IPPHOS
Para dokter, juru rawat dan pegawai serentak meninggalkan RSPT berhubungan dengan pengambilanalihan rumah sakit tersebut oleh Belanda (24/8/1948).
Pada paruh abad ke-18 hingga awal abad ke-19, pagebluk di Hindia Belanda semakin tidak terkendali. Tingkat kematian penduduk semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat tiga epidemi yakni cacar, kolera, dan tifus.
Persebaran penyakit yang cepat disebabkan berbagai macam faktor. Pertama, jumlah tenaga medis di Hindia Belanda sangatlah minim karena didominasi oleh dokter-dokter Eropa. Kedua, maraknya praktik orang pintar atau dukun. Praktik ini menjadi pilihan utama masyarakat bumiputra karena harganya tergolong murah, dan kurangnya akses ke rumah sakit perkotaan.
Kondisi darurat kesehatan membuat pemerintah kolonial Belanda turun tangan. Willem Bosch, Direktur Dinas Kesehatan Kolonial mengusulkan untuk mendirikan sekolah kedokteran di Hindia Belanda. Langkah ini dilakukan untuk membangun sistem kesehatan masyarakat hingga ke pelosok dengan menggunakan tenaga medis bumiputra.
Awalnya, sekolah tersebut bernama Dokter Djawa School kemudian berkembang menjadi School tot Opleiding van Indsiche Artsen (STOVIA). Para pelajar mulanya dididik menjadi mantri atau asisten dokter, kemudian menjadi menjadi dokter-dokter pertama di tanah Hindia. Merekalah yang menjadi perintis jalan berkembangnya sekolah-sekolah kedokteran di Indonesia.
9–11 Oktober 1847
Willem Bosch, Direktur Dinas Kesehatan Kolonial menyatakan wabah di Jawa semakin mengganas. Begitu pun juga dengan praktik orang pintar atau dukun berkembang pesat karena masyarakat bumiputra belum memercayai dokter Eropa dan biaya perawatan modern yang tergolong mahal.
2 Januari 1849
Dalam catatan Staatsblad Van Nederlandsch-Indie No. 22, pemerintah memutuskan untuk menyelenggarakan pelatihan pemuda Jawa sebagai tenaga medis dan mantri cacar. Willem Bosch, kemudian mengangkat dr. Pieter Bleeker, yang berprofesi sebagai Perwira Pesehatan (Officier van Gezondheid) di Dinas Kesehatan Tentara sebagai pimpinan lembaga pendidikan.
1851
Didirikan sekolah dokter pertama di Hindia Belanda dengan nama Dokter Djawa School (Sekolah Dokter Djawa) di pinggiran Weltevreden/Batavia. Sekolah ini bertujuan mendidik pemuda Jawa yang akan dipekerjakan sebagai asisten dokter dan bertugas memberi vaksinasi. Lulusannya diberi titel Dokter Djawa.
1856
Dokter Djawa School mulai dibuka untuk pelajar dari pulau-pulau lain. Tercatat pada awal pembukaan terdapat dua pemuda dari Sumatera Barat dan dua pemuda dari Minahasa.
1864
Dokter Djawa School mengalami revitalisasi pertama terkait dengan syarat penerimaan siswa, kurikulum, masa studi, dan gelar para lulusan. Masa studi ditetapkan menjadi tiga tahun dan para lulusannya dapat bekerja di lingkungan pemerintahan Hindia Belanda dengan status pegawai rendahan serta izin praktik secara mandiri.
1867
Peraturan mengenai izin praktik mandiri dicabut oleh pemerintah Hindia Belanda karena adanya kekhawatiran terhadap kegiatan para dokter bumiputra.
1875
Revitalisasi Dokter Djawa School kembali terjadi. Persyaratan masuk harus berasal dari Inlandsche Gouvernementsschool (sekolah negeri untuk bumiputra) atau lulus tes masuk. Bahasa Belanda kemudian menjadi bahasa pengantar dalam sekolah kedokteran, sebelumnya mereka menggunakan bahasa Melayu. Peraturan baru masa studi kedokteran juga diperbarui menjadi dua tahun masa persiapan dan lima tahun pendidikan medis.
