Paparan Topik | Bahan Pokok

Kedelai: Impor, Konsumsi, Tata Niaga, dan Perkembangan Harga

Indonesia masih bergantung impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan bahan baku utama tempe dan tahu yang digemari sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal pada masa Orde baru, Indonesia sudah berhasil swasembada kedelai yang puncaknya dicapai tahun 1992 dengan produksi 1,8 juta ton.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja menurunkan karung kemasan 50 kilogram berisi kedelai impor di salah satu toko di sentra pembuatan tahu tempe di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Rabu (23/2/2022). Kedelai tersebut akan dikirimkan ke sejumlah perajin tahu tempe yang mulai memesan kedelai untuk bahan baku pembuatan tahu tempe setelah mereka mogok produksi selama tiga hari. Harga kedelai yang melesat naik hingga Rp 12.000 per kilogram telah menyulitkan para produsen tahu tempe.

Fakta Singkat

  • Indonesia termasuk dalam daftar negara pengimpor tertinggi kedua setelah Cina.
  • Impor kedelai Indonesia sepanjang 2020 mencapai 2,47 juta ton senilai 1 miliar dollar AS.
  • Kedelai impor yang masuk ke Indonesia sebagian besar dari Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina
  • Kebutuhan kedelai Indonesia tiap tahun mencapai 3 juta ton, sebagian besar untuk industri tempe dan tahu
  • 90 persen kebutuhan kedelai dalam negeri berasal dari kedelai impor
  • Konsumsi kedelai nasional mencapai 8 kg per kapita per tahun, naik dua kali lipat dibandingkan tahun 1970-an.
  • Tata niaga kedelai diserahkan pada mekanisme pasar, kebijakan pembatasan dan pengaturan pada kedelai impor sebatas untuk melindungi produsen kedelai local.
  • Harga kedelai di Indonesia sangat tergantung pada harga kedelai internasional
  • Dalam kurun 12 tahun terakhir, harga kedelai meningkat 50 persen dari Rp8.000 per kilogram pada 2010, menjadi Rp12.000 per kg pada 2022

Indonesia termasuk dalam daftar negara pengimpor kedelai tertinggi kedua setelah Cina. Badan Pusat Statistik mencatat, impor kedelai Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir di atas 2 juta ton per tahun atau senilai tak kurang dari Rp14 triliun.

Impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri yang mencapai 3 juta ton per tahun. Kebutuhan itu tak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri yang masih di bawah 1 juta ton per tahun. Sekitar 70 persen dari kebutuhan kedelai itu digunakan perajin untuk bahan baku tempe, 25 persen tahu, dan sisanya untuk produk lain.

Secara nasional, konsumsi kedelai berupa makanan seperti tahu, tempe, kecap, dan cemilan berbahan kedelai mengalami peningkatan selama tahun 2015–2019, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,72 persen.

Pada tahun 2020, konsumsi kedelai mencapai 7,16 kg per kapita atau mengalami peningkatan sebesar 0,22 persen dibanding tahun 2019. Konsumsi itu diperkirakan terus meningkat pada tahun 2021 menjadi sebesar 7,20 kg per kapita dan kembali meningkat pada tahun 2022 menjadi 7,25 kg per kapita.

Tinggi konsumsi kedelai yang tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri itu mengakibatkan Indonesia makin tergantung pada impor. Alhasil, harga kedelai yang beredar di Indonesia pun mengikuti mekanisme harga internasional yang sangat dipengaruhi kondisi global. Harga bisa tiba-tiba melonjak tinggi sehingga berpengaruh pada nasib ratusan ribu perajin tahu tempe di tanah air.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Santo, perajin tempe memperlihatkan tempe yang diproduksinya pada di tempat produksi di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Sabtu (19/2/2022). Santo bersama dua orang rekannya memproduksi tempe dengan menghabiskan bahan baku kedelai impor hingga 180 kilogram per hari.

Impor kedelai

Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan jumlah impor tertinggi kedua setelah Cina. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang 2020 mencapai 2,47 juta ton senilai 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp14,7 triliun (kurs Rp 14.700). Sebanyak 2,23 juta ton di antaranya berasal dari AS dan 0,23 juta ton dari Kanada.

