandara Internasional Lombok di Lombok Tengah mulai terealisasi.

Selanjutnya gubernur NTB ketujuh adalah Muhammad Zainul Majdi  yang memimpin NTB selama dua periode (2008-2013 dan 2013-2018). Pada periode pertama, Zainul Majdi didampingi oleh Wakil Gubernur Badrun Munir dan di periode kedua ditemani oleh Wakil Gubernur Muhammad Amin. Sejak tanggal 19 September 2018, NTB dipimpin oleh Gubernur Zulkieflimansyah dengan wakilnya Sitti Rohmi Djalilah.

Pada tahun 2019, jumlah PNS NTB tercatat sebanyak 28.159 orang, terdiri dari PNS laki-laki sebesar 69,71 persen dan PNS perempuan 30,29 persen. Pada tahun yang sama, jumlah PNS dengan tingkat pendidikan lulusan SMA/sederajat mencapai 71,44 persen, sedangkan lulusan sarjana hanya sebesar 25,35 persen.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Pasangan Gubernur-Wakil Gubernur terpilih Nusa Tenggara Barat, Zulkieflimansyah dan Sitti Rohmi Djalilah saat dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur 2018-2023, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (19/9/2018). Dalam kesempatan itu, Presiden meminta agar pasangan yang dilantik langsung bekerja.

Politik

Ketika pemilihan umum awal mula digelar di Indonesia, kecenderungan politik di NTB tak jauh berbeda dengan daerah lain. Seperti di beberapa daerah lain, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) memperoleh suara terbanyak di NTB hingga 47,69 persen suara atau 339.686 suara pada Pemilu 1955. Perolehan Masyumi itu mengungguli partai-partai politik non-Islam, baik berideologi nasionalis, sosialis maupun komunis.

Di urutan kedua, Partai Nahdlatul Ulama (NU) berhasil memperoleh 16,34 persen suara di NTB, disusul Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 15,1 persen suara, Persatuan Indonesia Raya (Hazairin) 8,26 persen, dan Persatuan Indonesia Raya (Wongso) 4,26 persen. Adapun partai-partai lainnya seperti Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Rakyat Nasional, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Rakyat Indonesia, Gerakan Pembela Pancasila dan partai lainnya hanya memperoleh suara di bawah 3 persen.

Memasuki era Orde Baru, peta politik nasional maupun di NTB khususnya juga mengalami perubahan.  Selama masa Orde baru, partai-partai bercorak agama mengalami kemunduran, sedangkan partai nasionalis mulai berkembang pada era ini. Terbukti selama era Orde Baru, partai Golkar Karya (Golkar) berjaya dan mendominasi perolehan suara di wilayah NTB.

Pada Pemilu 1971, Golkar berhasil meraup  736.801 suara (69,8 persen). Perolehan suara Golkar yang tinggi itu membuat partai bercorak agama tertinggal jauh. Parmusi misalnya hanya mendapatkan 53.287 suara dan tidak mampu mengulang kejayaan Masyumi pada Pemilu 1955.

Pada Pemilu 1977, perolehan suara Golkar di NTB  sempat turun sedikit dibanding perolehan suara pada Pemilu 1971. Namun demikian, Golkar tetap memperoleh suara terbanyak. Pada Pemilu selanjutnya Golkar memperoleh suara di atas 60 persen. Bahkan pada Pemilu 1997, Golkar berhasil meraup suara tertinggi hingga 80,66 persen suara.

Sementara itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi representasi kekuatan politik Islam,  perolehan suaranya justru semakin menurun. Sampai Pemilu 1997, perolehannya turun drastis. PPP pada Pemilu 1977 perolehan suaranya sempat meningkat, dan tiga pemilu selanjutnya, perolehan suaranya terus menurun. Pada Pemilu terakhir era Orde Baru 1997, PPP hanya memperoleh 14,56 persen suara.

