Obat adalah produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau untuk menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
Obat dibedakan menjadi dua macam, yakni obat farmasi dan obat tradisional atau herbal.Obat farmasi yang juga disebut obat medis adalah zat kimia yang kimia yang digunakan untuk mengobati, menyembuhkan, mencegah, atau mendiagnosis suatu penyakit. Obat tradisional atau yang biasanya dikenal dengan obat herbal, yakni obat-obatan dibuat atau diperoleh melalui ekstraksi dari tumbuhan obat. Obat dikonsumsi melalui inhalasi, injeksi, merokok, ingesti, absorpsi melalui kulit, atau disolusi di bawah lidah.
Obat memiliki efektivitas dan keamanan yang sesuai standar, dengan catatan ketika stabilitasnya tetap terjaga selama keamanan komposisi bahan yang digunakan untuk memproduksi, proses produksi, penyimpanan sampai digunakan oleh tenaga medis dan pasien. Maka dari itu, jika stabilitas sebuah obat menurun, maka akan terjadi resiko penurunan efikasi obat maupun keamanan obat untuk dipergunakan. Stabilitas obat berhubungan dengan masa kedaluwarsa, dimana stabilitas obat menurun, maka masa kedaluwarsa obat juga semakin pendek.
Cara mengetahui masa kedaluwarsa sebuah obat dikenal dengan sebutan expired date, ketika obat tersebut masih dalam keadaan utuh kemasannya. Sedangkan obat yang sudah dibuka dari kemasan, dicampur, dilarutkan, maka masa kedaluwarsanya tidak sama lagi dengan expired date dari pabrikan atau beyond use date.
Selain harus dilakukan pemeriksaan masa kedaluwarsa sebuah obat, tetapi juga perlu memeriksa komposisi bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sebuah obat. Hal ini penting, karena selain menjaga kualitas dan efektivitas sebuah obat dalam peruntukannya menyembuhan penyakit. Selain itu, sebagai perlindungan masyarakat dari ancaman tambahan penyakit karena mengkonsumsi obat yang sudah mengalami penurunan kualitas obat.
Sebagai perlindungan masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi syarat seperti substandard, rusak, kedaluwarsa, obat palsu, maka dibutuhkan peran BPOM untuk melakukan kegiatan pengawasan dari hulu hingga hilir. Serangkaian kegiatan BPOM, dimulai dari pemasukan bahan baku obat, pengawasan sarana produksi obat, pengawasan di sarana distribusi, serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya penggunaan obat yang tidak memenuhi syarat.
Pengawasan terhadap obat tidak hanya obat farmasi, tetapi juga obat tradisional baik yang di produksi dalam negeri maupun produk dari luar negeri. Kasus penarikan obat dari peredaran sudah dilakukan BPOM sejak tahun 1974 hingga kini. Obat yang ditarik dari peredaran tidak semuanya dihentikan produksi dan dimusnahkan, tetapi ada beberapa yang dirasionalkan atau penyesuaian dosis sehingga aman untuk dikonsumi. Beberapa peristiwa penarikan obat dari peredaran baik karena efek samping, kedaluwarsa, maupun adanya campuran bahan baku obat yang berbahaya.
Linimasa Penarikan Obat sejak era 1970 – 2022
7 Agustus 1974
Penarikan obat injeksi Streptomycin yang berbentuk vial dengan berat satu gram dan “batch no 006”, yang diproduksi oleh PT Tunggal untuk Hoachst Pharmaceuticals. Hal ini berdasarkan pengumuman dari Direktorat Jenderal Farmasi Departamen Kesehatan. Obat Streptomycin yang beredar berisi Hostamycin 4: ½ 2 (Penicillin) adalah obat antibiotik yang dipakai untuk berbagai macam penyakit, sedangkan Streptomycin merupakan salah satu obat yang terpilih untuk pengobatan penyakit paru-paru.