Indonesia kembali mengimpor kedelai sebanyak 2,49 juta ton dengan nilai 1,48 miliar dollar AS atau sekitar Rp21 triliun pada tahun 2021. Jumlah impor itu naik 0,58 persen dibandingkan pada 2020 yang sebesar 2,47 juta ton. Sementara nilai impornya melonjak hampir 50 persen dari tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, sebanyak 2,2 juta ton dari Amerika Serikat, 232.009 ton dari Kanada, dan Argentina sebanyak 899.510 ton.

Impor kedelai tak hanya dilakukan tahun 2020 dan 2021 saja. Sejak tahun 1990-an hingga sekarang, Indonesia sudah mendatangkan kedelai impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini akibat besarnya konsumsi tidak sebanding dengan kemampuan produksi kedelai. Rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 3 juta ton per tahun, sementara kemampuan produksi kedelai kurang dari satu juta ton.

Tingkat produksi kedelai di Indonesia bahkan terus menyusut sekitar 3 persen per tahun. Jika tahun 1990-an produksinya masih di atas 1 juta ton per tahun, tahun 2000-an kurang dari 800.000 ton per tahun, dan kini diperkirakan terus turun kurang dari 400.000 ton per tahun.

Jika ditelisik lebih jauh, impor kedelai menurut data BPS, sejak tahun 2010, sudah mencapai di atas dua juta ton tiap tahunnya. Pada tahun 2010, Indonesia mengimpor 1,74 juta ton kedelai dan naik pesat pada tahun 2011, yang mencapai 2,08 juta ton.

Setelah menurun dua tahun berselang, jumlah impor kedelai itu kembali melonjak pada tahun 2014, mencapai 1,96 juta ton. Kemudian sejak 2015 jumlahnya menembus angka 2 juta ton hingga tahun 2020. Impor tertinggi terjadi tahun 2017 dan 2019 dengan jumlah 2,67 juta ton.

Amerika Serikat, Argentina, dan Brasil merupakan negara sumber utama kedelai yang diimpor Indonesia. Selama kurun tahun 2015–2019, porsi kedelai dari tiga negara itu mencakup lebih dari 95 persen kedelai yang diimpor Indonesia. Rinciannya, 36,51 persen kedelai berasal dari AS, kemudian 36,18 persen dari Argentina, dan 23,27 persen dari Brasil.

Perkembangan Impor Kedelai Indonesia

Tahun Jumlah (ton)
2010 1 740 504,7
2011 2 088 615,5
2012 1 921 206,5
2013 1 785 384,5
2014

1 965 811,2

2015 2 256 931,7
2016 2 261 803,3
2017 2 671 914,1
2018 2 585 809,1
2019 2 670 086,4
2020 2 475 286,7
2021 2.480.000,0

Sumber: BPS

Perkembangan Nilai Impor Kedelai Indonesia

Tahun

Nilai (ribu dollar AS)

2010  840 037,0
2011 1 245 962,9
2012 1 211 230,0
2013 1 101 562,5
2014 1 176 923,0
2015 1 034 366,6
2016  959 041,1
2017 1 150 766,0
2018 1 103 102,6
2019 1 064 564,7
2020 1 003 421,6
2021 1.470.000,0

Sumber : BPS

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Perajin membungkusi kedelai yang telah dicampur ragi saat proses pembuatan tempe di kawasan Kemayoran, Jakarta, Sabtu (11/12/2021). Tempe merupakan makanan rakyat sumber probiotik.

Konsumsi kedelai

Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan (snack). Menurut catatan Pusat Data dan Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian, pada periode 2002–2019, konsumsi total kedelai relatif berfluktuasi namun secara rata-rata pertumbuhannya cenderung menurun sebesar 0,10 persen per tahun. Pada tahun 2002 konsumsi total kedelai mencapai 7,46 kg/kapita dan menjadi 7,14 kg/kapita pada tahun 2019.

Konsumsi total kedelai terendah terjadi pada tahun 2012 sebesar 6,56kg/kapita/tahun. Penurunan terbesar untuk total konsumsi kedelai terjadi pada tahun 2008 di mana konsumsi dalam rumah tangga turun sebesar 11,39% dibandingkan tahun sebelumnya yang disebabkan konsumsi tahu dan tempe turun cukup tinggi. Sementara peningkatan konsumsi total kedelai terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 10,62% yang disebabkan konsumsi tempe meningkat cukup tinggi dibanding tahun sebelumnya.

