Paparan Topik | Hari Dokter

Sejarah Pendidikan Kedokteran Indonesia dari Era Kolonial hingga Revolusi Kemerdekaan

Indonesia pada abad ke-19 diserang oleh badai pandemi dan endemi yang menjatuhkan banyak korban jiwa. Situasi inilah yang kemudian membuat pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah kedokteran bagi pribumi cikal bakal pendidikan dokter Indonesia.

IPPHOS

Pengambilan alih rumah sakit oleh Belanda pada masa revolusi kemerdekaan (24/8/1948).

Fakta Singkat

Latar belakang:

  • Munculnya penyakit malaria, pes, cacar, kolera, disentri, dan tifus yang banyak menyerang penduduk Hindia Belanda
  • Kurangnya tenaga medis dan maraknya praktik pengobatan tradisional di kalangan pribumi

Kronologi singkat:

  • 1847: Willem Bosch mengusulkan didirikan sekolah kedokteran untuk pribumi Jawa
  • 1851: berdiri Onderwijs van Inlandsche élèves voor de geneeskunde en vaccine di Batavia
  • 1853: berganti nama menjadi Dokter Djawa School
  • 1900-an: berganti nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA)
  • 1913: berganti nama menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)
  • 1914: Netherlandsch Indische Artsen School (NIAS) didirikan di Surabaya
  • 1927: didirikan Geneeskundige Hoge School (GHS) sehingga membuat STOVIA tidak diaktifkan lagi
  • 1942: kedatangan Jepang membuat GHS dan NIAS ditutup
  • 1943: Djakarta Ika Daigaku didirikan
  • 1945: Perguruan Tinggi Kedokteran didirikan di Jakarta
  • 1946: aktivitas Perguruan Tinggi Kedokteran harus diungsikan ke beberapa kota karena serbuan Belanda
  • 1949: Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten berkembang menjadi Universitas Gadjah Mada
  • 1950: Perguruan Tinggi Kedokteran bergabung dengan Universitas Indonesia
  • 1954: Fakultas Kedokteran di Surabaya menjadi Universitas Airlangga

Nama Hindia Belanda sejak akhir abad ke-19 dikenal sebagai salah satu tempat paling tidak sehat di dunia. Menurut Hans Pols dalam bukunya Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, menyatakan bahwa ada suatu masa ketika semua tentara dalam satu resimen tewas dalam tempo tiga tahun sejak kedatangannya. Hal ini tidak mengherankan jika sepertiga dari penduduk Eropa meninggal di Hindia Belanda setiap tahunnya.

Penyakit yang diderita oleh orang-orang Eropa ketika itu adalah penyakit yang tidak dikenal di daratan Eropa. Sebut saja seperti malaria yang banyak ditemukan di pemukiman pesisir dekat dengan rawa-rawa dan perkebunan yang baru dibuka. Selain itu juga muncul penyakit lain seperti pes, cacar, kolera, disentri, dan tifus.

Wabah Cacar

Menurut catatan pemerintah Hindia Belanda penyakit cacar menjadi salah satu perhatian khusus pada pertengahan abad ke-19. Baha’Uddin mengutip Peter Boomgaard menuliskan bahwa penyakit cacar telah ada di Hindia sejak tahun 1644 di Kota Batavia. Kemudian penyakit ini menyebar ke seluruh Jawa dan luar Jawa pada pada abad ke-18. Pada tahun 1775 cacar mulai mewabah di beberapa kota besar di Jawa seperti di Priangan, Bogor, Yogyakarta dan Semarang. Tidak berselang lama, tahun 1786 masyarakat wilayah Banten dan Lampung dilaporkan banyak yang menderita cacar.

Di era pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816), John Crawfurd, dokter berkebangsaan Inggris yang datang bersama dengan Gubernur Jenderal Raffles melakukan penelitian tentang wabah cacar di Jawa. Crawfurd memperkirakan sepanjang abad ke-19 penyakit cacar telah menjangkiti hampir seluruh wilayah Jawa sehingga membuat penyakit tersebut menjadi endemi sekaligus epidemi.

