KOMPAS/PRIYOMBODO
Sejumlah pedagang buku pelajaran di bursa buku yang terletak di Jalan Kebangkitan Nasional, Solo, Minggu (1/8/2004) mengalami peningkatan penjualan. Seorang pedagang mengaku sehari mampu menjual sebanyak 50 buah buku.
Sejarah perbukuan di Indonesia memiliki jejak riwayat yang panjang. Merujuk buku Sejarah Perbukuan: Kronik Perbukuan Indonesia Melewati Tiga Zaman yang ditulis Bambang Trimansyah, disebutkan cikal bakal tradisi penulisan buku telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada masa itu, kemunculan buku yang disebut sebagai kitab, erat kaitannya dengan kehidupan estetik di lingkungan istana atau keluarga kerajaan.
Tidak seperti buku yang dikenal sekarang, yang tersusun dari kumpulan lembaran-lembaran kertas. Pada masa itu, naskah-naskah masih berupa lembaran daun lontar dan kayu yang ditulis tangan.
Cerita dalam kitab umumnya mengangkat kehidupan istana dan raja-raja, bersifat istana sentris, dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan raja. Hal ini membuat para pengarang atau penulis yang disebut sebagai pujangga memiliki kedudukan yang istimewa, mendapat pengayoman dari raja.
Beberapa karya terkenal, di antaranya adalah Kitab Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa, ditulis pada masa pemerintahan Airlangga (1019–1042). Kitab Sutasoma karya Empu Tantular yang ditulis pada masa keemasan Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Selain kitab Sutasoma, pada masa kerajaan Majapahit juga diterbitkan kitab Negarakertagama (1365) karya Empu Prapanca.
Di Sulawesi Selatan, pada Masa Kerajaan Luwu terbit La Galigo. Karya sastra terpanjang di dunia dengan ketebalan 6.000 halaman ini diperkirakan disusun sekitar abad ke-13 Masehi oleh penulis Bugis. Pada tahun 2011, karya ini telah diakui UNESCO sebagai bagian ingatan kolektif dunia.
Sejarah perbukuan pun terus berlanjut dan berkembang. Ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada 1446 menandai percetakan yang lebih modern. Sejak saat itu, teknik dan seni mencetak buku modern menyebar luas ke seantero Eropa. Modernisasi pencetakan itu sampai juga ke Indonesia melalui kolonialisme pada abad ke-17.
Pencetakan buku pun berkembang menjadi sebuah industri. Penerbitan buku kemudian menjadi suatu tren, melahirkan profesi baru, seperti penulis buku, penerjemah buku, editor buku, hingga profesi perancang atau desainer buku.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Berganti-gantinya buku pelajaran membuat sebagian pelajar harus kreatif untuk mendapatkan buku pelajaran berharga miring, seperti di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Foto diambil Juli 2004.
Artikel terkait
Sebelum Kolonialisme
Abad ke-11
- Mpu Kanwa dari Kerajaan Medang-Kahuripan menuliskan Kitab Arjunawiwaha
Abad ke-13
- Terbit La Galigo, karya sastra Bugis dengan ketebalan 6.000 halaman.
Abad ke-14
- Terbit Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dan Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca, keduanya dari Kerajaan Majapahit.
Masa VOC dan Hindia Belanda
1446
- Penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di Jerman.
1624
- Misionaris dari Gereja Reformasi Belanda, Justus Heurinius memperkenalkan percetakan di Hindia Belanda dengan mendatangkan mesin cetak dari Belanda untuk dipakai mencetak naskah, risalah agama, dan buku teks bagi sekolah misionaris. Namun, mesin cetak tersebut menganggur karena tidak ada yang bisa mengoperasikannya.
1659
- Cornelis Pijl memprakasai penerbitan dan pencetakan dengan memproduksi almanak yang disebut Tytbook atau Tijdboek.
1667
- VOC mendatangkan mesin cetak lengkap dengan peralatan pendukungnya yang dikirim langsung dari Belanda.
1668
- VOC mencetak Perjanjian Bongaya yang terdiri dari 13 halaman, berisi kesepakatan perdamaian antara Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin, bertanggal 15 Maret 1668.
- Pada 14 Agustus 1668, VOC membuat kontrak dengan Hendrick Brandts, ahli penjilidan dari Amsterdam untuk mencetak kebutuhan VOC, terutama di Batavia. Semua produksi cetak menggunakan imprint Hendrick Brandts, Boeckverkoper en Jan Bruyning in Prince-Straet. Kontrak berakhir pada tahun 1671. Setelah itu, percetakan tersebut diambil alih VOC, yang kemudian mendirikan City Printing House.
