TNI, terdiri dari Brigade Garuda Mataram, Militer Akademi, Brigade 16 (Kris), TP dan TGP, dibawah pimpinan Letkol. Soeharto sebagai Komandan WK III (Daerah Istimewa Yogyakarta) mengadakan perlawanan (gerilya) terhadap tentara Belanda di sekitar Yogyakarta dan dalam kota Yogyakarta pada Bulan Desembar 1948 hingga bulan Juni 1949
IPPHOS
Memproklamasikan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia bukanlah hal yang mudah. Setelah Presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda kembali datang berniat menjajah Indonesia.
Kedatangan Belanda yang menciptakan situasi tidak kondusif di Jakarta, memaksa pemerintah untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Tepat pada tanggal 4 Januari 1946, Ibukota RI dipindah ke Yogyakarta.
Mengingat betapa pentingnya peranan ibu kota bagi suatu pemerintahan, lebih-lebih dalam masa perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan, maka Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia akan selalu mendapat tantangan dan gangguan dari pihak lawan. Karena itu, tidak aneh apabila Belanda senantiasa berusaha untuk menghancurkan atau merebut Ibu Kota RI, Yogyakarta.
Melalui Agresi Militer Belanda II, Belanda menduduki Yogyakarta, menciptakan propaganda seolah TNI telah takluk di tangan Belanda. Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemimpin Yogyakarta yang tak pernah absen mendengarkan siaran radio sidang Dewan Keamanan PBB yang sedang membahas masalah Indonesia-Belanda, meminta izin kepada Jenderal Soedirman untuk melakukan sebuah serangan serentak. Jenderal Soedirman meminta Sultan HB IX untuk berkoordinasi dengan Letkol Soeharto selaku Komandan Brigade 10/Wehrkreise III.
Kisah ini berbeda dengan apa yang tertulis pada buku-buku sejarah. Melalui kisah yang tertulis dalam laman Museum Vredeburg ini, sejarawan berpendapat bahwa sesungguhnya inisiator serangan besar tanggal 1 Maret 1949 adalah Sultan HB IX bukanlah Letkol Soeharto.
17 Agustus 1945
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
19 Agustus 1945
Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII sebagai pemimpin Daerah Istimewa Yogyakarta masing-masing mengirimkan kawat kepada Presiden dan Wakil Presiden menyampaikan sukacita dan dukungan atas berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
19 Agustus 1945
Merespon dukungan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, Presiden Soekarno menerbitkan sebuah piagam yang menyatakan kedudukan kedua raja di Daerah Istimewa Yogyakarta. Segera setelah dibuatnya piagam ini, segera dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Yogyakarta.
23 Agustus 1945
Pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh.
15 September 1945
Pasukan Sekutu dan NICA sampai di Jakarta.
26 September 1945
KNI Daerah Yogyakarta menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Yogyakarta seluruhnya telah berada di tangan Bangsa Indonesia.
5 Oktober 1945
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk. TKR inilah yang selanjutnya berganti nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Kota Yogyakarta dipilih sebagai Markas Tertinggi TKR.
4 Januari 1946
Ibukota NKRI dipindah ke Yogyakarta karena kegentingan atas kedatang kembali Belanda.
21 Juli 1947
Van Mook mendapat kekuasaan dari Den Haag untuk melancarkan Agresi Militer Belanda I
19 Desember 1948
Belanda melanggar perundingan Renville dan melancarkan Agresi Militer Belanda II. Belanda berhasil menduduki Yogyakarta.
29 Desember 1948
Serangan Umum Ke-1 yang dipimpin langsung oleh Komandan Wehrkreise III, Letkol Soeharto dan merupakan “Hadiah Tahun Baru” bagi tentara Belanda. Serangan ini dilakukan dengan penuh kerahasiaan dan terorganisasi secara menyeluruh di setiap sektor. Serangan ke-1 ini mampu memecah tentara Belanda, mengubah gerakan dari ofensif menjadi defensive.
9 Januari 1949
Serangan Umum Ke-2 dilancarkan menyusul gelora semangat yang tercipta setelah dilakukan serangan ke-1. Serangan kali ini, Panglima Divisi III memerintahkan kepada 3 Komandan Wehrkreise di wilayah III agar melancarkan serangan serentak. Seperti serangan ke-1, serangan ke-2 ini dilakukan pada malam hari, namun lebih serentak di seluruh Sub-Wehrkreise.
16 Januari 1949
Meskipun setiap selesai serangan umum, pihak tentara Belanda menjadi lebih gencar melakukan pembersihan, namun semangat tentara Indonesia tak mengendur. Pada serangan umum ke-3, setiap Sub-Wehrkreise diperintahkan untuk melakukan serangan gerilya secara mandiri di sektornya masing-masing. Serangan ke-3 cukup merugikan Belanda, sehingga pembersihan oleh Tentara Belanda makin gencar dilakukan.
4 Februari 1949
Serangan ke-4 dilakukan dengan kerjasama lebih luas lagi yaitu dengan pemerintahan sipil. Serangan ini dipimpin langsung oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Dukungan segenap rakyat Yogyakarta tak perlu diragukan lagi ketika Sultan sudah turun tangan. Serangan kali ini untuk mempersiapkan serangan yang lebih besar lagi, yang tidak akan dilakukan malam hari, namun siang hari.
13 Februari 1949
Pada malam hari, Lettu Marsudi “menyelundupkan” Letkol Soeharto masuk kota dan keraton untuk menghadap Sultan Hamengku Buwono IX. Pertemuan ini adalah hasil dari permintaan ijin Sultan ke Jenderal Soedirman untuk melakukan serangan serentak pada siang hari. Jenderal Soedirman meminta Sultan untuk berkoordinasi langsung dengan Letkol Soeharto, maka terjadilah pertemuan ini.
1 Maret 1949
Bertepatan dengan sirine tanda jam malam berakhir, tanggal 28 Februari 1949, pasukan di tiap-tiap Sub-Wehrkreise menempatkan diri, bergerak maju ke area area yang telah disepakati untuk diserang. Serangan TNI memburu tentara Belanda di seluruh penjuru Yogyakarta. TNI berhasil merebut Yogyakarta selama 6 jam. Peristiwa ini berhasil disiarkan melalui pemancar radio di Wonosari, sehingga mata dunia terbuka, bahwa TNI masih ada.
Referensi
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya (Citra Lamtoro Gung Persada, 1991)
Penulis
Agustina Rizky Lupitasari
Editor
Rendra Sanjaya