KOMPAS/AGUS SUSANTO
Beberapa buku sejarah menuliskan Masjid Raya Baiturrahman dibangun pertama kali oleh Sultan Mahmud Syah I, cucu Sultan Alaidin Johan Syah, pada tahun 1291 M. Masjid ini telah beberapa kali mengalami perluasan dan renovasi oleh beberapa Sultan Aceh. Gambar diambil sebelum bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Fakta Singkat
Hari Jadi
22 April 1205
Dasar Hukum
Undang-Undang No. 8/1956
Luas Wilayah
61,36 km2
Jumlah Penduduk
252.899 jiwa (2020)
Pasangan Kepala Daerah
Walikota Aminullah Usman
Wakil Walikota Zainal Arifin
Kota Banda Aceh terletak di ujung utara Pulau Sumatera sekaligus menjadi wilayah paling barat dari Pulau Sumatera. Di samping menjadi pusat pemerintahan Provinsi Aceh, Kota Banda Aceh terus mengembangkan diri sebagai kota jasa.
Pembentukan Kota Banda Aceh sebagai daerah otonom didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 (Drt) Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara. Melalui peraturan tersebut, kota yang dulunya bernama Kota Besar Kutaraja itu ditetapkan sebagai kota besar otonom yang memiliki kewenangan utuh dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri.
Hari jadi Kota Banda Aceh ditetapkan pada tanggal 22 April 1205. Penetapan tanggal itu didasarkan pada hari pertama pemerintahan Sultan Alaiddin Johan Syah yang tercantum dalam naskah “Adat Aceh”. Selain itu, penentuan tanggal ini bertepatan dengan momen diubahnya nama Kerajaan Indra Purwa menjadi kerajaan Islam bernama Kerajaan Aceh Bandar Darussalam.
Sebelumnya, hari jadi Kota Banda Aceh pernah diperingati setiap tanggal 9 Mei. Penetapan tanggal 9 Mei itu didasarkan pada momentum kembalinya nama Banda Aceh oleh Gubernur Aceh Ali Hasymi melalui Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor Des.52/I/43-43, tanggal 9 Mei 1963.
Secara administratif, Kota Banda Aceh terdiri dari 9 kecamatan, 17 kemukiman, dan 90 gampong (desa/kelurahan). Kota yang memiliki luas wilayah 61,36 kilometer persegi ini dihuni oleh 252.899 jiwa pada tahun 2020.
Dalam sejarahnya, Kota Banda Aceh terkenal sebagai kota budaya karena kedudukannya sebagai pusat Kerajaan Aceh. Di kota ini, tersimpan khazanah budaya, monumen, tempat-tempat bersejarah, dan makam raja-raja seperti makan Sultan Iskandar Muda dan makam Syekh Abdurrauf Syiah Kuala.
Kota Banda Aceh termasuk salah satu daerah yang dilanda bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 silam. Akibat bencana itu, ratusan ribu penduduknya meninggal dunia dan lebih dari 60 persen bangunan kota hancur.
Seiring perkembangan zaman, pemerintah daerah ingin mewujudkan Banda Aceh yang maju dan modern, tetapi tidak menghilangkan kearifan lokal, yaitu budaya religius yang diterapkan dari zaman Kesultanan Aceh Darussalam hingga kini.
Sejarah Pembentukan
Sejarah Kota Banda Aceh dimulai sejak awal berdirinya kota ini, yaitu pada 22 April 1205 yang juga menjadi tanda awal fase kehidupan baru, yakni periode kerajaan Islam (1205-1903) dari sebelumnya periode Hindu-Budha (>1204).
Menurut Rusdi Sufi, dkk. (1997) dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Kotamadya Banda Aceh”, Banda Aceh didirikan oleh Sultan Alaiddin Johan Syah dengan dikeluarkannya dekrit tentang pembangunan ibu kota negara yang baru untuk menggantikan Lamuri (ibukota negara Kerajaan Hindu Indera Purba).
Sultan Alaiddin Johan Syah merupakan seorang utama (sarjana) dari lembaga pendidikan Islam dayah Cot Kala Peureulak. Selama masa pemerintahannya, ibu kota negara masih tetap di Lamuri, kendati Kota Banda Darussalam telah dinyatakan resmi berdiri. Adapun pemindahan ibu kota negara ini secara resmi terjadi di masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah I (1267-1309 M), seorang cucu dari Sultan Alaiddin Johan Syah.
