Paparan Topik | Sepakbola Nasional

Suporter Sepak Bola dalam Perspektif Sosial

Meskipun pertandingan sepak bola Indonesia menimbulkan tragedi kemanusiaan, harapan dan minat terhadap olahraga ini tak kunjung surut. Menjadi suporter sepakbola merupakan kebangaan tersendiri dan wujud ekspresi totalitas dukungan pada tim kesebelasan favorit.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Dua suporter Arema menangis bersama saat mengingat teman mereka yang meninggal akibat kerusuhan di depan Patung SingaTegar yang dipenuhi rangkaian bunga duka cita di kawasan Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Senin (3/10/2022). Dua hari pascakerusuhan yang memakan korban jiwa tersebut, banyak warga mendatangi tempat itu untuk berdoa dan menaburkan bunga. Di bawah patung singa tersebut kini dipenuhi oleh bunga, lilin, ucapan duka, serta beragam aksesoris Arema FC.

Fakta Singkat

  • Pada tahun 2014, jumlah peminat sepak bola di Indonesia tertinggi kedua di dunia, yakni mencapai 77 persen dari populasi nasional (Nielsen Sport/Repucom dalam Laporan World Football).
  • Pada tahun 2020 di masa pandemi, sebanyak 68 persen penduduk Indonesia menyatakan minat pada sepak bola. Sepak bola di peringkat kedua setelah bulu tangkis sebagai cabang olahraga yang paling diminati (Nielsen Sport).
  • Data kematian akibat pertandingan sepak bola membuktikan tidak maksimalnya PSSI mengantisipasi urusan suporter sepak bola di tanah air.
  • Asa atau harapan menjadi suporter merupakan ekspresi sebagai sarana hiburan, konstruksi identitas, dan rasa memiliki tim kesayangan.
  • Identitas diri maupun sosial diperoleh individu lewat interaksi rutin dengan tim kesayangan dan eksistensi dalam jaringan suporter.
  • Rasa memiliki terhadap klub sepak bola memperkuat integrasi sosial dalam satu identitas bersama.
  • Kehadiran suporter mampu memberikan pengaruh sebesar 33,3 persen terhadap jalannya pertandingan sepak bola.

Artikel Terkait

Hingga Kamis (6/10/2022), jumlah korban meninggal dari “tragedi Kanjuruhan” telah mencapai 131 orang. Akibat tragedi tersebut, sebanyak 31 personel Polri telah diperiksa terkait kode etik. Seluruh personel yang diperiksa adalah anggota polisi yang berjaga pada saat tragedi terjadi (Kompas.id, 5/10/2022, “Personel Polri yang Diperiksa Terkait Kode Etik Bertambah Jadi 31 Orang”).

Dari proses pemeriksaan yang dilakukan, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengumumkan enam tersangka pada Jumat (6/10/2022). Tersangka dari pihak manajemen pertandingan adalah Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, security officer Suko Sutrisno.

Sementara dari pihak kepolisian ada Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Wahyu SS, Komandan Kompi III Brimob Kepolisian Daerah Jatim Ajun Komisaris Hasdarman, dan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi. Menurut Listyo, hingga Jumat (6/10/2022) tersebut, jumlah tersangka bisa bertambah (Kompas, 7/10/2022, “Enam Tersangka Abai Faktor Keselamatan”).

Sebelumnya, Stadion Kanjuruhan menjadi saksi bisu sekaligus latar tragis tragedi kemanusiaan dalam dunia sepak bola Indonesia. Pada Sabtu (1/10/2022), kerusuhan besar terjadi dalam stadion yang berlokasi di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur tersebut. Malam itu, laga pekan ke-11 Liga 1 diselenggarakan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya. Pada laga ini, suporter dari Persebaya diminta untuk tidak datang demi alasan keamanan.

Pertandingan berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan Persebaya alias kekalahan bagi Arema sebagai tuan rumah. Hasil ini lantas direspon oleh sebagian pendukung Arema dengan memasuki lapangan. Berbagai sumber berbeda menyebutkan motif yang beragam terkait masuknya suporter ke lapangan, apakah ditujukan untuk menyerang pemain lawan atau memberikan dukungan pada pemain tim kesayangannya.

Kerusuhan terjadi ketika aparat kesulitan mengendalikan massa di lapangan. Polisi pun melakukan usaha pembubaran dengan menembakkan gas air mata, yang sesungguhnya dilarang untuk penggunaan di stadion oleh FIFA dalam Regulasi Keselamatan dan Keamanan Stadion. Tindakan represi aparat dinilai berlebihan setelah mereka juga menembakkan gas air mata ke tribune. Ditambah juga dengan tindakan pukulan dengan pentung dan tendangan.

Gas yang menyebabkan iritasi pada mata, mulut, tenggorokan, paru-paru, dan kulit ini lantas menimbulkan kepanikan ketika penonton berdesakan mencari pintu keluar. Dalam kepanikan tersebut, ditambah pintu gerbang keluar yang terkunci, menimbulkan korban jiwa. Sesak napas dan trauma kepala atau dada karena terinjak-injak menjadi dua penyebab utama besarnya korban meninggal maupun pingsan (Kompas, 3/10/2022, “Tragedi”).

