Paparan Topik | Kebudayaan

Sumbu Filosofi Yogyakarta: Sejarah, Konsep, dan Filosofinya

UNESCO menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia pada 18 September 2023. Poros imajiner ini merupakan konsep tata ruang yang dibuat oleh raja pertama Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I, pada abad ke-18.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Wisatawan mengunjungi Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Jumat (5/8/2016).

Fakta Singkat

  • Pendiri Keraton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono I.
  • Yogyakarta berdiri setelah Perjanjian Giyanti dengan Surakarta pada tahun 1755.
  • Sumbu Filosofi Yogyakarta terdiri dari Tugu Golong Gilig/Tugu Yogyakarta-Alun Alun Utara-Keraton Yogyakarta-Alun Alun Selatan-Panggung Krapyak
  • Masyarakat Jawa mempercayai Sumbu Filosofi Yogyakarta memiliki hubungan paralel antara makrokosmos (Jagat Ageng) dan mikrokosmos (Jagat Alit).
  • Garis imajiner Keraton-Tugu Golong Gilig-Gunung Merapi mewakili Jagat Ageng. Hal ini bermakna, dalam setiap perilaku masyarakat harus mementingkan nilai ketuhanan dan kemanusiaan daripada kepentingan egosentrisme pribadi.
  • Sumbu imajiner dari Laut Selatan-Panggung Krapyak-Keraton mempunyai makna filosofis Jagat Alit. Jagat Alit bemakna bahwa proses kehidupan manusia dengan segala perilaku yang lurus (baik) sehingga tercapai hakikat dan makna hidup yang sempurna.

Artikel terkait

Pembangunan Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono I tidaklah sembarangan. Ada berbagai macam filosofi dan konsep tata ruang perkotaan yang menyelaraskan antara kehidupan manusia dengan pencipta-Nya. Ini juga ditambah dengan konsep orang Jawa tentang makrokosmos dan mikrokosmos yang berarti bahwa kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan oleh pengaruh kekuatan dari alam semesta.

Filosofi dan konsep inilah yang kemudian berkembang menjadi bangunan satu garis lurus dari selatan ke utara, yakni dari Panggung Krapyak-Alun Alun Selatan-Keraton Yogyakarta-Alun Alun Utara-Tugu Golong Gilig. Di selatan mengacu pada Laut Selatan dan di utara mengacu pada Gunung Merapi. Kedua lokasi ini adalah dua simbol alam yang memiliki ikatan kosmos dengan Mataram, yang secara kultural menjadi wilayah ekstrateritorial Keraton Yogyakarta.

Sumbu Filosofi Yogyakarta peninggalan Sultan Hamengkubuwono I memiliki nilai historis-kultural, filosofis, dan arsitektural. “Poros Imajiner” memberikan identitas yang mempunyai karakter dan potensi. Keberadaannya perlu terus dilindungi, diaktualisasi, serta diperkuat. Oleh sebab itu, dengan ditetapkannya sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, warga Yogyakarta dan Indonesia perlu menjaga produk budaya tersebut agar tetap “monumental” dan menjadi “daya-magnet” bagi Kota Yogyakarta.

Terpecahnya Keraton Mataram

Pada masa Mataram nama Sultan Hamengkubuwono I dikenal sebagai Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi memiliki nama kecil, yakni BRM Sujono yang merupakan putra dari Sunan Amangkurat IV dengan BMA Tejawati. Mangkubumi memiliki saudara bernama Pangeran Aryo Mangkunegara ayah dari RM Said yang kemudian menjadi KGPAA Mangkunegoro I. Selain itu, Mangkubumi juga memiliki ikatan darah dengan GRM Proboyoso yang menjadi Sunan Paku Buwono II.

Sejak dibesarkan di Keraton Surakarta, Pangeran Mangkubumi memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Mataram. Dia sering ditugasi untuk memadamkan pemberontakan dan tidak suka dengan keterlitaban Belanda di lingkungan kerajaan. Ricklefs menggambarkan sosok Mangkubumi di dalam bukunya Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Mangkubumi menyebut bahwa orang-orang Belanda adalah “pengacau”. Mereka bisa mengacaukan suatu sistem yang tidak mereka pahami dan tidak bisa mengendalikannya.