Jika ditelisik lebih jauh, pada periode 2015–2019, konsumsi kedelai terbesar terdapat di Provinsi Jawa Timur dengan rata-rata sebesar 11,46 kg/kapita/tahun. Hal ini dikarenakan konsumsi tahu dan tempe di provinsi tersebut cukup tinggi. Sementara Maluku Utara merupakan provinsi dengan konsumsi kedelai total terendah, yaitu sebesar 1,82 kg/kapita/tahun.

Secara nasional, konsumsi kedelai total yang terdapat pada makanan jadi seperti tahu,tempe, dan kecap mengalami peningkatan selama tahun 2015-2019, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,72 persen

Pada tahun 2020, konsumsi total kedelai diprediksikan akan sedikit mengalami peningkatan sebesar 0,22 persen dibanding tahun 2019 menjadi 7,16 kg/kapita dan terus meningkat pada tahun 2021 dan 2022 menjadi sebesar 7,20 kg/kapita dan 7,25 kg/kapita.

Seperti halnya konsumsi per kapita, total konsumsi juga meningkat selama periode 1970–1992, yaitu dari 0,49 juta ton pada tahun 1970 menjadi 1,54 juta ton pada tahun 1990, dan mencapai puncaknya pada tahun 1992, yaitu sebesar 2,56 juta ton.

Sejak itu, total konsumsi kedelai dalam negeri menurun menjadi sekitar 2,30 juta ton pada tahun 2000 dan 1,84 juta ton pada tahun 2005. Selama periode 1990-an, total konsumsi terendah adalah pada tahun 1998. Hal ini terutama disebabkan oleh mahalnya kedelai impor akibat tingginya nilai tukar Dollar AS terhadap Rupiah, sehingga impor kedelai turun drastis. Turunnya volume impor kedelai secara otomatis menurunkan volume persediaan (penawaran) dalam negeri. Konsumsi pun menyesuaikan dengan ketersediaan kedelai di dalam negeri.

Selama periode 1990–2000, total konsumsi kedelai masih meningkat rata-rata 1,24 persen per tahun, terutama disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Sementara itu, produksi sudah menurun dengan rata-rata 3,72 persen per tahun.

Pada periode 2000–2005, total konsumsi turun rata-rata 3,14 persen per tahun, sedangkan total produksi sudah menurun rata-rata 4,51 persen per tahun. Tingginya penurunan produksi dalam negeri itu mengakibatkan Indonesia makin tergantung pada impor untuk menutupi kebutuhan kedelai di masyarakat.

Padahal pada masa Orde Baru, Indonesia bisa dikatakan swasembada kedelai karena produksi dan konsumsi relatif seimbang. Namun sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi dan moneter tahun 1998, impor kedelai secara besar-besaran terjadi berkaitan dengan kesepakatan Letter of Intent dengan IMF.

Kesepakatan itu menetapkan peran Bulog sebagai pengelola persediaan dan harga beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan dan bahan pangan lainnya harus dilepaskan. Hanya beras yang masih bisa dikontrol oleh Bulog. Alhasil, impor kedelai yang sebelumnya ditangani Bulog sejak itu bisa ditangani importir umum.

Menurut data Gabungan Asosiasi Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo) kebutuhan kedelai tiap tahun mencapai 3 juta ton, 80 persennya dipasok dari kedelai impor. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen kedelai untuk bahan baku tempe, sementara 25 persen untuk tahu, dan sisanya produk lain.

Perkembangan Konsumsi Kedelai Nasional

Tahun

Konsumsi

 (Kg per kapita)

1970 4,12
1972 4,1
1974 4,45
1976 5,04
1978 5,2
1980 5,02
1982 3,33
1984 7,18
1986 9,36
1988 9,87
1990 8.46
1992 13,6
1994 12,18
1996 11,31
1998 8,01
2000 10,85
2002 7,46
2003 7,30
2004 6,58
2005 6,85
2006 7,58
2007 7,65
2008 6,77
2009 6,60
2010 6,58
2011 6,91
2012 6,56
2013 6,63
2014 6,63
2015 6,97
2016 7,37
2017 7,59
2018 7,51
2019 7,14
2020 7,16
2021 7,25

Sumber: Kementerian Pertanian

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Hadi Wiyanto (50) mengemas kedelai saat memproduksi tempe di rumahnya di Cimanggu Barata, Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/4/2021). Harga jual tempe buatan Hadi tidak bisa naik mengikuti harga bahan baku kedelai yang mencapai Rp 10.000 per kilogram. Satu-satunya cara yang ditempuh Hadi adalah mengurangi ukuran produksi tempe agar bisa menutup biaya produksi. Hadi membuat berbagai jenis produk tempe mulai harga Rp 2000 hingga Rp 10.000 per bungkus.

