Paparan Topik | Dana Desa

Sejarah Pemerintahan Desa Setelah Kemerdekaan

Aturan-aturan mengenai Pemerintahan Desa berlandaskan aturan mengenai Otonomi Daerah. Semua aturan bertujuan untuk menjadikan Desa sebagai subjek pembangunan, bukan lagi objek semata.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)

Presiden Joko Widodo menemui para perangkat desa yang datang dari berbagai daerah Indonesia ke Istora Senayan Jakarta, Senin (14/1/2019). Pada pertemuan dengan para perangkat desa itu, Presiden menyampaikan bahwa pemerintah memberikan perhatian besar kepada desa yang salah satunya melalui pengucuran dana desa. Sejak 2015 hingga 2019, dana desa yang telah digelontorkan pemerintah mencapai Rp 257 triliun.

Pemerintahan desa adalah bentuk administrasi pemerintahan yang berada pada tingkat paling bawah dalam struktur Pemerintahan Negara Indonesia. Dalam perkembangannya, sistem dan bentuk pemerintah desa mengalami beberapa perubahan sejak Indonesia merdeka sampai dengan masa reformasi. Sejarah pemerintahan desa setelah kemerdekaan dapat dilihat dari aturan-aturan yang muncul mengenai desa dari masa ke masa.

Setelah kemerdekaan

Pada masa ini cikal bakal aturan terkait dengan desa beserta sistem administrasinya diatur dalam UUD 1945, pasal 18. Bunyi pasal ini adalah :

Pembagian  daerah  Indonesia  atas  daerah  besar  dan  kecil,  dengan  bentuk  susunan  pemerintahannya    ditetapkan    dengan    undang-undang,    dengan    memandang    dan    mengingati  dasar  permusyawaratan  dalam  sistem  pemerintahan  negara,  dan  hak-hak  asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”

Meskipun tidak menyebut secara langsung tentang desa, namun pasal ini menyebut tentang hal asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Pada amandemen UUD 1945 yang kedua pada tahun 2000, pasal 18 ditambah menjadi beberapa pasal lagi. Salah satunya adalah pasal 18B yang berisi tentang pengakuan dan penghormatan negara tentang kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Presiden Soekarno

Pada tahun 1965, Presiden Soekarno menerbitkan Undang-undang No. 19 tahun 1965 tentang Pembentukan Desapraja. Pembentukan ini bertujuan untuk mempercepat pembentukan daerah pemerintahan tingkat III. Aturan ini juga menegaskan untuk menghapus unsur-unsur dan sifat-sifat kolonial-feodal yang ada dalam desa.

Menurut UU no.19 tahun 1965 ini, desapraja merupakan badan hukum yang dipimpin oleh seorang kepala desapraja. Lebih lanjut dalam pasal 7 disebutkan, “alat-alat kelengkapan Desapraja terdiri dari Kepala Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera Desapraja, Petugas Desapraja dan Badan Pertimbangan Desapraja.

Presiden Soeharto

Pada masa Orde Baru terjadi perubahan aturan tentang pemerintahan desa melalui Undang-undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang disahkan oleh Presiden Soeharto. UU ini memperbarui Undang-undang No. 19 tahun 1965. Hal yang signifikan istilah desapraja tidak lagi digunakan dalam aturan ini. Istilah yang digunakan adalah desa. Selain itu, sistem pemerintahan desa dihimbau agar seragam.

Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa sementara perangkat desa adalah sekretariat desa dan kepala-kepala dusun. Segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan administrasi desa berada di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri.

Presiden Habibie

Pada tahun 1999, Presiden Habibie mengeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan ini muncul salah satunya untuk merevisi penyeragaman nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa yang diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1965. Aturan sebelumnya dinilai tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul daerah.

Dalam UU No.22 Tahun 1999 Bab XI pasal 94 disebutkan pemerintahan desa meliputi pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa. Pemerintah desa yang dimaksud adalah kepala desa dan perangkat desa sebagaimana dijelaskan dalam pasal 95. Tanggung jawab kepala desa sebagaimana dijelaskan dalam pasal 102, ditujukan kepada rakyat melalui badan perwakilan. Selain itu, kepala desa wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada bupati.

Presiden Megawati

Undang-Undang No.22 Tahun 1999 dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk merevisinya, Presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam aturan ini, istilah Badan Perwakilan Desa diganti menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Selanjutnya, posisi sekretaris desa diisi oleh Pegawai Negeri Sipil yang dianggap mampu. Dalam pasal 200 ayat 3 ditetapkan desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.

Dalam UU No. 22 Tahun 1999 masa jabatan kepala desa selama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan. Sementara dalam aturan ini, kepala desa menjabat selama enam tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan.

Presiden SBY

Pada tahun 2014 Presiden SBY mengesahkan Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Mengenai pemerintahan desa, aturan ini menyebut kepala desa sebagai pemerintah desa dibantu oleh perangkat desa. Sementara itu,  Badan Permusyarawatan Desa adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa.

Tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban kepala desa diatur secara rinci dalam pasal 26. Dalam pasal 27 dijelaskan kepala desa wajib memberikan laporan pelaksanaan pemerintahan desa kepada bupati/wali kota, Badan Permusyawaratan Desa, dan masyarakat desa.

Mengenai masa jabatan, kepala desa berhak menjabat selama enam tahun. Selanjutnya, yang bersangkutan bisa dipilih lagi sebanyak tiga kali baik secara berturut-turut maupun tidak.