Situasi inilah yang dihadapi oleh Mangkubumi di mana Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) terlalu ikut campur dengan permasalahan di Keraton Surakarta. Di sisi yang lain, Sunan Paku Buwono II justru mempersilakan VOC untuk terlibat di dalam pemerintahan dan perdagangan Mataram. Inilah yang justru membuat Mangkubumi merasa kecewa.

Menurut Ricklefs, keterlibatan VOC yang terlalu dalam di Mataram membuat situasi politik makin kacau. Mangkubumi berpandangan bahwa Mataram haruslah dipecah menjadi dua kekuasaan yang diperintah oleh dua “raja”, sampai salah satu pesaing memiliki dukungan yang cukup untuk menggulingkan yang lainnya. Inilah awal permasalahan dari Perang Suksesi Jawa III pada tahun 1746. Perang Suksesi Jawa III menghadapkan Pakubuwono II yang didukung oleh para pejabat VOC atau kompeni, dengan Mangkunagara yang beraliansi dengan Mangkubumi.

Perang Suksesi Jawa III yang berkepanjangan justru memberikan kerugian bagi pihak Mataram sekaligus Belanda. Oleh karena itu, Belanda berinisiatif untuk meredam konflik saudara itu melalui Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Saat itu, Belanda memfasilitasi Sunan Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi untuk saling berunding. Lewat perjanjian ini terbagilah dua kerajaan Jawa, yakni Susuhunan Pakubuwana di Keraton Surakarta dan Mangkubumi yang menjadi Sultan Hamengkubuwanana di Yogyakarta.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Kelompok masyarakat peduli budaya Sorjan menggelar pementasan fragmen berjudul Gatotkaca Lahir di Perempatan Tugu, Yogyakarta, Senin (24/7/2017). Pementasan itu untuk mengingatkan para pemimpin agar memiliki integritas, tegas, dan berkarakter terpuji, seperti Gatotkaca dalam dunia pewayangan.

Muncul Kerajaan Baru

Perjanjian Giyanti memuat beberapa perjanjian wilayah yang memisahkan antara Yogyakarta dengan Surakarta. Baha`Uddin dan Dwi Ratna Nurhajarini, dalam jurnalnya yang berjudul “Mangkubumi Sang Arsitek Kota Yogyakarta”, menyatakan melalui perjanjian tersebutlah yang menjadi penanda dibangunnya wilayah Yogyakarta bersama dengan keratonnya. Beberapa perjanjian wilayah antara Yogyakarta dengan Surakarta sebagai berikut:

Pertama, separuh dari wilayah Negaragung, yaitu daerah-daerah sekeliling Nagari (kedudukan Raja: Keraton), luasnya mencakup 53100 karya, meliputi wilayah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede. Kedua, separuh dari wilayah Manca Negara, luasnya mencakup 33950 karya, meliputi Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertosono, Kalongbret, Ngrowo (Tulungagung), Djapan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras-Karas, Selo, Warung, dan Grobogan.

Selang sebulan pasca-Perjanjian Giyanti, Sultan HB I kemudian memproklamasikan Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyokarto Hadiningrat (separo Nagari Mataram) pada hari Kamis Pon, 29 Jumadil’awal Be 1680 atau 13 Maret 1755. Pada kesempatan itu juga, Sultan HB I mengumumkan secara resmi daerah kekuasaannya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Yogyakarta.

Lokasi Yogyakarta berada di Hutan Beringan (Pabringan) di mana terdapat ada sebuah Umbul (mata air) Pachetokan, dan suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati. Dahulu tempat ini didirikan oleh Sunan Amangkurat IV, namun sebelum bangunan terwujud Sunan Amangkurat IV meninggal. Pembangunan kemudian dilanjutkan oleh Sunan Paku Buwana II sampai terwujud sebuah pesanggrahan yang kemudian diberinama Ayodhya.

Menurut Ricklefs, nama “Ngayogyakarta” mirip dengan nama “Ayodhya” (bahasa Sansekerta, atau disebut “Ngayodya” dalam bahasa Jawa Baru), yakni nama ibu kota dalam epik Ramayana. Dalam buku Soedarsono, Karta berarti makmur; adi berarti indah; ning berarti dari; atau di; rat berarti dunia. Dengan demikian, “Ngayogyakarta Hadiningrat” berarti Ayodya yang makmur, keindahan dari dunia.

