Paparan Topik | Ekonomi Nasional

Bank Digital: Prospek dan Tantangan di Indonesia

Bank digital merupakan tren lanskap perbankan di masa depan. Prospeknya dianggap menjanjikan seiring pertumbuhan aktivitas masyarakat di ranah daring. Namun di sisi lain, eksistensi bank digital masih memiliki sejumlah tantangan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Menteri BUMN Erick Thohir (kiri) dan Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengamati aplikasi Financial Super App Livin’ by Mandiri dan Wholesale Digital Super Platform Kopra by Mandiri di Plaza Mandiri, Jakarta, Sabtu (2/10/2021). Bank Mandiri melakukan lompatan untuk menyediakan solusi perbankan digital yang andal kepada nasabah. Hingga kuartal III 2021 lebih dari 95 persen transaksi perbankan Bank Mandiri dilakukan secara digital.

Fakta Singkat

Regulasi: POJK No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum

Prospek bank digital di Indonesia:

  • Tren transaksi digital
  • Penetrasi penggunaan telepon seluler
  • Potensi unbanked population

Tantangan bank digital:

  • Pelindungan data pribadi nasabah dan risiko kebocoran data
  • Risiko investasi teknologi informasi yang tidak sesuai dengan strategi bisnis
  • Risiko keamanan siber
  • Risiko penyalahgunaan teknologi
  • Risiko alih daya
  • Kesiapan organisasi dalam mendukung transformasi digital
  • Infrastruktur jaringan komunikasi
  • Dukungan regulasi

Kemunculan bank digital atau disebut juga neobank di tanah air sejak 2016 lalu hingga saat ini memberikan warna baru untuk industri perbankan di tanah air. Kemunculan neobank ini dipicu oleh adanya kebutuhan konsumen yang menginginkan kecepatan dan fleksibilitas dalam layanan perbankan sehingga dapat diakses kapanpun dan dimanapun.

Selain itu, selama pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu, bank digital dianggap menjadi solusi kemudahan bertransaksi di tengah terbatasnya pergerakan masyarakat. Pasalnya, berbagai layanan keuangan dapat dilakukan di rumah, hanya dengan menggunakan aplikasi bank digital.

Kemunculan bank digital juga dipicu oleh masuknya fintech, yaitu perusahaan yang menggabungkan layanan jasa keuangan dengan teknologi, ke sektor keuangan dan keterbukaan pasar yang menembus batas geografis.

Tren bank digital itu selaras dengan kebiasaan konsumen dalam melakukan transaksi-transaksi digital, seperti e-Commerce, e-Wallet, dan lain-lain. Peningkatan adopsi digital dalam kehidupan sehari-hari ini membuat bank digital menjadi menarik dan berpotensi menjadi perusahaan dengan kapitalisasi pasar miliaran dollar.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Nasabah mamanfaatkan fasilitas yang tersedia di digital banking jenius BTPN di pusat perbelanjaan Kota Kasablanka, Jakarta, Jumat (26/1/2018). Bank terus berinovasi untuk meningkatkan layanan bagi nasabah. Digital Banking serupa banyak diterapkan oleh industri perbankan di pusat-pusat perbelanjaan untuk memberikan pelayanan dan kenyamanan kepada nasabah.

Regulasi mengenai Bank Digital

Regulasi bank digital di Indonesia belum diatur secara khusus sehingga sama dengan bank umum lainnya, yaitu menggunakan POJK No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum. POJK Bank Umum terdiri dari 19 bab dan 160 pasal. Sementara, ketentuan mengenai bank digital diatur dalam Bab IV pada Pasal 23 sampai dengan Pasal 31.

Dalam aturan itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan bank digital sebagai bank berbadan hukum Indonesia yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat, atau menggunakan kantor fisik yang terbatas.