- Sejak itu, VOC menggiatkan percetakan. Selama kurun 1668–1795 publikasi tercetak yang diterbitkan oleh VOC mencakup publikasi pemerintah (VOC), publikasi keagamaan, dan publikasi lain-lain.
1671
- VOC membuat kontrak baru dengan Pieter Overtwater dan tiga orang pegawai VOC lainnya, yakni Pieter Walberger dan Hendick Voskens sebagai type-founder (pembuat acuan cetak logam) dan Aernot Camp sebagai pencetak, selama 24 tahun. Percetakan ini bernama Boekcdrucker der E. Compagnie (Bookprinters of the East Indies Company).
1718
- VOC mendirikan percetakan kedua milik mereka, Castle Printing House di Batavia untuk mencetak dokumen resmi VOC.
1761
- Gubernus Jendral A. van der Parra mengeluarkan Reglament voor de Drukkerijen te Batavia, untuk menentukan hak istimewa percetakan.
1778
- Didirikan perpustakaan di Batavia dengan nama Bataviaash Genootschaap vor Kunsten en Watenschappen, yang berisi koleksi naskah dan karya tulis di bidang budaya dan ilmu pengetahuan.
1799
- Pada 31 Desember 1799, VOC dibubarkan karena mengalami kebangkrutan. Tanggal 1 Januari 1800, Pemerintah Kerajaan Belanda resmi mengambil alih kekuasaan VOC, aset-aset percetakan milik VOC diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang kemudian disebut Pemerintah Hindia Belanda.
- Selama masa VOC, penerbitan terdiri dari pengumuman pemerintah, registrasi pegawai VOC, almanak, catatan perdagangan, dan buku pengetahuan umum. Total publikasi tercetak sebanyak 572.
KOMPAS/MOHAMMAD NASIR
Buku bekas yang dijual di kios-kios Pasar Senen, Jakarta Pusat diperoleh dari pemulung yang keluar masuk gang dan jalan di Jakarta (8/3/1998). Meski buku-buku itu sempat dikategorikan sampah oleh pemulung, tapi harganya relatif mahal. Pembelinya sekarang semakin berkurang.
1809
- Pada 21 September 1809, City Printing House dan Castle Printing House dimerger menjadi Landsdrukkerij (Drukkerij artinya percetakan). Perusahaan ini merupakan cikal bakal perusahaan Percetakan Negara yang kemudian menjadi Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI)
1812
- Friedrich König menciptakan mesin cetak berkecepatan tinggi (highspeed press), yang menandai juga percetakan dan penerbitan memasuki tahap teknologi yang lebih modern. Pada saat ini, industri buku telah beriringan dengan industri pers.
1819
- Nathaniel Ward, seorang agen perkumpulan Misionaris Baptis berkebangsaan Inggris, mendirikan Mission Press di Bencoolen, Bengkulu. Bencoolen kala itu adalah pusat pemerintahan East India Company (Inggris) di bawah Thomas Stamford Raffles.
- Mission Press, menerbitkan karya religius dan sekuler, seperti buku teknik pertanian lokal, buku teks sekolah dasar, dan publikasi resmi East India Company yang kebanyakan berbahasa Inggris.
1835
- D. Brest van Kempen, direktur Landsdrukkerij mengeluarkan izin menjual buku-buku di bidang ilmu pengetahuan dan sastra kepada publik. Buku-buku tersebut diimpor dari dari Belanda.
1839
- Didirikan Cijfveer & Company, firma buku pertama yang didirikan oleh swasta. Tiga tahun berselang berganti nama menjadi Cijfveer & Knollaert, karena sebagian saham dijual Knollaert. Namun, karena berubah kepemilikan, kemudian menjadi Ukeno & Company, dan pada 1846 menjadi Lange en Compagnie. Karena mengalami kerugian, pada 1869 dijual kepada Bruyning en Wijt.
1848
- Willem van Haren, seorang pengusaha Belanda mendirikan toko buku di Buiten Nieuwport Straat (Jalan Pintu Besar Selatan), yang kemudian juga berkembang menjadi percetakan dengan nama G. Kolff & Co.
- Produk penerbitan Kolff meliputi buku-buku pengajaran, buku tentang undang-undang, bahasa, budaya, catatan perjalanan, laporan penelitian, sains populer, sejarah, panduan pertanian, hingga sastra Jawa. Selain buku, Kolff juga mencetak surat kabar salah satunya Java Bode (utusan Jawa) pada tahun 1852, serta kartu pos.