Pemilihan lokasi ini didasarkan pada aspek geografis maupun aspek sosial, ekonomi, dan politik. Namun, masih belum diketahui siapa yang melakukan kajian tersebut. Menurut Ricklefs, Mangkubumi mengutus seorang dutanya yang bernama Joyowinoto untuk pergi ke Mataram. Tidak lama setelah itu Mangkubumi memberikan tugas untuk membabat Hutan Beringan dan membangun pesanggrahan di Ambarketawang. Tetapi, Ricklefs tidak memerinci siapa itu Joyowinoto, siapa yang menemaninya dalam membuat kajian lokasi tersebut.

Dalam Kompas 17 April 2006 disebutkan bahwa Sultan Hamengkubuwono I merupakan orang yang cerdik dalam membangun Keraton Yogyakarta. Kerajaan ini diibaratkan berdiri di atas “punggung bulus” di antara lembah Sungai Code dan Winongo yang cukup dalam sebagai daerah yang paling aman. Ia adalah orang yang hafal lekuk-lekuk Merapi dan arah letupan, sehingga percaya bahwa letupan Merapi tidak akan pernah mengarah ke selatan, tetapi ke barat atau timur.

Pada tanggal 9 Oktober 1755, dibangunlah Keraton Yogyakarta di Desa Pacethokan di kawasan Hutan Beringan. Sebelum berdiri sebagai keraton, Sultan Hamengkubuwono I tinggal terlebih dahulu di Pesanggrahan Ambarketawang. Baru pada 7 Oktober 1756 Sultan Hamengkubuwono I baru secara resmi pindah ke Keraton Yogyakarta.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pekerja menggarap pemugaran bangunan cagar budaya Panggung Krapyak di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (24/9/2020). Bangunan tersebut didirikan oleh Sultan Hamengkbuwono I pada tahun 1760 sebagai tempat pengintaian bagi keluarga Keraton Yogyakarta saat berburu binatang sekaligus sebagai tempat perlindungan dari hewan buas di area yang pada masa lampau masih berwujud hutan tersebut.

Pembangunan Ibukota Kerajaan

Pendiri Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I dikenal sebagai seorang pembangun yang besar dalam tradisi Jawa. Tidak hanya bangunan keraton saja yang dibangun melainkan juga bidang-bidang lain seperti sistem pertahanan dan bangunan-bangunan yang menampilkan estetika. Dalam pembangunannya, Sultan Hamengkubuwono I juga menerapkan konsep yang tidak sembarangan.

Keraton Yogyakarta diapit oleh dua alun-alun yang berada di utara dan di selatan. Di utara namanya alun-alun lor, sedangkan di selatan namanya alun-alun kidul. Pada masa lalu keberadaan alun-alun cukup penting, karena di tempat inilah prajurit dan perwira berlatih untuk menggunakan senjata dalam pertempuran dan strategi perang lainnya.

Selain itu juga, alun-alun juga digunakan untuk acara rampogan, yaitu acara mempertahankan diri dengan menggunakan senjata tajam melawan harimau buas. Pada hakikatnya, acara rampogan ini digunakan untuk melatih ketabahan, keberanian, dan kecakapan melawan musuh serta membela diri. Acara ini menjadi favorit warga untuk datang memenuhi alun-alun.

Pada alun-alun lor terdapat dua beringin kembar yang masing-masingnya dikurung. Inilah sebabnya kedua beringin ini sering disebut waringin kurung. Kedua pohon beringin ini diberi nama yang satu namanya Kyai Dewa-daru sedangkan satunya lagi bernama Kyai Jaya-daru. Keberadaan kedua pohon ini melambangkan pertemuan antara Tuhan dengan umatnya atau dalam tradisi Jawa sering disebut “Manunggaling Kawulo Gusti”.