13 Juli 1984
Peredaran obat Flosint berbentuk tablet 200 miligram dan injeksi 200 miligram yang di produksi oleh PT Carlo Erba Indonesia sejak 13 Juli 1984 ditarik penggunanaannya di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, melalui percobaan penggunaan obat pada binatang tikus ditemukan hubungan obat tersebut dengan penyakit tumor yang ditemukan. Obat Flosint sudah beredar di Indonesia tahun 1982, semenjak dinyatakan memenuhi persyaratan yang ditentukan Departemen Kesehatan sebelum boleh beredar.
16 November 1990
PB IDI dan YLKI menghimbau agar obat antidiare berbentuk sirup atau drop yang mengandung Loperamide Hydrocloride ditarik dari peredaran. Hal ini dikarenakan Badan Kesehatan WHO, telah merekomendasikan agar obat antidiare itu tidak digunakan bagi anak usia balita dengan diare akut.
22 November 1990
Dirjen POM Departemen Kesehatan Drs Slamet Soesilo menyatakan bahwa sejak 14 November 1990, Depkes telah mencabut kembali semua persetujuan pendaftaran obat antidiare yang mengandung Loperamide Hydrocloride dalam bentuk sirup. Hal ini karena obat tersebut kemungkinan menimbulkan efek samping dalam penggunaan antidiare bagi anak-anak. Loperamide Hydrocloride merupakan bahan antidiare yang bisa berbahaya bagi anak-anak.
1 Juni 1991
Pada bulan Agustus 1991 akan ditarik sekitar 280 jenis obat jadi dari peredaran. Dari jumlah itu, obat kombinasi antibiotik (beberapa macam obat dikemas dalam satu paket) termasuk paling banyak ditarik karena diragukan efektivitasnya, bukti ilmiah kurang menunjang dan indikasinya kurang sesuai.
26 Oktober 1991
Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes Drs Slamet Soesilo memutuskan 285 dari 288 jenis obat yang dikenai ketentuan penilaian kembali, harus ditarik dari peredaran paling lambat 31 Oktober 1991. Keputusan Dirjen POM tersebut didasarkan SK Menkes No. 725a/Menkes/SK/XI/1989 tentang penilaian kembali dan penarikan dari peredaran obat jadi yang beredar.
29 Oktober 1991
Obat Potentol yang merupakan obat aprodisiak yang merupakan obat penambah vitalitas seksual pada pria ini harus ditarik dari peredaran. Alasan Departemen Kesehatan menarik obat Potentol dan 17 merek hormon anabolik/kombinasi hormon dan vitamin lainnya, karena obat-obatan itu bisa menimbulkan efek-efek yang merugikan. Untuk beberapa golongan hormon anabolik bahkan mungkin dapat menimbulkan sejenis kanker hati (hepatic adrenocarcinoma).
2 November 1991
Ketua Umum PB IDI dr Kartono Mohamad menyerukan, agar semua dokter di seluruh Indonesia segera menghentikan peresepan obat-obat yang ditarik oleh Departemen Kesehatan (Kompas 2/11/1991). Namun masih cukup banyak dokter di berbagai daerah tetap meresepkan obat-obat tersebut.
7 November 1991
Departemen Kesehatan akan memberi sanksi kepada para dokter yang setelah tanggal 21 November 1991 tetap meresepkan jenis obat yang dilarang beredar. Sanksi diawali peringatan pertama dan kedua, dan apabila tetap nekad dikenai pencabutan SIP (Surat Izin Praktek). Sanksi serupa juga diberikan kepada kalangan apotek yang nekad menjual obat terlarang itu, berupa pencabutan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan).
30 November 1991
Obat antidiare tanpa resep mulai langka di peredaran semenjak penarikan 285 jenis obat yang diantaranya termasuk 97 merek obat diare yang kebanyakan mengandung kliokinol.
26 Februari 1992
Dampak penarikan 285 jenis obat yang dilakukan sejak Oktober 1991 terhadap pengusaha industri farmasi. Hal ini dikarenakan gudang obat yang mereka miliki tidak mampu lagi menampung obat hasil penarikan dari peredaran. Selain itu permasalahan lain yang muncul adalah mereka tidak ada alat atau mesin untuk memusnakan obat yang ditarik dari peredaran.