Hal yang sama juga menimpa PDI sebagai representasi dari partai nasionalis dan partai-partai Kristen. Dari pemilu ke pemilu, pengumpulan suaranya tidak pernah bergerak dari enam persen. Pencapaian terbaiknya terjadi pada Pemilu 1992 dengan perolehan 10,5 persen. Hanya saja, langkah PDI terhenti pada Pemilu 1997 sehingga kembali ke jurang keterpurukan dengan perolehan 87.913 suara atau 4,78 persen.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Panitia pemilihan di setiap tempat pemungutan suara (TPS) berupaya menghitung perolehan suara setiap partai politik pada pemilihan umum (pemilu) 2004. Seperti di TPS 27 Lingkungan Bendega, Tanjung Karang, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (5/4/2004), panitia dan saksi dengan cermat memperhatikan surat suara yang dicoblos para pemilih untuk menghitung hasil pemilu.

Memasuki era Reformasi, jatuhnya rezim Orde Baru dan kemunculan partai-partai politik baru tidak serta merta mengubah peta politik NTB. Daya tarik Partai Golkar masih terasa di mata masyarakat. Terbukti pada Pemilu 1999, Golkar berhasil meraih suara terbanyak dengan memperoleh 735.733 suara atau 42,2 persen. Dari tujuh wilayah di NTB, Golkar masih berhasil menguasai suara di enam wilayah kabupaten yang menghasilkan empat dari sembilan kursi DPR.

Pada Pemilu pertama era Reformasi ini, PDI Perjuangan (PDI-P) berhasil meraih simpati masyarakat dan menduduk peringkat kedua dengan memperoleh 13,28 persen suara. Adapun peringkat ketiga diraih oleh PPP dengan meraup 11,38 persen suara.

Pada Pemilu 2004, persaingan ketat antar peserta partai politik tampak terlihat jelas. Perolehan suara Partai Golkar turun kendati masih bertengger di urutan pertama. Golkar masih meraih 24,44 persen suara. Disusul Partai Bulan Bintang (PBB) di urutan kedua dengan 11,60 persen suara dan di peringkat ketiga diduduki oleh PPP dengan 8,67 persen suara.

Pada Pemilu 2009 peta penguasaan politik di NTB membawa nuansa perubahan. Kali ini, Partai Demokrat berhasil meraih kemenangan. Jika pada pemilu 2004, perolehan suaranya di bawah 10 persen, pada Pemilu 2009, partai berlambang mercy ini mampu meraup 17,9 persen. Partai Demokrat memenangi perolehan suara di seluruh Pulau Lombok dan dua wilayah di Pulau Sumbawa: Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Dompu.

Dengan perolehan itu, Demokrat  berhasil menggeser posisi partai-partai yang sebelumnya berkuasa.  Golkar yang sebelumnya masih meraih suara terbanyak dalam pemilu 2009 ini hanya memperoleh suara 14,8 persen. Golkar hanya mampu mempertahankan kemenangan di dua wilayah Sumbawa, yakni Kabupaten Bima dan Kota Bima.

Adpun partai-partai bercorak keislaman, seperti PBB dan PPP yang membayangi ketat Golkar dalam pemilu 2004, juga mengalami penurunan pamor. Justru Partai PKS yang berhasil meraih peringkat ketiga dengan meraih simpati pemilih sebesar 8 persen suara.

Pada Pemilu 2014, Golkar kembali menjuarai panggung politik NTB dengan perolehan 333.282 suara (13,81 persen), disusul Demokrat dengan perolehan 318.713 suara (13,21 persen), Gerindra memperoleh 263.621 suara (10,93 persen), PKS memperoleh 253.870 suara (10,52 persen). Sedangkan partai-partai lainnya memperoleh suara di bawah 10 persen.

Jika pemilu sebelumnya berfokus pada partai Golkar, PPP, dan Demokrat, pada Pemilu 2019 Partai Gerindra berhasil memperoleh suara terbanyak yakni 443.321 suara (23,7 persen), disusul Golkar dengan perolehan 334.570 suara (17,8 persen), PKS memperoleh 293.473 suara (15,6 persen), PPP (11,6 persen), Demokrat (11,1 persen), PDI-P (10,4 persen), PKB (10,1 persen). Sedangkan partai lainnya memperoleh suara di bawah 10 persen.