Cacar tidak hanya menyerang orang Eropa. Masyarakat pribumi juga diserang penyakit cacar  karena kondisi masih kurang memperhatikan kesehatan dan kebersihan lingkungan.Keterbatasan tenaga kesehatan dan belum ditemukannya vaksin membuat angka mortalitas menjadi tinggi.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan vaksinasi seperti yang dilakukan di kawasan Eropa. Vaksin cacar sendiri baru ditemukan pada akhir abad ke-18, sehingga pemerintah Hindia Belanda memulai program vaksinasi di awal abad ke-19. Sebelumnya pemerintah Hindia Belanda melakukan uji coba terlebih dahulu kepada penduduk Hindia di akhir abad ke-18.

Seorang dokter muda bernama dr. J. van der Steege pada tahun 1779 melakukan percobaan vaksinasi cacar pertama di Batavia. Steege melakukan vaksinasi terhadap 13 orang yang terkena cacar, beberapa diantaranya adalah anak-anak. Kemudian pada tahun 1781 dr Steege melakukan percobaan kembali dengan melakukan vaksinasi sekitar 100 orang di Batavia.

Vaksinasi Cacar

Vaksinasi cacar pada masa Orde Baru (14/1/1972). KOMPAS/MARKUS DUAN ALLO

Setelah melalui beberapa percobaan dan membuahkan hasil yang baik, vaksin cacar kemudian didatangkan secara masif ke Batavia pada Juni 1804 menggunakan Kapal Elisabeth dari Pulau Isle de France (timur Madagaskar). Vaksin pertama ini telah melalui perjalanan yang cukup panjang dari pusatnya di Jenewa, Swiss. Dari sana kemudian singgah terlebih dahulu di Baghdad dan Basra di Irak lalu ke India baru di kirim ke Isle de France. Di Hindia Belanda, vaksin tersebut kemudian dikirim ke Surabaya, Jepara, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta.

Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda berhasil mendatangkan vaksin secara langsung dari Belanda dengan menyimpan vaksin ke dalam pipa kapiler. Baru di tahun 1870 pengiriman vaksin semakin gencar setelah Belanda berhasil memproduksi vaksin secara mandiri. Setelah itu setiap 2-3 bulan sekali vaksin cacar selalu dikirim ke Batavia.

Namun upaya vaksinasi di Hindia yang dimulai pada abad ke-19 masih jauh dari ekspektasi pemerintah. Pemerintah hanya melalukan vaksinasi kepada orang-orang Eropa dan orang-orang pribumi yang sehari-hari berhubungan dengan orang-orang Eropa. Akibatnya cakupan vaksinasi di Hindia terlalu kecil sehingga jumlah kasus yang terkena penyakit cacar tidak mengalami penurunan secara signifikan.

Menurut Ravando dalam bukunya yang berjudul Dr. Oen Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil juga menuliskan bahwa cakupan vaksinasi yang kecil disebabkan karena jumlah tenaga medis yang sedikit. Hal ini berbanding terbalik dengan penyebaran cacar yang begitu cepat sehingga memunculkan kekhawatiran di kalangan komunitas Eropa.

Pemerintah Hindia Belanda juga melihat adanya jarak sosial antara orang pribumi kebanyakan dengan dokter-dokter Eropa. Sehingga, pemerintah mencoba untuk memanfaatkan orang-orang pribumi sebagai tenaga medis sekaligus untuk menambah jumlah vaksinator. Harapannya, masyarakat pribumi semakin percaya untuk divaksin apabila yang memvaksinasi berasal dari golongan sendiri.

Sekolah Dokter Jawa

Wabah cacar yang semakin mengganas membuat Willem Bosch Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda pada 9-11 Oktober 1847 mengusulkan untuk mendidik pemuda-pemuda Jawa menjadi tenaga medis dan mantri cacar. Mereka akan dididik oleh tenaga profesional sehingga tidak hanya menjadi tenaga vaksinator penyakit cacar namun juga penyakit lainnya.

Langkah ini juga sebagai bentuk penegasan kepada masyarakat untuk beralih dari pengobatan tradisional ke pengobatan modern. Pada masa itu pribumi khususnya masih jarang meminta bantuan kepada dokter Eropa. Mereka lebih memilih “orang pintar” atau dukun. Praktik ini marak terjadi bahkan menurut Liesbeth Hesselink dalam buku Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia Belanda 1852-1942 mencatat pada tahun 1884 ada sekitar 11.000 orang pribumi yang berprofesi sebagai dukun.

