Daerah

Kota Padang: Pintu Gerbang Samudera Hindia dan Perjuangan Melawan Kolonial

Kota Padang menjadi pintu gerbang bagi negara-negara yang berada di wilayah Samudera Hindia. Kota ini kerap pula diasosiasikan dengan etnis Minangkabau dan masakan khas Padang. Kota ini juga memiliki catatan historis dalam perdagangan dan perjuangan melawan Belanda.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Para penari dan pemain musik membawakan Tari Kolosal “Pinyangek Siso Api” (Malin Kundang Jaman Now) di Pantai Muaro Lasak, Kawasan Pantai Padang, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (6/2/2018) sore. Tari kolosal karya koreografer Ery Merfri dari Nan Jombang Dance Company yang didukung 50 penari dan 25 penabuh gendang itu ditampilkan sebagai bagian dari Hari Pers Nasional 2018 yang berlangsung di Sumbar dari 1-9 Februari.

Fakta Singkat

Hari Jadi
7 Agustus 1669

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 9/1956

Luas Wilayah
694,96 km2

Jumlah Penduduk
909.040 jiwa (2020)

Kepala Daerah
Wali Kota Hendri Septa

Instansi terkait
Pemerintah Kota Padang

Kota Padang terletak di pinggir pantai barat Sumatera dan dikelilingi perbukitan Bukit Barisan. Kota ini merupakan kota terbesar sekaligus ibu kota dari Provinsi Sumatera Barat.

Tidak saja menjadi pusat pemerintahan, Kota Padang berkembang menjadi pusat perdagangan, kota pendidikan, kota kebudayaan, dan pintu gerbang wisata di Sumatera Barat. Oleh Asosiasi Negara-negara di Kawasan Samudra Hindia atau Gerbang Indian Ocean Rim Association (IORA), Kota Padang telah diresmikan menjadi pintu gerbang barat Indonesia dari Samudera Hindia.

Pada awal tahun 1950-an, Kota Padang merupakan salah satu dari 16 daerah tingkat II di Provinsi Sumatera Tengah berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 Nomor 65/GP-50. Pada masa itu, kota ini mempunyai status kotapraja di bawah seorang wali kota. Ketentuan tentang daerah otonom untuk Kota Padang kemudian ditetapkan dengan UU 9/1956. Selanjutnya, berdasarkan PP 29/1979, Kota Padang ditetapkan menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Barat.

Kota Padang merupakan salah satu kota tertua di pantai barat Lautan Hindia. Hari jadi Kota Padang ditetapkan pada tanggal 7 Agustus 1669. Penetapan ini sesuai dengan momen penyerbuan yang heroik oleh para pejuang ke Loji Belanda di Muara Padang ketika itu hingga loji tersebut hangus terbakar.

Luas Kota Padang semula hanya 33 km persegi, kini memiliki luas 694,96 km2, terdiri dari 11 kecamtan dengan 104 kelurahan. Kota berpenduduk 909.040 jiwa ini saat dipimpin oleh Wali Kota Hendri Septa. Adapun posisi wakil wali kota Padang masih kosong sejak akhir Februari 2021 hingga Agustus tahun ini.

Kota Padang ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) berdasarkan sistem perkotaan nasional. Visi Kota Padang adalah “Mewujudkan Masyarakat Kota Padang yang Madani Berbasis Pendidikan, Perdagangan dan Pariwisata Unggul serta Berdaya Saing”.

Padang dikenal sebagai kota seni dan budaya lewat legenda Malin Kundang dan novel Siti Nurbaya. Pada umumnya, nama Padang diasosiasikan oleh masyarakat Indonesia sebagai etnis Minangkabau serta makanan khas yang dikenal sebagai masakan Padang.

Kota ini juga mendapat julukan “Kota Tercinta” karena keindahan alamnya yang bisa membuat semua orang jatuh cinta. Keindahan kotanya yang dikelilingi perbukitan dan langsung menghadap Samudera Hindia menjadi alasan utama mengapa orang bisa jatuh cinta dengan alamnya.

