KOMPAS/DJOKO POERNOMO
Monumen Serangan Umum 1 Maret berada di area sekitar Museum Benteng Vredeburg yaitu tepat di depan Kantor Pos Besar Yogyakarta, (23/2/1989). Monumen ini dibangun untuk memperingati serangan tentara Indonesia terhadap Belanda pada tanggal 1 Maret 1949.
Fakta Singkat
Serangan Umum 1 Maret 1949
Latar Belakang
- Belanda ingin kembali menguasai Indonesia dengan melancarkan aksi militer di Indonesia
- Resolusi Dewan Keamanan PBB ditolak Belanda
- Klaim Belanda Pemerintah RI dan TNI tidak ada lagi
Tujuan
- Menunjukkan eksistensi TNI dan pemerintah RI di dunia internasional
Aksi
- Diarahkan ke Kota Yogyakarta dari empat penjuru
- Merupakan aksi Divisi III (Jawa Tengah bagian barat) secara serentak
- Juga mendapat bantuan Divisi II (Jawa Tengah bagian timur)
- Melibatkan 2.000 pasukan Indonesia
- Berlangsung selama kurang lebih 6 jam
Dampak
- Menguatkan posisi Indonesia di mata dunia
Kontroversi
- Klaim Soeharto sebagai pemrakarsa
- Kesaksian pasca-Orde Baru, Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemrakarsa
Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan salah satu pertempuran penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Meskipun dari sisi jumlah korban dan lamanya pertempuran lebih kecil dari berbagai pertempuran lain, nilai politis serangan ini sangat besar bagi upaya diplomasi Indonesia di dunia internasional.
Pecahnya serangan ini dilatarbelakangi usaha Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Belanda menolak resolusi Dewan Keamanan PBB yang berisi ultimatum agar Belanda menghentikan aksi militer di Indonesia dan mengakui kedaulatan pemerintahan RI
Penolakan Belanda tampak dari agresi militer terhadap Indonesia. Tak hanya itu, Belanda menyampaikan klaim di kancah internasional bahwa pemerintahan RI dan TNI sudah tidak ada lagi. Tindakan Belanda ini memicu munculnya Serangan Umum 1 Maret 1949. Dengan demikian, serangan ini bertujuan untuk menunjukkan kedaulatan dan kewibawaan, termasuk di dalamnya kekuatan militer, Indonesia sebagai negara baru kepada dunia internasional.
Peristiwa sekitar kemerdekaan Indonesia
Apa yang terjadi pada 1 Maret 1949 bukan merupakan peristiwa yang berdiri sendiri. Peristiwa tersebut bertalian dengan berbagai peristiwa sebelumnya.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Belanda sebagai bagian dari Sekutu kemudian merasa berhak atas Hindia Belanda dan kemudian berhasrat untuk kembali menguasainya.
Di pihak lain, kabar kekalahan Jepang malah mengobarkan semangat bangsa Indonesia untuk memanfaatkan lowongnya kekuasaan dengan memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pihak Belanda yang kemudian mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia terkejut. Pasalnya, lahirnya Indonesia membuat Belanda tidak bisa begitu saja kembali menguasai wilayah bekas jajahannya tersebut.
Belanda kemudian mengambil dua langkah utama sebagai strategi untuk kembali merebut Indonesia, yakni serangan militer dan diplomasi. Upaya ini awalnya didukung oleh negara Sekutu, antara lain Inggris dan Australia.
Upaya serangan militer Belanda yang didukung Sekutu yang dimulai sejak tahun 1945 melahirkan berbagai pertempuran, salah satunya yang terkenal adalah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Meski demikian, perang mempertahankan kemerdekaan semestinya sudah menemui titik akhir dengan adanya Perjanjian Linggarjati pada 11 November 1946. Dokumen persetujuan ini kemudian ditandatangi oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda pada 25 Maret 1947 di Gambir, Jakarta.
Perjanjian tersebut berisi pengakuan Belanda atas kekuasaan Republik Indonesia meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera. Adapun daerah-daerah lain secara berangsur akan juga masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia. Sayangnya, perjanjian ini dilanggar oleh Belanda sendiri dengan malah melancarkan Agresi Militer I pada pertengahan tahun 1947
Untuk meredam situasi pasca-Agresi Militer I, diadakan Persetujuan Renville pada 8 Desember 1947 yang sejatinya berisi hal yang kurang lebih sama dengan Perjanjian Linggarjati, yakni pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia. Sebelumnya, Dewan Keamanan PBB sudah menyerukan gencatan senjata pada 17 Agustus 1947.