Salah satu penyebab dari hal ini adalah belum adanya regulasi yang memadai untuk mengatur kehadiran suporter yang memeriahkan stadion. Hal ini menunjukkan sepak bola Indonesia tidak memiliki panduan baku untuk pengelolaan suporter dan penanggulangan massa. Kalaupun ada, sosialisasi ke aparat keamanan tidak maksimal.

Sebagai dampaknya, potensi kerusuhan antar-pendukung klub sepak bola menjadi masalah yang perlu diatasi sendiri oleh pelaksana kompetisi. Sementara itu, tragedi Kanjuruhan menunjukkan bahwa potensi bentrokan dengan aparat pun tak kalah besarnya.

Sesuai hasil penyelidikan, Polri akhirnya mengakui bahwa tembakan gas air mata oleh aparatnya saat kericuhan tidaklah tepat. Kepolisian Daerah Jatim Ajun Komisaris Hasdarman dan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi diduga memerintahkan pasukannya menembakkan gas air mata.

Sesungguhnya, risiko laten yang menampakkan diri secara masif di Kanjuruhan telah diperingatkan sebelumnya. Peringatan muncul dalam bentuk bentrokan yang melibatkan suporter Persis Solo dengan warga di sejumlah titik Yogyakarta pada Senin (25/7/2022). Bentrok melibatkan penganiyaan dan keributan yang melibatkan suporter dengan warga. Sebanyak lima orang dinyatakan tersangka dan seorang juru parkir dalam kondisi kritis.

Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita di Jakarta, Selasa (26/7/2022), menegaskan pentingnya edukasi kepada suporter melalui koordinasi dengan klub dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Kompas pernah mengingatkan sebelumnya bahwa bentrokan ini menjadi telah alarm untuk sejumlah “laga panas” Liga 1 setelahnya, termasuk laga Arema dan Persebaya di Kanjuruhan tersebut (Kompas, 27/7/2022, “Alarm dari Pekan Pembuka Liga 1”).

Demikianlah, dalam konteks Indonesia, kondisi tersebut menunjukkan tingginya urgensitas untuk menetapkan regulasi khusus bagi para pendukung klub. Tak hanya itu, secara lebih luas, pengelolaan atas massa pendukung juga memerlukan pembenahan besar dalam persepakbolaan (Kompas, 4/10/2022, “Benahi Tata Kelola Kompetisi”).

Namun selain hal tersebut, kondisi demikian juga menunjukkan tingginya minat masyarakat Indonesia akan sepak bola. Kehadiran massa luas yang terdiri atas para suporter untuk mendukung tim kesayangannya bermain menjadi indikator nyata. Bentrokan dan kekerasan adalah dampak sampingan dari tingginya minat dan makna sepak bola bagi masyarakat luas yang gagal diakomodasi oleh lembaga berwenang.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Poster sebagai bentuk keprihatinan tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang terpasang di pinggir jalan di Penjaringan, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Tragedi Kanjurahan menewaskan 125 orang seusai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya.

Masyarakat Indonesia dan Minat Sepak Bola

Bahwa sepak bola adalah cabang olahraga yang menarik minat begitu banyak minat masyarakat Indonesia adalah pernyataan faktual. Repucom, lembaga pengukuran dan evaluasi olahraga global, mencatat dalam laporan World Football, bahwa pada tahun 2014, Indonesia menjadi negara dengan jumlah peminat sepak bola tertinggi kedua di dunia, yakni mencapai 77 persen dari total populasi. Angka tersebut hanya kalah dari Nigeria yang mencapai 83 persen.

Pada tahun yang sama, lembaga Skala Survei Indonesia (SSI) melaporkan hasil surveinya terkait olahraga yang paling disukai publik Indonesia. Survei tersebut mencapai simpulan temuan yang sama, hanya dengan tingkat kuantitatif yang berbeda. Dilaporkan SSI bahwa hingga 90,8 persen publik Indonesia memahami olahraga sepak bola.

Dari persentase publik yang tahu sepak bola, sebanyak 47,6 persen menyukai cabang olahraga ini. Rasio tersebut bahkan begitu lebar dibandingkan dengan cabang olahraga lainnya. Di peringkat kedua, terdapat cabang bulu tangkis dengan jumlah peminatnya hanya 18,8 persen.

Dalam perkembangan selanjutnya, minat terhadap bulu tangkis berkembang dengan sangat pesat. Pada tahun 2020, lembaga Repucom yang telah berubah nama menjadi Nielsen Sports kembali melakukan riset global akan minat cabang olahraga, termasuk Indonesia. Hasilnya, bulu tangkis melampaui sepak bola sebagai cabang olahraga yang paling diminati publik Indonesia.

Sebanyak 71 persen penduduk Indonesia menyatakan minat terhadap cabang bulung tangkis. Sementara sepak bola berada di urutan kedua dengan rasio 68 persen. Angka ini sendiri masih menunjukkan tingginya minat sepak bola di Indonesia, sementara angka indikator tersebut di negara Malaysia, Thailand, dan Filipina secara berturut-turut hanya mencapai angka 57 persen, 60 persen, dan 33 persen.

Dalam koridor skala kuantitatif, tampak betapa tingginya populasi penduduk tanah air yang meletakkan minat pada sepak bola. Hal ini turut menunjukkan dalamnya makna sepak bola di Indonesia dan memberikan gambaran akan tingginya partisipasi masyarakat menjadi suporter pertandingan. Meski begitu, kondisi demikian tidak diikuti dengan kualitas pengelolaan atas suporter oleh berbagai lembaga berwenang, terutama sekali oleh PSSI.

