Daerah

Provinsi Kalimantan Selatan

Posisi relatif geografisnya yang terletak di tengah Kepulauan Nusantara, membuat Provinsi Kalimatan Selatan mempunyai akses perdagangan barang dan jasa yang strategis. Jangkauan jalur perdagangannya mulai dari Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, hingga beberapa negara di Asia Pasifik. Selain itu, wilayah ini juga kaya akan sumber daya alam, khususnya hasil tambang.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Pasar Terapung Lok Baintan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (24/8/2019).

Fakta Singkat

Ibu Kota
Kota Banjarmasin

Hari Jadi
14 Agustus 1950 (Surat Keputusan DPRD No. 2/1989)

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 25/1956

Luas Wilayah
38.744,23 km2

Jumlah Penduduk
4.244.096 (2019)

Pasangan Kepala Daerah
Gubernur Sahbirin Noor

Wakil Gubernur Rudy Resnawan

Kalimantan Selatan atau disingkat Kalsel merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Kalimantan. Provinsi ini berdiri pada tanggal 7 Desember 1956 berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Ibu kotanya berada di Kota Banjarmasin

Sebelum menjadi daerah otonom, Kalimantan Selatan tergabung dengan Provinsi Kalimantan berdasarkan Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi.

Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan ditetapkan pada tanggal 14 Agustus 1950 berdasarkan Surat Keputusan DPRD Nomor 2 Tahun 1989 tanggal 31 Mei 1989. Tahun ini, provinsi ini memperingati hari jadinya yang ke-70.

Provinsi ini memiliki semboyan “Wadja Sampai Kaputing” yang berarti tetap bersemangat dan kuat seperti baja dari awal sampai akhir.

Dibandingkan dengan provinsi lain di Kalimantan, luas wilayah Kalimantan Selatan termasuk yang paling kecil, hanya 38.744,23 kilometer persegi.

Secara administratif, provinsi ini terdiri dari 11 kabupaten, 2 kota, 153 kecamatan, 144 kelurahan, 1.864 desa, dan dihuni oleh 4,24 juta jiwa pada tahun 2019.

Sejarah Pembentukan

Jejak Kalimantan Selatan terbentang sejak masa prasejarah. Dalam buku Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, disebutkan adanya penemuan alat-alat batu di dasar sungai Riam Kanan, Awam Bangkal. Penemuan lain adalah batu petir, yaitu alat dari batu yang digunakan untuk keperluan magis dan artefak lainnya yang berasal dari zaman Neolitikum.

Selain itu, ditemukan pula kuburan manusia prasejarah di Gua Tengkorak, Kabupaten Tabalong dan Liang Bangkai 10, Kabupaten Tanah Bumbu. Kuburan tersebut membuktikan adanya kehidupan berkelompok pada masa itu.

Arkeolog memperkirakan jenis manusia prasejarah yang menempati Kalimantan Selatan adalah Pithecantropus dengan dua ras dominan, yakni Mongoloid dan Austromelanosoid.

Sejarah pemerintahan di Kalimantan Selatan diperkirakan dimulai ketika berdiri Kerajaan Tanjung Puri sekitar abad V–VI Masehi. Kerajaan ini letaknya cukup strategis, yaitu di kaki Pegunungan Meratus dan di tepi sungai besar. Kerajaan Tanjung Puri juga bisa disebut Kerajaan Kahuripan, yang cukup dikenal sebagai wadah pertama hibridasi, yaitu percampuran antarsuku.

Setelah Kerajaan Tanjung Puri, berdiri kerajaan bercorak Hindu pertama di Kalimantan Selatan bernama Negara Dipa. Kerajaan ini terletak di daerah pedalaman Kalimantan Selatan yang disebut Hujung Tanah.

Negara Dipa yang didirikan oleh seorang saudagar dari negeri Keling bernama Ampu Jatmika beserta kedua anaknya, Lambu Mangkurat dan Mpu Mandastana ini berdiri sejak tahun 1502 dan runtuh pada tahun 1860.

Pada masa Negara Dipa di bawah kekuasaan Raden Sari Kaburungan, pusat pemerintahan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) ke Muara Ulak dengan alasan untuk menghindari bencana sebab ibu kota yang lama dianggap sudah kehilangan tuahnya.

Selain pemindahan pusat pemerintahan, nama Kerajaan Negara Dipa juga diubah menjadi Negara Daha. Hal ini menandai diawalinya era baru dari kerajaan yang kelak akan menjadi Kesultanan Banjarmasin.