IPPHOS
Keadaan di Yogyakarta dan sekitarnya saat Belanda mengadakan serangan udara pada tanggal 31 Juli 1947.
Artikel Terkait
Belanda Menduduki Yogyakarta
Berbagai perundingan tersebut tak mempan untuk membendung aksi militer yang terus dilakukan oleh Belanda. Malahan, Jendral Spoor dari pihak Belanda menginstruksikan penyerangan di Jawa dan Sumatera termasuk Ibu Kota Republik kala itu, Yogyakarta, pada bulan Desember 1948. Operasi ini oleh pihak Belanda disebut Operatie Kraai atau Operasi Burung Gagak. Operasi militer ini menandai Agresi Militer Belanda II.
Yogyakarta merupakan target utama dalam Agresi Militer Belanda II. Pada 19 Desember 1948 pagi buta, bandara Maguwo dihujani bom dan tembakan oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pagi hari sekitar pukul 11.00, tak kurang dari 2.600 pasukan Belanda di bawah komando Kolonel D.R.D van Langen telah berkumpul di Maguwo dan segera bergerak ke Kota Yogyakarta.
Menanggapi serangan Belanda ini, Panglima Besar Angkatan Perang RI Jenderal Sudirman mengeluarkan perintah kilat dengan No. I/P.B./D/1948. Poin utama perintah kilat ini adalah pemberitahuan bahwa Belanda telah melakukan serangan dan membatalkan gencatan senjata. Selain itu Jenderal Sudirman mengajak untuk semua angkatan perang menghadapi serangan Belanda.
Sementara itu, setelah memutuskan untuk tetap berada di Yogyakarta, Soekarno menyampaikan pidatonya melalui siaran radio. Isi pidato Soekarno adalah meminta dukungan dari semua rakyat dalam usaha mempertahankan wilayah RI dari serangan Belanda. Soekarno mengingatkan bahwa sekalipun ada tempat penting yang berhasil diduduki Belanda, itu tidak berarti perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan pupus. Pada tanggal 19 Desember itu pula, dikirim mandat kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatera.
Usaha Belanda menyerang Yogyakarta membuahkan hasil. Sekitar pukul 15.00 seluruh wilayah Kota Yogyakarta berhasil diduduki Belanda. Para petinggi RI termasuk Presiden Soekarno dan Wakilnya Moh. Hatta ditawan.
IPPHOS
Pada tanggal 19 Desember 1948 pagi pesawat terbang Belanda menyerang Yogyakarta dan Maguwo, pasukan Baret Merah dan Hijau Belanda terjun di atas Maguwo. Setelah Maguwo diduduki, mereka menuju Yogyakarta dan menduduki seluruhnya pada sore hari. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tertawan dan dibawa ke lapangan terbang Maguwo.
Reaksi dunia internasional
Agresi yang dilancarkan Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Pada 24 dan 28 Desember 1948, Dewan Keamanan PBB segera mengeluarkan resolusi untuk menghentikan aksi militer yang dilakukan oleh Belanda. Isi dari resolusi tersebut adalah permintaan agar Belanda menghentikan tembak-menembak di Indonesia dan membebaskan tawanan Indonesia tanpa syarat.
Secara diplomatis, Belanda menyampaikan kesediaannya untuk melakukan apa yang diamanatkan oleh resolusi tersebut. Namun faktanya, kedua resolusi tersebut tak dipatuhi oleh Belanda. Serangan terhadap pihak RI terus dilancarkan oleh Belanda.
Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB kembali mengeluarkan resolusi atas situasi di Indonesia. Resolusi PBB No. 67 ini terbit setelah PBB menerima usulan dari empat negara, yakni Amerika Serikat, Kuba, Norwegia, dan China.
Resolusi ini bernada kurang lebih sama dengan dua resolusi sebelumnya, yaitu Belanda diminta menghentikan aksi militer di Indonesia dan membebaskan tawanan-tawanan dari pihak Indonesia. Bukannya melunak, Belanda bersikukuh menolak resolusi Dewan Keamanan tersebut dengan dalih bahwa pemerintahan RI dan TNI-nya sudah tidak eksis lagi. Penolakan Belanda ini disiarkan ke seluruh penjuru dunia melalui radio.
Artikel Terkait
Perencanaan Serangan Umum 1 Maret 1949
Didudukinya Yogyakarta pada Desember 1948 membuat pihak Indonesia mengambil langkah cepat untuk memulai perang gerilya sesuai dengan perintah kilat Jenderal Sudirman.