Sejalan dengan Willem Bosch, pemerintah Hindia Belanda juga menyetujui rencana ini karena dianggap sebagai bentuk penghematan anggaran dan peningkatan bantuan medis untuk pribumi. Menurut Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen sekolah kedokteran untuk pribumi membawa manfaat besar terlebih kebutuhan akan dokter sangat tinggi di tengah wabah yang sedang melanda.

Maka pada 2 Januari 1849 hadir Gouvernerment Besluit nomor 22 yang menjadi dasar untuk menyelenggarakan pelatihan bagi pemuda-pemuda Jawa sebagai tenaga medis dan mantri cacar. Syaratnya, para pemuda haruslah berasal dari keluarga yang baik, serta dapat membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dan Jawa. Mereka juga mendapatkan fasilitas berupa gaji sebesar f.15 dan tempat tinggal.

Pada 1 Januari 1851 sekolah untuk tenaga medis didirikan dengan nama Onderwijs van Inlandsche élèves voor de geneeskunde en vaccine di Batavia. Mereka dididik selama dua tahun dan diajarkan beberapa mata pelajaran yakni bahasa Belanda, berhitung, ilmu ukur, ilmu bumi (Eropa dan Hindia Belanda), astronomi, kimia anorganik, ilmu alam, mekanika, geologi, botani, zoologi, anatomi dan fisiologi, pengantar patologi, ilmu kebidanan, dan ilmu bedah.

Diorama Pendidikan di STOVIA

Diorama Museum Kebangkitan Nasional di Jalan Abdurrahman Saleh No.26, Jakarta Pusat (17/5/2017). Sebelum menjadi museum, bangunan ini dahulu adalah sekolah kedokteran yang didirikan oleh Belanda dengan nama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen disingkat STOVIA atau Sekolah Dokter Bumiputra. KOMPAS/LASTI KURNIA

Willem Bosch juga menunjuk Dr. Pieter Bleeker Perwira Pesehatan (Officier van Gezondheid) di Dinas Kesehatan Tentara untuk menjadi pempimpin di lembaga pendidikan tersebut. Dr. Pieter Bleeker yang merupakan tangan kanan dari Willem Bosch menjabat sejak 1851 hingga 1860.

Baru pada tahun 1853 melalui Gouvernerment Besluit nomor 10 tanggal 5 Juni 1853 nama lembaga pendidikan ini berganti nama menjadi Dokter Djawa School. Mereka yang lulus kemudian menyandang gelar Dokter Jawa dalam sebuah upacara formal seperti mahasiswa kedokteran di negeri Belanda.

Pada tahun-tahun selanjutnya Sekolah Dokter Jawa mengalami revitalisasi terkait dengan syarat penerimaan siswa, kurikulum, dan gelar para lulusannya. Revitalisasi pertama terjadi di tahun 1864 di mana masa studi siswa yang awalnya dua tahun diubah menjadi tiga tahun. Lulusannya juga diizinkan untuk bekerja di pemerintahan Hindia Belanda sebagai pegawai rendahan dan diperbolehkan membuka praktik secara mandiri. Namun pada tahun 1867 izin praktik dicabut oleh pemerintah.

Revitalisasi kedua terjadi pada tahun 1875 berkaitan dengan persyaratan masuk siswa baru dan lama studi mereka. Para calon siswa Sekolah Dokter Jawa haruslah lulusan dari sekolah negeri untuk pribumi (Inlandsche Gouvernementsschool) atau lulus tes masuk. Masa studi juga bertambah menjadi tujuh tahun dengan terbagi menjadi dua bagian.

Bagian pertama selama dua tahun siswa akan mendapatkan mata pelajaran pengantar (voorbereidende afdeling) meliputi, bahasa Belanda, fisika dasar, sejarah, matematika, dan geografi Belanda serta Hindia. Bagian kedua selama lima tahun siswa akan mendapatkan mata pelajaran inti (geneeskundige afdeling) yang diantaranya akan melakukan praktek untuk meningkatkan kompetensi di bidang medis.