1888
Ketika Direktur Dinas Kesehatan Kolonial dipegang oleh Christian Eijkman, dibangun laboratorium yang digunakan untuk pengajaran. Dia membawa peralatan bakteriologis terbaru langsung dari Belanda untuk menyelidiki penyakit menular beri-beri.
1890
Pemerintah Hindia Belanda mengembalikan izin praktik para lulusan Dokter Djawa School. Para pelajar menjalani magang di poliklinik rumah sakit militer tempat penduduk Batavia menjalani perawatan bedah, oftalmologi, dan perawatan medis umum. Dokter Djawa School kemudian membuka siswa lulusan dari Europeesche Lagere School.
1902
Dokter Djawa School berganti nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi yang lebih dikenal dengan singkatan STOVIA. Peraturan mengenai masa studi juga diubah menjadi tiga tahun masa persiapan dan enam tahun pendidikan medis. Lulusan STOVIA juga mendapatkan gelar Inlandsch Arts atau Dokter Bumiputra.
1908
J Noordhoek Hegt, direktur STOVIA mempunyai rencana untuk membangun gedung baru STOVIA di samping Rumah Sakit Pusat (Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting) yang akan didirikan di Salemba.
1911
STOVIA mengeluarkan kebijakan kepada delapan orang pelajarnya dari kelas tertinggi untuk diluluskan tanpa ujian. Hal ini disebabkan karena timbul berbagai epidemi sehingga mereka yang telah lulus langsung dikirim untuk membantu para dokter, antara lain di Malang.
1912
J Noordhoek Hegt meninjau kemungkinan didirikan sekolah dokter lagi di Surabaya.
1913
Kurikulum diperluas tidak hanya menerima peserta didik bumiputra saja melainkan pelajar Eropa, Arab, dan China. Hal ini kemudian membuat nama sekolah berubah menjadi School tot Opleiding van Indsiche Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia Belanda, dengan singkatan tidak berubah yakni STOVIA. Dibuka juga sekolah dokter kedua di Surabaya dengan diberi nama Nederlandsch Indische Artsen School disingkat NIAS.
1919
Dibentuk kepanitiaan yang bertugas meninjau kemungkinan didirikan suatu perguruan tinggi kedokteran.
1920
Gedung baru STOVIA diresmikan sebagai bentuk rencana pemerintah untuk menyelenggarakan penelitian medis, pelayanan medis, dan pendidikan medis dalam satu tempat.
1922
Diresmikannya rencana pendirian Geneekundige Hoogeschool (Perguruan Tinggi Kedokteran) yang akan digabung dengan STOVIA untuk meningkatkan pendidikan dokter di Hindia Belanda.
1923
Gedung bangunan NIAS resmi dipergunakan untuk menunjang pendidikan kedokteran yang sebelumnya kekurangan prasarana. Sebelumnya NIAS menggunakan rumah hunian yang besar sebagai tempat persiapan pendidikan kedokteran.
1924
STOVIA dan NIAS tidak lagi menerima siswa lulusan sekolah dasar, tetapi dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yang merupakan sekolah lanjutan pertama bagi golongan Eropa, China, dan bumiputra yang telah lulus sekolah dasar.
1927
Geneekundige Hoogeschool resmi berdiri bersebelahan dengan STOVIA. Pendirian perguruan tinggi ini sebagai langkah lanjutan untuk memberikan pendidikan lebih tinggi sehingga meluluskan dokter yang lebih berkualitas. Perguruan ini memberikan gelar setara dengan sekolah kedokteran yang berafiliasi langsung dengan universitas-universitas di Eropa. Sejak saat itu STOVIA tidak menerima peserta didik lagi dan diarahkan ke Geneekundige Hoogeschool.
1942
Beberapa minggu setelah Jepang menguasai wilayah Jawa, semua institusi pendidikan ditutup, termasuk NIAS dan Geneekundige Hoogeschool. Dokter-dokter Eropa kemudian diinternir oleh Jepang dan impor produk-produk farmasi terhenti karena diatur oleh tentara Jepang.