Sebelumnya, di tingkat pusat, pada 19 November 1948 telah dikeluarkan Perintah Siasat No. 1 Tahun 1948 yang berisi pokok-pokok perlawanan dan pertahanan terhadap serangan Belanda. Inti Perintah Siasat No. 1 adalah pelaksanaan perang rakyat semesta dengan mengikutsertakan semua tenaga rakyat termasuk kekayaan rakyat.
Salah satu isi Perintah Siasat No.1 ini adalah mengubah strategi pertahanan keamanan dari sistem linier diganti dengan sistem wehrkreise atau daerah pertahanan. Secara sederhana, sistem wehrkreise membagi-bagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran yang dapat berdiri sendiri. Dalam daerah pertahanan ini, semua sumber daya yang ada diintegrasikan, baik manusia, material, dan bahan-bahan lain. Strategi wehrkreise ini kemudian dilengkapi dengan taktik perang gerilya.
Perintah ini, salah satunya, segera ditanggapi oleh Kolonel Bambang Sugeng, pemimpin Divisi III Jawa yang bermarkas di Kaliangkrik, sekitar Magelang. Ia segera membentuk tiga wilayah pertahanan (wehkreise). Wilayah pertahanan I yang meliputi Banyumas, Pekalongan, dan Wonosobo dikomandoi oleh Letkol Muhammad Bahrum. Wilayah pertahanan II meliputi Kedu dan Kendal di bawah komando Letkol Sarbini. Sementara, wilayah pertahanan III meliputi wilayah Yogyakarta dikomandoi oleh Letkol Soeharto.
Selanjutnya, berbagai tokoh nasional juga mengikuti perkembangan dunia internasional pasca Agresi Militer Belanda II. Dua resolusi Dewan Keamanan PBB Desember 1948, termasuk penolakan Belanda atasnya, tersiar melalui radio. Berbagai tokoh pergerakan di Indonesia mendengar kabar internasional tersebut, antara lain Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Sudirman, Letkol W. Hutagalung, Kolonel Simatupang, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Sungkono
Langkah cepat segera dilakukan. Tanggal 18 Februari 1949, diadakan rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III yang bermarkas di lereng Gunung Sumbing. Yang hadir dari pihak militer, di antaranya, Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng, Komandan wehrkreise I Letkol Sarbini dan Letkol W. Hutagalung yang mendapat mandat dari Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Sementara itu dari pihak sipil yang hadir, di antaranya, Gubernur Sipil KRMT Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi.
Pertemuan ini membicarakan sebuah strategi besar serangan terencana kepada Belanda dengan tujuan utama menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih eksis, begitu pula dengan pemerintahan RI. Serangan besar-besaran ini direncanakan di wilayah Divisi III dengan mengerahkan potensi militer dan sipil yang ada. Untuk memperluas efek yang ada, dirancang pula bantuan militer dari Divisi II.
IPPHOS
TNI, terdiri dari Brigade Garuda Mataram, Militer Akademi, Brigade 16 (Kris), TP dan TGP, di bawah pimpinan Letkol. Soeharto sebagai Komandan WK III (Daerah Istimewa Yogyakarta) mengadakan perlawanan (gerilya) terhadap tentara Belanda di sekitar Yogyakarta dan dalam Kota Yogyakarta pada Bulan Desembar 1948 hingga bulan Juni 1949.
Selain itu, serangan ini disusun agar menarik perhatian dunia internasional. Untuk itu, delegasi Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI), wartawan-wartawan asing, serta pengamat militer harus mengetahui adanya serangan ini. Strateginya, target utama serangan adalah Ibu Kota Yogyakarta yang masih diduduki Belanda. Selain itu, koordinasi juga dilakukan dengan pemancar radio AURI di Playen dan radio Kantor Pemerintah Pusat untuk menyiarkan aksi terencana ini ke luar negeri.
Yogyakarta dijadikan target utama serangan karena merupakan ibu kota Republik Indonesia. Didudukinya kembali kota ini tentunya memberi pengaruh yang besar. Selain itu, anggota-anggota UNCI, wartawan militer, dan pengamat militer dari luar negeri masih berada di Yogyakarta. Selain itu, secara teknis, Yogyakarta berada di bawah wilayah Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng sehingga serangan ini tidak memerlukan izin dari divisi militer lain.