Padahal, sebagaimana juga disampaikan Repucom dalam laporannya pada 2014, suporter adalah aset berharga bagi olahraga, tidak terkecuali sepak bola. Secara radikal dituliskan, “Penggemar adalah bahan bakar bagi industri (sepak bola). Mereka adalah pusat dari alam komersial yang mengelilingi mereka”.

Oleh karenanya, Repucom menegaskan sangat penting untuk memahami suporter sepak bola. Pemahaman demikian termasuk siapa mereka, di mana mereka berada, dan mengapa mereka menjadi penggemar. Hal demikian dianggap sangat penting bagi industri sepak bola sehingga bisa berjalan dengan sukses dan mencapai tujuannya.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Pudji Hartanto (dua kanan), Albertus Wahyurudhanto (kanan), dan Muhammad Dawam (dua dari kiri) mengunjungi Stadion Kanjuruhan di Kepanjeng, Malang, Jawa Timur, Selasa (4/10/2022). Kompolnas mendatangi Stadion Kanjuruhan untuk melakukan observasi lapangan terkait tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 125 orang.

Konsekuensi Suporter Tanah Air

Kembali pada konteks pengendalian dan pengelolaan suporter tesebut, kapasitas PSSI selama ini terbukti dangkal. “PSSI tidak serius soal ini. Memang suporter ada di bawah kewenangan klub, tetapi PSSI harus turun tangan,” kata Ketua Pusamania (suporter Borneo FC) Tommy Ermanto pada Agustus 2017. (Kompas, 4/8/2017, “Sumber Konflik Tak Tersentuh”). Keharusan ini berangkat dari status PSSI sebagai lembaga tertinggi dan paling berwenang dalam cabang sepak bola secara khusus.

Berangkat dari komentar tersebut, Ketua Umum PSSI pada masa itu, Edy Rahmayadi mengakui bahwa kekerasan yang terus terjadi adalah indikator ketidakbecusan PSSI. ”Kami coba tindak lanjuti dengan mengumpulkan perwakilan semua suporter yang punya kompetensi untuk mencari inti permasalahan,” katanya (Kompas, 4/8/2017).

Salah satu upaya yang lantas dilakukan PSSI untuk mengurangi konflik adalah dengan menggunakan wasit asing di Liga 1. Kepemimpinan wasit yang tidak adil kerap menjadi pemicu utama dari kerusuhan yang melibatkan suporter. Meski begitu, keputusan demikian tidak lantas memberikan solusi signifikan terhadap pengelolaan suporter dan risiko kericuhan laten.

Terbukti, rentetan kericuhan yang melibatkan suporter terus terjadi, bahkan hingga titik konsekuensi yang paling ektrem, yakni kematian. Kasus kematian suporter di Indonesia terus bermunculan dalam beberapa tahun terakhir. Lembaga Save Our Soccer (SOS) mencatat, dalam rentang waktu 1994 sampai dengan Juni 2022, sebanyak 78 suporter telah tewas dalam peristiwa terkait sepak bola Indonesia.

Dalam catatan tersebut, mayoritas suporter yang tewas tersebut adalah pendukung klub asal Surabaya, yakni Persebaya, dengan jumlah total 17 orang korban tewas. Korban terbanyak berikutnya beradal dari pendukung Arema dan Persija dengan masing-masing berjumlah sembilan orang. Jumlah kematian ini pun meningkat pesat menjadi 209 korban tewas seiring dengan peristiwa di Kanjuruhan.

Data SOS juga mencatatkan penyebab kematian dari para suporter yang menjadi korban. Mayoritas mereka yang tewas diakibatkan oleh tindak pengeroyokan, yakni hingga 22 kasus. Selain itu, penyebab tertinggi kedua dan ketiga adalah jatuh dari kendaraan (sebanyak 17 kasus) dan tusukan oleh benda tajam (14 kasus). Dari angka-angka tersebut, tampak bagaimana kematian menjadi konsekuensi yang begitu lekat membayangi keputusan seorang penduduk Indonesia untuk menjadi suporter sepak bola dan meramaikan stadion.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pecinta sepakbola aksi tabur bunga, menyalakan 1.000 lilin dan doa bersama untk menghormati kawan-kawan Aremania yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan di pintu masuk Asia Afrika, Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (2/10/2022) malam.

Asa Menjadi Suporter: Sarana Hiburan dan Rekreasi

Meski dibayangi oleh konsekuensi maut, ditambah juga dengan buruknya manajemen industri sepak bola tanah air, nyatanya minat terhadap sepak bola tetaplah begitu tinggi. Selaras dengannya, kehadiran entitas suporter, baik sebagai fenomena pertandingan maupun fenomena sosial, tidak juga surut. Ribuan suporter setia mengisi bangku-bangku stadion ketika timnya bermain.

Mengenai hal ini, Cocieru, Delia, dan Katz menjelaskan dalam artikel ilmiah “It’s Our Club! From Supporter Psychological Ownership to Supporter Formal Ownership” menjelaskan bahwa pada abad ke-20, olahraga kian memiliki kapasitas sebagai tempat pelarian. Masalah yang kompleks dan perasaan terpencil dari pergaulan umum dapat diatasi melalui pelarian pada cabang sepak bola. Tak hanya memainkannya, menjadi pendukung dianggap sebagai suatu hal yang “mengisi” kebutuhan tersebut dan membanggakan.