Banda Aceh baru menjadi nama ibu kota pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Husain Syah (1465-1480 M), di mana sebelumnya bernama Bandar Aceh Darussalam. Momen perubahan nama ini disepakati setelah ia berhasil menggabungkan Kerajaan Darussalam, Kerajaan Islam Pidie, dan Kerajaan Islam Jaya menjadi satu federasi dengan nama Kerajaan Aceh.
Kota Banda Aceh terus mengalami perkembangan dan mencapai kegemilangannya seiring dengan masa kejayaan Kerajaan Aceh pada abad ke-16 dan ke-17 oleh Sultan Iskandar Muda. Di masa kejayaannya, kota yang disebut ‘Negeri Bawah Angin’ ini memiliki wilayah separuh Pulau Sumatera dan Negeri Malaya. Sultan Iskandar Muda menjadikan Banda Aceh sebagai kota pelabuhan paling aktif dengan berbagai aktivitas perdagangan, sosial politik, budaya dan pusat pendidikan tinggi bidang agama dan umum pada masanya.
Tak mengherankan bila kota ini kemudian menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, kebudayaan, dan menjadi pusat pendidikan agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, kerajaan ini termasuk dalam jajaran lima besar dunia dalam bidang agama Islam, setara dengan Baghdad, Damaskus, Agra, dan Isfahan.
Pada abad ke-17, Banda Aceh menjadi sangat kosmopolitan, karena terdapat berbagai suku bangsa yang umumnya merupakan pedagang dari Gujarat, Keling, Arab, Jawa, Pegu (Birma), dan Tionghoa. Para pedagang ini tinggal secara berkelompok sesuai etnisnya masing-masing, sehingga muncul banyak perkampungan pendatang yang tersebar di beberapa daerah.
Masih saat di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, di kota ini juga dibangun sebuah Taman Sari Gunongan Aceh. Gunongan ini dibangun untuk memenuhi permintaan permaisurinya yang gemar dan senang dengan gunung-gunung seperti di Pahang (salah satu negara bagian di Malaka). Di dalam taman seluas 1000 depa itu, terdapat tanaman bunga dan buah beraneka ragam serta sebuah kolam ikan. Taman tersebut dinamakan Taman Gairah, di sekitarnya pula mengalir sebuah sungai yang disebut Sungai Daroy.
Era kejayaan Kerajaan Islam di Banda Aceh berangsur-angsur mengalami kemunduran pada abad ke-18 hingga ke-19. Kota Banda Aceh pun kehilangan kekuatannya sebagai kota perdagangan. Melihat kenyataan ini, Belanda mulai mengincar Aceh dan mencari kesempatan untuk menguasainya.
Sebagai kota pelabuhan aktif, Aceh menjadi sasaran empuk dan cukup strategis untuk dikuasai. Ia kemudian tumbuh sebagai pusat perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme di kawasan Asia Tenggara, serta menjadi tempat utama datangnya ancaman pendudukan bangsa Barat.
Kerajaan Islam Aceh benar-benar mulai mengalami kehancuran pada saat serangan kolonialisme Belanda. Untuk memperlicin jalan menguasai Aceh, pada tahun 1871 Belanda membuat perjanjian dengan Inggris yang dikenal dengan Traktat Sumatera. Perjanjian ini menjadi dasar bagi Belanda untuk bebas bergerak dan mengadakan perluasan wilayah di Aceh.
Kemudian pada tanggal 5 April 1873, Belanda menyerang Aceh dengan menggerakkan 3000 kekuatan tentara. Ekspedisi kedua diluncurkan di bawah kendali Jenderal Van Swieten dengan melakukan agresor merebut Keraton Darus Dunia (Dalam) pada 24 Januari 1874, dan menggantinya nama Banda Aceh dengan Kutaraja. Perubahan ini memiliki tujuan politis yang ingin menunjukkan kepada Gurbernur Jenderal di Batavia dan Raja Belanda di Amsterdam bahwa ia seolah telah berhasil menguasai istana raja dan kerajaan Aceh.