Kependudukan

Provinsi NTB  memiliki penduduk sebanyak 5.320.092 jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020. Dari jumlah itu, penduduk laki-laki sebanyak 2.656.208 atau 49,93 persen dari penduduk NTB dan penduduk perempuan sebanyak 2.663.884 atau 50,07 persen dari penduduk NTB.

Sebaran penduduk NTB masih terkonsentrasi di Pulau Lombok. Kendati luas geografisnya hanya sekitar 23 persen dari luas wilayah NTB, Pulau Lombok dihuni oleh 3,7 juta penduduk atau 70,65 persen penduduk NTB. Sementara di Pulau Sumbawa hanya dihuni oleh 1,56 juta penduduk atau 29,91 persen penduduk NTB.

Dari sisi budaya, masyarakat yang mendiami provinsi ini dapat dikelompokkan menjadi tiga suku besar, yaitu suku Sasak, penghuni mayoritas di Pulau Lombok, suku Mbojo di timur Sumbawa, dan suku Samawa di Pulau Sumbawa bagian barat. Suku Samawa berasal dari gabungan atau akulturasi budaya bangsa Austronesia Deutro Melayu dengan ras mongoloid dari daratan asia tenggara.

Selain ketiga suku ini,  terdapat pula suku Bali yang menjadi pendatang di NTB sejak abad ke-17. Keberadaan tiga suku dan berbagai keragaman budaya yang dihasilkan, bisa dihubungkan dengan sejarah masa lalu dan perkembangan budaya di daerah tersebut.

Di daerah ini, setidaknya terdapat 11 bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk di NTB baik bahasa asli daerah atau bahasa yang berasal dari daerah di luar pulau, antara lain bahasa Bajo, Bali, Bima, Bugis, Jawa, Madura, Makassar, Mandarin Ampenan, Melayu, Sasak, dan Sumbawa.

Mayoritas penduduk NTB adalah pemeluk agama Islam yakni mencapai 96,78 persen, disusul pemeluk agama Hindu (2,45 persen), Budha (0,32 persen), Kristen Protestan (0,26 persen), Kristen Katolik (0,19 persen), dan Konghuchu (0,01 persen).

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Pentas Budaya Sumbawa Barat – Perwakilan etnis Sasak menampilkan kesenian kecimol saat tampil dalam pentas budaya di Taliwang untuk memperingati hari jadi Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kamis (20/11/2014). Perayaan diisi pentas budaya beragam suku di Sumbawa Barat dan sejumlah daerah di Pulau Sumbawa.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
68,25 (2020)

Umur Harapan Hidup 
66,51 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
13,70 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
7,31 tahun (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
4,22 persen (Agustus 2020)

Tingkat Kemiskinan
13,97 persen (Maret 2020)

Rasio Gini
0,376 (Maret 2020)

Kesejahteraan

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB tahun 2020 mencapai angka 68,25, naik tipis dibandingkan tahun 2019 sebesar 68,14. Angka IPM NTB tersebut masih berada pada status sedang dan menempati urutan ke-29 dari 34 provinsi di Indonesia.

Dari dimensi kesehatan, indikator umur harapan hidup (UHH) di NTB tahun 2020 mencapai 66,51 tahun, meningkat 0,23 tahun dibandingkan tahun 2019. Untuk dimensi pendidikan, harapan lama sekolah (HLS) Provinsi NTB mencapai 13,70, meningkat 0,22 tahun dibandingkan tahun 2019. Sedangkan rata-rata lama sekolah (RLS) sebesar 7,31 tahun, meningkat sebanyak 0,04 tahun dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun pengeluaran per kapita NTB sebesar Rp 10,35 juta per orang per tahun, turun sebanyak Rp 289 ribu dibandingkan tahun 2019.

Jumlah angkatan kerja di NTB pada Agustus 2020 sebanyak 2,69 juta orang, naik sekitar 81,77 ribu orang dibanding Agustus 2019. Sejalan dengan kondisi tersebut, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat sebesar 0,98 persen.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTB pada Agustus 2020 sebesar 4,22 persen, naik 0,94 persen dibandingkan Agustus tahun lalu. Dari tingkat pendidikan, TPT tertinggi terdapat pada penduduk dengan pendidikan tamatan SMA kejuruan.