Sama seperti di alun-alun lor, di alun-alun kidul juga terdapat waringin kurung. Namun, alun-alun kidul tidaklah seramai penggunaannya dibandingkan dengan alun-alun lor. Pada alun-alun selatan ini juga terdapat Bangsal Sitihinggil yang biasanya digunakan oleh Sultan untuk melihat latihan para prajurit dan perwiranya. Kadang pula Sultan dengan menunggangi kuda berkeliling di alun-alun kidul ini untuk memeriksa kekuatan para prajuritnya.

Selain itu, di sekeliling keraton juga dibangun benteng-benteng yang memiliki lima gerbang. Pada gerbang-gerbang ini dibangun dengan bentuk gapura melengkung sehingga masyarakat biasa menyebutnya sebagai “plengkung”. Terdapat dua gapura yang menghadap utara yang bernama Jagasura dan Tarunasura. Sedangkan gapura di sebelah barat keraton bernama Jagabaya, sebelah timur bernama Madyasura, dan di sebelah selatan bernama Nirbaya.

Pada setiap pojok-pojok benteng Keraton Yogyakarta juga terdapat bangunan yang biasa orang kenal dengan istilah “Jokteng” atau pojok benteng. Jumlah empat pojok benteng ini juga melambangkan empat perjuangan Mangkubumi dalam melawan kolonialisme Belanda dengan semboyannya, yakni Sawiji, Greget, Sengguh, dan Ora Mingkuh.

Kembali ke bagian utara Keraton Yogyakarta. Di sana terdapat Bangsal Witana yang merupakan singgasana dari Sultan Hamengkubuwono ketika duduk di sinewaka di Sitihinggil. Ketika Sultan duduk di singgasananya dan menghadap ke utara, maka akan ditemukan tiga titik kosmis. Titik pertama dan kedua adalah kedua beringin kembar kemudian di tengah-tengahnya ditemukan titik kosmis ketiga, yakni Tugu.

Tugu Yogyakarta sendiri dibangun setelah keraton berdiri, sekitar tahun 1756. Pada awal pembangunannya tugu ini berbentuk silinder (gilig) pada tiangnya setinggi 25 meter dan puncaknya berbentuk bulat (golong). Hal inilah yang membuat tugu ini disebut sebagai “Tugu Golong Gilig”. Tugu ini melambangkan semangat persatuan antara rakyat dengan penguasanya dalam hal ini, yakni Sultan Hamengkubuwono dalam melawan penjajahan Belanda.

Secara historis-kultural dari Siti Hinggil (Keraton) sultan yang sedang duduk (lenggah siniwoko) dan konsentrasi ke arah utara dari alun-alun sampai dengan puncak Tugu. Jalan poros Siti Hinggil (Keraton) sampai dengan Tugu secara historis merupakan simbol kesempurnaan keberadaan raja di dalam proses kehidupannya yang dilandasi oleh manembah kepada Yang Maha Tinggi serta satu tekad dengan rakyatnya (Golong Gilig).

Penglihatan Sultan Hamengkubuwono I itu dilakukan setelah mampu melakukan transendensi tantangan hidup duniawi yang meliputi, manunggal-nya raja-rakyat (makna beringin kurung di Alun-alun), tantangan ekonomi (dilambangkan dengan pasar), godaan kekuasaan (dilambangkan kepolisian), dan pengaruh asing (dilambangkan Benteng Vredeburg).

Bentuk Tugu Golong Gilig berada pada masa Sultan Hamengkubuwono I hingga ke VI. Tugu tersebut kemudian runtuh akibat adanya gempa bumi tektonik di Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867. Hal ini ditandai dengan surya sengkala Hargo Molah Dening Sanghyang Naga Bumi. Bentuk Tugu seperti sekarang adalah hasil renovasi masa Sultan Hamengkubuwono VII pada tahun 7 Sapar 1819 (3 Oktober 1889).

Apabila menilik ke bagian selatan Keraton Yogyakarta, akan terdapat bangunan Panggung Krapyak. Bangunan dua lantai ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1782. Dahulu fungsi bangunan ini sebagai tempat beristirahat Sultan beserta dengan keluarga dan pengiringnya sewaktu berburu kijang, rusa, dan hewan hutan lainnya. Kijang-kijang yang berada di seputaran bangunan ini merupakan tempat peliharaan dan pada waktu-waktu tertentu kijang itu digiring.