Sejarah pembentukan

Jejak sejarah Kota Padang sangat panjang, dimulai sejak masa kerajaan, masa penjajahan Belanda, masa kekuasaan Jepang, hingga masa kemerdekaan. Bentang sejarah Kota Padang tersebut dipaparkan dalam buku Sejarah Kota Padang yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987 dan tulisan ringkas “Sejarah Kota Padang” di laman Pemerintah Kota Padang.

Nama “Padang” kira-kira berarti “suatu dataran yang luas”. Sesuai dengan alamnya yang terdiri atas dataran rendah dikelilingi oleh perbukitan yang tidak begitu tinggi dan sebagian daerahnya berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.

Pada zaman Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung dengan rajanya yang terkenal Adityawarman, kira-kira abad ke-14, Padang mulai dikenal sebagai kampung pemukiman nelayan. Pada waktu itu, Kerajaan Aceh sudah berkembang. Mereka sudah berhasil menaklukkan Tiku, Pariaman, dan Indrapura. Pedagang-pedagang Tiku dan Pariaman sebelum pergi ke Aceh terlebih dahulu singgah di Padang. Pada waktu itu, kedudukan Padang belum penting seperti Pariaman yang waktu itu menjadi tempat kedudukan panglima yang diangkat oleh raja Aceh untuk daerah pesisir Sumatera Barat sekarang.

Pada awal abad ke-14, VOC mulai beroperasi di Indonesia. Mereka memasuki Padang melalui Pulau Cingkuk. Kemudian setelah beberapa tahun mereka mendirikan pula loji-loji di daerah Batang Arau sekarang. Dengan demikian, daerah pemukiman juga berkembang menjadi wilayah di Muara Padang sekarang. Mulai saat itu Belanda mulai menempatkan pejabat-pejabat dagangnya sekaligus membangun gudang untuk menumpuk barang-barangnya sebelum dikapalkan melalui pelabuhan Muara Padang.

Belanda dari tahun ke tahun terus meningkatkan kegiatannya, sehingga pada akhir zaman VOC tahun 1799, Padang sudah menjadi pelabuhan terpenting di pantai barat Pulau Sumatera. Padang mulai menjadi tempat pemusatan penduduk yang berdatangan dari kampung-kampung sekitarnya dan mencari hidup dari kegiatan perdagangan Belanda tersebut.

Di samping Belanda, pedagang-pedagang bangsa Barat lainnya juga ada yang singgah di Padang. Sebagian dari mereka adalah orang lnggeris, Perancis dan Portugis. Kemudian diikuti oleh bangsa China. Dengan demikian, daerah baru ini bukan hanya dihuni penduduk asli juga sejumlah orang asing. Dari satu perkampungan nelayan, Padang berubah menjadi pelabuhan dagang internasional.

Setelah VOC dibubarkan dan wilayah Hindia Timur menjadi koloni Belanda,  fungsi kota ini berubah pula menjadi tempat kedudukan residen atau kepala pemerintahan untuk daerah Sumatera Barat. Dari Padanglah diatur penyerbuan-penyerbuan ke daerah-daerah lain di Sumatera Barat.

Pada saat bersamaan kebencian dan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Belanda mulai kelihatan. Pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1821 perjuangan rakyat meledak dengan pecahnya Perang Paderi. Sampai abad ke-20, Padang tidak saja menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan, juga menjadi pusat pemerintahan Belanda untuk Sumatera bagian Barat.

Kehidupan kota memperlihatkan ciri tersendiri dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatera Barat. Dengan suatu ordonantie 1 Maret 1906 yang mulai berlaku tanggal 1 April 1906, Padang menjadi gemeente dan mempunyai gemeenteraad. Anggota gemeenteraad tersebut terdiri dari 13 orang bangsa Eropa, 2 orang Timur Asing dan 4 orang bumiputra, diketuai langsung oleh Residen Padang dan sekitarnya.

Pemerintahan tingkat terendah, yaitu onder distrik dapat diangkat kepalanya dari golongan bumiputera, sedangkan untuk golongan lainnya diangkat kepala-kepala kelompok masing-masing dengan bermacam tingkat dan jabatan.

Tahun 1928 dengan staatsblaad nomor 560 tahun 1916, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia untuk pertama kali mengangkat seorang burgemeester atau wali kota untuk Kota Padang dan langsung di bawah Residen Sumatera Barat.