Cocieru, Delia, dan Katz juga menyoroti bahwa rekreasi sebagai suporter dapat diperoleh dari hubungan antar-mereka. Solidaritas yang terbangun di dalamnya akan memberikan rasa saling memiliki, baik antar-penggemar maupun terhadap tim yang didukung. Perasaan demikian menjadi sarana yang lantas dipelihara sebagai rekreasi dari rutinitas kehidupan para suporter.

Sementara itu, penelitian oleh Cavdar dan Kircova dalam artikel ilmiah “Exploring Effective Factors on Football Games Watching Decisions of Individuals” mencapai temuan terkait nilai hiburan (entertainment) sepak bola. Nilai hiburan mencapai level yang tinggi ketika pendukung suatu tim datang dan menonton langsung pertandingan di stadion.

Berbagai manfaat pun diperoleh dengan menjadi suporter dan menyaksikan langsung pertandingan. Termasuk, antara lain, memperoleh nilai hiburan yang tinggi bola, menjadi bersemangat, sebagai alat melarikan diri dari kehidupan sehari-hari, sebagai kegiatan sosial, dan merasakan atmosfer stadion. Penelitian oleh Cavdar dan Kircova juga menemukan bahwa nilai hiburan dari sepak bola lebih tinggi apabila dilakukan dengan datang langsung ke stadion daripada menonton dari rumah.

Suporter: Konstruksi Identitas dan Modal Sosial

Menjadi pendukung setia klub kesayangan mampu memberikan makna lebih daripada sarana rekreasi semata. Sitepu dan Setyaningsih dalam artikel ilmiah “Konstruksi Identitas Suporter Sepakbola di Indonesia” menuliskan, menjadi suporter bahkan memampukan individu terkait untuk mencapai tujuan pencarian identitas. Dalam tataran demikian, sepak bola menunjukkan posisi sebagai budaya umum yang terkait dengan kelas sosial suatu masyarakat, bangsa dan negara.

Konsep identitas yang digunakan oleh Sitepu dan Setyaningsih merujuk pada jati diri yang mampu memberikan rasa kepemilikan (sense of belonging). Rasa inilah yang memberikan persepsi bagi dirinya sendirinya, bahwa ia hadir secara nyata. Dengan memahami jati dirinya, individu akan turut memperoleh peran, nilai, dan keterampilan yang membentuk diirnya. Pencapaian identitas demikian dibentuk lewat proses sosial dalam ruang dialektis antara individu dengan kelompok atau massa.

Dalam kacamata mikro, individu adalah produk dari lingkungan sosial dan budaya di sekitarnya. Mengutip sosiolog George Herbert Mead, terdapat tiga unsur penting dalam pembangunan identitas, yakni pikiran (mind), refleksi diri (self), dan masyarakat (society).

Melalui tataran pikiran, individu saling menerima dan berinteraksi dengan simbol yang sama. Penggunaan simbol menjadi sarana yang signifikan dalam mengekspresikan pesan yang ingin disampaikan. Refleksi diri dilakukan lewat metode looking-glass self, yakni melihat diri sendiri dari pantulan orang lain, terutama mereka yang dekat secara interaksi. Sementara society dalam pandangan Mead adalah jejaring hubungan sosial, dimana di dalamnya terdapat particular others (orang-orang penting dalam kehidupan) dan generalized others (harapan sosial secara umum terhadap individu).

Dalam konteks menjadi suporter, Sitepu dan Setyaningsih menyoroti secara khusus pembentukan identitas anggota “The Jakmania”, kelompok/komunitas suporter klub Persija. Dalam tataran pikiran (mind), mereka menggunakan simbol verbal dan non-verbal. Termasuk simbol yang digunakan, antara lain, penggunaan aksesoris dan pakaian dengan warna oranye, nyanyian mars The Jakmania, dan simbol jari tangan membentuk huruf J.

Dalam refleksi diri (self), individu anggota The Jakmania secara sadar bergabung dengan komunitas tersebut dan mengenakan atribut khas sebagai simbol. Hal demikian adalah produk dari refleksinya dipandang oleh orang lain. Sitepu dan Setyaningsih menemukan bahwa dengan bergabung ke dalam komunitas suporter, informan mereka mampu merefleksikan diri secara lebih berharga karena telah menjadi bagian dalam sesuatu yang lebih besar.

Sementara dalam konteks masyarakat (society), jaringan sosial yang terbentuk adalah jaringan antar pendukung tim sepak bola yang sama. Dalam keselarasan tersebut, muncul sosok seperti Ketua Komunitas, Koordinator Wilayah (Korwil), atau teman-teman baru yang menjadi particular others dan memberi pengaruh pada identitas individu. Eksistensi generalized other tampak dari koleksi aturan, norma, dan sikap komunitas suporter terkait.

Berbagai tataran berbeda tersebut hadir dalam proses sosial suporter. Hubungan antar-individu suporter, yang disatukan lewat klub yang sama dan diwadahi komunitas suporter, memberikan mereka identitas kolektif maupun pribadi. Kesamaan identitas demikian dirawat sehingga menciptakan solidaritas sosial yang erat antar suporter yang membuat dukungan di stadion tidak semata untuk tujuan rekreasi.

