Paparan Topik | Serangan Umum 1 Maret

Serangan Umum 1 Maret dan Momentum Penegakan Kedaulatan Negara

Pemerintah telah menetapkan secara resmi Hari Penegakan Kedaulatan Negara pada 2022 lalu yang merujuk pada peristiwa sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Peristiwa itu dinilai menjadi momentum penting memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Tim aerobatik TNI Angkatan Udara Jupiter Aerobatic Team tampil saat Komunitas Djokjakarta 1945 hendak menggelar aksi drama teatrikal peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Selasa (1/3/2022). Kegiatan tersebut untuk memperingati peristiwa perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Agresi Militer II Belanda di Yogyakarta, 73 tahun lalu. Aksi tersebut juga untuk merayakan pencanangan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Pencanangan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2022.

Fakta Singkat

  • Hari Penegakan Kedaulatan Negara: 1 Maret
  • Dasar hukum: Keppres 2/2022

Kilas balik pengusulan HPKN:

  • Diusulkan oleh Pemda DIY sejak 2018
  • Tindak lanjut dari perintah Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono (HB) X seusai menangkap aspirasi warga
  • Kementerian Sekretariat Negara meminta Pemda DIY mengirim surat permohonan dukungan usulan penetapan 1 Maret sebagai hari besar nasional ke Kementerian Pertahanan.
  • Surat dikirim pada Februari 2019
  • Keppres ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 24 Februari 2022

Naskah akademik

  • Terdiri dari 130 hlm dan 6 bab
  • Metode: sejarah kritis
  • Sekitar 30 karya historiografi dianalisis

Tokoh Serangan Umum 1 Maret 1949, antara lain:

  • Sultan Hamengkubuwono IX
  • Panglima Besar Jenderal Soedirman
  • Komandan WK III Letkol Soeharto
  • Wali Kota Yogyakarta Mr Soedarisman Poerwokoesoemo
  • Lettu Marsoedi
  • Komandan Divisi III Kolonel Bambang Soegeng
  • Komandan Divisi II Kolonel Gatot Subroto
  • Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang
  • Mayor Sardjono dan Letkol Vince Samuel,
  • Mayor Soekasno

Polemik seputar Keppres 2/2022

  • Belum merepresentasikan tokoh-tokoh sejarah yang berperan penting dalam peristiwa SU 1 Maret 1949, seperti Soeharto, Bambang Soegeng, Abdul Haris Nasution, dll.

Penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara (HPKN) itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022. Surat keputusan itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 24 Februari 2022.

Keppres ini merujuk pada peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 oleh pasukan Indonesia terhadap ibu kota Yogyakarta yang dikuasai pasukan Belanda. Saat itu, Yogyakarta adalah ibu kota Republik Indonesia. Tujuannya untuk menunjukkan pada dunia bahwa TNI dan Indonesia masih eksis dan memiliki kekuatan melawan Belanda.

Dampaknya, perundingan di tingkat internasional pun bergulir kembali. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lantas mendesak Belanda agar mau berunding dengan Indonesia. Dari serangan umum ini, kedaulatan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tegak kembali.

Selain itu, penetapan HPKN juga merupakan babak baru yang mengungkap dan mengakui tidak adanya dominasi satu pihak sebagaimana dinarasikan selama Orde Baru. Peristiwa heroik tersebut melibatkan banyak pejuang dari berbagai kalangan yang bahu membahu membuktikan eksistensi Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat di hadapan dunia.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Komunitas Djokjakarta 1945 menggelar aksi drama teatrikal peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Selasa (1/3/2022). Kegiatan tersebut untuk memperingati peristiwa perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Agresi Militer II Belanda di Yogyakarta, 73 tahun lalu. Aksi tersebut juga untuk merayakan pencanangan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Pencanangan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2022.

Hari Penegakan Kedaulatan Negara

Pengusulan 1 Maret menjadi Hari Penegakan Kedaulatan Negara dilakukan oleh Pemda DI Yogyakarta sejak 2018. Ketika itu, para sejarawan di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, mendapatkan permintaan dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk membuat kajian akademis ihwal Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949.