Dalam masa pendudukan Jepang, kota Padang diperluas dengan memasukkan Ulak Karang, Andalas Marapalam, Seberang Padang, Teluk Bayur, Bukit Air Manis, dan Gunung Pangilun.

KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT

Pengunjung mengintip meriam peninggalan Perang Dunia Ke-2 yang tersimpan di goa Jepang di lereng Gunung Padang, Kota Padang, Sumatera Barat, awal Februari. Di kawasan ini masih terdapat sejumlah goa serupa yang menghadap ke muara Sungai (Batang) Arau dan Kota Padang. Namun, semua jejak sejarah ini dalam kondisi tidak terawat baik.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Padang menjadi sebuah kotapraja. Kemudian dengan ditandatanganinya perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), Padang menjadi kota otonom di bawah pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah melalui Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 Nomor 65/GP-50.

Dengan adanya ketetapan Gubernur Sumatera Tengah tersebut, daerah Kota Padang diperluas lagi. Kewedanaan Padang dihapuskan dan urusannya diserahkan kepada wali kota. Untuk menampung urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh wedana, dibentuklah bagian pemerintahan umum dan seksi politik pada Kantor Wali Kota Padang yang diselenggarakan oleh petugas Pamongpraja yang diperbantukan.

Setelah itu, daerah resort administratif Kepala Kampung pun dibentuk yang terdiri atas 13 Kepala Kampung dengan Surat Keputusan DPRDS Kota Padang tanggal 12 Pebruari 1954 Nomor 2/IPR/54 yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Sumatera Tengah dengan ketetapannya tanggal 1 Juli 1954 Nomor 257/IPDS/1954.

Selanjutnya daerah administratif tersebut dibagi lagi menjadi tiga daerah resort kecamatan yang dikepalai oleh Asisten Wedana, yaitu Kecamatan Padang Barat, Kecamaian Padang Timur, dan Kecamatan Padang Selatan. Pembahagian resort kecamatan ini berdasarkan keputusan Wali Kota Padang Tanggal 19 Maret 1951 Nomor 20/UP.

Untuk memenuhi ketentuan UU 22/1948, di Kota Padang dibentuk dan dilantik pula anggota DPRDS yang berjumlah 22 orang dan terdiri dan wakil partai politik, agama dan beberapa lainnya. Hal ini ditetapkan oleh Gubemur Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 Nomor 65/GP/50. Ketentuan tentang daerah otonom untuk Kota Padang ditetapkan dengan UU 9/1956.

Pada waktu terjadi pergolakan tahun 1958, Kota Padang menjadi pusat kegiatan politik. Hingga pada waktu terjadi APRI mendarat tanggal 17 April 1958, pemerintahan kota Padang menjadi vakum. Karena itu, untuk mengkonsolidasikan dan membangun kembali pemerintahan di Sumatera Barat, melalui Surat Keputusan Perdana Menteri RI tanggal 19 Maret 1958 Nomor 174/PM/1958, dibentuk sebuah misi di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri Hardi yang terkenal dengan misi Hardi. Berdasarkan petunjuk misi ini, dibentuk kembali pemerintahan Kotapraja Padang dan dikukuhkan dengan Keputusan Gubernur Sumatera Barat tanggal 19 Mei 1958 Nomor l/G/PD.

Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 sebagai kelanjutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali UUD 1945, pemerintahan daerah pun disesuaikan pula. Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah pada tanggal 4 Desember 1959 No. UP/15/1959, pejabat wali kota waktu itu diangkat menjadi Wali Kota Kepala Daerah Padang.

Selanjutnya, melalui Surat Keputusan Gubemur Kepala Daerah Sumatera Barat tanggal 23 September 1961 No. 11/SP/BPH/61 diangkat empat orang anggota BPH Kota Padang atas dasar instruksi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 2 menurut Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959.

Kemudian dengan keluamya UU 18/1965, Kotapraja Padang diubah menjadi Daerah Tingkat II Kotamadya Padang. Kemudian berdasarkan PP 29/1979, Kota Padang menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Barat.