Rakyat Aceh memberikan perlawanan yang cukup heroik terhadap kolonialisme Belanda dengan penuh darah dan duka. Perang kolonial yang berlangsung ini diperkenalkan oleh pihak Belanda dengan nama Perang Aceh, namun rakyat Aceh sendiri lebih mengenalnya dengan nama Perang Belanda yang dalam istilah perjuangan rakyat Aceh disebut sebagai Perang Kaphee Ulanda. Meski Belanda tetap berhasil menduduki Kerajaan Aceh, namun rakyat Aceh tidak pernah berhenti berjuang hingga Belanda angkat kaki dari tanah Aceh pada tahun 1942.
Selama Banda Aceh berubah menjadi Kutaraja, ia tak lagi berperan sebagai kota perdagangan. Kota ini ditempatkan oleh Belanda sebagai pusat kegiatan militer. Pada beberapa bagian kota dibangun tangsi-tangsi pemukiman Belanda dan juga jalur transportasi kerta api yang menghubungkan Kutaraja dengan kota-kota lain di daerah Aceh.
Sejak tahun 1936, Pemerintah Belanda mengubah status Aceh dari Gubernemen menjadi Keresidenan dan berkedudukan di Kutaraja. Status Keresidenan ini berlangsung hingga Belanda menyerah kalah kepada tentara Jepang di tahun 1942.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Tim peneliti geofisika dari Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat melakukan observasi di kawasan yang diduga bekas Kerajaan Aceh Darussalam, di Gampong Jawa, Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, Minggu (4/3/2018). Penelitian tersebut untuk membuktikan apakah benar di kawasan itu merupakan bekas kerajaan yang kini dijadikan lokasi pembangunan instalasi pengolahan air limbah.
Menjelang kedatangan tentara Jepang pada Desember 1941, di Kutaraja telah berlangsung musyawarah yang menghasilkan keputusan cukup penting. Musyawarah kecil tersebut dihadiri oleh Teuku Nyak Arif, Teuku Panglima Polem Muhammad Ali, Teuku Ahmad (Uleebalang Jeunieb), Tengku Daud Beureueh, dan Abdul Wahab Seulimun. Dari musyawarah ini tercetus pernyataan sumpah setia mereka terhadap agama Islam, bangsa, dan tanah air, serta menyusun pemberontakan bersama melawan penjajah Belanda dan bekerja sama dengan pemerintahan Jepang.
Kedatangan Jepang membawa sebuah propaganda untuk menarik simpati para pemimpin rakyat Aceh dengan memberikan citra baik untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Salah satu cara yang digunakan dengan menyebarkan bendera Jepang dan Indonesia dari udara, yaitu Hino Maru dan Merah Putih disertai tulisan “satu warna satu bangsa”.
Tanggal 12 Maret 1942 Jepang resmi mendarat di Aceh, tepatnya di Krueng Raya Aceh Besar, Sabang dan Peureulak Aceh Timur. Kemudian, langsung menuju Kutaraja dan bermarkas di sana. Kedatangan Jepang ini disambut baik oleh rakyat Aceh dan tidak ada perlawanan sedikit pun.
Jepang memerlukan kerja sama dengan para pemimpin Aceh untuk mendukung pelaksanaan operasional pemerintahan. Kepala pemerintahan sipil Syo Tyokang Tuan Ino mengangkat Teuku Nyak Arif sebagai guntjo di Kutaraja dan Teuku Muhammad Ali Panglima Polim sebagai guntjo di Seulimun, serta seluruh uleebalang sontak diangkat menjadi suntjo.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Jepang tidak melakukan perubahan struktur yang fundamentalis, karena tetap menggunakan struktur pemerintahan yang telah dijalankan pada masa pendudukan Belanda. Perubahan hanya dilakukan pada seluruh penamaan yang ditransformasikan dalam istilah Jepang.
Menjelang tiga setengah tahun kekuasaan Jepang di Aceh, khususnya Kutaraja, hampir tidak terjadi perubahan yang menggembirakan. Jepang mulai melakukan manuver-manuver yang hanya menguntungkan baginya, tapi sangat merugikan rakyat. Negeri matahari terbit ini menekan organisasi dan partai politik yang ada di Kutaraja. Akibat dari perlakuan tersebut, seluruh organisasi dan partai politik yang berkembang menjadi lumpuh dan mengalami pasang surut.