Jumlah penduduk miskin di NTT pada Maret 2020 tercatat sebesar 713,89 ribu orang (13,97 persen), naik 0,09 persen dibandingkan September 2019 sebanyak 705,68 ribu orang (13,88 persen). Penduduk miskin di daerah perkotaan tercatat sebesar 368,43 ribu orang atau 14,90 persen, sedangkan penduduk miskin di daerah perdesaan sebesar 345,45 ribu orang atau 13,09 persen.

Adapun tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk NTB yang diukur oleh Gini Ratio pada Maret 2020 tercatat sebesar 0,376, naik sebesar 0,002 poin dibandingkan dengan Gini Ratio pada September 2019 yang sebesar 0,374.

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Pembelajaran di SDN 5 Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat dihadirkan secara menyenangkan dan kolaboratif, meskipun memakai KTSP, Rabu (10/2/2016). Siswa diajak aktif untuk berkolaborasi dan berkreasi.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 1,68 triliun (2019)

Dana Perimbangan 
Rp 3,47 triliun (2019)

Pertumbuhan Ekonomi
4,01 persen (2019)

PDRB per kapita
Rp 26,17 juta/tahun (2019)

Inflasi
3,13 persen (2019)

Nilai Ekspor
85,52 juta dolar AS (November 2020)

Nilai Impor
13,23 juta dolar AS (November 2020)

Ekonomi

Secara umum, ekonomi NTB digerakkan oleh lima sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar terhadap terciptanya ”kue ekonomi” di NTB. Kelima sektor itu meliputi sektor pertanian, pertambangan, perdagangan, konstruksi, dan transportasi. Besarnya kontribusi setiap sektor cenderung bergeser, tetapi sektor-sektor ini tetap menjadi lima besar dalam ekonomi NTB selama 2018-2020.

Dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar Rp 132,67 triliun, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masih memberikan sumbangsih terbesar yakni sebesar 22,89 persen pada tahun 2019. Disusul perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 14,92 persen, pertambangan dan penggalian sebesar 13,56 persen, konstruksi sebesar 10,54 persen, serta transportasi dan pergudangan sebesar 7,27 persen.

Di sektor pertanian, menurut data ketenagakerjaan Agustus 2020 BPS Provinsi NTB, usaha pertanian menyerap tenaga kerja sebanyak 728.233 orang atau 30,47 persen dari penduduk NTB.

Di sektor pertambangan dan penggalian, NTB, khususnya di bagian selatan Pulau Lombok dan Sumbawa, memiliki kandungan sumber daya mineral logam, seperti emas, tembaga, perak, titanium, dan besi. Adapun komoditas ekspor utama Provinsi NTB yaitu bijih tembaga. Sektor ini menyerap 37.262 tenaga kerja pada tahun 2019.

Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTB selama lima tahun terakhir cenderung fluktuatif. Pada tahun 2015, laju pertumbuhan ekonominya mencapai angka pertumbuhan tertinggi hingga 21,76 persen, sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2017 yakni hanya 0,12 persen. Tahun 2019, laju pertumbuhan NTB mencapai 4,01 persen, di bawah laju ekonomi nasional yang mencapai 5,02 persen.

Nilai ekspor NTB bulan November 2020 sebesar 85,52 juta dolar AS, turun sebesar 38,62 persen jika dibandingkan dengan ekspor bulan Oktober 2020 yang bernilai 139,32 juta dolar AS. Jenis barang ekspor terbesar adalah barang galian/tambang non migas, ikan dan udang, buah-buahan serta perhiasan/permata. Tujuan ekspor NTB terbesar ke Jepang, China, dan Amerika Serikat.