Untuk mengantisipasi bantuan militer Belanda dari Jawa Tengah bagian timur terutama Solo, diharapkan juga bantuan militer dari Divisi II di bawah komando Kolonel Gatot Soebroto. Peran utama regu militer ini yaitu menghadang bantuan militer Belanda dari arah Solo menuju Yogyakarta.
Artikel Terkait
Aksi Serangan Umum 1 Maret 1949
Berdasarkan Instruksi Rahasia Kolonel Bambang Sugeng tertanggal 18 Februari 1949, pada pagi hari 1 Maret 1949 dilancarkan serangan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III (tiga wilayah pertahanan) bersamaan dengan serangan di daerah Solo oleh Divisi II (Jawa Tengah bagian barat).
Wilayah pertahanan I di bawah Letkol Bahrum dan wilayah pertahanan II di bawah Letkol Sarbini berfokus untuk menyerang wilayah sekitar Yogyakarta hingga Magelang. Strategi ini bertujuan untuk menghalangi pasukan Belanda dari sekitar wilayah Yogyakarta masuk ke kota. Di Magelang sendiri, terdapat salah satu batalion terbaik Belanda yang diperkuat oleh satuan tank dan panser yang sewaktu-waktu dapat digerakkan.
Sementara, wilayah pertahanan III di bawah komando Letkol Soeharto menyerang langsung ke jantung Kota Yogyakarta. Serangan umum di dalam Kota Yogyakarta dimulai pada pukul 06.00 pagi bersamaan dengan bunyi sirine pagi tanda berakhirnya jam malam.
Kota Yogyakarta diserbu dari empat penjuru. Dari arah selatan, pasukan subwehrkreise (SWK) 102 yang dipimpin Mayor Sardjono, dari arah barat pasukan SWK 103 A dipimpin H.V. Soemoeal, dari arah utara pasukan SWK 104 dipimpin Mayor Soekasno, dan dari arah timur pasukan SWK 105 dipimpin Mayor Soejono. Sementara, Letkol Soeharto menempatkan pusat komandonya di sektor barat.
Berbagai sasaran yang diserang, antara lain Kantor Pos, Gedung Agung, Pabrik Watson/Purwasari, Hotel Tugu, Tanjungtirto, Maguwo, hingga pos Belanda di Keben, Pagelaran, dan Patuk.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Anggota berbagai komunitas pecinta sejarah mengikuti teater drama kolosal Serangan Umum 1 Maret 1949 di halaman Musem Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Minggu (5/3/2017). Kegiatan tahunan ini digelar antara lain untuk meningkatkan semangat cinta Tanah Air dan bangsa.
Sesuai dengan rencana pula, Divisi II di bawah Kolonel Gatot Subroto melancarkan serangan di Solo untuk menghambat pasukan Belanda dari Solo menuju Yogyakarta.
Di sisi lain, usaha pasukan Indonesia menghadang pasukan dari arah Magelang gagal. Pasukan Belanda berhasil merangsek ke arah Yogyakarta dari Magelang pada pukul 11.00. Selanjutnya, menjelang pukul 13.00, pasukan Indonesia mulai meninggalkan daerah yang mereka duduki. Dengan demikian, TNI berhasil menduduki Yogyakarta kembali selama sekitar 6 jam.
Pihak Belanda menggambarkan serangan pada 1 Maret 1949 sebagai serangan pagi buta dan mendadak. Disebutkan bahwa serangan dimulai pada 04.00 dengan penembakan kepada pos-pos Belanda di perbatasan Kota Yogyakarta. Setelah itu pada pukul 06.00 terjadi penembakan terus menerus di dalam kota. Serangan muncul dari penjuru barat dan selatan.
Diperkirakan, jumlah pasukan Indonesia yang menyerang Yogyakarta pada hari tersebut tidak kurang dari 2.000 orang. Sementara, pasukan Belanda yang mempertahankan Kota Yogyakarta terdiri atas satu batalion tempur yang diperkuat dengan pasukan para, satuan lapis baja, unsur satuan bantuan tempur, dan bantuan administrasi. Di sekitar Yogyakarta, terdapat pula pasukan Belanda dengan kekuatan hampir satu brigade.