Selain sebagai ibu kota provinsi, kota ini merupakan kota pelabuhan yang cukup penting di sebelah barat pantai Sumatera, kota dagang sekaligus sebagai kota pendidikan. Perluasan fungsi juga menuntut perluasan wilayah.  Atas persetujuan Gubemur Sumatera Barat dan DPRD Padang Pariaman, perluasan kota dikukuhkan melalui PP 17/1980.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Peserta menyimak penjelasan Koordinator Padang Heritage Bayu Hariyanto (paling kiri) tentang gedung Geo Wehry and Co yang merupakan salah satu bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Padang, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu (16/7/2017) lalu. Kunjungan ke bangunan tersebut merupakan salah satu kegiatan dalam Padang Walk Heritage atau menyusuri bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Padang. Kegiatan itu diselenggarakan secara sukarela untuk menggairahkan kembali kecintaan anak muda terhadap Kota Tua Padang.

Geografis

Kota Padang terletak di pesisir pantai barat pulau Sumatera dengan garis pantai sepanjang 84 km dan terdapat deretan Bukit Barisan dengan panjang daerah bukit (termasuk sungai) 486,209 km. Perpaduan kedua letak tersebut menjadikan kota ini memiliki alam yang indah dan menarik.

Secara astronomis, Kota Padang berada di antara 0o44’ dan 01o08’ Lintang Selatan serta antara 100o05’ dan 100o34’ Bujur Timur. Di sebelah utara, Kota Padang berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan, di sebelah barat berbatasan dengan Selat Mentawai, serta di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Solok.

Luas keseluruhan Kota Padang adalah 694,96 km² atau 1,65 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat. Sekitar 434,63 km² atau 60 persen dari luas tersebut merupakan daerah perbukitan yang ditutupi hutan lindung. Sementara selebihnya merupakan daerah efektif perkotaan.

Kota Padang juga memiliki 19 pulau. Terbesar adalah Pulau Bintangur seluas 56,78 hektare, kemudian Pulau Sikuai di Kecamatan Bungus Teluk Kabung seluas 48,12 hektare, dan Pulau Toran di Kecamatan Padang Selatan seluas 33,67 hektare.  Adapun sungai yang melintasi Kota Padang sebanyak lima sungai besar dan 16 sungai kecil. Sungai yang terpanjang adalah sungai Batang Kandis.

Keadaan topografi kota ini bervariasi, sekitar 49,48 persen luas wilayah daratan Kota Padang berada pada wilayah kemiringan lebih dari 40 persen dan 23,57 persen berada pada wilayah kemiringan landai. Ketinggian wilayah Kota Padang cukup bervariasi antara 0–1.853 m dpl di atas permukaan laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan.

KOMPAS/YOLA SASTRA

Suasana di Pulau Pasumpahan, Sungai Pisang, Kelurahan Teluk Kabung Selatan, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (27/12/2019) sore. Pulau Pasumpahan menjadi salah satu destinasi wisatawan untuk menikmati malam Tahun Baru 2020.

Pemerintahan

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan tahun 1945, melalui ketetapan Gubernur Sumatera Barat tanggal 17 Mei 1946 No. 103, Padang ditetapkan menjadi kota besar. Wali Kota Padang pertama adalah Mr Abubakar Ja’ar (1945–1946) yang menjabat hanya beberapa bulan saja. Mr Abubakar Ja’ar lalu dipindahkan menjadi residen di Sumatera Timur.

Selanjutnya Padang dipimpin oleh Bagindo Aziz Chan (1946–1947) yang dikenal sebagai wali kota pejuang. Beliau gugur di tangan penjajah Belanda pada tanggal 17 Juli 1947. Setelah Bagindo Aziz Chan gugur, Belanda melakukan agresi I, akibatnya Belanda menguasai Padang.

Karena Belanda kembali menguasai Padang, pemerintahan Kota Padang dipindahkan ke Padang Panjang dengan pejabat sementara Said Rasyad (1947). Pemerintahan Said Rasyad berlangsung tidak lama karena timbulnya agresi ke-2.

Wali kota berikutnya adalah Abdoel Hakim yang memerintah antara tahun 1947 hingga 1949 dan diteruskan oleh Rasyiddin untuk periode 1949–1956.

Melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 No 65/GP-50 ditetapkan pemerintahan Kota Padang sebagai daerah otonom. Wali kota selanjutnya yang menjabat adalah Bachtiar Datuk Pado Panghulu antara 1956 sampai 1958. Kemudian pada tahun 1958–1966, Padang dipimpin oleh Zainul Abidin Sutan Pangeran dan diteruskan oleh Azhari (1967–1971) serta Akhiroel Yahya (1967–1971).

Dengan diterbitkannya UU 5/1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, disamping daerah otonom, Kota Padang juga merupakan wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang wali kota. Waktu itu wali kota Padang yang diangkat adalah Hasan Basri Durin (1971–1983).

Setelah Hasan Basri Durin selesai melaksanakan tugasnya, Syahrul Ujud diangkat sebagai Wali Kota Padang untuk periode 1983–1988. Tongkat estafet kepemimpinan Kota Padang selanjutnya diserahkan kepada Zuiyen Rais (1993–2003). Wali Kota Padang berikutnya adalah Fauzi Bahar yang menjabat selama dua periode (2004–2014) dan Mahyeldi Ansharullah untuk periode 2014–2019.

Pada pemilihan umum Wali Kota Padang (pilwako) 2018, Mahyeldi Ansharullah terpilih kembali sebagai Wali Kota Padang untuk periode 2019–2024. Namun di tengah jalan, Mahyeldi mencalonkan diri di Pilkada Provinsi Sumatera Barat  dan terpilih sebagai Gubernur Sumbar periode 2021–2024.

Selanjutnya Wakil Wali Kota Padang, Hendri Septa, ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Wali Kota Padang pada 26 Februari 2021. Hendri Septa kemudian diangkat menjadi Wali Kota Padang untuk masa jabatan 2021–2024.

Secara administratif, Kota Padang terdiri dari 11 kecamatan dengan 104 kelurahan. Untuk mendukung jalannya pemerintahan, Pemerintahan Kota Padang didukung oleh pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 9.030 orang, terdiri dari 2.643 orang laki-laki dan 6.387 orang perempuan.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Warga mengikuti pemungutan suara ulang (PSU) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 10, Kelurahan Kampung Jua, Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu (1/7/2018). PSU untuk Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Padang itu diselenggarakan karena pada pemungutan suara Rabu (27/6/2018) lalu, tiga orang warga tetap diperbolehkan memberikan suara meski tidak memenuhi syarat sebagai pemilih.

Politik

Peta politik di Kota Padang tecermin dari perolehan kursi yang diraih partai politik (parpol) dari pemilu ke pemilu. Selama tiga kali penyelenggaraan pemilihan umum, perolehan kursi parpol di DPRD Kota Padang berlangsung dinamis.

Pada Pemilu 2009, dari 45 anggota DPRD Kota Padang, Partai Demokrat meraih 17 kursi dan menempatkan partai ini sebagai kelompok mayoritas yang menguasai hampir 40 persen kursi. Sementara itu, PKS meraih enam kursi, PAN (5), Golkar (5), Hanura (4), PPP (3), Gerindra (2), PBB (2), dan PDI-P (1).

Pada Pemilu 2014, Gerindra dan PAN menguasai perolehan kursi di DPRD Kota Padang periode 2014–2019. Kedua partai itu masing-masing memperoleh enam kursi. Disusul Demokrat mendapatkan lima kursi, PPP dan Nasdem masing-masing memperoleh empat kursi, PDI-P meraih tiga kursi serta PKB dan PBB masing-masing meraih satu kursi di DPRD Kota Padang.