Fenomena demikian seperti ditulis Kompas (3/10/2022, “Aremania dan Identitas Sosial Arek Malang”) oleh para Aremania, suporter klub Arema di Malang. Sebelum kehadiran klub tersebut, perkelahian antarpemuda sangat umum di Malang, sebab mereka masih mengidentifikasi diri sebagai pemuda suatu kampung secara terbatas.

Namun, seiring dengan kelahiran dan kian membesarnya Arema pada periode 1990-an, sekat-sekat konflik pun menghilang. Terbangun identifikasi diri secara luas sebagai anak muda Malang yang sama-sama berada dalam solidaritas untuk mendukung Arema.

Jousairi Hasbullah dalam buku Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia, memaparkan bahwa identitas yang sama demikian terkumpul secara kolektif dalam jaringan sosial. Jaringan yang dipertahankan secara baik lewat norma dan nilai, lantas menghasilkan “modal sosial. Kehadiran “modal sosial” penting untuk menjadi basis bagi terciptanya kemajuan kolektif, integrasi sosial, bahkan kesejahteraan dalam koridor aktivitas bersama.

Dengan jaringan sosial Aremania yang terbentuk, para kelompok muda Malang pun sungkan berkelahi dengan “saudara” sendiri. Sepak bola memindahkan energi berlebih mereka dari perkelahian antar kampung ke stadion. Penyaluran energi dilakukan secara positif melalui teriakan dukungan, tabuhan drum, nyanyian dukungan, hingga formasi yang unik dan rapi. Tidak hanya penyaluran energi, sepak bola juga menjadi sarana integrasi sosial.

Kekompakan dalam satu identitas tersebut lantas menjalar dalam interaksi sosial sebagai sesama Aremania. Identitas inilah yang membuat para suporter merasa dirinya berarti, sehingga kian menguat secara kolektif dan menjadi simbol persatuan atas kota Malang sendiri. Salah satu wujud konkret dari modal sosial Aremania tampak ketika reformasi 1998. Para anggota Aremania menjadi kelompok yang maju terdepan ketika kota Malang hendak dimasuki provokator. Kota tersebut pun aman, berbeda dengan nasib kota-kota lain yang hangus.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pecinta sepakbola aksi tabur bunga, menyalakan 1.000 lilin dan doa bersama untk menghormati kawan-kawan Aremania yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan di pintu masuk Asia Afrika, Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (2/10/2022) malam.

Suporter: Lebih Berarti lewat Rasa Memiliki

Selain menemukan identititas diri dan memperoleh solidaritas persaudaraan, menjadi suporter juga memberikan perasaan menjadi berarti. Kembali merujuk pada artikel ilmiah oleh Cocieru, Delia, dan Katz, makna berarti tersebut diperoleh dari perasaan memiliki dan berpengaruh akan sesuatu yang lebih besar daripada individu, dalam hal ini terhadap klub sepak bola yang didukung.

Disampaikan Cocieru, Delia, dan Katz, sepak bola dapat memuaskan kebutuhan para suporter akan perasaan memiliki. Perasaan demikian diperoleh dari proses identifikasi tim (team identification), yang diartikan sebagai proses ketika identitas individu telah terbentuk dan secara konkret teridentifikasi dengan klub yang mereka dukung. Dengan identifikasi tim, tak hanya identitas diri yang diakui, namun juga kepemilikannya atas suatu hal yang besar juga tervalidasi.

Pada saat bersamaan, proses identifikasi tim tersebut juga harus terjadi dalam skala masif yang melibatkan banyak orang lain. Semakin banyak suporter yang diinvestasikan dalam sebuah klub sepak bola, maka akan semakin tinggi pula perasaan kepemilikan tersebut. Kehadiran kebersamaan dan solidaritas menjadi katalis atas hal ini. Itulah sebab komunitas suporter menjadi wadah yang inklusif untuk menjaring fans sekaligus menjaga solidaritas.

Perasaan memiliki ini secara radikal berkembang di Catalonia, sebuah daerah di timur laut Spanyol dengan ibukota Barcelona. Klub raksasa yang telah mendunia, Futbol Club Barcelona (FCB) atau Klub Sepakbola Barcelona, hadir di ibu kota tersebut. Dalam perjalanan historis, para penduduk Catalonia mengembangkan perasaan memiliki yang begitu mendalam terhadap klub asal kota mereka.

Perkembangan ini begitu radikal hingga Jordi Xifra, dalam artikel ilmiahnya “Soccer, civil religion, and public relations: Devotional–promotional communication and Barcelona Football Club”, mencapai temuan bahwa FCB telah menjadi agama publik (civil religion). Berita-berita tentang klub tersebut melebihi berita tentang kondisi politik regional. Kehadiran FCB mencapai kapasitas sebuah agama, yakni memberikan makna dan harapan bagi masyarakat, memenuhi kebutuhan akan rasa memiliki, dan memberikan energi sosial untuk tujuan bersama. Kemenangan FCB menjadi penyegaran emosional bagi masyarakat Catalonia.

Hingga tataran demikian, bukan tidak mungkin terdapat kondisi mendalam serupa dalam konteks spasial Indonesia. Apalagi mengingat tingginya minat masyarakat terhadap dunia sepak bola, baik pada periode lampau maupun hingga kini. Meski begitu, belum terdapat riset serupa yang berfokus pada tema terkait.