15 Juni 1992
Himbuan terhadap penjualan obat asma yang mengandung theophylline tidak dipasarkan sebagai obat bebas. Hal ini karena, pengaduan dua orang yang menggunakan Nitrasma, mereka mengaku setelah menggunakan obat itu jantung mereka berdebar- debar cukup keras. Setelah dicek oleh seorang ahli toksikologi farmasi, ternyata bahan aktifnya theophylline 150 miligram per kaplet, sehingga seharusnya digolongkan sebagai obat keras.
22 Desember 1997
Obat antidiabetes troglitazon yang sudah beredar di Indonesia perlu diwaspadai bagi penderita diabetes. Obat troglitazon baru-baru ini ditarik dari peredaran karena beberapa pasien di Inggris meninggal akibat penyakit hati sebagai dampak samping troglitazon.
15 Juli 1999
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan memerintahkan penarikan obat tradisional atau jamu yang tak terdaftar dan mengandung bahan kimia obat dari peredaran. Telah ditemukan 54 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat, beberapa di antaranya obat keras yang termasuk daftar G, seperti prednison, fenilbutason, deksametason, indometasin dan furosemida. Obat-obat tradisional itu diproduksi di wilayah Kabupaten Cilacap, Banyumas dan Karawang.
30 Juli 1999
Dampak sosial terhadap penarikan produk obat tradisional dari Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jateng. Ratusan perajin jamu di wilayah Kabupaten Cilacap dan Banyumas kini menganggur, karena penghentian produksi obat tradisional.
4 Agustus 1999
Penindakan pemasok obat-obatan daftar G yang ikut andil menjerumuskan perajin jamu di Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jateng. Setiap produksi pada setiap bungkus jamu yang rata-rata beratnya 15 gram terdapat kandungan bahan obat kimia seberat 0,5 sampai 0,75 miligram. Biasanya setiap bungkus jamu serbuk dicampuri satu butir/ tablet obat kimia jenis tertentu.
KOMPAS/MADINA NUSRAT
Seorang perajin jamu, Selasa (26/12/2006), membubuhkan cap jempol darah di selembar kain pada acara tatap muka dengan DPR dan Balai Pengawas Obat dan Makanan bersama ribuan perajin jamu Cilacap dan Banyumas, di Lapangan Gentasari, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap. Hal itu ia lakukan sebagai bentuk solidaritas perajin jamu Cilacap dan Banyumas yang belakangan ini produknya tak lagi dipercayai publik karena tersebar isu bahwa produk jamu mereka dicampur dengan obat keras.
3 Juli 2000
Mulai tanggal 13 Juli 2000, 26 jenis obat sakit perut Cisapride akan ditarik oleh Departemen Kesehatan. Langkah ini untuk melindungi keamanan konsumen, setelah di Amerika Serikat ditemukan efek samping berupa gangguan irama jantung. Hingga 31 Desember 1999, obat tersebut telah menyebabkan 80 orang meninggal.
31 Agustus 2000
Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Drs Sampurno MBA, Kamis (31/8/2000), di Jakarta, menyatakan Obat Cisapride diizinkan beredar kembali secara terbatas. Pembatasan penggunaan obat Cisapride dengan pembatasan indikasi, yaitu hanya untuk mengatasi gastrointestinal motility disorder (gangguan pergerakan lambung dan usus).
29 November 2000
Dalam surat edaran tertanggal 3 November 2000, demikian siaran pers PIRAC, FDA meminta industri farmasi menghentikan pemasaran obat yang mengandung (phenylpropanolamine) PPA. Selain itu, FDA pada tanggal 6 November 2000 juga mengeluarkan peringatan kepada konsumen untuk menghindari obat-obatan yang mengandung PPA. Risiko penggunaan obat yang mengandung PPA, karena bertendensi meningkatkan kejadian stroke atau perdarahan di otak. Senyawa PPA digunakan pada dua jenis obat, yaitu obat flu dan pilek (dekongestan), baik yang dijual bebas maupun dengan resep dokter.