Di Pemilu serentak 2019, Partai Gerindra berhasil meraih kursi terbanyak. Gerindra berhasil merebut 11 dari dari 45 kursi yang tersedia di DPRD Padang. Posisi kedua ditempati partai PKS dengan perolehan sembilan kursi. Selanjutnya, PAN tujuh kursi dan Demokrat enam kursi. PDI-P, Golkar, dan PPP masing-masing meraih tiga kursi, sedangkan Partai Berkarya meraih dua kursi dan Nasdem hanya satu kursi.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Barat Amnasmen (dua dari kanan) menjelaskan tentang kotak suara dari kertas karton duplex yang akan digunakan untuk Pemilu 2019 pada acara Sosialisasi Tahapan Logistik Pemilu 2019 di Padang, Senin (3/12/2018). Sosialisasi dengan tema “Dukungan Stakeholder Untuk Kelancaran Penyediaan Logistik Pemilu Berkualitas” itu dihadiri antara lain komisioner KPU Sumbar, perwakilan partai politik, pemangku kepentingan seperti kejaksaan, TNI, Polri, pemerintah provinsi, dan organisasi kemasyarakatan.

Kependudukan

Penduduk Kota Padang menurut sensus penduduk tahun 2020 tercatat sebanyak 909.040 jiwa atau 16,42 persen dari total penduduk Provinsi Sumatera Barat. Dari jumlah tersebut, penduduk laki-laki tercatat sebanyak  456.329 jiwa sedangkan penduduk perempuan sebanyak 452.711 jiwa.

Sebaran penduduk di Kota relatif tidak merata. Kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Padang Timur dengan 9,7 ribu penduduk per km2 sedangkan Kecamatan Bungus Teluk Kabung adalah yang terendah kepadatan penduduknya, hanya 252 penduduk per km2.

Di Kota Padang, terdapat keberagaman etnis yang mendiami di setiap sudut kota. Sebagian besar penduduk Kota Padang berasal dari etnis Minangkabau. Suku ini awalnya berasal dari dua klan utama, Koto Piliang yang didirikan Datuak Katumanggungan dan Bodi Chaniago yang didirikan Datuak Parpatiah nan Sabatang. Koto Piliang memakai sistem aristokrasi yang dikenal dengan istilah “Titiak dari Ateh“ (titik dari atas) ala Istana Pagaruyung, sedangkan Bodi Chaniago lebih bersifat demokratis, yang dikenal dengan istilah “Mambasuik dari Bumi” (muncul dari bumi).

Selain etnis Minangkabau, berbagai suku lainnya juga tinggal di kota ini, seperti suku Mentawai di Kepulauan Mentawai, suku Mandailing, transmigran asal Jawa, kelompok etnis China, dan berbagai suku pendatang lainnya.

Mayoritas penduduk Kota Padang beragama Islam. Berdasarkan data BPS Kota Padang tahun 2020, penduduk yang memeluk agama Islam sebanyak 838.565, disusul pemeluk agama Katolik (11.712), agama Protestan (6.175), agama Budha (2.401), dan agama Hindu  (1.015).

KOMPAS/RINI KUSTIASIH

Rumah gadang di Sumatera Barat bukan hanya rumah biasa, sebab menjadi simbol bagi adat Minangkabau yang menganut matrilineal. Kebertahanan rumah gadang berarti masih langgengnya adat Minangkabau. Namun, kini kian jarang rumah gadang yang terawat dengan baik di Sumatera Barat.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
82,82 (2020)

Angka Harapan Hidup 
73,65 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
16,52 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
11,58 tahun (2020)

Pengeluaran per Kapita 
Rp14,48 juta (2020)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja 
61,30 persen (2020)

Tingkat Kemiskinan
4,40 persen (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka
13,64 persen (2020)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia di Kota Padang terus menunjukkan kemajuan dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010, indeks pembangunan manusia (IPM) Kota Padang tercatat 74,38 meningkat menjadi 82,82 pada tahun 2020. Capaian IPM Kota Padang tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Bahkan, IPM Kota Padang melebihi IPM Provinsi Sumatera Barat dan nasional.

Dilihat dari komponennya, umur harapan hidup (UHH) tercatat 73,65 tahun. Di bidang pendidikan, harapan lama sekolah (HLS) tercatat 16,52 tahun dan rata-rata lama sekolah (RLS) tercatat 11,58 tahun. Adapun pengeluaran perkapita masyarakat Kota Padang pada tahun 2020 berada di angka Rp61 juta per tahunnya.

Angka pengangguran selama tahun 2020 meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya. Selama pandemi Covid-19 2020, angka pengangguran naik dari 8,6 persen (2019) menjadi 13,64 persen (2020). Namun di sisi lain, angka kemiskinan di Kota Padang justru turun 0,08 persen, dari 4,48 persen (2019) menjadi 4,4 persen (2020).