29 April 1943
Kebutuhan dokter yang semakin mendesak membuat beberapa dokter bumiputra memohon kepada pihak Jepang untuk membangun kembali pendidikan kedokteran. Pemerintah Militer Jepang menyetujui usulan tersebut, namun sistem pendidikan Belanda harus diubah. Geneekundige Hoogeschool berganti nama menjadi Djakarta Ika Daigaku (Perguruan Tinggi Kedokteran Djakarta). Jepang juga menunjuk sejumlah dokter bumiputra untuk mengurusi sekolah tersebut.
19 Agustus 1945
Sesaat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang Djakarta Ika Daigaku berubah nama menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran. Perubahan ini dilalukan oleh sekelompok dokter nasionalis bersama dengan para mahasiswa kedokteran yang berjuang untuk merebut gedung sekolah kedokteran yang dikuasai oleh Jepang.
21 Januari 1946
Netherlands-Indies Civiele Administration (NICA) melakukan penyerangan ke beberapa tempat untuk merebut wilayah Indonesia agar dapat dikuasai kembali. Akibatnya, Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta tidak dapat dipertahankan lagi oleh para nasionalis sehingga kegiatan belajar calon dokter Indonesia dilanjutkan di tempat lain.
Maret 1946
Belanda mengambil alih secara penuh gedung Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta dan mengalihfungsikan menjadi gedung Nood Universiteit. Terdesaknya pengajaran di Perguruan Tinggi Kedokteran membuatnya pindah ke Klaten untuk menghindari serbuan tentara Belanda.
23 September 1947
Diumumkannya peraturan baru yang dikenal Hoger Onderwijs-ordonnantie (peraturan perguruan tinggi) dan Universiteitsreglement (peraturan universitas) membuat Nood Universiteit berubah nama menjadi Universiteit van Indonesie.
Desember 1947
Fakultas Kedokteran dibuka di Surabaya, menempati bekas gedung NIAS.
11 November 1949
Perguruan Tinggi Kedokteran yang beroperasi di Klaten semakin berkembang di Yogyakarta berkat Prof. Dr. Sardjito menjabat sebagai dekan. Hal ini menjadi cikal bakal berdirinya Fakultas Kedokteran di Universitas Gajah Mada.
2 Februari 1950
Perguruan Tinggi Kedokteran dan Universiteit van Indonesie digabung dan disatukan dengan nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1952
Profesor Patologi Universitas Indonesia, Soetomo Tjokronegoro menjajaki kemungkinan kerja sama antara Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta dan Surabaya dengan University of California San Fransisco. Tujuannya untuk merombak kurikulum kedokteran Belanda menjadi kurikulum Amerika. Usulan tersebut berkembang setelah minimnya jumlah dokter Indonesia dan banyaknya dokter Belanda yang kembali ke negerinya.
29 Juni 1954
Perjanjian kerja sama antara Fakultas Kedokteran Universitas California dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia secara resmi dimulai. Kolaborasi ini memberikan perubahan pada kurikulum medis guna meningkatkan jumlah dokter sesuai dengan jumlah penduduk di Indonesia.
10 November 1954
Fakultas Kedokteran di Surabaya diresmikan menjadi Universitas Airlangga dengan menggabungkan beberapa perguruan tinggi dan fakultas lain.
Referensi
- Leimena, J, dkk.(ed.). 1978. Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
- Neelakantan, Vivek. 2019. Memelihara Jiwa-Raga Bangsa: Ilmu Pengetahuan, Kesehatan Masyarakat, dan Pembangunan Indonesia di Era Soekarno. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Pols, Hans. 2019. Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Dhita, Aulia Novemy. 2020. “Studi Historis Sekolah Kedokteran Di Indoensia Abad XIX” dalam Jurnal Agastya 10 No. 2 Juli 2020.
- Padiatra, A. M. 2015. “Melawan Wabah: Sejarah Sekolah Dokter Djawa 1881-1899” dalam Seminar Nasional Sejarah II. Palembang, Indonesia: Prodi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Sriwijaya.
- Radiopoetro. 1976. “Sejarah Pendidikan Dokter di Indonesia” dalam Journal of the Medical Sciences No. 4.
Penulis
Martinus Danang
Editor
Inggra Parandaru