Di bawah kekuasaan Raden Sari Kaburungan, didirikan pelabuhan di daerah Kuta Arya Terengana, yang berada di pertemuan Sungai Barito dan Sungai Negara.

Setelah Raden Sari Kabarungan wafat, penguasa Kerajaaan Negara Daha terus berganti, hingga saat Maharaja Sukarama memerintah. Ketika berkuasa, Maharaja Sukarama mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya, Pangeran Samudra.

Namun ketiga anaknya, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung, dan Pangeran Bagalung tidak setuju dengan wasiat tersebut. Maka setelah Maharaja Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung mengambil alih gelar raja Negara Daha secara paksa dari Raden Samudra.

Raden Samudra yang kalah kemudian melarikan diri ke daerah di hilir Sungai Barito. Ia kemudian meminta perlindungan kepada orang Dayak Ngaju yang mendiami daerah yang disebut Banjar Oloh Masih dengan pemimpinnya Patih Masih. Pangeran Samudra kemudian diakui sebagai pemimpin yang sah dari Kerajaan Daha.

Pada tahun 1526, terjadi pertempuran antara Kerajaan Negara Daha yang dipimpin oleh Pangeran Tumenggung dengan Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Samudra.

Peperangan itu akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Samudra yang sebelumnya telah berganti gelar menjadi Sultan Suryanullah dan mengubah nama kerajaannya menjadi Kesultanan Banjarmasin. Dengan kemenangan ini, Kesultanan Banjarmasin adalah penguasa baru di tanah Kalimantan Selatan.

Kerajaan Banjarmasin berkembang menjadi kerajaan maritim utama sampai akhir abad ke-18. Sejarah berubah ketika Belanda menghancurkan Kerajaan Banjar pada tahun 1612. Panembahan Marhum, raja Banjarmasin saat itu kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Kayu Tangi, yang sekarang dikenal dengan Kota Martapura.

Pada tahun 1734, Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) Belanda membuat perjanjian monopoli lada dengan Sultan Banjar dan mendirikan benteng di Banjarmasin. Tak hanya mengambil alih lada, Belanda juga mengambil alih jalur perdagangan laut dan memonopoli pemerintahan Kerajaan Banjar.

Pada masa penjajahan, Belanda mendirikan afdeeling (wilayah administratif setingkat kabupaten) tanpa izin Kerajaan Banjar. Afdeeling terbagi atas lima distrik yakni Distrik Martapura, Distrik Riam-Kiwa, Distrik Riam-Kanan, Distrik Benua Ampat, dan Distrik Margasari.

Penjajahan Belanda membangkitkan amarah Kerajaan Banjar hingga berujung Perang Banjar pada tahun 1859–1905. Pada peperangan tersebut, Belanda membangun Benteng Tabanio yang secara administratif berada di Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Bagian dalam Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Masjid tertua di Kalimantan Selatan yang dibangun pada tahun 1526 itu juga menjadi obyek wisata sejarah dan religi di Banjarmasin.

Setelah Belanda menyerah atas Jepang, Kalimantan Selatan mulai dikuasai oleh Jepang pada tahun 1942. Kala itu tentara Jepang masuk ke Kalimantan Selatan melalui desa Bongkang.

Pada 11 Februari 1942, tentara Jepang mengeluarkan maklumat bahwa Kota Banjarmasin dan sekitarnya diserahkan kepada Pimpinan Pemerintahan Civil (PPC). PPC adalah pimpinan sementara pemerintahan di Kalimantan Selatan dan sekitarnya bentukan Jepang kala pemerintah Hindia-Belanda berhenti beraktivitas.

Selama menguasai Kalimantan Selatan, Pemerintahan Jepang menggerakkan rakyat untuk membantu memenangkan Dai Toa Senso (Perang Asia Timur Raya). Jepang akan menghukum mati siapapun yang bertentangan dengan Dai Toa Senso.

Pengabdian kepada negara diindoktrinasi melalui semangat dan Kiurohasi yang melibatkan ribuan orang kerja paksa dari orang tua sampai pelajar. Rakyat wajib menyerahkan hasil bahan pangan mereka. Kalau tidak, maka Kumiai (kooperasi Jepang) akan melakukan penyitaan.

Dalam rangka politik Japanisme ini, penguasa Jepang akan menghukum orang-orang yang dicurigai menentang Jepang. Kemurkaan rakyat terhadap Jepang menggerakkan rakyat untuk membuat Organisasi Gerakan Bawah Tanah yang bertujuan melawan Jepang.