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Suasana kegiatan peserta program pelatihan keterampilan Teknik Otomotif di Balai Latihan Kerja (BLK) Padang di kawasan Jalan Sei Balang, Bandar Buat, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (5/10/2016) siang. Di BLK Padang, ada delapan program dengan 65 paket pelatihan. Tahun 2016, sebanyak 22 paket pelatihan tidak bisa dilaksanakan di BLK Padang akibat adanya pemangkasan anggaran oleh pemerintah pusat.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp546,10 miliar (2020)

Dana Perimbangan 
Rp1,52 triliun (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-1,86 persen (2020)

PDRB Harga Berlaku
Rp62, triliun (2020)

PDRB per kapita
Rp64,66 juta/tahun (2020)

Ekonomi

Sebagai salah satu pusat perekonomian di Provinsi Sumatera Barat, Kota Padang menempatkan sektor perdagangan, industri, dan jasa menjadi andalan dibandingkan dengan sektor pertanian dalam mendorong perekonomian masyarakatnya.

Hal itu terjadi karena transformasi ekonomi kota cenderung mengubah lahan pertanian menjadi kawasan industri. Walaupun di sisi lain industri pengolahan di kota ini telah memberikan kesempatan lapangan pekerjaan yang cukup berarti.

Dengan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar Rp62,22 triliun di tahun 2020, kontribusi terbesar perekonomian Kota Padang ditopang oleh sektor perdagangan besar dan eceran: reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 16,41 persen. Kemudian diikuti oleh sektor transportasi dan pergudangan (15,66 persen), sektor industri pengolahan (11,87 persen), dan sektor konstruksi (10,44 persen).

Pusat perdagangan di Kota Padang adalah Pasar Raya Padang yang dibangun pada zaman kolonial Belanda oleh seorang kapiten China bernama Lie Saay. Dalam perkembangannya, pasar tradisional ini pernah menjadi sentra perdagangan bagi masyarakat di Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Bengkulu pada era 1980-an.

Selain itu, aktivitas perniagaan di Padang juga didukung oleh 16 pasar satelit yang tersebar di berbagai sudut kota. Sembilan di antaranya dimiliki oleh Pemerintah Kota Padang, yaitu Pasar Alai, Pasar Bandar Buat, Pasar Belimbing, Pasar Bungus, Pasar Lubuk Buaya, Pasar Simpang Haru, Pasar Siteba, Pasar Tanah Kongsi, dan Pasar Ulak Karang.

Perusahaan perdagangan terbanyak di Kota Padang adalah perusahaan dengan skala kecil dan menengah. Kedua skala usaha ini berjumlah 46.581 usaha atau mencapai 91,57 persen dari jumlah perusahaan di Kota Padang.

Di kota ini, terdapat pula pabrik semen yang bernama PT Semen Padang yang telah beroperasi sejak didirikan pada tahun 1910. Pabrik semen ini berlokasi di Indarung dan merupakan pabrik semen yang pertama di Indonesia, dengan kapasitas produksi saat ini mencapai 5,7 juta ton per tahun.

Adapun jumlah unit usaha baik formal maupun nonformal di kota ini tercatat sebanyak 5.333 unit usaha, yang terdiri dari 1.016 unit usaha formal dan 4.317 unit usaha nonformal dengan serapan tenaga kerjanya mencapai 33.200 orang.

Di sisi keuangan daerah, total pendapatan kota Padang sebesar Rp2,35 triliun. Dari jumlah tersebut, kontribusi dari pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp546,10 miliar, dana perimbangan dari pemerintah pusat sebesar Rp1,52 triliun serta pendapatan lain-lain sebesar Rp279,63 miliar.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Wisatawan menikmati suasana Pulau Pasumpahan yang berada di Kelurahan Sungai Pisang, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, Sumatera Barat. Pulau Pasumpahan merupakan salah satu destinasi wisata yang makin diminati wisatawan baik yang berasal dari Sumatera Barat maupun di luar Sumatera Barat. Setiap bulan, wisatawan yang berkunjung kesana mencapai sekitar 2.000 orang.