Permintaan itu merupakan tindak lanjut dari perintah Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono (HB) X seusai menangkap aspirasi warga setempat. Mereka ingin agar momentum 1 Maret tidak hanya diperingati warga lokal setiap tahun, tetapi juga seluruh masyarakat sebagai hari besar nasional.

Setelah diajukan ke Presiden, Kementerian Sekretariat Negara meminta Pemda DIY mengirim surat permohonan dukungan usulan penetapan 1 Maret sebagai hari besar nasional ke Kementerian Pertahanan. Surat lalu dikirim pada Februari 2019, beberapa hari setelahnya perwakilan Pemda DIY pun diminta datang ke Jakarta untuk menjelaskan usulan tersebut (Kompas.id, 1/3/2019).

Tiga tahun berselang, usulan itu dikabulkan. Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara pada Kamis (24/2/2022), dengan empat pertimbangan.

Pertama, bahwa NKRI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara yang merdeka dan berdaulat sehingga dapat mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Tujuannya, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kedua, bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia internasional mendapat perlawanan dari Belanda dengan melakukan agresi militer dan propaganda politik di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ketiga, bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret l949 merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Indonesia di dunia internasional. Peristiwa ini juga telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Peristiwa ini, seperti yang ditetapkan di Keppres, digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Lalu disetujui dan digerakkan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan didukung oleh TNI, Polri, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya.

Keempat, bahwa dalam rangka menanamkan kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa, perlu menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Adapun tujuan pengusulan peristiwa 1 Maret 1949 sebagai Hari Besar Nasional disebutkan ada tiga. Pertama, menghargai jasa para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Kedua, meneguhkan semangat nasionalisme dan kebangsaan.

Ketiga, mengingatkan kembali tentang pentingnya seluruh komponen bangsa untuk bersatu kembali kepada cita-cita awal revolusi kemerdekaan Indonesia yang merdeka, berdaulat menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila dan UUD 1945.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta (11/1/2002). Monumen untuk memperingati peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran terhadap pendudukan pasukan Belanda atas kota Yogyakarta . Serangan direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III, dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng.

Naskah akademik

Penetapan HPKN didasarkan pada “Naskah Akademik Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai HARI Nasional Penegakan Kedaulatan Negara” yang disusun oleh Sri Margana dan empat sejarawan lainnya, yaitu Julianto Ibrahim, Siti Utami Dewi Ningrum, Satrio Dwicahyo, dan Ahmad Faisol.

Naskah akademik tersebut terdiri dari 130 halaman dan terbagi dalam enam bab. Metode yang digunakan adalah sejarah kritis. Dimulai dengan pengumpulan sumber-sumber primer berupa arsip, foto, kesaksian tokoh, dan sumber-sumber sekunder, seperti buku-buku dan artikel yang telah ditulis sebelumnya.

Naskah akademik ini disusun atas lima bagian. Bagian pertama berupa pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang, identifikasi masalah, tujuan, dan metode penulisan naskah akademik SU 1 Maret 1949.

Bagian berikutnya adalah tentang kajian teoritis dan praktik empiris dari peristiwa SU 1 Maret 1949. Dimulai dengan tinjauan historiografis berupa buku-buku yang telah ditulis oleh para sejarawan profesional sebelumnya.

Sekitar 30 karya historiografi seputar peristiwa SU 1 Maret 1949 di Yogyakarta dikaji dan dianalisis. Sumber-sumber itu diuji secara kritis kemudian dimanfaatkan untuk penulisan naskah akademik.

Beberapa buku yang dikaji dan dianalisis adalah Gelora Api Revolusi, Sebuah Antologi Sejarah (1986), Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (2011), Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya (1991) oleh Seskoad, Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, Yogyakarta (2000) oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, Nasionalisme & Revolusi (2013) karya sejarawan George McTurnan Kahin, serta buku Daarstoot Naar Djokja, Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer (2010) karya Julius Pour.

Banyaknya kajian historis dan akademis yang telah dilakukan terhadap peristiwa SU 1 Maret 1949 ini menunjukkan betapa pentingnya peristiwa ini. Kajian-kajian tersebut juga menjadi bukti yang kuat bahwa peristiwa ini layak diangkat sebagai peristiwa besar nasional.

Bagian ketiga menjelaskan tentang evaluasi dan analisis Keputusan Presiden terhadap peraturan perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, pada bagian ini juga digambarkan timeline peristiwa SU 1 Maret 1949.