Sekitar 200 orang yang dicurigai sebagai anggota Organisasi Gerakan Bawah Tanah dihukum mati. Kebanyakan merupakan orang Indonesia, Belanda, dan Cina.  Di antara mereka, yang dibunuh adalah BJ Haga, bekas Gubernur Belanda di Kalimantan Selatan dan Husman Babu, pelopor suku Dayak yang mendirikan Pakat Dayak.

Pada awal kemerdekaan tahun 1945, Belanda kembali berusaha untuk menguasai Kalimantan Selatan. Belanda membentuk daerah-daerah otonom dengan dewan-dewan yang dikuasai Belanda.

Namun, usaha tersebut tidak berjalan mulus karena kuatnya gerakan perlawanan yang dimotori oleh tokoh-tokoh Serikat Kerakjatan Indonesia (SKI), Serikat Muslimin Indonesia (SERMI), dan para pejuang bersenjata yang tergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV Pertahanan Kalimantan.

Proklamasi 17 Mei 1949 menjadi momen bersejarah ketika rakyat Kalimantan Selatan berhasil mengusir Belanda dan menyatakan “kemerdekaannya” karena telah bergabung sepenuhnya dengan Indonesia.

Pada tanggal 14 Agustus 1950, Provinsi Kalimantan dibentuk berdasarkan  Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan. Pada saat itu, Kalimantan Selatan masih menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan.

Provinsi Kalimantan selanjutnya dipecah menjadi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1956.

DPRD Kalimantan Selatan melalui Surat Keputusan No. 2 Tahun 1989 tanggal 31 Mei 1989 menetapkan 14 Agustus 1950 sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan.

Geografis

Provinsi Kalimantan Selatan terletak antara 1°21′ 49″ – 4°10’14″ Lintang Selatan dan 114°19′ 13″ hingga 116° 33′ 28″ Bujur Timur.

Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur di sebelah utara, Laut Jawa di sebelah selatan, Selat Makasar di sebelah timur, dan Provinsi Kalimantan Tengah di sebelah barat.

Wilayah Kalsel seluas 38.744,23 ribu kilometer persegi atau setara 1,96 persen dari luas Indonesia. Luas daerah ini hanya 6,98 persen dari luas Pulau Kalimantan secara keseluruhan.

Kabupaten Kotabaru merupakan daerah terluas di Kalimantan Selatan. Luas kabupaten ini mencapai  9.483 kilometer persegi atau 24,4 persen dari total luas Kalsel. Sedangkan, daerah terkecil adalah Kota Banjamasin. Luasnya hanya 72,67 kilometer persegi atau 0,19 persen dari luas Kalsel secara keseluruhan

Secara fisik, provinsi ini terdiri atas kawasan dataran rendah di bagian barat dan pantai timur, serta dataran tinggi yang dibentuk oleh Pegunungan Meratus di bagian tengah. Kawasan dataran rendah kebanyakan berupa lahan gambut hingga rawa-rawa sehingga kaya akan sumber keanekaragaman hayati satwa air tawar. Sedangkan kawasan dataran tinggi sebagian masih merupakan hutan tropis alami dan dilindungi oleh pemerintah.

Wilayah Kalimantan Selatan dan wilayah lain di Kalimantan relatif lebih aman gempa jika dibandingkan dengan pulau lain. Hal tersebut dikarenakan Kalimantan Selatan memiliki jumlah struktur sesar atau patahan aktif jauh lebih sedikit daripada pulau-pulau lain di Indonesia.

Bentang fisik tersebut dialiri sejumlah sungai. Sungai terbesar dan terpanjang di Kalsel adalah Sungai Barito dengan panjang 654 kilometer serta memiliki 23 cabang dan anak sungai.

Sungai lainnya yang melintas di provinsi ini adalah Sungai Riam Kanan, Sungai Riam Kiwa, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, Sungai Tapin, Sungai Kintap, Sungai Batulicin, dan Sungai Sampanahan. Umumnya sungai-sungai tersebut berpangkal pada Pegunungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa dan Selat Makasar.

Bagi masyarakat Kalsel, sungai memiliki peranan yang penting. Selain dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, sungai juga berperan penting sebagai sarana perdagangan.