Belanda mencatat, sebanyak 6 orang tewas dan 14 orang luka-luka. Sementara itu, majalah Belanda De Wappen Broeder menyebut, selama Maret 1949 jumlah korban tewas dan luka-luka dari pihak Belanda sebanyak 200 orang. Sedangkan, pihak Indonesia mencatat sekitar 300 prajurit dan 53 anggota polisi gugur, dengan jumlah korban sipil tidak dapat dipastikan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Bendera Merah Putih berukuran 18 x 26 meter dipasang di bangunan Museum Monumen Yogya Kembali, Sleman, DI Yogyakarta, saat peringatan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Kamis (1/3/2018). Dalam upacara tersebut juga dilakukan pemancangan 1.500 bambu runcing yang tercatat dalam Museum Rekor-Dunia Indonesia.
Dampak Serangan Umum 1 Maret 1949
Usaha menyuarakan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke kancah internasional tidak sia-sia. Serangan besar-besaran ini terdengar hingga ke telinga delegasi Indonesia L.N. Palar dalam Sidang PBB di New York, Amerika Serikat. Kabar serangan ini memutus propaganda Belanda yang sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah tidak ada lagi. Serangan Umum 1 Maret 1949 secara politis berhasil menguatkan posisi Indonesia di mata dunia.
Selain itu pada awal Maret 1949 surat kabar The New York Times memberitakan posisi Belanda di Indonesia yang semakin tertekan. Koran tersebut mengabarkan bahwa tanda-tanda perlawanan gerilya di Jawa dan Sumatra semakin menguat.
BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal memperhitungkan serangan 1 Maret tersebut sebagai ancaman serius bagi posisi Belanda. BFO mengamini bahwa dalam serangan tersebut pasukan Indonesia berhasil menggoyahkan posisi Belanda yang menduduki Yogyakarta, bahkan berhasil mendudukinya selama beberapa jam.
Tidak hanya itu, skenario Konferensi Meja Bundar pun berubah yang awalnya tidak menyertakan delegasi Indonesia, kemudian memperhitungkan kehadiran Indonesia dalam konferensi tersebut. Dengan demikian, meskipun secara militer posisi Indonesia kalah dalam pertempuran 1 Maret tersebut, tetapi secara politis serangan tersebut memberikan angin segar terhadap posisi Indonesia di mata dunia.
KOMPAS/JB SURATNO (RAT)
Presiden Soeharto hari Selasa (25/8/1987) di Bina Graha menerima Tim Penulisan Sejarah Serangan Umum 1 Maret dipimpin Komandan Seskoad, Tampak Pak Harto sedang memberikan penjelasan didampingi Mayjen Darwanto dan Sekretaris Militer Presiden Mayjen Syaukat Banjaransari (tidak tampak) kepada tim yang terdiri dari para perwira menengah ABRI dari Seskoad, Bintal TNI-AD, Pusjarah ABRI dan Divisi Infantri I.
Artikel Terkait
Kontroversi
Selama pemerintahan Orde Baru, Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi salah satu peristiwa sejarah yang menempatkan Soeharto sebagai sosok sentral. Dalam otobiografinya, Soeharto menyebutkan bahwa ia menggagas serangan ini setelah mendengar siaran radio perihal pernyataan Belanda bahwa TNI sudah tidak esksis. Dalam konteks ini, beberapa pihak menunjukkan keraguan atas legitimasi peran Soeharto tersebut.
Hutagalung dalam buku Serangan Umum 1 Maret 1949 memaparkan keraguannya sebab posisi Soeharto yang berpangkat letkol kala itu adalah komando wilayah pertahanan (wehrkreise) III. Wilayah pertahanan tersebut berada di bawah pimpinan Bambang Soegeng sebagai Komandan Divisi III yang mengatasi brigade pimpinan Soeharto. Hipotesisnya, Soeharto bukanlah inisiator serangan umum melainkan menjadi bagian dari serangan ini dengan komondo dari atasannya, Kolonel Bambang Sugeng.
Sementara itu, klaim Belanda di dunia internasional melalui siaran radio bahwa TNI sudah tidak eksis tak hanya didengar oleh Soeharto, melainkan juga Sultan Hamengku Buwono IX dan Jenderal Sudirman, serta beberapa tokoh lain. Oleh karena itu, klaim Soeharto kemudian diragukan.
Versi lain menyatakan bahwa sosok sentral yang memprakarasai Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sultan Hamengku Buwono IX. Atmakusumah dalam artikel “Dua Versi Serangan Umum” yang terbit di Kompas 1 Maret 1999 menyebutkan bahwa Sultan merasa prihatin dengan semangat juang rakyat yang menurun. Untuk itu ia merasa perlu menciptakan kejutan untuk melecut semangat juang.