Sementara BPS mencatat konsumsi kedelai nasional angkanya jauh lebih tinggi dari catatan Kementerian Pertanian. Menurut Data konsumsi rata-rata per kapita per minggu bahan makanan penting yang dicatat BPS, untuk tiga makanan utama, yakni tahu, tempe, dan kacang kedelai per minggu yang dikonsumsi penduduk Indonesia tahun 2021 mencapai 0,3 kg per kapita per minggu; atau jika dikonversi dalam setahun mencapai 15,8 kg per kapita. Konsumsi itu meningkat 600 gram dibandingkan konsumsi tahun 2020 sebesar 15,2 kg per kapita.

Jika dirunut lebih jauh, konsumsi kedelai nasional itu dalam kurun 15 tahun terakhir rata-rata mencapai 14,8 kg per kapita per tahun. Konsumsi terendah terjadi pada tahun 2010 dengan 13,9 kg per kapita, sementara konsumsi tertinggi pada 2018 dan 2021 dengan rata-rata konsumsi kedelai per kapita mencapai 15,8 kg.

Konsumsi Kedelai (Kg per kapita per minggu)

Tahun Kacang kedelai Tahu Tempe
2007 0,002 0,163 0,153
2008 0,001 0,137 0,139
2009 0,001 0,135 0,135
2010 0,001 0,134 0,133
2011 0,001 0,142 0,140
2012 0,001 0,134 0,136
2013 0,001 0,135 0,136
2014 0,136 0,133
2015 0,144 0,134
2016 0,151 0,141
2017 0,001 0,157 0,147
2018 0,001 0,158 0,146
2019 0,001 0,152 0,139
2020 0,001 0,153 0,140
2021 0,001 0,158 0,146

Sumber : BPS

Tata niaga kedelai

Kebutuhan kedelai untuk tahu dan tempe mencapai 90 persen dari total kebutuhan kedelai dalam negeri, sementara 10 persen sisanya untuk berbagai keperluan makanan olahan dan bahan baku industri lainnya.

Jika ditelisik lebih jauh, distribusi kedelai hingga sampai ke industri tahu tempe tak bisa lepas dari stakeholder yang berperan dalam perdagangan komoditi kedelai. Struktur pengusahaan kedelai berada di 3 sektor, yaitu hulu, on-farm, dan hilir.

Sektor hulu usaha kedelai mencakup usaha benih, pupuk, obat dan sarana produksi tani. Sektor on-farm berupa aktivitas budidaya kedelai, sedangkan sektor hilir meliputi usaha perdagangan kedelai dan pengolahan kedelai oleh industri pengguna.

Dalam tata niaga kedelai yang diproduksi dalam negeri, dapat digambarkan saluran yang umum berlaku. Di sektor hulu, petani pada umumnya menjual kedelai segera setelah panen. Namun, belum tentu semua kedelai tersebut dijual, ada pula yang menyimpan sebagian kedelai tersebut untuk stok atau untuk bibit.

Harga kedelai yang diterima petani adalah harga kesepakatan, meskipun seringkali lebih ditentukan oleh para pedagang pengumpul. Kebanyakan pedagang pengumpul memiliki hubungan dengan pedagang besar. Tak jarang mereka adalah kepanjangan tangan dari para pedagang besar itu. Dengan demikian, dalam penentuan harga kedelai petani hanya menjadi price taker, sedangkan pedagang menjadi price setter.

Keberadaan pengumpul sangat penting bagi petani kedelai, terlepas dari apakah hubungan itu bersifat eksploitatif atau tidak. Di samping sebagai tempat menjual kedelai mereka, para pengumpul itu juga berperan sebagai pusat informasi harga. Tak jarang mereka juga menyediakan pinjaman usaha tani bagi para petani yang dilunasi setelah panen, atau dikenal dengan sistem “bayar panen” atau “yarnen”.

Peran pengumpul dalam pemasaran kedelai dari petani seringkali mengalahkan peran koperasi atau kelompok tani, yang kebanyakan masih terbatas fungsinya hanya dalam teknis budidaya dan penyaluran sarana produksi pertanian.