Tindakan ini mengakibatkan hubungan elit politik dengan pemimpin pemerintahan menjadi dingin dan merenggang. Tidak hanya itu, mayoritas rakyat sangat menderita terutama dalam bidang ekonomi. Mereka sulit memperoleh bahan-bahan keperluan sehari-hari. Adapun bahan-bahan yang didatangkan oleh Jepang hanya dipergunakan untuk kebutuhan militer saja, bukan untuk kepentingan rakyat.
Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Berita kekalahan Jepang ini menyebar hingga Kutaraja berkat keberanian seorang pemuda bernama Abdullah, yang merupakan Kepala Kepolisian Jepang di Langsa.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Banda Aceh tidak langsung menjadi ibukota daerah Aceh, tetapi sempat menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara dan ditetapkan sebagai tempat kedudukan resmi Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia mulai tanggal 4 Agustus 1949.
Banda Aceh memiliki peran yang sangat penting dalam gejolak pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan. Kota ini pernah dijadikan pusat pengatur perlawanan terhadap pasukan penjajah yang datang kembali ke Indonesia, teutama dengan daerah Gurbernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo.
Pada saat pemerintahan pusat Republik Indonesia di Yogyakarta dikuasai musuh, Banda Aceh tampil untuk membantu pemerintah pusat. Dari kota inilah semua kebijaksanaan dirumuskan. Peran lain yang menonjol ialah saat revolusi kemerdekaan (1945-1949), Banda Aceh tampil sebagai daerah modal untuk kepentingan nasional.
Melalui Peraturan Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 8/Dees/WKPM/1949, terbentuklah Provinsi Aceh yang ditambah dengan sebagian dari Kabupaten Langkat. Provinsi Aceh diresmikan pada tanggal 31 Januari 1950 dengan ibukotanya di Kutaraja (Banda Aceh) dengan Gubernur Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Nama Banda Aceh sendiri baru ditetapkan setelah masuk dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia sejak 28 Desember 1962 berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43.
Sepanjang lintasan pasca perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Banda Aceh tercatat mengalami beberapa kali pergantian status. Mulai dari ibukota karesidenan, Ibukota Provinsi Daerah Aceh, kemudian kembali menjadi Ibukota Keresidenan Aceh dengan menggabungkan daerah ini ke dalam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan demikian, Kota Banda Aceh merangkap dua fungsi sekaligus, baik sebagai Ibukota Provinsi Daerah Istimewa Aceh maupun sebagai Ibukota Daerah Tingkat II Kotamadya Banda Aceh.
Geografis
Kota Banda Aceh terletak antara 05o16’15” – 05o36’16” Lintang Utara dan 95o16’15” – 95o22’35” Bujur Timur. Banda Aceh berbatasan langsung dengan selat malaka di sebelah utara. Untuk bagian selatan, berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Besar, Samudera Hindia di sebelah barat, dan Kabupaten Aceh Besar di bagian timurnya.
Kota Banda Aceh memiliki luas total 61,36 kilometer persegi. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Syiah Kuala (14,24 km2), diikuti oleh Kecamatan Kuta Alam (10,05 km2). Sedangkan wilayah dengan luas terkecil ialah Kecamatan Jaya Baru (3,78 km2).
Kota Banda Aceh termasuk daerah rawan bencana. Banda Aceh diapit oleh dua sesar patahan Sumatera yang masih aktif. Patahan ini ialah segmen Aceh (bagian dari sesar Sumatera) dan segmen Seulimeum. Patahan segmen Aceh memanjang dari Tangse sampai ke Indrapuri, Mata Ie, Pulau Breueh, dan Pulau Nasi. Sedangkan segmen Seulimeum, dimulai dari Seulimeum – Krueng Raya – Sabang. Kedua patahan itu merupakan bagian patahan Sumatera. Patahan itu terbentang dari Teluk Semangko di Lampung sampai ke Provinsi Aceh.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Muksin Umar peneliti di Pusat Riset dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Aceh,Rabu (2/1/2019), memaparkan potensi gempa di Aceh. Saat ini sejumlah sesar dan segmen di Aceh semakin sering melepaskan energi. Sebagai daerah rawan gempa warga harus meningkatkan kesiapsiagaan.