Pendirian bank digital dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, pendirian bank baru yang beroperasi sebagai bank digital dengan modal inti minimal Rp10 triliun. Kedua, bank konvensional yang bertransformasi menjadi bank digital. Artinya, bank existing saat ini bisa dikonversi menjadi bank digital dengan memenuhi sejumlah syarat dan ketentuan.

Adapun bank yang ingin dikonversi menjadi bank digital harus memenuhi sejumlah syarat. Pertama, memiliki model bisnis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam melayani kebutuhan nasabah.

Kedua, memiliki kemampuan untuk mengelola model bisnis perbankan digital yang pruden dan berkesinambungan. Ketiga, memiliki manajemen risiko secara memadai.

Keempat, memenuhi aspek tata kelola termasuk pemenuhan direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan.

Kelima, menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah. Keenam, memberikan upaya yang kontributif terhadap perkembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan. Enam persyaratan ini juga berlaku bagi bank digital baru, selain menyediakan modal inti senilai Rp10 triliun.

Setelah memenuhi sejumlah persyaratan, bank yang menyandang status digital boleh beroperasi hanya dengan satu kantor pusat, atau menjalankan bisnis dengan kantor fisik dalam jumlah yang terbatas.

Dilihat dari jenisnya, bank digital di Indonesia dapat diklasifikasi menjadi tiga jenis. Pertama, bank konvensional yang mendirikan dan membangun bank digital, seperti Jenius, Wokee, dan Digi Bank.

Kedua, bank konvensional yang mengakuisisi bank Buku 1 dan Buku 2, yang selanjutnya ditransformasi menjadi bank digital, seperti yang dilakukan Bank BCA yang mengakuisisi Bank Royal dan dijadikan Bank Digital BCA, serta Mega Corpora (induk perusahaan dari Bank Mega) yang mengakuisisi Bank Harda Internasional dan akan ditransformasi menjadi bank digital.

Ketiga, pendirian bank baru yang benar-benar secara digital, atau yang biasa disebut sebagai neo bank, seperti Bank Jago maupun Bank Neo Commerce.

Layaknya bank umum konvensional, bank digital pada dasarnya juga menjalankan fungsi intermediary, yaitu mempertemukan antara pemilik dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Namun demikian, berbeda dengan bank konvensional yang lebih mengandalkan kantor fisik dalam pelayanan nasabahnya, bank digital justru lebih menggunakan aplikasi untuk mengakomodir sebagian besar atau keseluruhan layanan nasabahnya serta memiliki sistem yang dapat menyesuaikan dengan kebutuhan nasabahnya.

Layanan pada bank digital pun sama dengan bank konvensional meliputi penarikan uang, transfer uang, pengelolaan kredit, dana simpanan dan investasi, pembukaan rekening, pengelolaan cek dan laporan transaksi/ keuangan.

Bagi nasabah, kelebihan bank digital di antaranya adalah kemudahan transaksi dimanapun dan kapanpun, transparansi transaksi, biaya yang lebih murah bahkan gratis. Sedangkan bagi bank, kelebihannya adalah kemudahan berinovasi dan menawarkan produk/layanan perbankan yang sesuai dengan kebutuhan nasabah mengingat semua data tercatat secara digital pada sistem.

Bank digital memiliki keunggulan dibandingkan dengan perbankan konvensional ialah kemudahan dan fleksibilitas dalam penggunaan produk perbankan dengan biaya rendah. Penetrasi penggunaan telepon seluler membuka bank digital untuk mencapai konsumen di berbagai lokasi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pemanfaatan video banking di CIMB Niaga Digital Lounge di pusat perbelanjaan Gandaria City, Jakarta Selatan, Jumat (23/2/2018). Layanan perbankan di dalam mal ini siap membantu nasabah melakukan berbagai transaksi perbankan dengan pemanfaatkan teknologi terkini.