Menurut data BPS tentang jumlah pulau, Kalimantan Selatan juga memiliki 172 pulau baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Seorang pengunjung melihat pemandangan dalam goa macan, salah satu dari tiga bagian Goa Baramban di Desa Baramban, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Minggu (16/10/2016). Goa Baramban merupakan goa karst terpanjang dan terbesar di Kalimantan Selatan yang terbagi menjadi tiga pecahan, yaitu goa kelelawar, goa macan, dan goa air. Goa karst nan eksotis ini masih sangat alami.

Pemerintahan

Setelah resmi menjadi daerah otonom pada tahun 1956, Provinsi Kalimantan Selatan telah dipimpin oleh 11 Gubernur dan 3 Penjabat Gubernur. Gubernur pertama Provinsi Kalimantan Selatan adalah M Syarkawi (1957–1959). Dilanjutkan oleh Maksid (1960–1963), H Abu Yajid Bastomi sebagai penjabat Gubernur (1963), dan H Aberani Sulaiman (1963–1969). Kemudian, Gubernur M Yamani (1969–1977), Subardjo Sosroroyo (1977–1980), Mistar Cokrokusumo (1980–1985), HM Said (1984–1995), dan Gusti H Hasan Aman (1995–2000).

Era otonomi daerah diawali oleh Gubernur Sjachriel Darham (2000 – Maret 2005) dan dilanjutkan oleh Tursandi Alwi sebagai Penjabat Gubernur (Maret 2005 – 9 Agustus 2005). Rudy Ariffin kemudian menjabat gubernur selama dua periode (2005–2015), dan dilanjutkan oleh Penjabat Gubernur Tarmizi Abdul Karim (2015–2016). Saat ini, Kalimantan Selatan dipimpin oleh Gubernur Sahbirin Noor dan Wakil Gubernur Rudy Resnawan (2016–2021).

Secara administrasi, Provinsi Kalimantan Selatan terdiri atas 11 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru, Banjar, Barito Kuala, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Tanah Bumbu, dan Balangan serta Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru.

Perolehan kursi di DPRD Provinsi Kalimantan Selatan masih didominasi oleh Golkar (12 kursi), diikuti oleh Partai PDI-P (8 kursi), dan Gerindra (8 kursi). Kemudian PKS (5 kursi), PKB (5 kursi), PAN (4 kursi), PPP (3 kursi), Demokrat (3 kursi), dan Nasdem (2 kursi).

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Sejumlah awak media mengambil gambar hasil perolehan suara ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Selatan yang ditampilkan di layar pada Rapat Pleno Terbuka rekapitulasi penghitungan perolehan suara pemilihan gubernur dan wakil gubernur Kalsel di Hotel Aria Barito, Banjarmasin, Sabtu (19/12/2015). Berdasarkan hasil rekapitulasi, pasangan Sahbirin Noor-Rudy Resnawan meraih 739.588 suara (41,09 persen), Muhidin-Gusti Farid Hasan Aman meraih 725.585 suara (40,31 persen), dan Zairullah Azhar-Muhammad Sapi’i meraih 334.712 suara (18,60 persen).

Politik

Peta afiliasi politik masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan pada Pemilu pertama 1955 hingga era Reformasi berlangsung dinamis. Usai Pemilu 1955, kejayaan Golkar tak tergoyahkan sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 2019.

Pada Pemilu 1955, panggung politik Kalimantan Selatan masih dikuasai oleh partai-partai bernafas Islam. Ketika itu, dari 12 partai politik yang bertarung, partai NU (Nahdlatul Ulama) memenangkan Pemilu dengan perolehan suara 380.874 (49,5 persen) dari 901.699 pemilih yang terdaftar di Kalimantan Selatan. Sementara Masyumi (Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia) meraup 252.296 (33 persen) suara.

Di peringkat ketiga ada Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan perolehan 46.440 (6,04 persen) suara. Di posisi berikutnya bertengger partai-partai seperti IPKI, PKI, dan PPTI dengan perolehan suara 2 persen. Sementara Parkindo beserta partai-partai lainnya hanya memperoleh suara di bawah satu persen.

Kondisi tersebut berbalik pada Pemilu 1971. Kejayaan partai-partai Islam di Kalimantan Selatan perlahan-lahan tergerus seiring dengan semakin kuatnya posisi Golkar dalam perolehan suara.

Pada Pemilu 1971, Golkar berhasil meraup 64,8 persen suara dari 796.630 pemilih. Disusul oleh partai PNU (Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia) dengan perolehan 26,5 persen dan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) dengan perolehan 7 persen suara. Sementara itu, partai-partai yang bercorak nasionalis dan Kristen pada Pemilu 1971 ini secara total hanya bisa meraih 1,2 persen.