Pada bagian keempat, disajikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari SU 1 Maret 1949 bagi penegakan kedaulatan NKRI yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada bagian kelima dibahas tentang jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Keputusan Presiden.

Sebagai penutup, disajikan kesimpulan dan rekomendasi bagi pemerintah untuk mengangkat peristiwa Serangan Umum 1 Maret ini sebagai hari besar nasional, dengan sebutan “Hari Penegakan Kedaulatan Negara”.

Dalam kesimpulannya, naskah akademik itu menyatakan banyak tokoh, baik sipil atau militer, dan bahkan masyarakat biasa, yang terlibat dalam SU 1 Maret 1949. Kajian itu menyimpulkan pula peristiwa penting itu tidak bisa direduksi hanya pada sejumlah nama, seperti yang dinarasikan selama Orde Baru. Selain itu, juga terdapat lampiran berupa rancangan peraturan Keputusan Presiden.

Hasil kajian ini kemudian menjadi landasan dan masukan kepada pemerintah pusat yang kemudian menerbitkan Keppres 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Drama Kolosal Serangan Umum 1 Maret 1949. Anggota berbagai komunitas pecinta sejarah mengikuti teater drama kolosal Serangan Umum 1 Maret 1949 di halaman Musem Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Minggu (5/3/2017). Kegiatan tahunan ini digelar antara lain untuk meningkatkan semangat cinta Tanah Air dan bangsa.

Tokoh-tokoh dalam Serangan Umum 1 Maret 1949

Dalam naskah akademik itu, disebutkan sejumlah tokoh yang terlibat dalam SU 1 Maret 1949. Salah satunya peran Sultan Hamengkubuwono IX, yang merupakan pemimpin kultural, Menteri Keamanan Negara, dan menyandang pangkat Letnan Jenderal Titulair, sebagai penggagas serangan.

Gagasan untuk melancarkan serangan besar-besaran di Yogyakarta muncul setelah mendengar siaran berita luar negeri. Pada awal Februari 1949, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mendengarkan siaran radio BBC-London yang memberitakan masalah kemerdekaan Indonesia segera dibahas di Dewan Keamanan PBB, Maret 1949. Sementara itu, Belanda terus mempropagandakan di PBB bahwa negara Indonesia sudah bubar.

Sesuai posisinya, Sri Sultan langsung menghubungi Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk menyampaikan perlunya digelar Serangan Umum pada siang hari atas kota Yogyakarta guna menunjukkan kepada dunia bahwa negara Indonesia masih ada dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya.

Soedirman, sebagai Panglima yang berkuasa untuk mengerahkan pasukan menyetujui ide tersebut. Ia meminta HB IX berkomunikasi dengan Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto untuk membahas serangan itu.

Segera Komandan WK III Letkol Soeharto bertemu Sri Sultan Hamengkubuwono IX di Keraton Yogyakarta guna menyusun sebuah serangan umum. Waktu serangan disepakati pada siang hari dan harus menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam saja sebelum akhirnya mundur teratur begitu tank-tank tentara Belanda datang dari Magelang dan Semarang. Saat itu, mereka merencanakan serangan pada 28 Februari. Namun, karena informasi telanjur menyebar, maka rencana diundur hingga 1 Maret.

Pada Selasa, 1 Maret 1949, tepat pukul 06.00, saat sirine akhir jam malam berbunyi, ribuan gerilyawan TNI menyerbu masuk Kota Yogyakarta dari segala penjuru. Selama 6 jam Yogyakarta dikuasai gerilyawan TNI. Belanda tidak bisa berkutik dan hanya bersembunyi di dalam tangsi-tangsi mereka menunggu bantuan datang dari luar kota. Rakyat bersorak, Indonesia masih ada dan TNI masih ada.

Berita serangan umum kemudian dipancarkan lewat Radio AURI di Playen, Wonosari-selatan Yogyakarta dan diterima Markas PDRI di Bidaralam, Sumatera Barat. Berita tadi kemudian di-relay ke Takengon, Aceh, kemudian di-relay lagi ke Rangoon, Burma, dan terus ke New Delhi untuk kemudian mengudara lewat All India Rado ke seluruh dunia. Berita radio tadi diterima Perwakilan RI di PBB-New York, LN Palar, untuk kemudian dipakai oleh delegasi RI sebagai amunisi dalam Sidang Dewan Keamanan PBB dan membuat pihak Belanda tidak berkutik.