Potret dan Prospek Bank Digital di Indonesia

Kehadiran bank digital dalam ekosistem keuangan Indonesia awalnya ditandai dengan peluncuran platform perbankan digital Jenius oleh BTPN pada 2016. Langkah BTPN tersebut kemudian diikuti oleh sejumlah bank umum lain, seperti Digibank oleh DBS, Wokee oleh Bukopin, dan sejumlah bank lainnya.

Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Juni 2021, setidaknya ada 14 bank digital, baik yang tengah proses menuju go-digital maupun yang sudah menyatakan diri sebagai bank digital.

Sementara di tingkat global, perusahaan konsultan strategi global asal Jerman, Simon-Kucher & Partners, melaporkan bahwa jumlah bank digital tumbuh pesat dalam 2 tahun terakhir di seluruh dunia. Tercatat sekitar 400 bank digital yang teridentifikasi hingga Januari 2022.

Bank digital dinilai memiliki prospek yang menjanjikan di masa depan. Setidaknya ada tiga hal yang bisa mempercepat tumbuhnya bank digital.

Pertama, tren transaksi digital sudah mencapai level yang sama/melebihi transaksi perbankan secara konvensional. Bank Indonesia (BI) memproyeksikan nilai transaksi di seluruh layanan perbankan secara digital akan tumbuh pada tahun ini. Pertumbuhan tersebut diperhitungkan mencapai 26 persen atau setara dengan Rp51.000 triliun. Berdasarkan data BI, nilai transaksi digital banking pada Mei 2022 meningkat 20,82 persen menjadi Rp3.766,7 triliun.

Sejumlah studi juga menilai potensi pasar digital Indonesia masih akan meningkat lagi hingga 124 miliar dollar AS pada 2025. Padahal, OJK mencatat baru sekitar 39,2 persen dari total populasi masyarakat Indonesia yang mengakses aplikasi layanan bank secara digital.

Kedua, penetrasi penggunaan telepon genggam membuka bank digital untuk mencapai konsumen di berbagai lokasi. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet pada 2019 mencapai 196,7 juta jiwa. Angka itu naik hampir 15 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari jumlah tersebut, sebagian besar belum tergarap oleh layanan perbankan digital. APJII mencatat dari 55,8 persen responden yang membeli barang kebutuhan melalui internet, baru 10,8 persen yang menggunakan layanan keuangan digital seperti m-banking, i-banking, dan uang elektronik untuk membayar transaksinya.

Ketiga, potensi unbanked population di Indonesia masih sangat tinggi dengan 48 persen dari masyarakat di atas 15 tahun belum memiliki produk perbankan. Hasil riset Bain, Google, dan Temasek (2019) menyebutkan sebagian besar masyarakat Indonesia belum memiliki rekening di bank (unbanked) dan memiliki keterbatasan akses terhadap layanan keuangan (underbanked).

Masing-masing mencapai 92 juta jiwa dan 47 juta jiwa. Angka ini merupakan yang terbesar di kawasan ASEAN. Sementara jumlah masyarakat yang telah memiliki rekening di bank (banked) baru mencapai 42 juta jiwa.

Dengan dominasi generasi Z, milenial, dan X yang lebih menyukai kenyamanan bertransaksi secara daring melalui platform digital, maka kesenjangan yang tinggi antara mereka yang memiliki rekening bank dengan mereka yang belum memiliki rekening bank dan mereka yang memiliki keterbatasan terhadap layanan keuangan ini, bisa menjadi ceruk pasar yang menjanjikan bagi bank digital.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Nasabah membuka aplikasi Blu yaitu layanan mobile banking BCA digital di Jakarta, Senin (12/7/2021). Industri perbankan digital saat ini terus berkembang. Salah satu anak usaha PT Bank Central Asia Tbk yaitu PT Bank Digital BCA berencana akan melakukan penawaran umum saham perdana (IPO) dalam kurun waktu satu atau dua tahun ke depan.