Dulu pada masa Kerajaan Mataram, terdapat sebuah cerita di mana Panembahan Anyokrowati sedang berburu di Panggung Krapyak ini. Saat berburu itulah Panembahan Anyokrowati didatangi oleh banteng yang mengamuk. Panembahan Anyokrowati tidak sempat menembak banteng tersebut sehingga terseruduk oleh banteng itu dan membuatnya tewas. Dalam buku-buku sejarah, nama Panembahan Anyokrowati kemudian dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Abdi dalem melintas seusai penampilan tim ensambel tiup Yogyakarta Royal Orchestra di Kagungan Dalem Bangsal Mandalasana Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Rabu (1/3/2023).

Sumbu Filosofi Yogyakarta

Bangunan Panggung Krapyak-Alun Alun Selatan-Keraton Yogyakarta-Alun Alun Utara-Tugu Golong Gilig, apabila ditarik garis lurus akan membentuk Sumbu Filosofi Yogyakarta. Dari Panggung Krapyak menuju ke selatan maka akan mengarah ke Laut Selatan. Sedangkan di utara dengan keberadaan Tugu Golong Gilig akan menuju ke Gunung Merapi. Gaya arsitektur Sultan Hamengkubuwono I memadukan antara kebudayaan Jawa dengan alam yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan sehingga memiliki filosofinya masing-masing.

Keberadaan Laut Selatan dan Gunung Merapi sejak dahulu telah menjadi tempat yang disucikan bagi Kerajaan Mataram. Kedua lokasi ini memiliki kisah-kisah yang menghubungkan antara Mataram dengan Dewa-Dewi. Bahkan hingga sekarang kedua lokasi ini masih dihormati oleh empat kerajaan peninggalan dari Mataram.

Dalam kisah Babad Tanah Jawi, Panembahan Senapati bertapa di Laut Selatan yang membuat wilayah itu bergejolak. Hal ini kemudian membuat Ratu Kidul menemui Panembahan Senapati. Ia meminta bantuan kepada Ratu Kidul untuk membangun Kerajaan Mataram. Mereka berdua akhirnya melakukan negosiasi. Keduanya pun bersepakat untuk saling membantu, namun Mataram diharuskan untuk menghormati Ratu Kidul dan Laut Selatan untuk seterusnya.

Begitupun dengan Gunung Merapi yang merupakan gunung aktif dan dekat dengan Kerajaan Mataram. Gunung Merapi bisa membawa bencana apabila erupsi, namun juga dapat memberikan manfaat kesuburan di tanah Yogyakarta. Dalam Babad Tanah Jawi, Panembahan Senapati juga meminta kepada penunggu Gunung Merapi untuk menjaga agar apabila erupsi tidak membahayakan, malah justru memberikan keberkahan bagi Mataram.

Dalam Kompas 17 April 2006 disebutkan bahwa Gunung Merapi dan Laut Selatan adalah dua simbol alam yang memiliki ikatan kosmos dengan Mataram, yang kini secara kultural menjadi wilayah ekstrateritorial Keraton Yogyakarta dan keduanya dijaga abdi dalem pemelihara. Dalam kacamata filsafat Jawa, Merapi menyimbolkan alam laki-laki dan laut selatan melambangkan simbol alam perempuan. Di bawah hukum alam, keduanya “bersetubuh” dan melahirkan kemakmuran bagi manusia.

Menurut Baha`Uddin dan Dwi Ratna Nurhajarini, Sumbu Filosofi Yogyakarta merupakan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam. Ini juga termasuk dalam lima elemen pembentuknya, yakni api dari Gunung Merapi, tanah dari Keraton Yogyakarta, air dari Laut Selatan, serta angin dan angkasa. Konsep simbol ini merupakan konsep filosofi sangkan paraning dumadi (asal mulanya penciptaan) dan manunggaling kawula Gusti (manunggalnya kawula dan rajanya).

Adanya filosofi di dalam pembangunan Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono I ini memberikan cerminan pandangan dari budaya Islam-Jawa. Dalam pandangan Jawa, pembangunan kerajaan tidak bisa dilepaskan dari konsep kosmis-religi-magis atas kehidupan alam semesta. Masyarakat Jawa mempercayai adanya hubungan paralel antara makrokosmos (Jagat Ageng) dan mikrokosmos (Jagat Alit).