30 April 2001
Himbuan para konsumen untuk menghindari dengan tidak membeli atau menggunakan obat flu dan batuk yang memiliki phenylpropanolamine (PPA) melebihi 15 miligram. Di Indonesia beredar lebih dari 200 merek dagang obat flu dan batuk dari 79 produsen. Sebanyak 117 produk mengandung PPA kurang atau sama dengan 15 miligram, 65 produk mengandung PPA lebih dari 15 miligram, 47 produk kadar PPA-nya telah diturunkan atau diganti dengan pseudoefedrin, dan 18 lainnya tidak diproduksi lagi.
26 Juni 2001
Hasil keputusan rapat Komisi Nasional Penilai Obat Jadi pada Desember 2000, Indonesia tetap mengizinkan penggunaan PPA sebagai bahan aktif obat flu dan batuk. Namun, dosisnya dikurangi dari 25 miligram per takaran menjadi 15 miligram per takaran.
11 Oktober 2002
25 Jenis produk jamu dari sejumlah produsen obat tradisional atau jamu di Cilacap dan Banyumas kembali di tarik oleh Badan Pengawasan Obat. Produk jamu tersebut diproduksi masih menggunakan campuran dengan bahan kimia berbahaya. Jamu tradisional yang ditarik dari peredaran itu mengandung antalgin, peroksikam, parasetamol, fenibutason, teofilin, alupurinol, furosemid, aminofilin dan deksametason. Produksi dan pengedaran jamu tradisional yang dicampur bahan kimia obat melanggar Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tindakan itu diancam hukuman maksimum lima tahun penjara atau denda maksimum Rp 2 miliar.
04 Mei 2003
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia menarik dari peredaran 100 produk suplemen makanan dan produk herbal produksi Pan Pharmaceuticals Limited Australia. Penarikan itu dilakukan atas prinsip kehati-hatian karena Pemerintah Australia telah menarik produk farmasi dan suplemen makanan dan produk herbal Pan Pharmaceuticals Limited.
5 Juni 2003
Badan Pengawasan Makanan dan Obat mencabut nomor registrasi obat tradisional, hal ini karena produsen jamu di wilayah Banyumas dan Cilacap yang sudah dibina tetap mencampur produk obat tradisional dengan bahan kimia obat.
30 Oktober 2003
BPOM menemukan tiga produk jamu tradisional bermasalah, yakni Jamu Arum Jaya Asam Urat diproduksi Perusahaan Jamu Arum Jaya yang mengandung fenilbutason dan tidak memiliki tanda register, Jamu Pegal Linu Probosukma Serbuk dengan tanda register palsu dan mengandung fenilbutason, dan Jamu Kraton Mutiara Kesehatan yang mengandung fenilbutason, parasetamol, serta memiliki tanda register palsu.
10 Mei 2005
Ratusan obat sejenis viagra, obat pelangsing, dan penambah stamina, diantaranya Cobra Oil Super, King Cobra, American Lady’s, hingga Gynaecosid. Obat- obatan itu disita karena masuk daftar G, atau tidak boleh dijual sembarangan. Sebagian lagi telah kedaluwarsa dan sisanya tidak tercatat di Balai Pengawasan Obat dan Makanan, atau POM, maupun Departemen Kesehatan.
22 Agustus 2005
Badan POM membatalkan persetujuan pendaftaran produk “Arma Sin Gang San Langsing Ayu”, obat tradisional yang dicampur bahan kimia obat keras sibutramin hidroklorida lantaran dinilai membahayakan kesehatan konsumen. Badan POM juga menginstruksikan kepada produsen maupun distributor untuk menarik produk itu dari peredaran dan segera memusnahkannya.
08 Desember 2005
Penemuan sejumlah obat-obatan yang telah kedaluwarsa di puskesmas-puskesmas Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Obat-obatan tersebut diantaranya adalah Lidocaine injeksi, Famotidin tablet, dan Acyclovilcrim. Obat itu masing-masing memiliki batas kedaluwarsa Juni-Agustus 2005. Untuk mengantisipasi efek negatif, tenaga kesehatan puskesmas dan masyarakat diminta berhati- hati dan teliti memeriksa tanggal masa berlaku obat-obatan yang akan diberikan atau dikonsumsi.
13 Desember 2005
Obat kedaluwarsa yang masih disimpan di gudang-gudang obat puskesmas seluruh Kabupaten Semarang ditarik oleh Dinas Kesehatan guna diamankan. Seluruh seluruh puskesmas mengirimkan obat- obat kedaluwarsa berupa injeksi, tablet, infus, salep, dan lain-lain ke Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang.