Pada perkembangan selanjutnya tahun 1890 Sekolah Dokter Jawa kemudian menerima siswa lulusan dari sekolah Belanda atau Europeesche Lagere School (ELS). Menurut laporan tahun 1883-1889, siswa-siswa lulusan dari ELS memiliki prestasi yang cukup baik sehingga lulusannya dapat masuk Sekolah Dokter Jawa. Walaupun demikian, para calon siswa tetap mengikuti tes ujian masuk.

Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, Perjuangan Puskesmas Melawan Wabah Lintas Zaman, 17 Agustus 2021

STOVIA

Memasuki awal tahun 1900-an Dokter Djawa School kemudian berganti nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, atau sekolah pelatihan bagi dokter pribumi yang lebih dikenal dengan singkatan STOVIA. Lulusan STOVIA mendapatkan gelar Inlandsch Arts atau Dokter Pribumi dan tidak lama kemudian berubah lagi menjadi Indisch Art atau Dokter Hindia. Hal ini menandakan bahwa STOVIA didirikan tidak hanya untuk mencetak dokter-dokter Jawa saja namun juga dokter-dokter di luar Jawa.

STOVIA juga mengalami perubahan dalam persyaratan masuk siswa baru dan lama studinya. Calon siswa STOVIA haruslah berasal dari lulusan ELS dengan masa studi sepuluh tahun sebelum lulus sebagai dokter. STOVIA juga menerima lulusan dari MULO (Meer Uitgrebreid Lager Onderwijs) dengan masa studi sembilan tahun. Dengan demikian STOVIA berhak menerima calon siswa yang berasal Eropa, Tionghoa, dan Arab. Hal ini sekaligus mengubah nama sekolah ini di tahun 1913 menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen, atau sekolah pelatihan bagi dokter Hindia Belanda.

Sekolah dokter Hindia Belanda di Batavia kemudian semakin berkembang dengan membuka sekolah dokter yang kedua di Surabaya. Pada 1 Juli 1914 diresmikanlah sekolah dokter dengan nama Netherlandsch Indische Artsen School (NIAS) sesuai dengan Staatsblad, 1914, No. 291. Kurikulum NIAS disesuaikan dengan STOVIA dengan hanya menerima lulusan dari MULO dan masa studi sembilan tahun.

Pada tahun 1927 STOVIA mengalami perubahan yang cukup besar setelah didirikannya Geneeskundige Hoge School (GHS) atau Pendidikan Tinggi Kedokteran. Pendirian GHS ini membuat STOVIA tidak diaktifkan lagi dan pendidikan dokter Hindia Belanda digantikan dengan GHS. GHS sendiri merupakan perguruan tinggi yang tingkatan kualitasnya lebih baik daripada STOVIA. Bahkan lulusan dari GHS memiliki kesetaraan dengan sekolah-sekolah kedokteraan yang berafiliasi langsung dengan universitas-universitas di Eropa.

Bekas Gedung STOVIA

Museum kebangkitan Nasional yang menempati bekas gedung STOVIA di Senen, Jakarta Pusat (15/12/2018). KOMPAS/LASTI KURNIA

Keberadaan GHS sendiri tidak dapat dilepaskan dari jasa Abdul Rivai yang juga merupakan alumni pertama Sekolah Dokter Jawa. Dalam buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia yang ditulis oleh Hans Pols, ketika Rivai lulus di akhir abad ke-19, dia yang datang ke Belanda merasa kecewa. Hal ini disebabkan karena kualifikasi medis Rivai dari Hindia Belanda hanya dianggap rendah dalam sistem kesehatan kolonial dengan gaji kurang dari setengah gaji koleganya dari kalangan Belanda.

Rivai diharuskan untuk mengenyam pendidikan perguruan tinggi terlebih dahulu sebelum benar-benar menyandang gelar dokter Eropa. Perjuangan Rivai ternyata tidak mengecewakan. Rivai memulai studi kedokterannya di Universitas Amsterdam Belanda dan lulus pada Juni 1908. Pada bulan berikutnya dia mendapat gelar doktor dalam bidang kedokteran dari Universitas Gent di Belgia.