Setelah mendengar siaran radio tentang perundingan PBB tentang Indonesia-Belanda, Hamengku Buwono IX berpikir itulah momentum yang tepat untuk mengembalikan semangat juang dan menunjukkan eksistensi RI di mata dunia. Sultan Hamengku Buwono IX kemudian mengirimkan utusan untuk menyampaikan siasatnya kepada Jenderal Sudirman. Setelah itu, barulah Sultan bertemu dengan komandan gerilya di daerahnya Letkol Soeharto pada pertengahan Februari 1949. Pembicaraan tersebut berisi seputar perencanaan serangan dalam dua minggu ke depan.
Di luar berbagai versi terkait inisiator serangan, bagi bangsa Indonesia, serangan umum tersebut berhasil mengembalikan posisi Indonesia di dunia internasional. Indonesia dan TNI masih dianggap ada oleh dunia sehingga kemudian secara politis semakin diperhitungkan. (LITBANG KOMPAS)
IPPHOS
Sri Sultan Hamengku Buwono IX hari Rabu sore, 10 Desember 1986, di kediamannya Jl. Prapatan Jakarta menerima pengurus paguyuban Wehr Kreise III Yogyakarta yang diketuai oleh Sutopo Yuwono dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang diketuai Martono. Mereka melaporkan rencana kerja kepada Sri Sultan Hamengku Buwno IX sebagai sesepuh dan pendiri yayasan. Dalam gambar: Sri Sultan Hamengku Buwono IX didampingi (dari kiri) Sutopo Yuwono, Martono (kanan), dan Nani Sudarsono mendengarkan penjelasan arti dari makna lambang yayasan tersebut.
Catatan Akhir
Divisi III TNI saat Serangan Umum 1 Maret 1949
- Panglima: Kolonel Bambang Sugeng (merangkap Gubernur Militer)
- Wilayah: Jawa Tengah bagian barat
- Pos Komando: Magelang
Wehrkreise I
- Komandan: Letkol Muhammad Bahrum
- Wilayah: Banyumas, Pekalongan, Wonosobo
- Pos Komando: Desa Makam, sebelah utara Purbolinggo
Wehrkreise II
- Komandan: Letkol Sarbini
- Wilayah: Kedu (minus Wonosobo), Kendal, dan Semarang Barat
- Pos Komando: Bruno, sebelah utara Purworejo
Wehrkreise III
- Komandan: Letkol Suharto
- Wilayah: Yogyakarta
- Pos Komando: selatan Yogyakarta
Wehrkreise III
- Komandan: Letkol Suharto
- Wilayah: Yogyakarta
- Pos Komando: selatan Yogyakarta
- Dibagi atas tujuh subwehrkreise (SWK)
Subwehrkreise (SWK)
- SWK 101: pimpinan Lettu Marsoedi
- SWK 102: pimpinan Mayor Sardjono
- SWK 103: pimpinan Letkol Soehoed
- SWK 103 A: pimpinan Mayor H.V. Soemoeal
- SWK 104: pimpinan Mayor Soekasno
- SWK 105: pimpinan Mayor J. Soedjono
- SWK 106: pimpinan Letkol Soedarto
Referensi
- “Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949”, Kompas, 2 Maret 1999, hlm. 4.
- “Kecil, Arti Militer Serangan Umum 1 Maret 1949”, Kompas, 27 Februari 1990, hlm. 6.
- “Dua Versi Serangan Umum *Dari Hamengku Buwono IX dan Soeharto”, Kompas, 1 Maret 1999, hlm. 4.
- “Soeharto Bukan Penggagas Serangan Oemoem 1 Maret 1949”, Kompas, 1 Maret 2000, hlm. 19.
- “Tajuk Rencana: Menyelamatkan Fakta Sejarah, Itu Pun Mendesak Kita Lakukan”, Kompas, 2 Maret 2001, hlm. 4.
- “Depdiknas Undang Sejarawan untuk Sempurnakan Kurikulum Sejarah”, Kompas, 2 Oktober 2001, hlm. 9.
- Carey, Peter dan Colin Wild (ed.). 1986. Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi. Jakarta: Gramedia.
- Hartoto, Edi. 2012. Panglima Bambang Sugeng:panglima komando pertempuran merebut ibu kota Djogja kembali 1949 dan seorang diplomat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Hutagalung, Batara R. 2016. Serangan umum 1 Maret 1949: perjuangan TNI, diplomasi dan rakyat. Yogyakarta: Matapadi Pressindo.
- NN.2000.Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949. Yogyakarta: Media Pressindo.
- Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. 2000. Sejarah TNI Jilid I. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.