Pemerintahan
Banda Aceh pertama dipimpin oleh WalikotaTeuku Ali Basyah pada tahun 1957 hingga 1959. Menurut buku yang ditulis Alfian (1982) berjudul Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Aceh, Ali Basyah ikut berperan aktif dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan menjadi kepala wilayah Blang Glumpang. Bahkan, pada 7 Januari 1942 ia bersama enam orang Aceh dari Blang Glumpang berangkat ke Pulau Pinang atas nama PUSA guna bernegosiasi dengan pihak Jepang agar mereka segera mendarat di Aceh. Pada masa kepemimpinannya, Banda Aceh masih bernama Kutaraja
Dua tahun menjabat, Teuku Ali Basyah digantikan oleh Teuku Usman Yacoub dari tahun 1959 hingga 1967. Di tengah masa jabatannya, terjadi suatu momentum besar yaitu kembalinya nama Banda Aceh setelah 89 tahun hilang. Penetapan kembali nama Banda Aceh dilakukan oleh Gurbernur Aceh Ali Hasymi melalui Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor Des.52/I/43-43, tanggal 9 Mei 1963.
Jabatan walikota ketiga dipimpin oleh Teuku Mohammad Syah (1967-1968), dan diteruskan oleh Teuku Ibrahim (1968-1970). Kemudian, jabatan kelima kembali dipimpin oleh Teuku Oesman Yacoub selama tiga tahun (1970-1973). Ia digantikan oleh Zein Hasjmy (1973-1978), Djakfar Ahmad (1978-1983), Baharuddin Yahya (1983-1988 & 1988-1993), Said Hussain Al-Haj (1993-1998), dan Zulkarnain (1998-2003).
Pada tahun 2003, Banda Aceh dipimpin oleh Syariffudin Latief. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kepala Badan Kesbang dan Linmas Provinsi Aceh. Belum selesai mengemban tugas, beliau meninggal sebagai korban tsunami yang melanda Kota Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004.
Walikota selanjutnya adalah Mawardy Nurdin yang menjabat selama dua periode (2007-2012, 2012-2014). Karirnya yang cukup cemerlang membawa Mawardy dinobatkan sebagai Bapak Pembangunan Kota Banda Aceh oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah atas jasa-jasanya dalam membangun dan memimpin Banda Aceh. Mawardy meninggal dunia di tengah masa kepemimpinannya yang kedua di tahun 2014.
Kemudian pada tanggal 16 Juni 2014, Illiza Sa’aduddin Djamal yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Walikota Mawardy, terpilih menjadi Walikota Banda Aceh (2014-2017). Ia menjadi perempuan pertama yang menduduki kursi walikota Banda Aceh. Untuk saat ini, Kota Banda Aceh dipimpin oleh Aminullah Usman bersama wakilnya Zainal Arifin sejak 7 Juli 2017.
Dalam menjalankan roda pemerintahan Kota Banda Aceh memiliki Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 4.255 orang, yang terdiri dari 1.400 laki-laki dan 2.855 perempuan pada tahun 2020. Dari komposisi golongan, Pemkot Banda Aceh memiliki 9 orang Golongan I, 618 Golongan II, 2.542 Golongan III, dan 1.086 Golongan IV. Mayoritas PNS berpendidikan sarjana.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh melakukan sosialisasi pemilihan kepala daerah di Banda Aceh, Minggu (5/2/2017). Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 digelar di 101 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia. Aceh termasuk daerah dengan indeks kerawanan tertinggi dalam pelaksanaan pilkada.
Politik
Pada pemilu legislatif tahun 2014, Partai NasDem tercatat sebagai pemenang di Kota Banda Aceh dengan meraup 13,71 persen suara. Namun, NasDem hanya memperoleh empat kursi. Sedangkan Partai Demokrat yang menempati urutan kedua suara terbanyak, mendapat lima kursi. Hal ini disebabkan perolehan suara Partai Demokrat merata di lima daerah pemilihan (dapil).
Selanjutnya, Partai Aceh (PA) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendapat masing-masing empat kursi. Disusul Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masing-masing tiga kursi, Gerindra dua kursi dan PKPI satu kursi
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Pekerja melipat dan menyortir kertas suara untuk Pemilu Legislatif 9 April 2014 di bawah arahan Komisi Independen Pemilu Kota Banda Aceh (KIP) di Banda Aceh, Kamis (13/3/2014). KIP Banda Aceh mengerahkan 150 orang untuk melipat dan menyortir kertas suara yang ditargetkan selesai sepuluh hari mendatang.