Hal ini bermakna penyatuan antara sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan masyarakat Mataram dengan keraton sebagai penyeimbang antarkeduanya. Sumbu imajiner dari Laut Selatan-Panggung Krapyak-Keraton mempunyai makna filosofis Jagat Alit. Jagat Alit bemakna bahwa proses kehidupan manusia dengan segala perilaku yang lurus (baik) sehingga tercapai hakikat dan makna hidup yang sempurna. Garis imajiner Keraton-Tugu Golong Gilig-Gunung Merapi mewakili Jagat Ageng. Hal ini bermakna, dalam setiap perilaku masyarakat harus mementingkan nilai ketuhanan dan kemanusiaan daripada kepentingan egosentrisme pribadi.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Baha`Uddin dan Dwi Ratna Nurhajarini, kekuatan ini bisa membawa kesejahteraan atau juga bencana bagi dunia. Hal ini tergantung dari keberhasilan pribadi dalam memimpin harmonisasi kehidupan di dunia antara manusia dengan alam semesta. Karenanya, di dalam konsep inilah sosok Sultan Hamengkubuwono dipercaya dapat menyelaraskan harmoni tersebut.

Harmoni antara alam semesta dengan manusia ini tercipta juga lewat pembangunan Yogyakarta dan sumbu filsofinya. Wilayah Yogyakarta diapit oleh empat sungai besar, yakni Sungai Opak dan Sungai Progo di bagian paling luar dan Sungai Code dan Winongo di bagian dalam. Puncak gunung dalam mitologi Hindu dilambangkan sebagai tempat bersemayamnya para Dewa dan di Yogyakarta diwakili oleh Gunung Merapi, sedangkan Laut Selatan mewakili samudera yang mengelilingi gunung suci tersebut.

Melalui sumbu filosofi Yogyakarta inilah kemudian wilayah bekas Kerajaan Mataram ini mulai berkembang. Pada bagian barat dan timur dari Sumbu Filosofi Yogyakarta, tumbuh perkampungan-perkampungan warga. Tidak hanya itu saja, jaringan transportasi dan infrastruktur pendukung kota pun mulai dikembangkan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Panggung Krapyak * Tempat Berburu Raja Mataram Panembahan Anyokrowati”. Kompas, 7 September 1974.
  • “Poros-Imajiner Identitas Historis Kota Yogyakarta”. Kompas, 17 September 2000.
  • “Antara Mitos Keraton dan Kearifan Lokal”. Kompas, 7 Februari 2005.
  • “Alun-alun Utara Yogyakarta Antara Wacana dan Realita”. Kompas, 9 Desember 2005.
  • “Mitos Mataram Merapi dalam Kosmologi Jawa”. Kompas, 17 April 2006.
  • “Simbolisme Budaya Disorientasi Ruang Yogyakarta akibat Patahnya Simbol”. Kompas, 12 Oktober 2008.
  • “Makrifat Tugu Golong Gilig”. Kompas, 5 Januari 2010.
  • “Merawat Paradoks, Merawat Indonesia”. Kompas, 8 Mei 2010.
Buku
  • Dwiyanto, Djoko. 2009. Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, & Teladan Perjuangan. Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
  • Carey, Peter, dkk. 2015. Asal-Usul Nama Yogyakarta & Malioboro. Depok: Komunitas Bambu.
  • Ricklefs, M.C. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792. Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Matabangsa.
  • ——. 2021. Samber Nyawa: Kisah Perjuangan Seorang Pahlawan Nasional Indonesia, Pangeran Mangkunagara I (1726-1795). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • 1997. Wayang Wong. Drama Tari Ritual Kenegaraan di Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Yasadipura, Ng. 2005. Babad Tanah Jawi Buku I. Jakarta: Lontar.
  • ——. 2005. Babad Tanah Jawi Buku II. Jakarta: Lontar.
Jurnal
  • Uddin, Baha, dan Dwi Ratna Nurhajarini. “Mangkubumi Sang Arsitek Yogyakarta”, dalam Patrawidya, Vol. 19, No. 1, April 2018.