Pengalaman Rivai di Eropa kemudian menggerakkannya untuk membuka perguruan tinggi kedokteran di Hindia Belanda. Impiannya ini kemudian mulai diperjuangkan lewat Volksraad di tahun 1918 dan beberapa kali dituliskannya di surat-surat kabar Hindia. Namun, mimpi ini baru benar-benar terwujud di tahun 1927 dengan didirikannya GHS.

Persyaratan masuk GHS pun kemudian ditingkatkan lebih tinggi daripada STOVIA. GHS hanya menerima calon siswa dari Algeemene Midelbaare School (AMS) dan Hoogere Burger School (HBS). AMS merupakan sekolah kelanjutan dari MULO bagi pribumi dengan masa studi tiga tahun. Sedangkan, HBS merupakan sekolah menengah bagi orang Eropa dan pribumi priyayi dengan masa studi lima tahun.

Kurikulum GHS mengambil kurikulum sekolah perguruan tinggi kedokteran di Belanda. Para mahasiswa yang mengenyam pendidikan di GHS harus menempuh masa studi selama tujuh tahun dengan pembagian satu tahun pengajaran propedeuis, dua tahun pengajaran kandidat, dua tahun pengajaran doktoral, dan dua tahun praktik. Mereka yang lulus dari GHS mendapatkan gelar Artsen dan diperbolehkan membuka praktik secara mandiri.

Sumber: Kanal Youtube Kompas TV, Dokter Stovia Lawan Wabah – SINGKAP, 7 Juni 2020

Pendudukan Jepang

Pada Maret 1942 kedatangan Jepang ke Hindia membuat pemerintahan kolonial Belanda harus angkat kaki dari bumi pertiwi. Banyak orang Belanda kembali ke negara asalnya maupun mengungsi ke negara-negara tetangga, namun juga ada dari mereka yang diinternir. Hal ini menyebabkan seluruh aktivitas pendidikan di GHS maupun rumah sakit-rumah sakit Belanda ditutup oleh Jepang.

Setelah enam bulan pendudukan Jepang, belum ada tanda-tanda pemerintah Jepang untuk melanjutkan pendidikan kedokteran. Samsi Jacobalis dalam bukunya yang berjudul Saham Dokter dan Mahasiswa Kedokteran dalam Kebangkitan Nasionalisme dan Pembebasan Bangsa dari Penjajahan menuliskan terdapat beberapa eks mahasiswa kedokteran zaman Hindia Belanda yang berinisiatif untuk membangun kembali pendidikan dokter.

Kustejo, Kaligis, dan Sujudi eks mahasiswa GHS bersama dengan Eri Sudewo dan Suyono Martoseweyo eks mahasiswa NIAS, serta didukung oleh para mantan dosen Indonesia berencana untuk menggabungkan dua lembaga pendidikan kedokteran masa Hindia Belanda menjadi satu. Mereka kemudian juga menyusun kurikulum pengajaran, daftar sususan staf pengajar, dan masa studi yang direncanakan lima tahun.

Konsep pendidikan kedokteran ini kemudian disampaikan oleh Mr. Suwandi Kepala Departemen Pendidikan zaman Jepang kepada Prof. Ogira Kepala Jawatan Kesehatan Pemerintahan Pendudukan Jepang. Konsep ini kemudian disetujui. Tidak berselang lama diangkatlah panitia pembentukan sekolah yang terdiri dari Prof. Dr. Achmad Mochtar, Prof. Dr. M. Syaaf, Prof. Dr. Asikin Wijayakusumah, Prof. Dr. Hidayat, Prof. Dr. Sumitro, dan Dr. Abdulrachman Saleh.

Maka pada 29 April 1943 diresmikanlah perguruan tinggi kedokteran yang bernama Djakarta Ika Daigaku. Para mahasiswanya adalah mereka yang berasal dari GHS maupun NIAS zaman Hindia Belanda dahulu. Dalam praktik pengajarannya ini pemerintah Jepang juga mengizinkan lembaga pendidikan tersebut menggunakan Bahasa Indonesia. Namun, pemerintah Jepang juga meminta kepada lulusan Djakarta Ika Daigaku untuk menjadi dokter militer yang ditugaskan di pertempuran Asia Raya.

