KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Keberadaan lembaga zakat di Indonesia berkembang sesuai dengan tata pengelolaan zakat yang berlaku. Mulai dari pandangan awal bahwa zakat hanya dipandang sebagai bagian ibadah personal, hingga akhirnya negara mulai turun tangan terlibat dalam pengelolaanya demi kesejahteraan masyarakat banyak. Landasan legal formal pengelolaan zakat baru terbentuk setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan kembali dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011.
Pada masa kolonial Belanda, pengelolaan zakat diserahkan kepada masyarakat khusunya organisasi Islam dan lembaga pendidikan Islam. Seiring dengan pertumbuhan organisasi dan lembaga pendidikan tersebut, nominal zakat yang dikumpulkan semakin besar sehingga memiliki manfaat sosial yang besar pula. Dari sinilah negara mulai mengawasi pengelolaan zakat hingga dirasa perlu membuat regulasi serta lembaga formil mandiri yang mampu menghimpun dan menyalurkan zakat secara nasional. Untuk itu, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Selain Baznas, Kementerian Agama juga mengesahkan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
1858
Pada 1858 kebijakan Pemerintahan Belanda terhadap zakat secara umum bersifat netral dan berusaha tidak campur tangan.
1866
Pemerintah Belanda menerbitkan regulasi yang melarang seluruh pejabat untuk terlibat dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat. Zakat sepenuhnya menjadi urusan pribadi.
4 Agustus 1893
Belanda mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal yang berisi kebijakan untuk mengawasi pelaksanaan zakat maal dan fitrah. Serta mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh penghulu atau naib yang bekerja untuk melaksanakan administrasi pemerintah Belanda.
28 Febuari 1905
Pemerintah Belanda mengeluarkan Bijblad Nomor 6200 yang isinya menyatakan pemerintah tidak akan lagi mencampuri urusan pengelolaan zakat dan sepenuhnya pengelolaan zakat diserhkan kepada umat Islam.
1943
Pada masa pendudukan Jepang, Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) membentuk Baitul Maal. Badan ini dipimpin oleh Windoamiseno. Baitul Maal berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten di Jawa. Melihat pesatnya perkembangan lembaga ini, Jepang khawatir sehingga Baitul Maal dibubarkan pada 24 Oktober 1943.
8 Desember 1951
Pemerintah menerbitkan Surat Edaran No.A/VVII/17367 tentang pelaksanaan zakat fitrah. Pada surat edaran ini juga dijelaskan kedudukan Departemen Agama yang hanya berperan sebagai fasilitator zakat.
1964
Departemen Agama mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat. Namun, kedua peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada DPR.
1967
Kementerian Agama menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Zakat yang akan diajukan kepada DPR dengan surat Nomor: MA/095/1967 untuk disahkan menjadi undang-undang.
Juli 1968
Menteri Agama Muhammad Dahlan mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya. Namun, kedua peraturan menteri tersebut ditangguhkan dengan lahirnya Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969.
22 Oktober 1968
Presiden Soeharto mengagas pengumpulan zakat oleh negara dalam acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw di Istana Negara.
5 Desember 1968
Demi merealisasikan gagasan Presiden Soeharto, atas rekomendasi beberapa alim ulama di Jakarta dibentuk BAZIS DKI Jakarta melalui keputusan Gubernur Ali Sadikin No. Cb-14/8/18/68 tentang pembentukan Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam. Disusul pendirian badan amil zakat di berbagai wilayah lain seperti di Kalimantan Timur (1972), Sumatra Barat (1973), Jawa Barat (1974), Aceh (1975), Sumatra Selatan.
21 Mei 1969
Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra Dr. KH. Idham Chalid.
12 Desember 1989
Kementerian Agama menerbitkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16 Tahun 1989 tentang Pembinaan Zakat Infak dan Sedekah. Isinya menganjurkan agar dana zakat digunakan bagi kegiatan pendidikan Islam.
1991
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 29 dan Nomor 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat Infaq dan Sodaqoh (BAZIS). SKB ini diterbitkan setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990. Aturan pelaksanaan BAZIS ini dituangkan dalam Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis BAZIS.
23 Desember 1999
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan Undang-Undang ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat.
17 Januari 2001
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dibentuk melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001. Dalam Surat Keputusan ini disebutkan tugas dan fungsi BAZNAS mulai dari tingkat pusat sampai daerah yaitu untuk melakukan penghimpunan dan pendayagunaan zakat.
27 Oktober 2011
DPR RI menyetujui undang-undang pengelolaan zakat pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.
25 November 2011
Pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengeloaan Zakat. Undang-undang ini menetapkan bahwa pengelolaan zakat harus dilakukan secara efisien dan efektif dalam pelayanan serta dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Referensi
- Sudewo, Eri. 2004. Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi, Terapkan 4 Prinsip Dasar. Jakarta: Institut Manajemen Zakat.
- —. 2013. Paduan Zakat Praktis. Jakarta: Penerbit Kementerian Agama Republik Indonesia.
- Triantini, Zusiana Elly. 2010. “Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia.” Al-Ahwal, Vol. 3, No. 1.
- Faisal. 2011. “Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim dan Indonesia (Pendekatan Teori Investigasi Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve)”. Analisis, Vol. XI No. 2 Desember.
Penulis
Arief Nurrachman
Editor
Susanti Agustina Simanjuntak