Akhirnya, melalui Perjanjian Roem-Royen, Mei 1949, Belanda dan Indonesia menyepakati gencatan senjata. Pada 29 Juni 1949, Belanda meninggalkan Yogyakarta dan gerilyawan TNI mulai kembali memasuki Ibu Kota Perjuangan.

Selain Sultan Hamengkubowo IX dan Soeharto, setidaknya ada delapan tokoh lain yang juga disebut dalam naskah akademik. Soedirman memberikan izin dan arahan pelaksanaan serangan; Wali Kota Yogyakarta Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo bersama dengan Lettu Marsoedi yang menentukan rumah, jalan masuk keluar Yogyakarta untuk pejuang, serta dapur umum; dan Komandan Divisi III Kolonel Bambang Soegeng yang ikut membantu mengonsepkan serangan dan mencegah pasukan Belanda dari arah utara dan barat.

Ada pula Komandan Divisi II Kolonel Gatot Subroto, berperan mencegah pasukan Belanda dari Solo; Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang, mengonsepkan berita ke luar negeri dan mengumpulkan intelijen untuk menyebarkan informasi; Mayor Sardjono dan Letkol Vince Samuel, berjuang di garis depan bertempur dengan Belanda di Benteng Vredeburg.

Selain itu, Mayor Soekasno berperan mencegah kedatangan bantuan pasukan NICA dari Magelang, serta Mayor Soedjono yang menduduki Bandara Maguwo (sekarang Adisutjipto) untuk memastikan Belanda tidak menggunakan pesawat untuk menggempur para pejuang di Yogyakarta. Belum lagi personel kepolisian dan laskar-laskar rakyat yang juga turut berperan dalam serangan itu.

Mereka semua berada dalam satu organisasi dan satu gerakan. Tidak ada yang dominan di situ, semua mempunyai peran strategis dan jika salah satu tidak berfungsi, maka serangan akan gagal. Semua pelaku sejarah harus ditempatkan sesuai dengan porsinya. Narasi sejarah tak bisa lagi mempersonifikasikan SU 1 Maret 1949 dengan sosok Soeharto.

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Monumen Serangan Umum Relief Monumen Serangan Umum 1 Maret di titik nol kilometer Kota Yogyakarta, Rabu (1/5/2013). Monumen Serangan Umum 1 Maret adalah salah satu bangunan peninggalan Soeharto yang menjadi penanda sejarah perebutan Kota Yogyakarta dari penjajah Belanda.

Polemik seputar Keppres 2/2022

Kendati penetapan HPKN diapresiasi oleh berbagai pihak, namun di sisi lain Keppres 2/2022 tersebut sempat menimbulkan polemik. Bahkan beberapa ahli dan pengamat sejarah mengusulkan agar Keppres itu direvisi.

Salah satunya disampaikan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) yang meminta pemerintah merevisi Keppres tersebut (Kompas, 23 Mar 2022). Mereka mengusulkan agar tidak menyebutkan nama-nama tokoh sehingga tidak memunculkan polemik di masyarakat. Sebab, SU 1 Maret 1949 merupakan kerja kolektif sehingga harus melihat kontribusi seluruh pelaku sejarah secara proporsional.

Disebutkan, keputusan itu memunculkan polemik di masyarakat karena di konsideransnya, terutama di huruf C, dituliskan nama tokoh-tokoh, tetapi tidak memunculkan nama-nama lain yang juga berperan penting.

Cuplikan salah satu konsiderans Keppres 2/2022 ”bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya….”

MSI menilai, munculnya nama-nama tokoh dalam konsiderans di atas belum merepresentasikan tokoh-tokoh sejarah yang berperan penting dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, seperti Soeharto, Bambang Soegeng, Abdul Haris Nasution, dan lain-lain. Di satu sisi, terdapat nama tokoh yang perannya masih diperdebatkan secara langsung.