- Dalam sejarahnya, Kolff merupakan salah satu pemasok buku pendidikan dan produsen kartu pos terbesar di Hindia Belanda.
1856
- Pada tanggal 10 November 1859, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Reglement on de Drukwerken, yang menyatakan bahwa semua pencetak, penerbit, dan penjual bahan cetakan harus mengajukan permohonan lisensi sebelum diedarkan. Jika melanggar, sanksinya adalah penyitaan barang cetakan dan penutupan pabrik percetakan.
1883
- Yap Goan Ho, seorang tokoh peranakan Tionghoa merintis usaha percetakan, yang menerbitkan beberapa karya terjemahan dari cerita-cerita Cina. Yap Goan Ho, disebut sebagai orang peranakan Tionghoa pertama yang menjalankan usaha percetakan.
1885
- Lie Kim Hok membelii percetakan milik van der Linden seharga 1.000 gulden, dan kemudian mendirikan usaha percetakan Lie Kim Hok & Co di Buitenzorg (kini Bogor).
- Sejak saat itu, perusahaan percetakan peranakan Tionghoa mulai bermunculan di banyak kota. Pada dasawarsa 1880-an, sedikitnya ada 40 karya terjemahan dari cerita-cerita asli Cina ke dalam bahasa Melayu. Penerjemahan ini dilakukan oleh para penulis dan wartawan Tionghoa peranakan yang merupakan didikan Barat.
1894
- Didirikan percetakan di Pulau Peyengat, Riau oleh Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi. Percetakan ini diperkirakan sebagai percetakan pertama milik bumiputera.
Artikel terkait
Era awal 1900
- Pada awal 1900-an, mulai bermunculan percetakan dan penerbitan bumiputera.
1901
- Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik etis atau politik balas budi, dengan tiga program utama yaitu pengairan, pendidikan dan transmigrasi. Program di bidang pendidikan berpengaruh pada aktivitas penerbitan dan pencetakan buku, khususnya buku bacaan untuk sekolah-sekolah.
1903
- Pada tahun 1903–1928, penerbitan peranakan Tionghoa telah menghasilkan sekira seratus novel karya asli dari dua belas pengarang peranakan Publikasi sastra penerbit Tionghoa peranakan telah berkontribusi besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan bahasa Melayu Pasar, baik melalui buku maupun penerbitan pers.
1904
- Tirto Adhi Soerjo bersama Haji Samanhoedi mendirikan NV Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoefte Perusahaan percetakan dan perdagangan surat kabar dan buku ini memiliki cabang di Batavia, Bandung, dan Buitenzorg. Pada periode 1900-an ini, banyak percetakan milik peranakan Tionghoa dan bumiputera yang merupakan percetakan surat kabar sekaligus buku.
1906
- Pemerintah kolonial mengubah aturan Reglement on de Drukwerken menjadi lebih represif. Peraturan baru menindak dan membatasi barang cetakan setelah diedarkan.
1908
- Berdasarkan keputusan Departement van Onderwijs en Eeredienst 12 pada 14 September 1908, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie Voor de Inlandsche School en Voklstectuur atau Komisi Bacaan Rakyat yang dipimpin oleh G. A. J. Hazeu, Penasehat Gubernur Jendral untuk urusan bumiputera dan doktor dalam bidang bahasa dan sastra Nusantara dari Universitas Leiden.
- Komisi ini bertugas memilih buku-buku bacaan yang “layak dan baik” bagi penduduk bumiputera, serta memberi pertimbangan kepada Direktur Pendidikan yang mengurus sekolah-sekolah pribumi.
1910
- A. Rinkes menggantikan G. A. J. Hazeu. Di bawah kepemimpinan Rinkes tugas Komisi Bacaan Rakyat diperluas, bukan hanya memberikan rekomendasi, melainkan juga menerbitkan buku bacaan rakyat untuk umum. Rinkes memimpin komisi ini selama enam tahun hingga 1916.
- Selama kepemimpinan Rinkes, telah terbit sebanyak 598 naskah. Naskah diterbitkan mencakup cerita rakyat, cerita wayang, ringkasan hikayat, cerita berisi teladan, dan buku pengetahuan umum.