Para Tenaga Medis Masa Revolusi

Para Dokter, Juru rawat-rawat dan Pegawai-pegawai Serentak Meninggalkan RSPT berhubung dengan pengambilan alih rumah sakit oleh Belanda (24/8/1948). IPPHOS

Revolusi Kemerdekaan Indonesia

Sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, sekelompok dokter nasional dan para mahasiswa sekolah kedokteran berusaha untuk merebut Djakarta Ika Daigaku dari tangan Jepang. Pada 19 Agustus 1945 usaha ini baru berhasil dan mengubah nama sekolah tersebut menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran. Hal ini juga sebagai langkah para nasionalis ketika itu untuk mencetak dokter-dokter bagi negara Indonesia yang baru lahir itu.

Namun, tidak berselang lama pada awal tahun 1946 kedatangan Nethelands Indies-Civil Administration (NICA) yang ingin menduduki Indonesia juga merebut Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta. Hal ini membuat proses pembelajaran para calon dokter terganggu sehingga mereka diungsikan ke tempat lain.

Dalam buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1 yang ditulis oleh J. Leimena dituturkan bahwa dr. Soetarman yang berjasa dalam mencari tempat mengungsi untuk mahasiswa calon dokter. Ia melakukan perjalanan dari Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya untuk mencari tempat-tempat yang aman untuk melanjutkan kembali Pendidikan Tinggi Kedokteran.

Pada akhirnya Klaten yang dipilih sebagai lokasi pengungsian sementara Perguruan Tinggi Kedokteran dari serbuan tentara Belanda. Gedung Rumah Sakit Tegalyoso disediakan untuk menampung perkuliahan. Bersamaan dengan itu beberapa staf pengajar juga ikut dipindahkan ke Klaten diantaranya dr. Sardjono, dr. Radiopetro, Soeardiman Ranoewidjojo, dan R. Gatot.

Tidak hanya di Klaten, pendidikan kedokteran juga terus dilanjutkan di berbagai lokasi. Di Jakarta, pendidikan kedokteran lokal dikelola oleh Sarwono Prawirohardjo. Selain itu juga ada Asikin yang mengadakan pelatihan klinis di Surakarta. Pada September 1946, pendidikan kedokteran juga didirikan di Malang di bawah Sjaaf, dengan peralatan medis yang didatangkan dari Surabaya. Para mahasiswa berganti-gantian untuk masuk ke kelas-kelas karena juga turut dalam perang gerilya.

Berpindahnya Perguruan Tinggi Kedokteran ke Klaten membuat bekas gedungnya yang di Jakarta dikuasi penuh oleh NICA. Orang-orang NICA kemudian memanfaatkannya dengan mendirikan Universitas Darurat Belanda dengan P.M. van Wulfften Palthe sebagai rektor.

Pada akhir tahun 1947, Universitas Darurat Belanda berganti nama menjadi Universitas Indonesia. Selain itu juga dibuka Fakultas Kedokteran di Surabaya dengan menempati bekas gedung NIAS. Hal ini terjadi seturut dengan dikeluarkannya peraturan baru yang dikenal Hoger Onderwijs-ordonnantie (peraturan perguruan tinggi) dan Universiteit Reglement (peraturan universitas) serta kekuatan Belanda yang semakin lemah di Indonesia.

Status kemerdekaan Indonesia yang semakin diakui oleh dunia internasional pada akhir tahun 1949 membuat sekolah-sekolah kedokteran kembali dikuasai kembali oleh Indonesia. Pada November 1949 Perguruan Tinggi Kedokteran yang beroperasi di Klaten semakin berkembang dan menjadi cikal bakal berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Februari 1950, Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta bergabung dengan Universitas Indonesia. Sedangkan, pada November 1954 Fakultas Kedokteran di Surabaya diresmikan menjadi Universitas Airlangga. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Jacobalis, Samsi. 2010. Saham Dokter dan Mahasiswa Kedokteran dalam Kebangkitan Nasionalisme dan Pembebasan Bangsa dan Penjajahan. Jakarta: Sagung Seto.
  • Leimena, J, dkk. (ed.). 1978. Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
  • Pols, Hans. 2019. Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • 2017. Dr. Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Van Bergen, Leo, dkk. (ed.). 2019. Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942. Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jurnal