Tokoh

Sukarni Kartodiwirjo

Nama Sukarni Kartodiwirjo lekat dengan Peristiwa Rengasdengklok yang terjadi pada 16 Agustus 1945. Pemuda yang menjadi tokoh sentral peristiwa itu berani “menculik” dan mendesak Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Fakta Singkat

Nama   
Sukarni Kartodiwirjo

Lahir   
Blitar, 14 Juli 1916

Almamater
HIS, Blitar
MULO, Bitar

Gelar Pahlawan Nasional
Keputusan Presiden Nomor 115/TK/Tahun 2014 tanggal 6 November 2014

Pria muda yang akrab dipanggil Bung Karni itu sejak kecil telah mendengar dari orang tuanya tentang semangat patriotik leluhurnya melawan penjajahan Belanda. Tidak heran bila Sukarni muda memiliki semangat kuat untuk melepaskan negeri ini dari cengkeraman penjajah Belanda atau Jepang.

Pada usia 14 tahun, Sukarni muda sudah membentuk kelompok diskusi anak muda, Persatuan Pemuda Kita, untuk membangkitkan semangat kebangsaan. Ia kerap dicurigai oleh pemerintah Belanda karena aktivitasnya itu. Sukarni pun terpaksa harus meninggalkan kotanya untuk menghindari polisi rahasia Belanda.

Pada masa penjajahan Jepang, semangat kebangsaannya terus tumbuh, terlebih ketika hijrah ke Jakarta. Ia bergabung dengan para pemuda di Asrama Menteng 31, tempat para pemuda yang kritis memikirkan nasib bangsa mereka.

Bersama Tan Malaka, ia mendirikan Partai Murba (Partai Musyawarah Rakyat Banyak) pada tahun 1948. Sukarni menjadi ketua partai tersebut sejak pertama kali berdiri hingga wafatnya di tahun 1971. Pada November 2014, Sukarni mendapat gelar pahlawan nasional atas jasa-jasanya dalam mempersiapkan dan mewujudkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Keluarga nasionalis

Sukarni lahir pada 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kartodiwirjo adalah seorang warok yang juga penjagal dan pedagang daging sapi. Ibunya bernama Supiah, asal Kediri. Adapun kakek buyutnya adalah seorang pengabdi setia Pangeran Diponegoro yang ikut serta dalam perjuangan melawan Belanda. Ia merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara.

Ayahnya memasukkan Sukarni ke sekolah Mardisiswo di Blitar, sekolah rakyat seperti Taman Siswa Ki Hajar Dewantara. Di sekolah ini, Sukarni digembleng oleh seorang guru bernama Mohammad Anwar yang sangat kental nasionalismenya. Sukarni memperoleh tempaan semangat nasionalisme. Arah pendidikan sekolah ini ialah antipenjajahan Belanda. Kemudian, ia melanjutkan ke HIS (sekolah dasar) di Blitar.

Selain pendidikan formal, Kartodiwirjo mengajari anaknya disiplin dan kerja keras. Karni kecil sudah terbiasa diperkenalkan dengan pekerjaan petani, membajak sawah, menggembala, dan menyabit rumput.

Setelah lulus dari HIS, dia melanjutkan pendidikan ke MULO di Blitar. Pada saat yang sama, Sukarni juga rajin membagi ilmu dengan mengajari anak-anak di lingkungannya belajar membaca dan bahasa Belanda.

Selepas MULO, Sukarni melanjutkan sekolah di Kweekschool (Sekolah Guru) dan Volks Universiteit (Universitas Rakyat).

Karier politik

Perkenalan Sukarni dengan gerakan perjuangan kemerdekaan dimulai tahun 1930. Saat itu, ia bergabung dengan Indonesia Muda yang merupakan organisasi kepemudaan Partindo (Partai Indonesia). Kemudian, ia ditugaskan ke Bandung untuk mengikuti kursus pengaderan. Salah satu pengadernya adalah Soekarno yang baru dibebaskan dari penjara oleh pemerintah kolonial Belanda.

Setelah mengikuti kegiatan pengaderan Partindo, Sukarni kembali ke Blitar untuk mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita. Ia menjadikan rumahnya, yang dikenal kemudian sebagai Rumah Garum, sebagai sekretariatnya. Ia menyatukan organisasi yang dibentuknya sebagai bagian dari Indonesia sehingga Persatuan Pemuda Kita menjadi Indonesia Muda cabang Blitar.