Dalam tata niaga kedelai, pedagang besar merupakan pihak yang paling kuat posisi tawarnya dalam penentuan harga. Volume kedelai yang diperdagangkan oleh pedagang besar umumnya mencapai ribuan ton. Para pedagang besar ini umumnya dilengkapi dengan gudang penyimpanan yang besar, sehingga mereka bisa mengatur suplai ke pengecer atau grosir.

Adapun asosiasi yang terlibat dalam struktur penyediaan kedelai di dalam negeri, meliputi Asosiasi Kedelai Indonesia, Gabungan Koperasi Perajin kedelai Indonesia (Gakoptindo), dan juga Bulog.

Bulog sebelum tahun 1998 merupakan instansi yang menjadi importir tunggal untuk pengadaan kedelai luar negeri. Penugasan ini diperlukan untuk memenuhi kekurangan pasokan kedelai dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga menetapkan Bulog sebagai lembaga yang menangani komoditas kedelai untuk menjaga harga kedelai di tingkat petani. Upaya stabilisasi ini dilakukan melalui penetapan Harga Pokok Pembelian (HPP) oleh pemerintah.

Sementara untuk kedelai impor, fluktuasi harga kedelai di tingkat dunia berpengaruh terhadap harga kedelai di dalam negeri. Alhasil, tata niaga kedelai diserahkan pada mekanisme pasar karena kedelai menjadi salah satu komoditas yang bebas diperdagangkan.

Tiap tahun, kebutuhan kedelai untuk konsumsi masyarakat Indonesia mencapai 3 juta ton, sekitar 2,67 juta ton diimpor dari Amerika Serikat dan Brasil. Sementara, dari dalam negeri hanya memberi pasokan sekitar 400 ribu ton. Alhasil, Kementerian Perdagangan sulit untuk menerapkan pengendalian atau pembatasan pada kedelai karena tingginya ketergantungan pada kedelai impor yang bebas diperdagangkan dan berlaku mekanisme pasar.

Konsumsi kedelai itu sebagian besar diserap oleh industri tempe dan tahu. Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) mencatat volume produksi tahu dan tempe tiap tahun sekitar 4 juta ton. Secara komposisi, produksi tempe mendominasi sebesar 65% atau sebesar 2,6 juta, sedangkan produksi tahu berkontribusi sebesar 1,4 juta ton. Sementara, produsen tempe berkontribusi sekitar 80 persen dari total produsen atau sekitar 120.000 unit produsen, dan produsen tahu berjumlah sekitar 30.000 unit produsen.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Aktivitas perajin usaha mikro pembuatan tahu di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Rabu (28/7/2021). Pandemi Covid-19 dikeluhkan oleh para perajin tahu. Selain menyebabkan omsetnya turun hingga lebih dari 50 persen, naiknya harga bahan baku, berupa kedelai impor, dari Rp 8.500 menjadi Rp 10.000 per kilogram juga memperparah keadaan mereka. Rencana pemerintah untuk memberi dana bantuan produktif kepada pelaku usaha mikro telah ditunggu oleh mereka realisasinya.

Kebijakan Tata Niaga

Saat ini pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan kebijakan sehubungan dengan tata niaga komoditas kedelai. Peraturan-peraturan tersebut di antaranya:

  1. Peraturan Menteri Keuangan No.13/PMK.011/2011 tentang tarif bea masuk atas impor kedelai. Peraturan ini untuk mengantisipasi potensi inflasi yang lebih tinggi. Selain itu, dengan pemangkasan bea masuk, hal ini diharapkan dapat memberikan dukungan bagi dunia industri sehingga lebih kompetitif baik di pasar domestik maupun pasar internasional.
  2. Peraturan Menteri Keuangan No.135/PMK.011/2012 tentang tarif bea masuk atas impor barang berupa kacang kedelai. Disebutkan, bea masuk kedelai yang semula dikenakan 5 persen, hingga 31 Desember 2012 menjadi 0 persen alias tidak dikenakan bea masuk sama kali.
  3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23/M-DAG/PER/5/2013 tentang Program Stabilisasi Harga Kedelai, yang menetapkan harga penjualan kedelai di tingkat perajin tahu/tempe. sebesar Rp8.490/kg. HJP tersebut berlaku selama 1 bulan sejak diberlakukannya Peraturan Menteri ini (10 September 2013).
  4. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013, tentang penugasan kepada Perusahaan Umum Bulog untuk pengamanan harga dan penyaluran kedelai. Latar belakang peraturan ini adalah upaya untuk mendukung dan meningkatkan ketahanan pangan, perlu dilakukan pengamanan harga dan penyaluran kedelai. Ketentuan yang terkandung di dalamnya, antara lain, Pemerintah menugaskan kepada Perusahaan Umum BULOG untuk melaksanakan pengamanan harga dan penyaluran kedelai.
  5. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.49/M-DAG/PER/9/2013, tentang penetapan harga penjualan kedelai di tingkat perajin tahu/tempe dalam rangka program stabilisasi harga kedelai.
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.011/2013, tentang perubahan atas peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor. Peraturan itu disebutkan penyesuaian tarif bea masuk atas barang impor berupa kacang kedelai dengan pos tarif (HS) 1201.90.00.00 dari 5% (lima persen) menjadi 0% (nol persen).
  7. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/KEP/8/2013 tanggal 28 Agustus 2013 ini merupakan Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/5/2013 tentang Impor Dalam Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai. Dalam peraturan ini disebutan antara lain
  8. Mekanisme importasi dapat dilakukan melalui Importir Terdaftar (IT) dan Importir Produsen (IP), serta penambahan BUMN sebagai importir kedelai yang ikut dalam Program Stabilisasi Harga Kedelai. Dengan demikian, dibuka kesempatan kepada BUMN lain selain Perusahaan Umum Bulog untuk ikut dalam Program Stabilisasi Harga Kedelai.
  9. Sistem periodisasi pengajuan permohonan dilakukan per semester.
  10. Perum Bulog dan IT kedelai yang telah memperoleh Persetujuan Impor wajib merealisasikan impor kedelai paling sedikit 70 persen dari realisasi pada semester berjalan dan kontrak dari sisa persetujuan impor yang belum direalisasikan.
  11. Kewajiban Laporan Surveyor sebagai dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor mulai berlaku 1 Oktober 2013.
  12. IT kedelai dapat dibekukan apabila tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan realisasi impor kedelai paling sedikit 70 persen dari realisasi pada semester berjalan dan kontrak dari sisa Persetujuan Impor yang belum direalisasikan.
  13. Bulog dan IT kedelai wajib menyerap kedelai lokal serta menjual kedelai lokal kepada perajin tahu dan tempe dengan jumlah yang telah ditentukan, sehingga melalui kebijakan Stabilisasi Harga Kedelai tersebut petani mau menanam dan meningkatkan produksi kedelainya.

Harga kedelai

Harga kedelai di tingkat produsen pada tahun 2010–2019 rata-rata sebesar Rp7.831/kg dengan laju pertumbuhan harga yang cenderung meningkat 2,31 persen per tahun. Sementara harga di tingkat konsumen selaras dengan harga produsen, sepuluh tahun terakhir harga cenderung meningkat 2,67 persen per tahun dengan harga rata-rata sebesar Rp10.037/kg.

Perkembangan harga produsen dan konsumen kedelai tidak terlepas dari perkembangan margin antara keduanya. Pada sepuluh tahun terakhir margin kedelai bervariasi dan cenderung meningkat rata-rata 3,75 persen per tahun atau Rp2.248/kg per tahun.

Jika dibandingkan dengan sejumlah negara, harga kedelai di Indonesia masuk urutan ke-10 dunia. Pada periode 2014–2018, harga kedelai di Indonesia rata-rata 621 dollar AS per ton. Pada periode itu, harga kedelai termahal di Suriname sebesar 2.729 dollar AS per ton, diikuti Jepang dan Vietnam di posisi kedua dan ketiga, masing-masing sebesar 1.264 dollar AS per ton dan 825 dollar AS per ton.

Jika dicermati lebih jauh, dalam periode 25 tahun terakhir harga kedelai di Indonesia pernah mengalami lonjakan harga yang berdampak pada kesulitan bahan baku dan kenaikan harga tahu tempe. Bahkan, kenaikan harga kedelai memaksa perajin menghentikan produksi sebagai bentuk protes terhadap situasi tersebut.

Pada Februari 1998, perajin tempe menjerit akibat kenaikan harga kedelai yang melejit sampai 100 persen. Sebelum naik, harga kedelai baik masih sekitar Rp1.400 — Rp1.500 per kg. Namun, harga kedelai terus menanjak secara bertahap hingga akhirnya harga di koperasi saat ini sekitar Rp2.050 per kg.