- Untuk menyebarkan buku-buku bacaan, Komisi Bacaan mendirikan Volksbiblotheek atau Taman Pustaka di berbagai sekolah. Selain itu, penyebaran bacaan juga dilakukan dengan penjualan yang dikelola Depot van Leermiddelen dan truk-truk kecil sebagai toko buku berjalan hingga ke desa-desa di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
1914
- A. Rinkes untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah “bacaan liar” untuk merujuk karya-karya kaum pergerakan, dalam bentuk roman, puisi, novel, atau buku pemikiran. Saat itu, pemerintah mulai khawatir terhadap bacaan yang berupa karya sastra atau surat kabar yang menyinggung politik dan kekuasaaan kolonial, sebab dianggap membahayakan eksistensi pemerintah.
1917
- Komisi Bacaan Rakyat bertransformasi menjadi Balai Pustaka, yang berfungsi untuk mengumpulkan, mencetak dan menerbitkan bahan bacaan. D. A Rinkes dipercaya sebagai pimpinan pertama Balai Pustaka.
- Balai Poestaka juga berperan sebagai pendorong minat baca dan membentuk selera baca masyarakat. Buku-buku terbitannya cenderung seragam, mengindari masalah politik.
KOMPAS/MOHAMMAD NASIR
Buku-buku bekas yang dijual di kios-kios Pasar Senen, Jakarta Pusat diperoleh dari pemulung yang keluar masuk gang dan jalan di Jakarta (9/3/1998). Meski buku-buku itu sempat dikategorikan sampah oleh pemulung, tapi harganya relatif mahal. Pembelinya sekarang semakin berkurang terkena dampak krisis ekonomi yang membuat pedagang gelisah.
1922
- Pada tanggal 26 Januari 1922, seorang misionaris Katolik, Br. Bellinus, FIC merintis Canisius Drukkerij dengan 2 mesin dan 3 orang pegawai di gudang bekas pabrik besi kompleks Bruderan FIC, Yogyakarta. Percetakan ini didirikan untuk mendukung misi membantu karya misi pelayanan buku dan pewartaan Gereja di tanah Jawa.
1924
- Partai Komunis Indonesia mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur dalam Kongres IV pada 1924 di Batavia. Komisi ini menerbitkan dan menyebarluaskan tulisan-tulisan serta terjemahan “literatuur-socialisme” untuk melawan dominasi terbitan dan penyebaran bacaan-bacaan yang mereka sebut bacaan “kaoem modal” yang diterbitkan Balai Pustaka. Tujuan dari komisi ini adalah menerbitkan dan menyebarluaskan serta mengajarkan sosialisme.
1926
- Pater Petrus Noyen mendirikan percetakan dan penerbitan bernama Arnoldus di Ende, Flores, yang menjadi cikal bakal dari percetakan dan penerbitan Nusa Indah yang berdiri pada tahun 1976 di Indonesia bagian Timur.
1930-an
- Muncul roman-roman yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit lokal di berbagai daerah.
1931
- Pemerintah mengeluarkan aturan Persbreidel Ordonnantie, yang memberikan hak kepada gubernur jenderal untuk melarang penerbitan yang dianggap mengganggu rust en orde atau ketenteraman dan ketertiban.
1933
- Pada tahun 1933, Soetan Takdir Alisjahbana bersama teman-temannya mendirikan sebuah perusahaan penerbitan yang diberi nama Peodjangga Baroe yang khusus menerbitkan buku-buku sastra. Setelah kemerdekaan berubah menjadi Penerbit Dian Rakyat.
Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
- Pada masa ini penerbitan buku, majalah, koran, hingga pamflet digunakan oleh tentara Jepang untuk kepentingan propaganda. Seluruh karya yang dihasilkan pada saat itu harus sesuai dengan kepentingan propanda Jepang. Pada masa itu surat kabar berbahasa Belanda dan Cina dilarang terbit oleh pemerintah militer Jepang
- Pada masa pendudukan Jepang, Balai Pustaka diubah namanya menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku yang artinya “Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Militer Jepang”. Selama masa pendudukan Jepang, badan ini hanya menerbitkan dua buah roman: Tjinta Tanah Airkarya Nur Sutan Iskandar dan Palawidja karya Karim Halim.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Murid-murid TK Al-Azhar Syifa Budi Jatibening, Bekasi, Jawa Barat, berkunjung ke Perpustakaan Daerah Provinsi DKI Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (17/10/2018). Kunjungan ini bertujuan untuk mengenalkan buku dan menumbuhkan semangat membaca sejak dini.
Era Presiden Soekarno
1947
- Ejaan Soewandi diberlakukan, menggantikan Ejaan Van Ophuijsen yang sudah digunakan sejak 1901.