Rasa kepemilikan yang demikian dalam tersebut dapat terjadi ketika sebuah tim menjadi identik dengan kehidupan dan identitas komunitas lokal atau kampung halaman. Dalam kelekatan demikian, para penggemar lantas memiliki kecenderungan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses perkembangan klub mereka, termasuk dengan mengekspresikan ketidakpuasan. Para suporter pun mampu mengorganisir protes dan mengembangkan budaya perlawanan untuk mengungkapkan keluhan.

Selain perasaan memiliki tim kesayangan, perasaan mampu memiliki pengaruh dan kontrol terhadap pencapaian hasil tim juga menjadi alasan lain kedalaman asa atau harapan seorang suporter. Dalam pandangan ini, para suporter tidak memandang olahraga sebagai produk konsumsi belaka, namun memandang diri sebagai bagian dalam roda fungsionalitas klub. Para suporter merasa dukungan mereka begitu kuat hingga dapat mempengaruhi jalannya pertandingan. Hal demikian dilakukan lewat nyanyian dan koreografi yang diatur di tribun selama pertandingan.

Perasaan atas kontrol dan pengaruh yang dimiliki suporter tidaklah sebatas perasaan belaka. Secara faktual, kehadiran para suporter dalam memberikan pengaruh di lapangan adalah nyata. Penelitian oleh Wunderlich, Weigelt, Rein, dan Memmert dalam artikel ilmiah “How does spectator presence affect football? Home advantage remains in European topclass football matches played without spectators during the COVID-19 pandemic” menemukan hal demikian.

Melalui penelitian tersebut, Wunderlich, Weigelt, Rein, dan Memmert menemukan ketiadaan suporter dalam pertandingan yang diselenggerakan secara tertutup di stadion, memberikan konsekuensi nyata pada jalannya pertandingan. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran (kartu merah dan kartu kuning) berkurang secara signifikan, sebab pemain dari tim tamu tidak lagi mendapat tekanan yang sama dari para penonton. Kehadiran suporter memberikan pengaruh setidaknya 33,3 persen dari jalannya pertandingan.

Suporter: Rasa Memiliki Tim Kesebelasan

Selain menemukan identititas diri dan memperoleh solidaritas persaudaraan, menjadi suporter juga memberikan perasaan menjadi berarti. Kembali merujuk pada artikel ilmiah oleh Cocieru, Delia, dan Katz, makna berarti tersebut diperoleh dari perasaan memiliki dan berpengaruh akan sesuatu yang lebih besar daripada individu, dalam hal ini terhadap klub sepak bola yang didukung.

Disampaikan Cocieru, Delia, dan Katz, sepak bola dapat memuaskan kebutuhan para suporter akan perasaan memiliki. Perasaan demikian diperoleh dari proses identifikasi tim (team identification), yang diartikan sebagai proses ketika identitas individu telah terbentuk dan secara konkret teridentifikasi dengan klub yang mereka dukung. Dengan identifikasi tim, tak hanya identitas diri yang diakui, namun juga kepemilikannya atas suatu hal yang besar juga tervalidasi.

Di saat bersamaan, proses identifikasi tim tersebut juga harus terjadi dalam skala masif yang melibatkan banyak orang lain. Semakin banyak suporter yang diinvestasikan dalam sebuah klub sepak bola, maka akan semakin tinggi pula perasaan kepemilikan tersebut. Kehadiran kebersamaan dan solidaritas menjadi katalis atas hal ini. Itulah sebab komunitas suporter menjadi wadah yang inklusif untuk menjaring fans sekaligus menjaga solidaritas.

Perasaan memiliki ini secara radikal berkembang di Catalonia, sebuah daerah di timur laut Spanyol dengan ibukota Barcelona. Klub raksasa yang telah mendunia, Futbol Club Barcelona (FCB) atau Klub Sepakbola Barcelona, hadir di ibukota tersebut. Dalam perjalanan historis, para penduduk Catalonia mengembangkan perasaan memiliki yang begitu mendalam terhadap klub asal kota mereka.

Perkembangan ini begitu radikal hingga Jordi Xifra, dalam artikel ilmiahnya Soccer, civil religion, and public relations: Devotional–promotional communication and Barcelona Football Club, mencapai temuan bahwa FCB telah menjadi agama publik (civil religion). Berita-berita tentang klub tersebut melebihi berita tentang kondisi politik regional. Kehadiran FCB mencapai kapasitas sebuah agama, yakni memberikan makna dan harapan bagi masyarakat, memenuhi kebutuhan akan rasa memiliki, dan memberikan energi sosial untuk tujuan bersama. Kemenangan FCB menjadi penyegaran emosional bagi masyarakat Catalonia.

Hingga tataran demikian, bukan tidak mungkin terdapat kondisi mendalam serupa dalam konteks spasial Indonesia. Apalagi mengingat tingginya minat masyarakat terhadap dunia sepak bola, baik pada periode lampau maupun hingga kini. Meski begitu, belum terdapat riset serupa yang berfokus pada tema terkait.

Rasa kepemilikan yang demikian dalam tersebut dapat terjadi ketika sebuah tim menjadi identik dengan kehidupan dan identitas komunitas lokal atau kampung halaman. Dalam kelekatan demikian, para penggemar lantas memiliki kecenderungan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses perkembangan klub mereka, termasuk dengan mengekspresikan ketidakpuasan. Para suporter pun mampu mengorganisir protes dan mengembangkan budaya perlawanan untuk mengungkapkan keluhan.