Kemudian ia menjadi Ketua Umum Pengurus besar Indonesia Muda pada tahun 1935. Pada tahun-tahun berikutnya, Sukarni juga aktif dalam organisasi lain, yaitu Suluh Pemuda Indonesia (SPI) dan Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (Perpri).

Tahun 1936 penguasa kolonial Belanda menggerebek dan menangkap para aktivis kelompok Indonesia Muda, namun Sukarni berhasil melarikan diri dan menjadi buronan politik. Dengan menggunakan nama samaran Maidi, ia menjadi buronan politik hingga beberapa tahun.

Tahun 1940, Sukarni ditangkap saat berada di Balikpapan, Kalimantan Timur, kemudian dipenjara di Samarinda, Surabaya, dan Jakarta. Di pengadilan, Sukarni divonis hukuman pembuangan ke Boven Digul dan untuk sementara ia ditahan di penjara Garut. Namun, amar putusan pembuangan ke Boven Digul tidak dapat dilaksanakan karena pemerintah Hindia Belanda dikalahkan oleh pasukan Jepang pada Maret 1942.

Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan dari Belanda tahun 1942, pemerintah Jepang membebaskan semua tahanan politik termasuk Sukarni bersama beberapa tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya seperti Wikana, Asmara Hadi, dan Trimurti.

Sukarni kemudiaan direkrut Jepang sebagai pegawai Sendenbu (Departemen Propaganda) dengan pangkat Yong-te Gyoseikan (pegawai tinggi tingkat empat). Bersama para tokoh muda yang direkrut Jepang, Sukarni kemudian membentuk Angkatan Baru Indonesia dengan sekretariat di Jalan Menteng 31. Tokoh muda yang bergabung ke dalam Angkatan Baru Indonesia selain Sukarni, yakni Supeno dan Chaerul Saleh. Sukarni diangkat sebagai Ketua Asrama Menteng 31.

Para pemuda aktivis Menteng 31 seringkali mengadakan kegiatan yang mengundang para tokoh pemuda dengan menghadirkan penceramah dari para tokoh perjuangan kemerdekaan. Di antaranya adalah Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sultan Sjahrir.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Gedung Joang 45 di Jalan Menteng Raya, Jakarta, Jumat (11/8). Dulunya adalah Asrama Menteng 31 yang menjadi tempat berkumpulnya para pemuda untuk merencanakan sejumlah kegiatan politik. Sukarni pernah menjadi Ketua Asrama Menteng 31 di masa penjajahan Jepang. Tempat ini juga menjadi salah satu markas pertemuan pemuda menjelang peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945.

Pada masa Jepang ini, Sukarni juga bertemu Tan Malaka. Sosok Tan Malaka ini yang membuatnya semakin radikal terhadap perjuangan bangsa. Pertemuan ini juga menjadi cikal bakal berdirinya Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).

Bersama Tan Malaka, ia mendirikan Partai Murba tahun 1948. Sukarni menjabat Ketua Umum Partai Murba sejak partai itu berdiri hingga wafat pada 1971. Dalam Pemilu 1955, Sukarni terpilih sebagai anggota konstituante dan partainya meraih dua kursi di DPR.

Pada era Orde Lama, Sukarni pernah ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Mongolia pada 1961. Tugas utamanya mendapatkan dukungan politik dan bantuan militer dari pemerintah RRT terhadap program pemerintah Indonesia, yaitu merebut Irian Barat dari pemerintah Belanda. Sukarni mengakhiri tugasnya sebagai Duta Besar pada bulan Maret 1964.

Ia pernah dipenjara dan partainya dibubarkan oleh Presiden Soekarno di awal tahun 1965 karena menentang kebijakan Presiden. Ia dibebaskan dari penjara oleh Jenderal Soeharto pada bulan Oktober 1966.

Pada masa Orde Baru, ia pernah ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1967. Tokoh yang pernah mendapat penghargaan Bintang Mahaputra ini wafat pada tanggal 7 Mei 1971 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

November 2014, Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional untuk Sukarni Kartodiwirjo dan tiga tokoh lainnya. Pemberian penghargaan ini didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 115/TK/Tahun 2014 tanggal 6 November 2014. Gelar kepahlawan Sukarni diberikan atas perannya dalam penyegeraan proklamasi, perumusan naskah proklamasi, dan keberhasilannya menghimpun pemuda untuk mendukung proklamasi.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Rumah milik Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, yang menjadi tempat singgah Soekarno dan Hatta, 16 Agustus 1945, saat Soekarno didesak para pemuda agar segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Rumah ini kini ditempati ahli waris keluarga Djiauw.