KOMPAS/IRWAN JULIANTO
Sejumlah obat yang kedaluwarsa atau rusak di salah satu Puskesmas di wilayah Jakarta Pusat. Kebanyakan obat injeksi, seperti serum antitetanus, vitamin B 1, oxytetracycline, papaverine. Juga tablet Acetosal dan Hexamin, nampak kalengnya sudah berkarat. Keadaan menyedihkan ini dialami baik obat Inpres, APBD maupun Askes. Permohonan obat baru atau tambahan sering kandas karena kelambanan birokrasi.
06 Desember 2006
Badan Pengawas Obat dan Makanan menemukan sedikitnya 93 jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat keras di sejumlah pasar tradisional. Maka dari itu, masyarakat diimbau mewaspadai obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat keras karena membahayakan kesehatan. Pada tahun 2006, Badan POM telah memusnahkan 10.561 kotak, 31.403 bungkus dan 1.968 kapsul atau tablet. Badan POM memperingatkan produsen dan distributor agar menarik dan memusnahkan obat tradisional tersebut.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Sebanyak 93 produk obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimia obat keras diperlihatkan oleh petugas Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Jakarta, Selasa (5/12/2006). Selain membahayakan kesehatan, obat-obatan yang banyak dijual di kios obat itu juga dapat menyebabkan kematian.
6 Desember 2007
Sekitar 30 jenis obat generik berlogo (OGB) terancam tidak diproduksi pada tahun 2008. Hal ini dikarenakan biaya produksi dari 30 jenis obat generickantara 100 persen dan 120 persen dari harga jualnya. Sejak Oktober 2007, harga bahan-bahan yang masih harus diimpor dari China, India, dan beberapa negara Eropa ini mengalami kenaikan antara 10 persen dan 20 persen. Sementara harga jual telah ditetapkan Departemen Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 521 Tahun 2007 sehingga produsen tidak dapat menaikannya.
12 Juni 2008
Jamu dan obat tradisional berbahaya karena mengandung bahan kimia obat keras masih beredar di sejumlah daerah. Badan Pengawasan Obat dan Makanan mengumumkan, 54 merek jamu dan obat tradisional berbahaya itu harus ditarik dari peredaran. Karena merek jamu dan obat tradisional tersebut mengandung sildenafil sitrat dan ada juga yang mengandung parasetamol. Hal ini karena, sildenafil sitrat dapat menyebabkan sakit kepala, mual, gangguan penglihatan, radang hidung, nyeri dada, dan denyut jantung menjadi cepat. Adapun parasetamol menyebabkan gangguan dan kerusakan hati apabila dikonsumsi dalam jangka panjang.
15 November 2008
BPOM menarik 21 produk obat tradisional dan suplemen makanan berkhasiat menambah stamina pria atau obat kuat. Hal ini karena produk tersebut didapati kandungan bahan kimia obat keras yakni sildenafil sitrat dan tadalafil.
16 April 2009
Obat flu dan batuk yang mengandung phenylpropanolamine (PPA) diizinkan kembali peredarannya di pasaran, namun dengan catatan harus direduksi kandungannya menjadi 15 miligram per dosis. Dosis yang aman dikonsumsi 15 miligram atau 75 miligram per hari. PPA adalah zat aktif dalam obat flu dan obat batuk yang berfungsi sebagai penghilang gejala hidung tersumbat.
4 Juni 2009
60 obat tradisional pelangsing tubuh, penambah stamina pria dan obat tradisional lainnya ditarik dari peredaran oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Hal ini karena produk tersebut mengandung bahan kimia obat, dimana obat tersebut berbahaya bagi kesehatan jika dikonsumsi. Penarikan tersebut berdasarkan hasil pengawasan, sampling, dan pengujian lanoratorium yang dilakukan sejak juni 2008 hingga mei 2009.