1948
- Pada tanggal 1 Mei 1948, Balai Pustaka dihidupkan kembali sebagai penerbit di bawah Kementerian Pendidikan dan Pengajaran. Fungsi Balai Poestaka kala itu, yaitu: pertama, mengerjakan kembali backlog yang menumpuk selama pendudukan Jepang, buku-buku yang dinilai bermanfaat bagi Republik Indonesia dicetak ulang. Kedua, memilih karya sastra asing yang bermanfaat, lalu menerjemahkan serta menerbitkannya dalam bahasa Indonesia. Ketiga, menerbitkan karya penulis Indonesia dalam bidang sastra, sains, dan budaya. Keempat, mempublikasikan literatur anak-anak.
1950
- Pada tanggal 17 Mei 1950, berdiri Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) yang dipelopori Soetan Takdir Alisjahbana, M. Joesoef Ahmad, dan Nyonya A. Notosoetardjo. Ikapi dibentuk sebagai organisasi profesi penerbit buku berasaskan Pancasila, gotong royong, dan kekeluargaan. Dalam perjalanannya, Ikapi kemudian membentuk cabang-cabang daerah di seluruh Indonesia.
- Pada periode 1950-an, banyak bermunculan penerbit swasta nasional, di antaranya, Penerbit Djambatan, Penerbit Pustaka Antara, Penerbit Erlangga, Penerbit Gunung Agung, Penerbit Tiga Serangkai. Pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas memberi subsidi bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit bisa menjual buku dengan harga yang murah.
1951
- Pemerintah Indonesia mulai berupaya mengimpor suku cadang mesin cetak, peralatan dan perlengkapan percetakan, serta bahan baku untuk memenuhi kebutuhan percatakan dan penerbitan, baik bagi pemerintah maupun swasta. Sepanjang tahun 1951 sampai 1955 rata-rata Pemerintah Indonesia mengeluarkan biaya 10.000.000 untuk keperluan impor tersebut.
1952
- Sebuah asosiasi penerbit bernama Gabungan Penerbit Medan (Gapim) didirikan di Medan, beranggotakan 40 penerbit, 24 di antaranya penjual buku. Pada 1953, Gapim melebur ke dalam wadah Ikapi, dan menjadi Ikapi Cabang Sumatra Utara.
1954
- Pada tanggal 16-18 Maret, Ikapi menyelenggarakan Kongres I. Kongres ini mengesahkan terbentuknya cabang-cabang IKAPI untuk wilayah Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Selain itu, Ikapi juga meluncurkan majalah di bidang perbukuan bernama Suara Penerbit Nasional.
- Pada bulan September, diselenggarakan Pameran Buku Nasional I oleh PT Gunung Agung di Jakarta. Pameran ini dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta Menteri PP dan K, Mr. Mohammad Yamin
1955
- Inventarisasi Biro Pusat Statistik menyebutkan ada total 554 percetakan di Indonesia.
1956
- KSAD Mayjen AH Nasution selaku Penguasa Militer melalui Peraturan Kepala Staf AD selaku Penguasa Militer mengeluarkan peraturan No. PKM/001/9/1956 yang mengontrol kebebasan berekspresi, termasuk penerbitan buku dan pers. Melarang peredaran barang-barang cetakan yang dianggap memuat atau mengandung “ketzaman-ketzaman”, persangkaan (insinuaties), “penghinaan” terhadap pejabat negara, memuat atau mengandung “pernjataan permusuhan, kebencian atau penghinaan” terhadap golongan-golongan masyarakat, atau menimbulkan “keonaran”.
- Aturan itu berlaku hingga 1963. Selama pemberlakuannya pihak militer di berbagai daerah kerap membungkam dan memberangus buku, brosur, dan pers.
1957
- Sepanjang tahun 1957, penguasa militer melarang sekitar 33 penerbitan dan menutup 3 kantor berita, termasuk Kantor Berita Antara. Brosur Demokrasi Kita, yang dibuat oleh Mohammad Hatta pasca pengunduran dirinya juga diberangus. Selain itu, 3 buku kumpulan puisi juga dilarang beredar, yakni buku kumpulan puisi karya Sabar Anantaguna yang berjudul Yang Bertanah Air tapi Tak Bertanah, dan karya Agam Wispi yang berjudul Yang Tak Terbungkamkan dan Matinya Seorang Petani.
1958
- Pemerintah mengeluarkan UU No. 86/1958 yang menasionalisasi penerbit-penerbit milik Belanda di Indonesia, di antaranya J.B. Wolters, W. Verslujs, Noordhoff Kolff, H. Stam yang kemudian dilebur menjadi PN Pradnya Paramita, dan pada 1973 menjadi PT Pradnya Paramita (Persero).