Tak hanya MSI, ketika itu protes juga mengemuka di media sosial. Salah satunya dikemukakan politisi Partai Gerindra Fadli Zon. Melalui akun Twitter dan Youtube-nya, Fadli meminta Keppres 2/2022 direvisi, karena tidak hanya tak menyebut Soeharto, tetapi juga tak menyertakan peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berdiri saat Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi. Menurut Fadli, serangan itu ada dalam kerangka strategi PDRI, karena Soekarno-Hatta tengah berada dalam pengasingan.

Menanggapi polemik itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam keterangan pers, Kamis (3/2/2022), mengatakan, Keppres bukan buku sejarah melainkan keputusan tentang momen krusial dalam perjalanan sejarah.

Oleh karena itu, tidak semua pelaku sejarah dituliskan, hanya beberapa orang yang berperan sebagai penggagas dan penggerak saja. Namun hal itu tidak berarti peran tokoh yang lain dihilangkan. Peran mereka, termasuk Soeharto, tercatat utuh dalam naskah akademik Keppres.

Ia mencontohkan, kebijakan serupa juga dilakukan dalam penulisan naskah proklamasi. Ada banyak orang yang berperan dalam proklamasi, namun hanya nama Soekarno-Hatta yang dituliskan. Mahfud menyatakan (Keppres) ini adalah penetapan hari krusial, dan hanya menyebut yang paling atas sebagai penggagas dan penggerak, tanpa menghilangkan peran Soeharto sama sekali.

Jika merunut sejarahnya, polemik seputar sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan pertama kali terjadi. Perdebatan setidaknya terjadi sejak 1985 atau tiga tahun sebelum otobiografi Soeharto terbit, ketika harian Suara Merdeka menerbitkan wawancara dengan KPH Soedarisman Poerwoekoesoemo. Soedarisman saat itu mempertanyakan dari mana inisiatif serangan berasal, apakah dari Soeharto, Bambang Soegeng atasan Soeharto, Soedirman, Nasution, atau Sultan HB IX (Kompas, 1/3/1999).

Dalam otobiografi berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), Soeharto mengaku bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan inisiatifnya setelah mendengar perkembangan situasi dari siaran radio luar negeri. Ia juga memaparkan, telah mengerahkan pasukan dan memimpin serangan untuk menduduki Yogyakarta selama enam jam.

Namun, penelitian untuk mengungkap fakta lain seputar peristiwa ini terus dilakukan oleh para sejarawan. Kesaksian para pelaku dan saksi sejarah mengantarkan pada bangunan kisah yang lebih meyakinkan dan lepas dari kepentingan tertentu.

Sultan Hamengkubuwono X pada Selasa (1/3/2022) melalui siaran daring mengatakan, untuk melengkapi fakta SU 1 Maret 1949, ia pernah mendapatkan cerita dari Hamengkubuwono IX, yang juga ayahnya bahwa serangan semula direncanakan pada 28 Februari.

Namun, rencana itu batal karena informasi bocor ke pihak lain, sehingga diundur pada 1 Maret. Ia juga mengingatkan ihwal posisi HB IX sebagai Menteri Keamanan Negara dan menyandang pangkat Letjen Titulair, sehingga wajar jika dalam posisi itu, ayahnya bisa berkirim surat dengan Soedirman.

Selain itu, pihaknya juga saat ini menyimpan dokumen “Indonesian Question before The Security Council 1946-1949” yang memuat materi yang menyebut SU 1 Maret 1949 dalam pembicaraan seputar kedaulatan Indonesia di Dewan Keamanan PBB.

Dokumen ini memuat informasi penting terkait negosiasi-negosiasi yang membalikkan sikap negara Barat, yang semula mendukung Belanda menjadi mendorong Belanda untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia sepenuhnya. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “SO 1 Maret, Sejarah Siapa?”, Kompas, 02 Maret 2009, hlm. 07
  • “Kilas Politik & Hukum: 1 Maret Jadi Hari Penegakan Kedaulatan”, Kompas, 01 Maret 2022, hlm. 02
  • “Merayakan Kedaulatan, Merayakan Kebersamaan”, Kompas, 02 Maret 2022, hlm. 13
  • “Di Balik Serangan Umum 1 Maret 1949”, Kompas, 06 Maret 2022, hlm. 02
  • “Paparkan Sejarah Sesuai Fakta”, Kompas, 23 Maret 2022, hlm. 05
Buku
Aturan