Pada Pemilu 2019, PKS berhasil memenangkan suara pemilih di Kota Banda Aceh, mengalahkah Partai Nasdem yang harus puas di urutan kelima dengan meraih 10,62 persen. PKS meraup suara terbanyak, yaitu sebesar 15,74 persen. Disusul Partai Gerindra di urutan kedua dengan meraup 13,67 persen suara dan PAN di posisi ketiga dengan meraup 13,51 persen suara. Sedangkan Demokrat berada di posisi keempat dengan meraih 11,13 persen suara. Adapun partai lokal Partai Aceh meraup 7,27 persen suara sedangkan PNA meraup 6,55 persen suara
Dengan perolehan suara tersebut, dari 30 kursi yang tersedia di DPRK Banda Aceh 2019-2024, PKS, PAN, dan Partai Demokrat masing-masing meraih lima kursi. Selanjutnya Gerindra mendapatkan 4 kursi, Golkar dan Nasdem masing-masing 3 kursi, Partai Aceh dan PPP masing-masing dua kursi, serta Partai Nanggroe Aceh (PNA) mendapatkan satu kursi.
Bila dibandingkan antara pemilu 2014 dan pemilu 2019, terdapat kenaikan jumlah pemilih dan perolehan suara sah yang masuk. Sebelumnya, total perolehan suara sah hanya 88.683 pada pemilu 2014. Jumlah tersebut bertambah menjadi 113.012 suara pada pemilu 2019.
Kependudukan
Penduduk Kota Banda Aceh tercatat sebanyak 252.899 jiwa menurut Sensus Penduduk tahun 2020. Dari jumlah itu, sebanyak 127.435 berjenis kelamin laki-laki dan 125.464 jiwa berjenis kelamin perempuan.
Dari sembilan kecamatan di Kota Banda Aceh, Kecamatan Kuta Alam tercatat memilik jumlah penduduk terbanyak, yakni 42.505 jiwa. Kemudian diikuti Kecamatan Syiah Kuala 32.969 jiwa, dan Kecamatan Baiturrahman 32.513 jiwa.
Adapun kecamatan Baiturrahman tercatat sebagai wilayah terpadat Kota Banda Aceh dengan 7.161 jiwa/km2. Sedangkan Kecamatan Syiah Kuala menjadi wilayah dengan kepadatan penduduk paling rendah di angka 2.315 jiwa/km2.
Masyarakat Kota Banda Aceh mayoritas pemeluk agama Islam, namun di kota ini juga berkembang agama yang lainnya, seperti Kristen, Hindu, Budha dan lainnya yang hidup berdampingan dengan Muslim. Menurut data BPS Kota Banda Aceh, pada tahun 2020, pemeluk Agama Islam tercatat sebanyak 244.101 jiwa, Kristen Protestan sebanyak 1.641 jiwa, Katolik sebanyak 469 jiwa, Hindu sebanyak 21 jiwa, dan Budha sebanyak 2.660 jiwa.
Karena mayoritas penduduknya beragama Islam, sendi-sendi kehidupan masyarakat Banda Aceh banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Sistem religi, kesenian, dan mata pencaharian pun dipengaruhi oleh ajaran Islam.
Untuk ketenagakerjaan, angkatan kerja di Kota Banda Aceh berjumlah 131.147 jiwa pada tahun 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 118.637 jiwa merupakan penduduk bekerja, sedangkan 12.510 diantaranya merupakan pengangguran.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Warga Kota Banda Aceh, Aceh mengangkat idang talam berisi makanan masakan tradisional, Minggu (20/8/2017) dalam perhelatan festival kuliner halal internasional 2017. Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) memberikan penghargaan atas rekor menjunjung idang talam sebanyak 1000 idang talam. Makan bersama makanan yang disajikan di dalam idang talam merupakan tradisi masyarakat Aceh yang masih terawat.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
85,41 (2020)
Angka Harapan Hidup
71,45 tahun (2020)
Harapan Lama Sekolah
17,79 tahun (2020)
Rata-rata Lama Sekolah
12,65 tahun (2020)
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
9,54 persen (2020)
Tingkat Kemiskinan
6,90 persen (2020)
Kesejahteraan
Pembangunan manusia di Kota Banda Aceh dalam lima tahun terakhir terus menunjukkan kemajuan. Indeks pembangunan manusia (IPM) meningkat dari 83,73 pada tahun 2016 menjadi 85,41pada tahun 2020.