- Pada 23 November 1958, atas saran Ikapi, pemerintah juga mengeluarkan Surat Edaran Bersama Kementerian PPK NO. 55353/Kab. dan Kementerian Perekonomian No. 16.592/M, yang melarang kegiatan impor buku-buku. Hal ini bertujuan melindungi usaha penerbit dan percetakan bumiputra, yang mana saat itu perdagangan buku dimonopoli penerbit Belanda.
1959
- Status keamanan negara diubah dari “keadaan perang” menjadi “keadaan bahaya” melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Melalui UU tersebut, Penguasa Perang berhak mengontrol berbagai bentuk ekspresi dan menutup percetakan. Buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Hoakiau di Indonesia dilarang dan penulisnya dipenjara selama satu tahun.
1964
- Nama Ikapi diubah menjadi Ikapi OPS Penerbitan. OPS merupakan singkatan dari Organisasi Perusahaan Sejenis, suatu bentuk organisasi yang diharuskan pada masa itu. OPS mengharuskan setiap organisasi perusahaan bernaung di bawah satu kementerian yang relevan, Ikapi bernaung di bawah Departemen Penerangan.
1965
- Pemerintah mengeluarkan Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI no. 1381/1965 tentang Larangan Mempergunakan Buku-buku Pelajaran, Perpustakaan dan Kebudayaan yang Dikarang oleh Oknum-oknum dan Anggotaanggota Ormas/Orpol yang Dibekukan Sementara Waktu Kegiatannya, disertai dengan dua buah lampiran.
- Lampiran pertama berisi 11 daftar buku pelajaran yang dilarang pemakaiannya, antara lain buku-buku karya Soepardo SH, Pramoedya Ananta Toer, Utuy T. Sontani, Rivai Apin, Rukiyah, dan Panitia Penyusun Lagu Sekolah Jawatan Kebudayaan.
- Lampiran kedua berisi 52 buku karya penulis-penulis Lekra yang harus dibekukan seperti Sobron Aidit, Jubar Ayub, Klara Akustian/A. S. Dharta, Hr. Bandaharo, Hadi, Hadi Sumodanukusumo, Riyono Pratikto, F. L. Risakota, Rukiah, Rumambi, Bakri Siregar, Sugiati Siswadi, Sobsi, Utuy Tatang. S, Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, dan Zubir A. A.
Artikel terkait
Era Orde Baru
1966
- Pemerintah menetapkan Tap MPR XXV/MPRS 1966 yang membubarkan PKI dan melarang ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme-Komunisme. Ketetapan ini menjadi alat penting untuk memberangus buku-buku yang memuat ideologi “kiri” serta buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan PKI dan onderbouw-nya.
1967
- Belanda mengirimkan tim yang dipimpin seorang ahli grafika internasional bernama Th. H. Oltheten pada bulan Mei 1967 untuk meninjau kebutuhan percetakan di Indonesia, terutama dalam pengadaan buku pelajaran dan buku tulis. Survei ini juga menunjukkan kondisi industri grafika di Indonesia yang sangat parah saat itu, baik dari segi teknologi maupun dari segi SDM kegrafikaan.
1968
- Pengoperasian Mobile Printing Unit (MPU). MPU adalah sebuah unit percetakan kecil dalam sebuah mobil yang dapat berpindah-pindah.
- Akhir Oktober 1968 mulai berdatangan mesin-mesin cetak canggih dan peralatan pendukungnya, serta tenaga ahli grafika dari Belanda yang dipimpin oleh Ir. H.J.C. Voorwald.
1969
- Pada tanggal 26 April 1969, Proyek Grafika Indonesia resmi dilaksanakan.
1970
- Toko buku dan penerbit Gramedia didirikan. Dalam sejarahnya, toko buku dan penerbit ini berkembang menjadi toko buku terbesar dengan jumlah jaringan di seluruh Indonesia.
1973
- UNESCO menyebut Indonesia mengalami book starvation alias paceklik buku.
- Yayasan Buku Utama didirikan. Pendiriannya bertujuan mendorong dan mengembangkan penulisan buku-buku di bidang sastra dan ilmu pengetahuan.
1975
- Pemerintah mengeluarkan Inpres No. 6/1975 tentang Program Bantuan Pembangunan SD. Berdasarkan Inpres Nomor 6 Tahun 1975, dibangun 10.000 gedung SD berikut pembangunan fasilitas air bersih, penyediaan guru, buku, dan perpustakaan. Setiap tahun pemerintah membeli buku-buku bacaan, sehingga memicu gairah penerbitan, termasuk munculnya para penerbit baru. Setelah adanya Proyek Inpres, jumlah produk buku meningkat menjadi 2.500-3.000 judul per tahun. Namun, 70% dari jumlah itu masih merupakan buku pelajaran sekolah dan sisanya adalah buku umum.