Tantangan Bank Digital

Kendati Bank digital memiliki prospek yang menjanjikan di masa depan, namun agar bisnisnya berkelanjutan, sejumlah tantangan masih akan dihadapi bank digital di Tanah Air. Menurut OJK dalam bukunya “Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan”, disebutkan setidaknya ada delapan tantangan yang berkaitan dengan bank digital dan transformasi perbankan menuju digital.

Tantangan pertama adalah pelindungan data pribadi nasabah dan risiko kebocoran data. Tantangan ini tidak lepas dari belum tersedianya payung hukum yang mengatur terkait pelindungan data pribadi. Padahal, ketidakhadiran regulasi yang mengatur pelindungan data akan menimbulkan ancaman terkait privasi dan pengelolaan  data pribadi seperti kebocoran data.

Di sisi lain, nasabah tentunya tidak punya pilihan selain memercayakan data kepada bank. Sudah seharusnya bank menjaga kepercayaan tersebut dengan mencegah terjadinya kebocoran data nasabah. Kebocoran data nasabah bank dapat menyebabkan kerugian keuangan bagi nasabah dan juga kerugian keuangan dan penurunan reputasi bank.

Kebocoran data nasabah itu bisa saja disebabkan oleh peretasan sistem bank atau unsur kesengajaan dalam bentuk penjualan data nasabah oleh pegawai bank. Karena itu, data yang dikelola oleh bank harus diimbangi dengan upaya penguatan dalam pengamanan data agar tidak mudah diretas. Pengelolaan data nasabah juga perlu disertai dengan manajemen dan tata kelola data yang baik untuk menghindari penyebaran data nasabah oleh pegawai bank.

Kedua, risiko investasi teknologi informasi yang tidak sesuai dengan strategi bisnis. Mengingat besarnya belanja modal untuk teknologi informasi maka bank perlu menyusun strategi yang tepat dalam mengembangkan teknologi informasi dengan mempertimbangkan cost and benefit.

Strategi tersebut harus menjadi bagian dalam rencana strategis bisnis bank secara keseluruhan. Rencana strategis teknologi informasi dan strategi bisnis Bank yang berjalan secara silo akan berdampak pada ketidaksesuaian produk dan layanan Bank dengan kebutuhan dan ekspektasi pasar sehingga berujung pada kegagalan Bank.

Ketiga, risiko penyalahgunaan teknologi (penyalahgunaan artificial intelligence). Di sektor perbankan, artificial intelligence telah dimanfaatkan pada beberapa bidang antara lain otomatisasi beberapa pekerjaan seperti mendeteksi fraud, transaksi pencucian uang, atau decision engine proses pengajuan kartu kredit.

Pemanfaatan artificial intelligence tersebut di satu sisi membawa pengaruh positif pada operasional bisnis bank khususnya peningkatan efisiensi bank akibat otomatisasi pekerjaan. Namun di sisi lain, potensi penyalahgunaan artificial intelligence dapat merugikan konsumen bank cukup tinggi. Beberapa risiko artificial intelligence yang teridentifikasi antara lain bias algoritma, deepfakes, dan kemampuan membuat keputusan sendiri.

Keempat, risiko keamanan siber. Transformasi menuju perbankan digital artinya bahwa layanan perbankan akan sangat bergantung terhadap akses internet. Karena itu, keamanan siber di Indonesia perlu menjadi perhatian.

Berdasarkan data dari Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional, terjadi kenaikan serangan siber dari 228 juta serangan siber di tahun 2019, menjadi 495 juta di tahun 2020, atau meningkat 5 kali lipat. Selain itu, dilihat dari industrinya, industri layanan keuangan menjadi salah satu yang paling sering terkena serangan siber (17 persen), diikuti oleh industri retail (16 persen), dan transportasi (10 persen).