Angka IPM Kota Banda Aceh itu terhitung sangat tinggi, bahkan di atas IPM Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 71,99 dan di atas rata-rata nasional sebesar 71,94. Di tingkat nasional, IPM Banda Aceh berada di peringkat kedua, di bawah IPM Kota Yogyakarta sebesar 86,61.
Peningkatan IPM Kota Banda Aceh itu selaras dengan kenaikan angka harapan hidup. Tercatat pada tahun 2020, Kota Banda Aceh memiliki angka harapan hidup sebesar 71,45 tahun. Di bidang pendidikan, harapan lama sekolah telah mencapai 17,79 tahun dan rata-rata lama sekolah sebesar 12,65 tahun. Kemudian, Banda Aceh memiliki angka melek huruf 15 tahun ke atas sebesar 99,79 persen.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada tahun 2020 tercatat sebesar 9,54 persen. TPT penduduk laki-laki lebih besar daripada TPT penduduk perempuan (10,89 persen terhadap 7,13 persen). Salah satu penyebabnya adalah merebaknya pandemi Covid-19 yang menurunkan roda perekonomian sekaligus kesejahteraan masyarakat Banda Aceh.
Angka penduduk miskin di Kota Banda Aceh dalam kurun 10 tahun terakhir cenderung menurun. Pada tahun 2010, persentase penduduk miskin masih sebesar 9,19 persen dan terus mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya, kecuali pada tahun 2017. Angka penduduk miskin sempat mengalami kenaikan dari 7,41 persen menjadi 7,44 persen. Angka penduduk miskin lalu turun di tahun berikutnya dan kembali turun di tahun 2020 menjadi 6,90 persen
KOMPAS/ZULKARNAINI
Warga membaca buku di pustaka yang digelar di lapangan terbuka di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Aceh, Minggu (5/3/2017). Komunitas Rumah Baca Aneuk Nanggroe membuka pustaka di ruang publik setiap hari Minggu untuk mendekatkan buku dengan warga agar minat baca tumbuh.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Rp 227,72 miliar (2020)
Dana Perimbangan
Rp 708,58 miliar (2020)
Pertumbuhan Ekonomi
-3,29 persen (2020)
PDRB per kapita
Rp 66,18 juta/tahun (2020)
Inflasi
3,46 persen (2020)
Ekonomi
Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Banda Aceh tercatat sebesar Rp18,28 triliun pada tahun 2020. Angka ini mengalami penurunan sebesar Rp 280 miliar bila dibandingkan tahun sebelumnya.
Ekonomi Banda Aceh ditopang oleh sektor pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial yang kontribusinya mencapai 23,11 persen dari total PDRB 2020.
Selain sektor pemerintahan, kontributor utama ekonomi Banda Aceh adalah sektor perdagangan dan sektor real estate yang masing-masing sebesar 20,04 persen dan 8,72 persen dari PDRB 2020. Dua sektor lainnya yang memiliki kontribusi besar ialah jasa pendidikan dengan proporsi sebesar 8,3 persen serta transportasi dan pergudangan dengan proporsi sebesar 6,75 persen.
Untuk keuangan daerah, total pendapatan Kota Banda Aceh pada 2020 menembus Rp1,25 triliun. Dana perimbangan menjadi penopang APBD dengan kontribusi senilai Rp 708,58 miliar atau 56 persen dari total pendapatan 2020. Sementara itu, PAD mencatatkan realisasi senilai Rp 227,72 miliar atau sebesar 18 persen dari total pendapatan daerah pada 2020. Adapun pendapatan lain sebesar Rp 322,61 miliar.