Pada pemilu kedua zaman Orde Baru tahun 1977, Golkar kembali mendulang kemenangan. Hanya saja perolehan suara Golkar turun dibandingkan Pemilu 1971. Golkar pada Pemilu 1977  hanya meraih 49,6 persen suara. Sedangkan perolehan suara PPP justru meningkat tajam. PPP berhasil mengantongi 49,4 persen suara.

Merosotnya suara pemilih Golkar ini boleh jadi mencerminkan fenomena berbaliknya pemilih Islam yang selama ini ada di Golkar ke PPP untuk menyokong satu-satunya partai politik yang sesuai dengan iman mereka. Sementara itu, peningkatan suara PPP memperlihatkan konsistensi dan kesetiaan masyarakat di provinsi ini untuk memilih partai dengan corak Islam.

Pemilu selanjutnya tahun 1982, eksistensi Golkar kembali menguat. Partai berlambang pohon beringin ini berhasil meraih 59,3 persen suara. Sedangkan perolehan suara PPP turun menjadi 39,6 persen. Adapun PDI memperoleh 1 persen suara.

Pada Pemilu 1987, kekuatan politik partai Golkar semakin tak terkalahkan. Dalam pemilu ini, perolehan suara Golkar menjadi 72 persen dari 1.191.147 pemilih. Perolehan suara Golkar tersebut meningkat 13 persen dibanding Pemilu 1982.

Di sisi lain, perolehan suara PPP justru merosot menjadi 25 persen, menurun 15 persen jika dibandingkan dengan Pemilu 1982. Adapun perolehan suara PDI meningkat menjadi 3 persen.

Kekalahan PPP pada Pemilu 1987 ini tampaknya sebagai imbas dari keputusan NU untuk kembali ke Khitah 1926. Keluarnya NU dari PPP tampaknya berpengaruh besar terhadap kekuatan PPP di Kalimantan Selatan mengingat NU selama ini menjadi kontributor terbesar bagi kemenangan PPP.

Pada Pemilu 1992, Golkar masih meraih kemenangan dengan perolehan 69,7 persen suara. Sedangkan perolehan suara PPP kian turun dan hanya meraup 21 persen suara. PDI pada pemilu kali ini justru berhasil meningkatkan perolehan suaranya hingga 9 persen suara, meningkat 6 persen dari Pemilu 1987.

Dari total kuota 10 kursi, Golkar mendapatkan 7 kursi, PPP mendapatkan 2 kursi, dan PDI mendapat 1 kursi di DPR.

Pada Pemilu 1997, Golkar masih mendominasi perolehan suara 72 persen dari jumlah pemilih sebanyak 1.616.275 orang. PPP hanya mampu meraih 25,1 persen suara. Sedangkan PDI terpuruk dan hanya memperoleh tiga persen suara.

Dari kuota 10 kursi DPR, Golkar meraih 7 kursi dan PPP 3 kursi. Sedangkan PDI tidak mendapatkan kursi di DPR.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS 

Kirab perahu partai politik peserta pemilihan umum 2019 dengan menyusuri Sungai Martapura, di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (8/4/2018). Kirab perahu yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kalsel dan diikuti 15 parpol tersebut bertujuan untuk menyosialisasikan parpol peserta pemilu guna meningkatkan partisipasi pemilih.

Runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 ikut mengubah peta politik di Kalsel. Golkar yang tadinya mendominasi panggung politik Kalsel, kini ditinggalkan sebagian besar pemilihnya karena panggung politik yang kian beragam.

Dari hasil Pemilu 1999, Golkar tercatat hanya meraih 357.278 (24 persen) suara. PDI-P meraih 316.565 (21,3 persen); PPP mengumpulkan 251.182 (16,9 persen); PAN mendapat 137.110 (9,2) persen); dan PKB mengumpulkan 131.050 (8,8 persen) suara. Sisanya diperebutkan oleh partai-partai kecil lainnya.

Dari 11 kursi DPR RI, Golkar mendapat 3 kursi, PDI-P 2 kursi, PPP 2 kursi, sedangkan PKB, PBB, PNU, dan PAN masing-masing mendapat 1 kursi di DPR.

Pada Pemilu 2004, Golkar masih meraih 20 persen suara. Disusul oleh PPP dengan perolehan 16 persen suara, PKS 12 persen suara, dan partai lainnya dengan perolehan suara di bawah 10 persen.