- Pada tanggal 19 September 1975, Ketua Ikapi Ajip Rosidi, menyatakan perlunya Indonesia memiliki “Undang-Undang Buku” di depan rapat anggota DPR.
1977
- Pada tanggal 6 September 1977, pemerintah mengeluarkan SK Menteri P & K No. 0399/0/1977 yang menyatakan bahwa Ikapi dan para penerbit lainnya berada di bawah pembinaan, pengaturan, dan pengawasan Departemen P & K.
1978
- Pada tanggal 31 Maret 1978 keluar Keppres No. 5/1978 tentang Pendirian Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN). Tugas BPPBN adalah melakukan berbagai kajian dan merumuskan konsep-konsep kebijakan di bidang perbukuan nasional dengan kewenangan memberikan hasil kajian dan konsep kebijakan perbukuan.
1979
- Dirjen Dikdasmen Depdikbud, Prof. Darji Darmodiharo, S.H., mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No.042/C/1/Kep/79 tentang Prosedur dan Mekanisme Penilaian Buku Sekolah untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan di Lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
- Dilakukan studi kelayakan terkait perbukuan yang dikerjakan oleh sebuah tim gabungan terdiri atas UNESCO, Bank Dunia, dan Depdikbud.
1980
- Pada tanggal 17 Mei, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia didirikan. Tanggal pendiriannya kemudian ditetapkan sebagai Hari Buku Nasional.
1981-1982
- Proyek Buku Terpadu (Integrated Textbook Project) dimulai berdasarkan SK Mendikbud Nomor 0138/8/1981 tanggal 11 April 1981 tentang Pembentukan Proyek Buku Terpadu..
1987
- Dibentuk Pusat Perbukuan (Pusbuk) di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Keppres No.4/1987. Tugas Pusbuk adalah mengembangkan buku-buku pendidikan, mendorong industri perbukuan dan melanjutkan upaya membuat Rancangan Undang-Undang Sistem Perbukuan.
1989
- Pada bulan Oktober 1989, melalui SKNo. Kep-114/ JA/ 10/ 1989, Kejaksaan Agung membentuk lembaga nonformal bernama Clearing House yang berfungsi meneliti isi sebuah buku dan memberi rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung. Clearing House terdiri atas 19 anggota dari JAM Intel dan Subdirektorat bidang pengawasan media massa, Bakorstanas, Bakin, Bais, ABRI (kemudian menjadi BIA), Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta Departemen Agama.
1995
- Kongres Perbukuan Nasional I diselenggarakan di Jakarta. Hasil kongres menyebutkan perlunya perbaikan di berbagai bidang, misalnya di bidang standardisasi harga dan bentuk fisik buku, lembaga penerjemahan, serta pusat informasi buku di setiap provinsi dan kabupaten/kotamadya.
1997-1998
- Indonesia mengalami krisis moneter. Terjadi kenaikan komponen buku, seperti kertas, tinta, film, dan pelat. Harga kertas melambung jauh yang berimbas pada dunia penerbitan. Sejak September 1997 hingga Februari 1998, tercatat 90% penerbit buku di Indonesia terpaksa menghentikan produksinya dan sebagian besar gulung tikar. Penjualan buku menurun drastis, masyarakat lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok daripada buku.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Siti Fatimah (32), seorang ibu yang menjadi kader baca Desa Ngablak mendampingi anak-anak membaca buku di Perpustakaan Muda Bhakti di Desa Nablak,Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Perpustakaan Muda Bhakti membina dan melatih 15 ibu rumah tangga untuk menjadi kader baca,. Para kader baca bertugas membangkitkan minat baca dan berbagam kegiatan literasi hingga di lingkup dusun.
Era Reformasi
1999
- Dewan Buku Nasional dibentuk melalui Keppres No. 110/1999 tentang Dewan Buku Nasional. DBN diposisikan sebagai badan pemerintah nonstruktural yang tugasnya membantu pemerintah dalam hal ini Presiden, untuk merumuskan kebijakan dan strategi dalam pengembangan perbukuan, minat dan kegemaran baca tulis masyarakat, serta kemampuan SDM perbukuan. DBN langsung diketuai oleh Presiden dan yang menjadi Wakil Ketua adalah Mendikbud. DBN beranggotakan para Menteri, Gubernur BI, dan wakil dari sejumlah asosiasi perbukuan.