Usaha Kecil Menengah di Kota Banda Aceh tahun 2020 tercatat sebanyak 10.384 unit. Dari jumlah itu, UKM yang bergerak di perdagangan sebanyak 5.508 unit. Kemudian, untuk sektor industri didominasi oleh industri makanan dan minuman dengan jenis produksi seperti tebu, bubuk kopi, tempe, tahu, kerupuk, roti/mie, dan limun.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Suasana di tepi Krueng (Sungai) Aceh di Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh masih ramai. Sejak direnovasi menjadi kawasan kuliner, bantaran Krueng Aceh di Peunayong seperti terlihat pada Sabtu (11/1/2020) tampak lebih indah.
Di bidang pariwisata, Kota Banda Aceh memiliki potensi wisata bahari, sejarah, religi, budaya, edukasi tsunami, dan kuliner. Kota Banda Aceh memiliki 83 situs wisata, yang terdiri dari 17 wisata sejarah, 7 monumen, 3 taman, 7 wisata tsunami, 2 sungai, 4 wisata pantai, 5 masjid bersejarah, dan 38 komplek makam.
Beberapa tempat wisata yang menjadi favorit bagi wisatawan adalah Masjid Raya Baiturrahman, Museum Tsunami Aceh, Taman Bustanussalatin, Taman Ratu Safiatuddin, dan Monumen Seulawah.
Sepanjang tahun 2020, wisatawan lokal yang berkunjung sebanyak 482.322 orang dan 21.670 wisatawan mancanegara. Untuk mendukung perkembangan wisata, Kota Banda Aceh telah memiliki 82 hotel atau penginapan dan 273 rumah makan atau restauran.
Referensi
- “Kota Banda Aceh *Otonomi”, Kompas, 12 April 2001, hal. 08
- “Mereka Butuh Perhatian *Otonomi”, Kompas, 12 April 2001, hal. 08
- “Pariwisata: Museum Batu Alam Berdiri di Aceh”, Kompas, 2 Februari 2015, hal. 24
- “Kota Madani: Maju dalam Kearifan Lokal * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 22 April 2015, hal. 22
- “Kota Banda Aceh: Sanitasi, Kunci Kenyamanan * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 22 April 2015, hal. 22
- “Geliat Kota: Wajah Baru Banda Aceh”, Kompas, 22 Februari 2020, hal. 01, 11
- Alfian, I. (ed), 1982. Sejarah Perlawanan Terhadap lmperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Depdikbud, Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
- Sufi, R., dkk., 1997. Sejarah Kotamadya Banda Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh
- Sufi, R., dkk., 2003. Sejarah Kebudayaan Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
- Kota Banda Aceh dalam Angka 2021, BPS Kota Banda Aceh
- [Metode Baru] Indeks Pembangunan Manusia 2019-2020, Badan Pusat Statistik.
- Perkembangan Gini Rasio Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2005 – 2019, BPS Provinsi Aceh
- Sekilas Sejarah Bandar Aceh Darussalam, Pemerintah Kota Banda Aceh
- IPM Banda Aceh Terbaik Nasional, Pemerintah Kota Banda Aceh
- Demografi, Pemerintah Kota Banda Aceh
- Agama, Pemerintah Kota Banda Aceh
- Rencana Tata Ruang Wilayah, Bappeda Kota Banda Aceh
- Profil Kota Banda Aceh, Badan Ekonomi Kreatif Indonesia
- Sejarah Kota Banda Aceh, Inspektorat Kota Banda Aceh
- Banda Aceh Sepanjang Abad, Badan Kesbangpol Kota Banda Aceh
- Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara DPR RI Pemilu 2014 Kota Banda Aceh, Komisi Independen Pemilihan Kota Banda Aceh
- Sejarah Penentuan Hari Jadi Kota Banda Aceh, Isnorman dalam Steemit
- Jelajah Kota Banda Aceh, Disaster Management Institute of Indonesia
- Mengapa Aceh Dijuluki Kota Serambi Mekkah?, laman Kompas.com
- Banda Aceh Diminta Garap 55 Juta Wisatawan Muslim Nusantara, laman Kompas.id
- Banda Aceh Targetkan 500.000 Wisatawan, laman Kompas.id
- Wajah Baru Banda Aceh, laman Kompas.id
- Undang-Undang Nomor 8 (Drt) Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara
Penulis
Antonius Purwanto
Kontributor
Kathrin Shafa Zakiyya
Editor
Ignatius Kristanto