Dari kuota 11 kursi DPR, Golkar dan PPP masing-masing mendapat 3 kursi. Sedangkan PKS, PBR, Dem, PAN, PKB, dan PDI-P masing-masing mendapatkan 1 kursi di DPR.

Pada Pemilu 2009, Golkar meraih 17 persen suara. Disusul Demokrat dengan perolehan 13 persen suara, PPP 12 persen suara, PKS 11 persen suara, dan partai lainnya dengan perolehan suara di bawah 10 persen. Dari kuota 6 kursi DPR, PKS, Demokrat, PPP, Golkar, PKB, dan PDI-P masing-masing mendapatkan 1 kursi di DPR.

Berlanjut ke Pemilu 2014, Golkar unggul dengan perolehan 486.314 suara (26,46 persen). Disusul oleh PKS 12.839 suara (12,1 persen) dan PPP 12.834 (12,1 persen), dan Gerindra 27.486 suara (11,5 persen). Sedangkan partai lainnya seperti Nasdem, PKB, PDI-P, Demokrat, PAN, Hanura, PBB, dan PKPI memperoleh suara di bawah 10 persen.

Pada Pemilu 2019, Golkar masih unggul dengan perolehan 343.144 suara (20,3 persen). PDI-P memperoleh 334.396 suara (19,8 persen), PKB mendapat 10,8 persen, dan PAN meraih 10,2 persen. Partai lainnya mendapatkan suara di bawah 10 persen.

Kependudukan

Populasi penduduk Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2019 tercatat sebanyak 4.244.096 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terbesar kedua di Pulau Kalimantan setelah Provinsi Kalimantan Barat yang berpenduduk 4.477.000 jiwa.

Masyarakat Kalimantan Selatan adalah masyarakat multietnis. Hal ini dikarenakan Kalimantan Selatan merupakan salah satu pusat perdagangan di Indonesia pada zaman kerajaan.

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 mayoritas etnis yang ada di Kalimantan Selatan adalah Suku Banjar dengan persentase 74,34 persen, diikuti dengan suku Jawa, Bugis, dan Dayak.

Sebagai daerah yang memiliki banyak etnis, masyarakat Kalimantan Selatan memiliki ragam ritual kebudayaan, ritual keagamaan, tradisi, sistem bahasa, dan sistem kekerabatan yang berbeda dan unik satu sama lainnya.

Bahasa Banjar adalah bahasa yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Bahasa Banjar sendiri terbagi atas dua dialek besar yakni Banjar Kuala dan Banjar Hulu. Bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa dan bahasa-bahasa Dayak.

Bahasa yang dominan setelah Bahasa Banjar adalah Bahaya Dayak. Bahasa Dayak sendiri terbagi atas beberapa jenis. Suku Dayak rumpun Biaju, salah satunya menyebarkan bahasa Dayak Bakumpai dan bahasa Dayak Barangas.

Budaya atau tradisi penduduk asli Kalimantan Selatan dikenal dengan tradisi “Urang Banjar”. Ahli sejarah menyimpulkan bahwa budaya Urang Banjar merupakan perpaduan antara suku Dayak, suku Melayu dan suku Jawa.

Pertanian masih menjadi mata pencaharian utama penduduk Kalsel. Hampir sepertiga (32,01 persen) penduduk provinsi ini bekerja di sektor pertanian pada tahun 2019. Meski masih dominan, proporsinya cenderung menurun dalam lima tahun terakhir.

Sebaliknya penduduk Kalsel yang bekerja di sektor perdagangan dan akomodasi serta industri mulai meningkat. Ketiga sektor ini menyerap 36 persen pekerja berusia 15 tahun ke atas.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Ritual adat Manetes Hinting Bunu digelar di Kelurahan Pekapuran Raya, Kecamatan Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (19/3/2016). Ritual ini digelar dalam rangka penegakan hukum adat Dayak demi perdamaian antara suku Dayak dan Madura di Banjarmasin pada khususnya dan Kalimantan pada umumnya.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
70,72 (2019)

Angka Harapan Hidup 
68,49 tahun (2019)

Harapan Lama Sekolah 
12,52 tahun (2019)

Rata-Rata Lama Sekolah 
8,20 tahun (2019)

Tingkat Kemiskinan
4,38 persen (Maret 2020)

Rasio Gini
0,322 (Maret 2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
3,80 persen (Februari 2020)

Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Hal itu tampak dari tingginya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Selatan.