Buku yang mengulas tentang kiprah Sukarni Kartodiwirjo yang dikenal sebagai salah satu  pemuda yang menjadi  tokoh utama pada peristiwa Rengasdengklok, 16 Agustus 1945. Buku itu ditulis oleh anak bungsu Sukarni.

Persiapan kemerdekaan

Pada 3 Juni 1945, kelompok muda nasionalis berkumpul untuk membicarakan nasib negeri. Rapat dihadiri oleh 33 orang dari berbagai kelompok pemuda. Pertemuan itu memutuskan untuk membentuk panitia yang menyusun anggaran dasar dan rencana perjuangan pergerakan. Kemudian dibentuklah panitia yang anggotanya tujuh orang yang diketuai oleh BM Diah dengan anggota Sukarni,  Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Chairul Saleh, Supeno, dan Asmara Hadi.

Pada 15 Juni 1945, Gerakan Angkatan Baru Indonesia resmi berdiri yang dimotori para pemuda. Anggaran dasar gerakan itu, antara lain “mempersiapkan dan menyediakan tenaga Angkatan Baru Indonesia untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat”.

Ketika tersiar berita Jepang menyerah pada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, para pemuda melihat hal itu sebagai momentum paling tepat untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Sementara di sisi lain, Soekarno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menolak untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Seharusnya panitia PPKI yang mengumumkan kemerdekaan, bukan pribadi Soekarno.

Hal itu menimbulkan ketegangan yang kemudian dikenal sebagai pertentangan pendapat antara golongan tua yang diwakili PPKI dengan golongan muda yang diwakili kelompok pemuda dari Menteng 31.

Pada 15 Agustus sore hari, para pemuda mengadakan rapat yang dipimpin Chaerul Saleh di Pegangsaan Timur. Mereka mempertegas tuntutan-tuntutan radikal golongan muda: agar proklamasi segera dilaksanakan dan dilepaskan sama sekali urusannya dengan Jepang.

Malam harinya, para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta agar segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Para pemuda tersebut awalnya mendekati Hatta dan meyakinkan Hatta agar kemerdekaan tidak diumumkan oleh panitia PPKI yang notabene bentukan Jepang. Mereka juga meminta Hatta agar mendesak Soekarno mengumumkan kemerdekaan. Namun, Hatta menolak untuk melakukan hal itu.

Gagal membujuk Hatta, akhirnya para pemuda itu langsung mendatangi Soekarno di Pegangsaan Timur, pada Rabu malam 15 Agustus. Mereka mendesak Soekarno sendiri yang harus memproklamasikan kemerdekaan, hingga terjadi perdebatan antara pemuda dan Soekarno. Menurut Soekarno, keinginan para pemuda tersebut dikuasai emosi dan kurang rasional.

Kemudian tampillah Sukarni yang menyatakan agar para pejuang merebut situasi di tangan sendiri karena Jepang sudah kalah dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Sementara Wikana dengan emosional mengkhawatirkan akan terjadi aksi balas dendam masyarakat pada kelompok atau orang yang dianggap mendukung penjajah.

Sebaliknya Soekarno mengatakan, “Inilah leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepaskan tanggung jawab saya sebagai Ketua PPKI. Karena itu, saya akan tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok.”

Merasa menemui jalan buntu, para pemuda berkumpul kembali di Jalan Cikini 71 pada Kamis 16 Agustus dini hari dengan keputusan “menculik” Soekarno dan Hatta dari rumahnya. Aksi itu bertujuan untuk menyelamatkan dua tokoh nasional itu dari tangan Jepang dan mendesak pelaksanakan proklamasi hari itu juga. Pelaksanaannya diserahkan kepada dr Soetjipto dari Peta Jaga Monyet dan Sukarni. Soekarno-Hatta akan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang.

Perisitiwa itu terjadi pada dini hari 16 Agustus. Di bawah pengawalan sodancho Singgih, dengan kendaraan lapis baja, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok. Fatmawati dan Guntur, istri dan anak Soekarno ikut serta. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagi “penculikan” Bung Karno dan Bung Hatta, yang cukup “membuat bingung” bagi sejumlah orang Jepang seperti Laksamana Maeda.