Perkembangan Harga Kedelai (Rupiah/Kg)

 Tahun

Harga di tingkat produsen Harga di tingkat konsumen
2010 6.664 8.483
2011 7.254 8.813
2012 7.514 9.216
2013 7.724 10.055
2014 8.326 10.634
2015 8.327 10.934
2016 8.284 11.079
2017 7.759 10.707
2018 8.248 10.415
2019 8.207 10.784
2020 9.300 11.298
2021 9.700 11.300
Feb-2022 11.200 12.600

Sumber: Kementerian Perdagangan RI dan pemberitaan sejumlah media

Kemudian harga cenderung meningkat perlahan tanpa menimbulkan gejolak harga selama 10 tahun. Namun pada Januari 2008, harga kedelai impor melonjak dari Rp350.000 per kuintal menjadi Rp750.000 per kuintal. Akibat melonjaknya harga kedelai itu perajin tahu-tempe di sejumlah daerah melakukan mogok produksi dan mendesak Presiden dan DPR membahas solusi konkret dalam tata niaga kedelai.

Pada Desember 2009, harga kedelai impor di pasaran melonjak sekitar 30 persen dari Rp5.200 menjadi Rp6.200 per kilogram. Kondisi ini disebabkan kelangkaan stok kedelai yang diduga dipengaruhi kenaikan harga di pasar internasional. Akibatnya, perajin tempe dan tahu di sejumlah daerah terus merugi dan memaksa perajin memperkecil ukuran produksi.

Tiga tahun berselang, kenaikan harga kedelai impor membuat perajin tempe di Jakarta menjerit dan protes karena kenaikan harga itu tidak bisa diikuti dengan kenaikan harga jual tempe. Akibatnya, keuntungan perajin kian merosot. Dari  harga kedelai impor kualitas terbaik R 6.000 per kilogram menjadi Rp7.000 per kg, sementara harga tempe tidak bisa naik karena daya beli masyarakat terbatas.

Pada Agustus 2013, produsen tempe dan tahu beserta produk turunannya resah dan mengancam mogok produksi menyusul terus melemahnya nilai tukar rupiah atas dollar AS. Selain harga kedelai yang terus naik hingga Rp8.700 per kilogram dari sebelumnya Rp6.000 per kg, produsen juga mulai kesulitan mendapatkan kedelai lokal.

Setelah lima tahun tanpa gejolak harga, pada awal tahun 2021, harga kedelai impor kembali melonjak dari Rp7.000 per kg menjadi Rp9.000–10.000 per kg. Akibatnya, para produsen tahu dan tempe di Indonesia mogok produksi pada Januari 2021. Mereka juga meminta agar pemerintah menstabilkan kembali harga kedelai impor dengan menambah impor kedelai oleh Perum Bulog.

Setahun berselang, pada awal tahun 2022, harga kedelai kembali meroket mencapai Rp12.000 per kg akibat kenaikan harga kedelai di pasar dunia. Perajin tahu dan tempe mogok produksi selama tiga hari dan meminta pemerintah menstabilkan harga dan tata niaga ditangani Bulog sehingga gejolak harga itu tidak terus berulang. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Profil Komoditas Kedelai. 2012. Kementerian Perdagangan. 2012
  • Sudaryanto, Tahlim dan Dewa K.S. Swastika. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Bogor: Pusat Analisis Sosial-Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
  • Sistem Komoditas Kedelai di Indonesia. 1988. Bogor: Penerbit CGPRT Centre.
  • Teknologi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. 1990. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
  • Outlook Komoditas Kedelai 2020. 2020. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian.
  • Analisis Perkembangan Harga Pangan Pokok di Pasar Domestik dan Internasional. 2021. Badan Pengakajian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan.
  • Buletin Komsumsi Pangan, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2022. Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian.
Arsip Kompas
  • “Komoditas: Kedelai dan Keledai”. Kompas, 04 Jan 2021 Halaman: 09
  • “Harga Kedelai Naik Lagi, Perajin Tahu dan Tempe Kembali Menjerit”. Kompas, 09 Apr 2021 Halaman: D
  • “Tahu-Tempe Terimbas”. Kompas, 12 Feb 2022 Halaman: 09
  • “Komoditas Kedelai: Pemerintah Didesak Stabilkan Harga”. Kompas, 21 Feb 2022 Halaman: 10,
  • “Komoditas Kedelai: ”Pangkon” Impor”. Kompas, 01 Mar 2022 Halaman: 09