30 Maret 2010
Singapore’s Health Sciences Authority baru-baru ini menarik obat tradisional dengan merek dagang Po Chai Pills dalam bentuk kapsul dari peredaran. Po Chai Pills yang terdaftar di Indonesia dalam bentuk sediaan pil dengan nomor registrasi POM Tl 004 400 941, diproduksi oleh Li Chung Shing Tong(Holdings), Hongkong. Obat Po Cha Pills yang diimpor dan didistribusikan di Indonesia sejauh ini masih aman dikonsumsi.
01 Agustus 2011
Obat antiretroviral ARV kedaluwarsa akan ditarik oleh pemerintah. Hal ini karena adanya keluhan pengidap HIV/AIDS yang tergabung dalan Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (Jothi) menerima obat antiretroviral ARV kedaluwarsa. Pihak rumah sakit diminta memberikan obat baru kepada para pengidap HIV/AIDS.
16 Februari 2015
BPOM menginvestigasi kasus penggunaan obat anestesi produksi PT Kalbe Farma, Buvanest Spinal, di RS Siloam Lippo Village, Tangerang, yang mengakibatkan dua pasien meninggal. Dugaan sementara, obat anestesi itu kemungkinan tertukar isinya.
18 Februari 2015
Badan Pengawasan Obat dan Makanan menginstruksikan PT Hexfam Jaya Laboratories menarik asam traneksamat batch 629668 dan 630025 dari pasaran. Obat itu diproduksi pada waktu dan tempat yang sama dengan produksi obat anestesi Buvanest Spinal dari PT Kalbe Farma. Perizinan untuk peredaran untuk obat Buvanest Spinal dibekukan sementara. Hasil pemeriksaan BPOM atas sampel Buvanest dari Rumah Sakit Siloam menunjukkan, sebagian Buvanest berisi Bupivacaine dan sebagian lagi berisi asam traneksamat.
23 Maret 2015
Badan Pengawas Obat dan Makanan menginstruksikan PT Kalbe Farma menghentikan distribusi dan menarik 26 jenis obat injeksi yang dibuat di line 6 pabrik mereka. Untuk menghilangkan risiko dan mengutamakan keselamatan dan keamanan pasien terhadapa produk injeksi lain. Selain Buvanest dan asam traneksamat yang dibuat di line 6 tidak boleh didistribusikan. Hal ini untuk pencegahan risiko terkait meninggalnya dua pasien di RS Siloam Lippo Village, Banten, setelah diinjeksi obat anestesi Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy 4 mililiter buatan Kalbe Farma.
24 Maret 2015
PT Kalbe Farma dan BPOM melakukan pengecekan ulang 26 jenis obat injeksi Kalbe yang akan diperiksa ulang keamanannya di antaranya Kalmethasone, asam traneksamat, Kalnex, Ondansetron, dan Fortanest. Pemeriksaan dilakukan pada obat injeksi yang belum didistribusikan dan yang beredar di rumah sakit ataupun apotek.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek (tengah) didampingi Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher (kanan) dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Roy Sparringa (kiri) mengadakan konferensi pers di Gedung Kemenkes, Jakarta, Rabu (18/2/2015). Konperensi pers membahas investigasi kasus tertukarnya label obat anestesi yang menyebabkan dua pasien di Rumah Sakit Siloam, Lippo Village, Tangerang, meninggal.
19 September 2016
Apoteker pada apotek rakyat di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, adalah pegawai Badan Pengawas Obat dan Makanan. Rangkap pekerjaan ini membuat pengawasan aliran obat dari hulu sampai hilir lemah. Hal inilah menjadi salah satu penyebab penjualan obat kedaluwarsa masih beredar di pasaran.
28 September 2017
Obat pil tramadol ditarik dari peredaran oleh BPOM di NTB. Pil tramadol ini masif penggunaanya di kalangan anak muda.
15 Februari 2018
Empat produk obat mengandung policresulen berupa cairan obat luar konsentrant dibekukan izin edarnya oleh BPOM karena efek sampingnya berbahaya. Empat produk yang izin edarnya dibekukan ialah produk bernama dagang Albothyl, Medisio, Prescotide, dan Aptil.