Pada 16 Agustus sore hari, Ahmad Subardjo datang ke Rengasdengklok untuk bertemu dengan Soekarno dan Hatta. Kedatangannya diutus oleh Wikana untuk mengabarkan tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu dan membawa kembali Soekarno-Hatta ke Jakarta.

Soekarno dan Hatta tiba di rumah Maeda pukul 23.00. Kedua pemimpin itu ditemani Soebardjo dan beberapa pemuda, termasuk Sukarni. Mereka menyiapkan teks proklamasi disaksikan oleh Sukarni dan panitia PPKI.

Dalam perdebatan penyusunan naskah proklamasi, Sukarni mengatakan “Tekad kita memproklamirkan kemerdekaan tidak tergantung pada persetujuan Jepang, tetapi atas kehendak kita sendiri, kehendak rakyat, tanpa memedulikan rintangan apapun. Saya tidak percaya Jepang mau memindahkan kekuasaan pada kita dengan sukarela. Kita harus merebutnya dari tangan mereka.”

Kemudian di sela-sela perumusan teks proklamasi, Sukarni keluar dan mendatangi berbagai pos pemuda. Kepada mereka, Sukarni menjelaskan bahwa Proklamasi akan diadakan esok hari dan para pemuda tak usah melakukan pemberontakan.

Setelah rumusan teks proklamasi selesai dibuat, Soekarno didukung Hatta mengusulkan agar semua pihak yang hadir menandatanganinya. Hal itu mengacu pada penandatanganan deklarasi kemerdekaan AS, agar semua tokoh ikut membubuhkan tanda tangan. Namun, Sukarni mengusulkan dua nama saja, yakni Soekarno dan Hatta, yang sudah dikenal sebagai pemimpin bangsa.

Pada keesokan harinya, tengah bulan Ramadhan, tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00, di halaman rumah Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur 56 dan dengan dihadiri beberapa tokoh tua maupun muda, Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia.

IPPHOS/FRANS MENDUR

Upacara penaikan bendera sang merah putih di halaman gedung pegangsaan timur 56 (Gedung Proklamasi). Tampak antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Let,Kol. Latief Hendraningrat (menaikkan bendera) Ny. Fatmawati Sukarno dan Ny.S.K Trimurti.

Referensi

Arsip Kompas

Kompas, 16 Agustus 1995,  “Djakarta, Hari 17 Boelan 8 Tahoen ’05”, link kompasdata.id/Search/NewsDetail/18278292

Kompas, 15 Agustus 1995, “Chaerul Saleh: ‘…Angkat Saja’, link kompasdata.id/Search/NewsDetail/18279737

Kompas, 16 Agustus 1969, “Saat2 Penentuan Rumusan Proklamasi : Kisah Satu Malam Jang Menentukan Masa Depan”, link kompasdata.id/Search/NewsDetail/19809787

Kompas, 16 Agustus 2015, “Jejak Proklamasi: Bertandang ke Rumah Sejarah yang Sepi”, link kompasdata.id/Search/NewsDetail/15687941

Buku
  • Sukarni dan Actie Rengasdengklok, 2013, Emalia Iragiliati Sukarni, Ombak
  • Sukarni Dalam Kenangan Teman-temannya, 1986, Ed. Sumono Mustofa, Sinar Harapan
  • Sukarni Kartodiwirjo, Pahlawan Nasional 2014, Emalia Iragiliati Sukarni, Penerbit Buku Kompas

Biodata

Nama

Sukarni Kartodiwirjo

Lahir

Blitar, 14 Juli 1916

Jabatan

Pahlawan Revolusi

Pendidikan

Umum

HIS, BLITAR
MULO, BLITAR

Karier

  • Ketua Partai Murba 1948–1960
  • Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok pada 1961.
  • Anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1967.

Kiprah Organisasi

  • Silat Setia Hati (Blitar),
  • Persatuan Pemuda Kita (Blitar) tahun 1930
  • Ketua Indonesia Muda (Blitar) 1935
  • Pemimpin Asrama Pemuda Menteng 31 (Jakarta),
  • Gerakan Angkatan Baru Indonesia (Jakarta)
  • Ketua Partai Murba 1948–1971

Penghargaan

    Bintang Mahaputra
    Gelar Pahlawan Nasional 2014

Keluarga

Istri

Nursyiar Mahmud

Anak

  1. Luhantara Sukarni,
  2. Kumala Kanta Sukarni,
  3. Endarwati Sukarni,
  4. Gus Murbantoro Sukarni,
  5. Emalia Iragiliati Sukarni.

Sumber
Litbang Kompas