Selain perasaan memiliki tim kesayangan, perasaan mampu memiliki pengaruh dan kontrol terhadap pencapaian hasil tim juga menjadi alasan lain kedalaman asa atau harapan seorang suporter. Dalam pandangan ini, para suporter tidak memandang olahraga sebagai produk konsumsi belaka, namun memandang diri sebagai bagian dalam roda fungsionalitas klub. Para suporter merasa dukungan mereka begitu kuat hingga dapat mempengaruhi jalannya pertandingan. Hal demikian dilakukan lewat nyanyian dan koreografi yang diatur di tribun selama pertandingan.

Perasaan atas kontrol dan pengaruh yang dimiliki suporter tidaklah sebatas perasaan belaka. Secara faktual, kehadiran para suporter dalam memberikan pengaruh di lapangan adalah nyata. Penelitian oleh Wunderlich, Weigelt, Rein, dan Memmert dalam artikel ilmiah How does spectator presence affect football? Home advantage remains in European topclass football matches played without spectators during the COVID-19 pandemic menemukan hal demikian.

Melalui penelitian tersebut, Wunderlich, Weigelt, Rein, dan Memmert menemukan ketiadaan suporter dalam pertandingan yang diselenggerakan secara tertutup di stadion, memberikan konsekuensi nyata pada jalannya pertandingan. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran (kartu merah dan kartu kuning) berkurang secara signifikan, sebab pemain dari tim tamu tidak lagi mendapat tekanan yang sama dari para penonton. Kehadiran suporter memberikan pengaruh setidaknya 33,3 persen dari jalannya pertandingan.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Aksi solidaritas dan ungkapan berkabung suporter PSIS Semarang bagi insiden Stadion Kanjuruhan Malang di Stadion Jaridiri, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (2/10/2022). Mereka menggelar doa bersama dan menyalakan lilin bagi meninggalnya suporter saat terjadinya kerusungan pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya pada Sabtu lalu. Kerusuhan tersebut dipicu polisi menghalau suporter turun ke lapangan dan kepanikan penonton dengan saling berdesakan setelah penembakan gas air mata.

Wujud Baru Subkultur

Dalam berbagai kondisi demikian, tampak bahwa menjadi suporter sepak bola kerap memiliki makna yang lebih dalam daripada untuk hiburan semata. Dalam motif-motif sosial tersebut, suporter lantas mengembangkan cara pandang diri sebagai pendukung sampai mati. Mereka menjaga komitmen, kontribusi, dan aktivitas yang setia bagi fungsi klub mereka.

Dari berbagai latar belakang dan tujuan sebagai pendukung suatu klub sepak bola tersebut, terbentuklah massa yang menyebut diri suporter. Individu-individu yang diintegrasikan secara sosial dalam tujuan mendukung satu klub bersatu dalam komunitas. Kehadiran komunitas diikuti oleh norma dan nilai, yang pada selanjutnya melahirkan sebuah budaya baru dengan simbol-simbol dukungan terhadap sepak bola.

Budaya demikian menuntut investasi besar atas waktu dan uang, yang lantas berdampak besar pada kehidupan mereka. Bahkan untuk pertandingan kandang biasa, para pendukung bisa menghabiskan banyak waktu untuk mempersiapkan nyanyian kelompok dan koreografi untuk mendukung para pemain. Bagi para pendukung yang berkomitmen, tim bukan hanya kegiatan rekreasi, melainkan juga cara hidup.

Mengacu pada artikel di Kompas (3/10/2022, “Subkultur Suporter Sepak Bola”), dalam studi sosial budaya, bentuk budaya demikian adalah sebuah kebaruan sehingga dapat disebut sebagai sebagai “subkultur”. Kata “sub-” sendiri memiliki konotasi atas suatu kondisi khas yang berbeda dari masyarakat kebanyakan (mainstream).

Dalam penggunaan konsep subkultur, terkandung makna biner akan kehadiran budaya mainstream tersebut dan budaya yang diproduksi secara khas dan otentik. Ada perbedaan antara kelompok sosial-budaya tertentu dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam masyarakat modern, kehadiran subkultur, termasuk subkultur suporter, erat kaitannya dengan perilaku non-normatif dan representasi marjinalitas yang dilakukan lewat praktik maupun kepentingan khusus.

Konsep subkultur demikian erat dengan hasil studi bahwa budaya suatu individu terkait langsung dengan keanggotaannya dalam batas demografis tertentu. Dalam batas tersebut (bisa berupa komunitas, kelas, maupun keluarga), orang di dalamnya akan saling berbagi budaya. Interaksi secara terus menerus lantas akan melahirkan suatu budaya integratif yang menjadi panduan bagi laku dan penampilan diri kelompok masyarakat tersebut.

Dalam pemahaman demikian, pertumbuhan seorang suporter akan begitu erat dengan pengaruh lingkungan sesama pendukung sepak bola. Dendam dan ketidaksukaan kepada tim maupun suporter lawan bisa menjadi salah satu bukti subkultur di kalangan suporter sepak bola. Namun di sisi lain, sikap kesetiaan dan semangat juga dapat menjadi bukti positif dari subkultur suporter.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Suporter dari sejumlah tim sepak bola melakukan doa bersama untuk mendoakan para korban tragedi Stadion Kanjuruhan di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Selasa (4/10/2022) malam. Tragedi tersebut menjadi momen bagi para suporter sepak bola untuk mengakhiri rivalitas antarpendukung kesebelasan yang selama ini sering terjadi.