Sejak tahun 2010 hingga 2019, IPM Kalimantan Selatan selalu meningkat. Pada tahun 2010, IPM Kalimantan Selatan masih sebesar 65,2, kemudian meningkat pada tahun 2019 menjadi 70,72. Capaian ini menjadikan Kalimantan Selatan sebagai daerah dengan klasifikasi IPM tinggi (di atas 70).

Angka harapan hidup Kalsel pada tahun 2019 telah mencapai 68,49 tahun, meningkat dibandingkan tahun 2010 yang masih 66,65 tahun.

Di bidang pendidikan, angka harapan lama sekolah (HLS) Kalsel pada tahun 2019 telah mencapai 12,52 tahun (setara D1), meningkat dibandingkan pada tahun 2010 yang masih 10,86 tahun. Adapun rata-rata lama sekolah (RLS) pada tahun 2019 mencapai 8,2 tahun (setara SMP kelas 2), meningkat dibandingkan RLS pada tahun 2010 yang masih 7,25 tahun.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Kalimantan Selatan terus menurun dalam lima tahun terakhir. TPT Kalsel tahun 2015 masih mencapai 8,30 persen. Kemudian persentasenya turun menjadi 3,80 persen pada Februari 2020. TPT Kalimantan Selatan (3,80 persen) terendah kedua setelah TPT Provinsi Kalimantan Tengah (3,39 persen).

Secara umum, selama periode 2006–2020 tingkat kemiskinan baik pada sisi jumlah maupun persentase penduduk miskin di Kalimantan Selatan terus mengalami penurunan.

Data terakhir menunjukkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin di Kalimantan Selatan sebesar 187,87 ribu orang dengan tingkat kemiskinan sebesar 4,38 persen. Tingkat kemiskinan Kalsel tersebut terhitung terendah di Pulau Kalimantan. Tingkat kemiskinan tertinggi regional Kalimantan terjadi di Kalimantan Barat, yaitu sebesar 7,17 persen.

Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode September 2019 – Maret 2020, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami penurunan 3,23 ribu orang sedangkan di daerah perdesaan juga mengalami penurunan sebanyak 5,65 ribu orang.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Para pelajar berangkat ke sekolah dengan melintasi jembatan gantung di atas Sungai Martapura, Lok Baintan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (2/11/2013). Warga mengandalkan jembatan gantung di sungai-sangai besar di Pulau Kalimatan untuk mempersingkat jarak tempuh ke seberang sungai.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp 3,5 triliun (2019)

Dana Perimbangan 
3,14 triliun (2019)

Pertumbuhan Ekonomi
4,08 persen (2019)

PDRB per kapita
Rp 41 juta/tahun (2019)

Inflasi
4,01 persen (2019)

Nilai Ekspor
340,23 juta dolar AS (Agustus 2020)

Nilai Impor
23,93 juta dolar AS (Agustus 2020)

Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2019 menyentuh angka Rp 180,7 triliun. Angka itu meningkat jika dibandingkan dengan PRDB tahun 2018 sebesar Rp 171,9 triliun. Adapun PRDB per kapita provinsi ini sebesar Rp 41 juta per tahun.

Dalam skala regional Pulau Kalimantan, Provinsi Kalimantan Selatan menyumbang nilai tambah PDRB Kalimantan hampir 14 persen pada tahun 2019.

Struktur perekonomian di Provinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian (18,72 persen), sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (14,36 persen), serta sektor industri pengolahan (13,63 persen).

Untuk sektor pertambangan, kontribusinya terhadap PDRB Kalsel cenderung menurun dalam empat tahun terakhir, dari 22,84 persen tahun 2015 menjadi 18,72 persen pada tahun 2019. Sektor pertambangan menyerap tenaga kerja 3,90 persen pada tahun 2019.

Pertambangan di Kalsel didominasi batu bara, di samping minyak bumi, emas, intan, kaloin, marmer, dan batu-batuan.

Hasil utama dari sektor pertanian di Kalsel antara lain padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Sedangkan buah-buahan terdiri dari jeruk, pepaya, pisang, durian, rambutan, dan langsat.

Adapun potensi di sektor perkebunan di Kalsel antara lain kelapa sawit dan karet. Luas perkebunan kelapa sawit mencapai 423 ribu hektar dengan hampir 20 persen merupakan perkebunan rakyat.  Sedangkan luas perkebunan karet mencapai 271.000 hektar pada tahun 2018.

Sumber daya hutan termasuk salah satu potensi yang menyumbang pendapatan daerah Kalsel. Hal ini terlihat dari produk hasil hutan kayu serta produk hasil hutan bukan kayu yang dihasilkan hutan-hutan yang ada di Kalimantan Selatan.

Laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan cenderung berfluktuasi dalam satu dekade terakhir. Setelah naik pada tahun 2013–2016, pertumbuhan ekonomi kemudian melambat pada tahun 2018–2019. Pada tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Kalsel sebesar 4,08 persen, di bawah rata-rata nasional 5,02 persen.

Inflasi Kalimantan Selatan tahun 2019 sebesar 4,01 persen, meningkat dibandingkan tahun 2018 sebesar 3,19 persen. Inflasi Kalsel lebih tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Kalimantan.

Nilai ekspor Kalimantan Selatan pada bulan Agustus 2020 sebesar 340,23 juta dolar AS. Komoditas ekspor terbesar berupa bahan bakar mineral (87,60 persen), lemak dan minyak hewan/nabati (10,24 persen). Diikuti produk kimia, kayu, dan sisa industri makanan.

Tiga negara tujuan yang menyumbang nilai ekspor yang cukup besar terhadap nilai ekspor Kalimantan Selatan, yaitu China (31,51 persen), India (17,03 persen), dan Jepang (14,30 persen).

Nilai impor Kalimantan Selatan pada Agustus 2020 sebesar 23,93 juta dolar AS. Komoditas impor terbesar berupa bahan bakar mineral (74,06 persen), mesin/pesawat mekanik (15,98 persen), dan mesin/peralatan listrik (2,53 persen).

Negara importir terbesar merupakan Singapura (44,89 persen), Malaysia (26,91 persen), dan Korea Selatan (11,49 persen). Diikuti Jepang, China, dan negara lainnya.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Aksi manusia api saat menghibur warga di sekitar Siring 0 Kilometer, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (25/8/2019). Setiap akhir pekan di kawasan sekitar Siring 0 Kilometer selalu menjadi pusat berkumpulnya warga Banjarmasin. Taman di pingir Sungai Martapura ini selalu dipenuhi warga untuk menikmati dan mengisi Minggu pagi. Selain warga ratusan pedagang juga memenuhi kawasan sepanjang sekitar 1 kilometer ini. Tidak ketinggalan jukung-jukung pedagang pasar apung juga menawarkan dagangan mereka. Bebagai macam barang dagangan dijual pedagang di kawasan ini, mulai dari sandal, mainan anak-anak hingga buah-buahan. Sejumlah atraksi lain juga terdapat di kawasan ini. Salah satunya adalah atraksi manusia api. Ia menghibur warga dengan keberaniannya bermain dengan api. Minggu pagi itu, kawasan Siring 0 Km lebih semarak dengan adanya lomba jukung dalam rangka Festival Wisata Budaya Pasar Apung 2019 yang digelar disitu.

Kendati belum menjadi daerah tujuan wisata utama di Indonesia, Kalimantan Selatan termasuk daerah yang menyimpan beragam potensi wisata. Mulai dari sungai, pantai, hutan, pegunungan, sampai wisata religi.

Sejumlah objek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan, antara lain Pasar Terapung Lok Baintan Banjarmasin, Taman Wisata Pulau Kembang, Pantai Angsana di Kabupaten Tanah Bumbu, Geopark Meratus, dan Danau Biru Pengaron di Kabupaten Banjar.

Pada sektor pariwisata terdapat tiga Kawasan Strategis Pengembangan Pariwisata Nasional (KSPPN) di Kalimantan Selatan, yaitu KSPPN LokSado, KSPPN Banjarmasin, dan KSPPN Martapura.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Melepaskan Diri dari Kemapanan”, Kompas, 24 Februari 1995, hal. 9.
  • “Peta Politik Pemilihan Umum: Provinsi Kalimantan Selatan *Pemilihan Umum 2004”, Kompas, 21 Februari 2004, hal. 32.
  • “Peta Politik Kalimantan Selatan Bubuhan, Benang Merah Urang Banjar”, Kompas, 17 Februari 2009, hal. 8.
  • “Mengawal Benteng Kultural”, Kompas, 17 Februari 2014, hal. 5.
Buku dan Jurnal
  • Suwondo, Bambang. 1977. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Oktorino, Nino. 2013. Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.
  • Iqbal, Muhammad. 2018. “Pemberontakan KRJT di Kalimantan Selatan”. Jurnal Studi Islam dan Humaniora. Vol 16 (1).
Aturan Pendukung

Penulis
Antonius Purwanto

Kontributor
Theresia Bella Callista

Editor
Ignatius Kristanto