Nilai impor NTB pada bulan November 2020 sebesar 13,23 juta dolar AS, turun 58,05 persen jika dibandingkan dengan impor pada Oktober 2020 sebesar 31,54 juta dolar AS. Sebagian besar Impor berasal dari Jepang, Amerika Serikat, Singapura, dan Australia. Adapun barang yang banyak diimpor adalah karet dan barang dari karet, mesin-mesin/pesawat mekanik, benda-benda dari besi dan baja, kendaraan dan bagiannya serta berbagai produk kimia.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga menikmati senja di Pantai Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Minggu (5/5/2019). Geliat pariwisata di sejumlah tempat wisata di Lombok pasca musibah gempa bumi kini berangsur pulih meski masih didominasi wisatawan lokal.

NTB memiliki beragam destinasi wisata yang tidak kalah menarik dibanding wisata di Pulau Bali. NTB memiliki laut yang eksotis, pantai pasir putih hingga taman alam Gunung Rinjani. Pariwisata, sebagaimana dialami daerah lain, dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk sekitar, selain juga bisa menghidupkan industri kecil seperti pembuatan cendera mata.

Di provinsi ini, sedikitnya terdapat 15 kawasan yang dapat menjadi daerah tujuan wisata. Di Pulau Lombok, terdapat Pantai Senggigi, Gili Nanggu, Gili Gede, Gili Trawangan, Pantai Kuta, Pantai Sire, Suranadi, Bongko-Bongko, Gunung Rinjani, Sukarara. Adapun kawasan wisata di Pulau Sumbawa antara lain Pulau Moyo, Pantai Hu’u, Gunung Tambora, dan Danau Lebo Taliwang.

Selain itu, kawasan Mandalika telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2015. Dengan luas area KEK mencapai 1.035,67 hektar, potensi pariwisata di pesisir Lombok Tengah itu diharapkan bisa lebih berkembang dan berdampak secara ekonomi bagi warga NTB.

Sepanjang tahun 2019, menurut data  Dinas Pariwisata (Dispar) Nusa Tenggara Barat, jumlah wisatawan yang berkunjung ke NTB sebanyak 3,7 juta. Tahun 2020, angka kunjungan wisatawan ke NTB turun drastis akibat merebaknya pandemi Covid-19 di seluruh dunia. Diperkirakan hanya sekitar 500 ribu orang, baik wisatawan domestik maupun mancanegara yang berkunjung di daerah ini. Tahun 2021, Pemprov NTB menargetkan kunjungan 3 juta wisatawan domestik. Sedangkan wisatawan mancanegara sebanyak 1,4 juta orang.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Bayan, Sisa Kerajaan Tertua di Lombok”, Kompas, 11 Februari 1976, hal. 09
  • “Ditemukan, 36 Benda Arkeologis di Sumbawa”, Kompas, 08 Maret 1995, hal. 13
  • “Menelusuri Istana Sumbawa”, Kompas, 16 November 1997, hal. 19
  • “ Peta Politik Pemilihan Umum: Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kompas, 18 Februari 2004 , hal. 40
  • “Kemakmuran Dambaan Masyarakat NTB * Pemilihan Presiden 2004”, Kompas, 14 Juni 2004, hal. 32
  • “Etnis Sasak-Lombok (1): Belajar dari Sejarah”, Kompas, 13 Desember 2005, hal. 14
  • “Peta Politik: Nusa Tenggara Barat * Ulama dan Birokrat Pegang Kuasa”, Kompas, 06 Maret 2009, hal. 08
  • “Menelusuri Jejak Penguasaan Tokoh”, Kompas, 06 Maret 2009, hal. 08
  • “Hasil Pemilu : Nusa Tenggara Barat * Babak Baru Penguasaan Politik”, Kompas, 19 Juni 2009, hal. 08
  • “Otonomi Daerah Nusa Tenggara Barat (6-Habis): Wilayah Pinggiran yang Belum Tuntas”, Kompas, 05 Juli 2010, hal. 04
  • “Pilkada NTB: Pertaruhan Demokrasi dan Kesejahteraan”, Kompas, 10 Mei 2013, hal. 23
  • “Indikator Politik: Provinsi Nusa Tenggara Barat *Indonesia Satu”, Kompas, 10 Maret 2014, hal. 01
Buku dan Jurnal
Internet
Aturan Pendukung

Penulis
Antonius Purwanto

Kontributor
Theresia Bella Callista

Editor
Ignatius Kristanto