Dualisme Sepak Bola dan Subkultur Suporter

Melalui kehadiran subkultur tersebut tampak, bahwa dimensi segala sesuatu begitu dapat berwarna. Dalam hal ini, subkultur suporter menunjukkan dualisme muka-dua-nya yang sama-sama potensial. Di satu sisi, lewat integrasi dan Modal Sosial, suporter mampu menjadi entitas konstruktif sebagaimana ditunjukkan oleh Aremania pada 1998.

Namun di sisi lain, sebagaimana juga dialami oleh Aremania dalam tragedi Kanjuruhan, menjadi suporter mampu berdampak pada kehancuran yang masif dengan berbagai konsekuensi latennya. Dalam kasus di Kanjuruhan tersebut, kekerasan menampakkan dirinya sebagai konsekuensi yang buta dan irasional.

Dualisme serupa juga ditampakkan oleh cabang sepak bola itu sendiri. Di satu pihak, sepak bola menunjukkan diri sebagai misteri menarik yang menyenangkan. Menonton sebuah lesakkan bola dan gocekan pemain memberikan rasa kegembiraan, kepuasan, dan kepenuhan. Namun di sisi lain, lewat sepak bola hadir misteri yang menakutkan. Konflik di dalamnya berpotensi menciptakan kekerasan, tidak hanya pemain namun juga suporter. Kekerasan adalah menjadi bagian erat yang tidak etis dalam sepak bola.

Dalam pemahaman yang demikian, adalah penting untuk lantas menghidupkan asa positif dari sepak bola dan subkultus suporter. Sebaliknya, kehadiran misteri kekerasan tersebut menjadi sinar yang harus dimatikan. Adalah tugas pemerintah, petugas keamanan, lembaga sepak bola, wasit, pelatih, pemain, dan suporter untuk menyadari hal-hal demikian. Tragedi Kanjuruhan menunjukkan kelalaian dan kelengahan para aktor yang disebutkan tersebut akan bahaya kekerasan yang melekat pada sepak bola.

Berkaca pada tragedi Kanjuruhan, eskalasi kekerasan dapat terjadi sewaktu-waktu dalam olahraga yang begitu populer di Indonesia ini. Untuk itu, industri sepak bola harus benar-benar mencurahkan perhatiannya untuk mengakomodasi suporter sebagai entitas vital dan subkultur sosial. (Kompas, 5/10/2022, “Setia Kendati Kalah”).

Telah terbukti, apabila faktor suporter dilalaikan, termasuk pembinaan dan keamanannya, sepak bola akan menjadi wilayah liar. Kekerasan sebagai potensi laten akan mudah bereskalasi. Sepak bola bukan sekadar urusan penyuguhan hiburan semata tetapi tanggung jawab sportivitas semua pemangku kepentingan: suporter, tim sepak bola, PSSI, aparat keamanan, pemegang hak siar, serta pemerintah pusat dan daerah. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Jurnal
  • Cavdar, N., & Kırçova, İ. (2018). Exploring Effective Factors on Football Games Watching Decisions of Individuals: The Role of Entertainment Value and People’s Characteristics in Watching Games. Ege Academic Review, 671-683.
  • Cocieru, O. C., Delia, E. B., & Katz, M. (2018). It’s our club! From supporter psychological ownership to supporter formal ownership. Sport Management Review published by Elsevier.
  • Repucom.(2014). World Football. New York: Repucom.
  • Sitepu, Y. S., & Setyaningsih, F. D. (2011). Konstruksi Identitas Suporter Sepakbola di Indonesia (Studi kasus pada Kelompok Suporter The Jakmania). Jurnal Perspektif Universitas Medan Area Volume 4 Nomor 1, 60-78.
  • Wunderlich, F., Weigelt, M., Rein, R., & Memmert, D. (2021). How does spectator presence affect football? Home advantage remains in European topclass football matches played without spectators during the COVID-19 pandemic. Jurnal Plos One Volume 16 Nomor 3.
  • Xifra, J. (2008). Soccer, civil religion, and public relations: Devotional–promotional communication and Barcelona Football Club. Public Relations Review 34 , 192–198.
Arsip Kompas
  • (2022, Juli 27). Alarm dari Pekan Pembuka Liga 1. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 14.
  • (2022, Oktober 4). Benahi Tata Kelola Kompetisi. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 14.
  • (2022, Oktober 7). Enam Tersangka Abai Faktor Keselamatan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1 & 15.
  • (2022, Oktober 3). secara terbatas . Jakarta: Harian Kompas. Hlm 2.
  • (2022, Oktober 5). Setia Kendati Kalah. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1 & 15.
  • (2022, Oktober 3). Subkultur Suporter Sepak Bola. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 6.
  • (2022, Oktober 3). Tragedi. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1 & 15.
  • Kompas.id. (2022, Oktober 5). Personel Polri yang Diperiksa Terkait Kode Etik Bertambah Jadi 31 Orang. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/10/05/personel-polri-yang-diperiksa-terkait-kode-etik-bertambah-jadi-31-orang
Buku
  • Hasbullah, J. (2006). Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press.
Internet