Kelima, risiko alih daya. Bank seringkali mengalihdayakan teknologi informasi kepada pihak ketiga. Keputusan untuk mengalihdayakan teknologi informasi dilakukan oleh bank, mengingat implementasi dan operasionalisasi IT banking system merupakan hal yang kompleks dan membutuhkan pengkinian informasi yang berkelanjutan sehingga akan lebih efektif dan efisien apabila ditangani oleh pihak yang memiliki keahlian dan kemampuan mumpuni terkait teknologi informasi.

Namun demikian, kegiatan alih daya berpotensi meningkatkan risiko bagi bank sehingga penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut harus dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai. Beberapa potensi risiko yang timbul dari kegiatan alih daya, antara lain risiko strategis, risiko operasional, risiko regulasi dan kepatuhan, risiko reputasi, serta risiko konsentrasi.

Keenam, kesiapan organisasi dalam mendukung transformasi  digital seperti talent, leader digital, budaya, dan desain organisasi.

Ketujuh, infrastruktur jaringan komunikasi. Layanan perbankan digital tentunya akan sangat bergantung dari perkembangan internet di Indonesia. Namun hingga saat ini masih banyak wilayah di Indonesia yang belum terjangkau jaringan internet.

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2020 mencatat, masih terdapat 12.548 desa/kelurahan yang belum terjangkau jaringan internet, 9.113 daerah  diantaranya adalah daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), dan 3.435 daerah non 3T.

Selain itu, dilihat dari sebaran pengguna internet di Indonesia juga belum merata. Sekitar 55,7 persen berada di Jawa, 21,6 persen di Sumatera, 10,9 persen di Sulawesi, Maluku, dan Papua, 6,6 persen di Kalimantan, dan 5,2 persen di Bali-Nusa Tenggara (Kominfo, 2020).

Artinya, akses internet di Indonesia saat ini belum sepenuhnya merata. Pemerataan akses internet ke seluruh wilayah Indonesia menjadi salah satu syarat untuk mendorong suksesnya transformasi perbankan digital di Indonesia.

Kedelapan, dukungan kerangka regulasi. Tidak hanya dari sisi perbankan, regulator juga menghadapi tantangan terkait pemutakhiran peraturan untuk mengakomodasi perkembangan industri di era industri 4.0. Seiring dengan itu, regulator perlu mengeluarkan kebijakan yang dapat mendorong pengembangan layanan berbasis digital secara cepat.

Hal ini dilakukan antara lain melalui pemutakhiran kebijakan dan regulasi terkait produk dan kelembagaan dalam penerapan teknologi informasi untuk mendukung percepatan transformasi digital perbankan (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Petugas outlet digital BRI di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menerangkan cara menggunakan mesin digital BRI untuk mengetahui informasi produk perbankan, Kamis (6/10/2016). BRI digital hadir dengan teknologi terkini untuk melayani kebutuhan transaksi, informasi produk perbankan, update seputar keuangan, investasi, dan transaksi e-dagang.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Bank Digital dan ”Insurtech” Semakin Marak”, Kompas, 23 Januari 2021, hlm. 10
  • “Perbankan: Bank Digital Terus Berinovasi”, Kompas, 24 Juli 2021, hlm. 11
  • “Prospek dan Tantangan di Balik Tumbuhnya Bank Digital”, Kompas, 2 November 2021, hlm. A
  • “Industri Keuangan: Potensi Bank Digital di Indonesia Sangat Besar”, Kompas, 15 Oktober 2021, hlm. 10
  • “Industri Keuangan: Bank Digital dan Kejahatan Siber”, Kompas, 25 November 2021, hlm. 09
  • “Perbankan: Bank Digital Berlomba Menggaet Kepercayaan Pengguna”, Kompas, 18 Desember 2021, hlm. 09
  • ”Neobank” dan Perbankan Masa Depan”, Kompas, 20 Januari 2021, hlm. 07
  • “Perbankan: Bank Digital untuk Siapa?”, Kompas, 23 April 2021, hlm. 09
Aturan Pendukung