2002
- Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fajar menetapkan 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional. Penetapan tanggal 17 Mei sebagai Harbuknas didasari oleh tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 17 Mei 1980.
2005
- Pemerintah menetapkan Standar Nasional Pendidikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Untuk mengawal pelaksanaan Standar Pendidikan Nasional dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005, BNSP bertugas menilai kelayakan buku pelajaran dari segi isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan.
2008
- Dikeluarkan Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku. Permendiknas ini menandai terjadinya banyak perubahan kebijakan terkait buku pendidikan.
2010
- Dikeluarkan Permendiknas Nomor 36 Tahun 2010 tentang Organisasi Tata Kerja Kementerian Pendidikan Nasional pada tanggal 22 Desember 2010. Permendiknas itu menjadi dasar digabungnya Pusat Kurikulum dan Pusat Perbukuan dengan nama baru Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
2014
- DPR bersepakat mengajukan RUU Sistem Perbukuan Nasional dalam rapat paripurna tanggal 3 Juli 2014.
2015
- Indonesia ditetapkan sebagai tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015 yang diselenggarakan pada tangga 14 – 18 Oktober 2015, setelah melewati negosiasi yang panjang selama dua tahun. Menurut Presiden Frankfurt Book Fair Juergen Boos, Indonesia diundang sebagai tamu kehormatan FBF karena secara ekonomi memiliki bisnis penerbitan yang berpotensi dikembangkan lewat jaringan internasional.
- Dengan mengusung tema Islands of Imagination, Indonesia mendirikan stand seluas 2.000 meter persegi yang disulap menjadi tujuah pulau besar yang mempresentasikan Indonesia di FBF.
2016
- Kemdikbud RI mencanangkan Gerakan Literasi Nasional dan membentuk Komite Buku Nasional.
2017
- Pada tanggal 29 Mei 2017, Undang-Undang tentang Sistem Perbukuan resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Undang-Undang tersebut memuat 14 bab dan 72 pasal.
- Berdasarkan kajian Badan Ekonomi Kreatif, Perbukuan Indonesia sebagai salah satu industri kreatif telah menyumbang 6% dari total produksi bidang ekonomi kreatif atau masuk ke dalam lima besar penyumbang setelah kuliner, fashion, kriya, serta televisi dan radio pada tahun 2017.
- Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menggagas Gerakan Satu Guru Satu Buku untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam pembelajaran baca dan tulis
2019
- Kemdikbudristek membubarkan Komite Buku Nasional.
- Ikapi menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit dengan potensi kerugian mencapai angka Rp116,050 miliar.
- Indonesia menjadi Market Focus Country di ajang bergengsi London Book Fair 2019, tepatnya tanggal 12–14 Maret 2019 di Olympia, Kensington, London.
2020
- Terjadi pandemi Covid-19 yang menyebabkan pukulan berat bagi industri perbukuan. Berdasarkan data Ikapi, sebanyak 58,2 persen penerbit mengeluhkan penjualan yang turun lebih dari 50 persen, sehingga sejumlah penerbit terpaksa tutup.
- Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 5/PMK.010/2020 tentang Buku Pelajaran Umum, Kitab Suci, dan Buku Pelajaran Agama yang Atas Impor dan/atau Penyerahan Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Dasmadi dan Siti Syamsiyah. 2021. Industri Perbukuan Nasional Dari Masa ke Masa. Klaten: Penerbit Lakeisha.
- 2021. “Baacaan Liar”:Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan. Semarang: Penerbit Beruang.
- Trimansyah, Bambang. 2022. Sejarah Perbukuan: Kronik Perbukuan Indonesia Melewati Tiga Zaman. Jakarta: Pusat Perbukuan.
- Yusuf, Iwan Awaluddin, dkk. 2010. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Yogyakarta: PR2Media dan Friedrich Ebert Stiftung Indonesia.
- Litbang Kompas. 2022. Wajah Gamang Masa Depan Industri Perbukuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- “Harga Kertas Naik, Penerbit Buku Mengeluh”, Kompas, 3 Januari 1998.
- “17 Mei sebagai Hari Buku Nasional”, Kompas, 20 Mei 2002.
- “Frankfurt Book Fair: Kemajemukan Jadi Daya Tarik Indonesia”, Kompas, 26 Februari 2015.
- Laman resmi Ikatan Penerbit Indonesia. Ikapi.org
- Laman resmi Balai Pustaka. Balaipustaka.co.id