Di sektor pariwisata, Kota Padang memiliki banyak obyek wisata alam, sejarah, seni-budaya, dan wisata makanan/belanja. Menurut data dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Padang, Kota Padang mempunyai objek wisata sebanyak 180 tempat wisata pada tahun 2018.

Wisata alam yang banyak menarik minat wisatawan, antara lain, Pantai Padang, Gunung Padang, Pantai Air Manis, Pantai Pasir Jambak, pulau-pulai kecil dan Taman Hutan Raya (THR) Bung Hatta. Sedangkan untuk wisata budaya, ada kawasan lama, yaitu kawasan Pondok dan kawasan Muaro, permukiman tradisional atau nagari adat di Kecamatan Bungus, Koto Tangah, dan Pauh serta kawasan agrowisata di Kecamatan Koto Tangah.

Dengan beragam destinasi wisata tersebut, menurut data BPS, pada tahun 2020 lalu, wisatawan asing yang berkunjung ke Kota Padang sebanyak 21.660 orang sedangkan wisatawan domestik sebanyak 2,56 juta orang.

Sebagai pintu gerbang wisata di Sumatera Barat, perekonomian Kota Padang ditopang pula oleh sektor pariwisata dan industri MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition atau Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran). Hal ini didukung oleh keberadaan sederet hotel dan gedung pertemuan di kota ini. Hingga tahun 2020, Kota Padang telah memiliki puluhan hotel berbintang, termasuk di antaranya satu hotel bintang 5 dan delapan hotel bintang 4.

Dengan beragam potensi ekonomi yang dimilikinya, Kota Padang diperkirakan akan tetap tumbuh pesat pada masa datang. Tak hanya berkembang sebagai kota perdagangan dan jasa, namun diproyeksikan pula menjadi kota industri seperti disebutkan dalam RPJMN 2019–2024. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/YOLA SASTRA

Juru masak sedang membuat rendang di dapur Siti Nurbaya Food, Kelurahan Olo, Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat, Kamis (2/7/2020) pagi. Meskipun normal baru telah dimulai dan objek wisata sudah dibuka, pesanan pelanggan dari usaha industri rumahan rendang dan katering ini belum kembali pulih.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Kota Padang 317 tahun: Liku-liku mencari hari jadi”, Kompas, 07 Agustus 1986, hlm. 01
  • “321 Tahun Kota Padang”, Kompas, 05 Agustus 1990, hlm. 08
  • “330 Tahun Kota Padang: Dulu Terkenal, tetapi Sekarang…?”, Kompas, 07 Agustus 1999, hlm. 24
  • “Kota Tua yang Sarat Masalah *Otonomi”, Kompas, 06 Agustus 2002, hlm. 30
  • “Kota Padang * Otonomi”, Kompas, 06 Agustus 2002, hlm. 30
  • “Peninggalan Sejarah: Bangunan Tua Merana”, Kompas Sumbagut, 19 November 2005, hlm. 27
  • “Cagar Budaya: Gairahkan Kembali Kecintaan pada Kota Tua”, Kompas, 24 Agustus 2017, hlm. 23
Buku dan Jurnal
  • Safwan, Mardanas. 1987. Sejarah Kota Padang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional
  • Rusli Amran. 1986. Padang Riwayat Mu Dulu. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
  • Gusti Asnan. 2006. Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi. Yogyakarta: Citra Pustaka. 
  • Imadudin, Iim. “Kehidupan Multi Etnik di Kota Padang”. 4th International Symposium of the Journal Antropologi Indonesia, 12-15 July 2005, Depok
Aturan Pendukung
  • UU 9/1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah
  • UU 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
  • UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah
  • PP 29/1979 tentang Pemindahan Ibu kota Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat dari Bukittinggi Ke Padang
  • PP 17/1980 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Padang
  • PP 26/2011 tentang Pemindahan Pusat Pemerintahan Kota Padang dari Wilayah Kecamatan Padang Barat ke Wilayah Kecamatan Kototangah Kota Padang Provinsi Sumatera Barat
  • Perda Kota Padang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Padang Tahun 2019–2024

Editor
Topan Yuniarto