31 Januari 2018
BPOM menarik dua macam produk kesehatan, yaitu Viostin DS dan Enzyplex, dari pasaran karena mengandung zat gen DNA spesifik babi. Viostin DS merupakan obat pencegah nyeri sendi dan mengatasi gangguan osteoartritis, sedangkan Enzyplex merupakan obat untuk mengatasi mag.
11 Oktober 2019
BPOM membekukan izin edar produk ranitidin. Hasil pengujian produk ranitidin terdetekasi mengandung N-Nitrosodimethylamine (NDMA) yang bisa memicu kanker. Nama obat itu adalah Ranitidin, Zantac, Rinadin, dan Indoran. Obat ini tersedia dalam bentuk cairan injeksi, sirup, dan tablet.
23 Oktober 2022
Tiga obat sirop mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas aman. Tiga produk yang mengandung cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas aman itu meliputi Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops produksi Universal Pharmaceutical Industries. Tiga produk ini termasuk lima obat yang tercemar EG dan DEG di atas ambang batas aman dari hasil pemeriksaan BPOM sebelumnya.
20 Oktober 2022
Kementerian Kesehatan mengeluarkan edaran bagi sejumlah pihak, termasuk tenaga kesehatan dan pihak apotek, untuk menghentikan sementara pemberian obat dalam bentuk cair atau sirop karena diduga menjadi faktor risiko kasus gangguan ginjal akut pada anak. Pemeriksaan tengah dilakukan terkait kemungkinan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Penyelidikan terkait obat yang diduga menyebabkan gangguan ginjal akut masih terus dilakukan.
29 OKtober 2022
Pemerintah Indonesia menerima hibat obat 200 vial fomepizole, dimana obat itu merupakan obat penawar bagi pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal. Obat antidotum berupa fomepizole dinyakini mampu mengobati pasien gangguan gagal ginjal akut. Saat ini, gangguan ginjal akut yang terjadi pada anak di Indonesia diduga kuat disebabkan oleh konsumsi obat cair atau sirop yang tercemar etinol glikol dan dietinol glikol. Obat yang diberikan secara injeksi tersebut akan segera didistribusikan ke rumah sakit rujukan sesuai dengan kebutuhan.
7 Desember 2022
Produk obat sirop yang di produksi oleh PT Rama Emerald Multi Sukses dicabut izin edarnya. Hal ini karena, produk obat sirop yang ditemukan mengandung cemaran etilen glikol (EG) ataupun dietilen glikol (DEG). Dimana produk obat yang menunjukkan kadar cemaran EG dan DEG melebihi ambang batas aman asupan harian. Batas aman yang ditetapkan sebesar 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari.
FAKHRI FADLURROHMAN
Barang bukti obat sirop yang tidak memenuhi syarat dipindahkan ke dalam truk di kawasan PT Yarindo Farmatama, Serang, Banten, Senin (31/10/2022). Badan Pengawasan Obat dan Makanan merilis sejumlah obat yang tidak memenuhi syarat, salah satunya karena menggunakan etilen glikol di atas ambang batas aman.
Referensi
- “Streptomycin Produksi PT “Tunggal” Ditaarik dari Peredaran”, KOMPAS, 7 Agustus 1974, hal 2.
- “Obat Flosint Ditarik dari Peredaran”, KOMPAS, 28 Juli 1984, hal 5.
- “IDI dan YLKI Imbau agar Sirup Antidiare Ditarik”, KOMPAS, 16 November 1990, hal 1.
- “Sirup Antidiare Ditarik, untuk Cegah Efek Samping”, KOMPAS, 22 November 1990, hal 1.
- “Sekitar 280 Obat Jadi Ditarik Bulan Agustus”, KOMPAS, 01 Juni 1991, hal 1.
- “285 Jenis Obat Ditarik dari Peredaran”, KOMPAS, 27 Oktober 1991, hal 1.
- “Dan “Potentol” Pun Jadi Impoten”, KOMPAS, 29 Oktober 1991, hal 16.
- “Obat yang Ditarik Masih Banyak Diresepkan”, KOMPAS, 06 November 1991, hal 8.
- “Sanksi bagi Dokter yang Nekat Bikin Resep Obat Terlarang”, KOMPAS, 7 November 1991, hal 11.
- “Obat Antidaire Masih Sulit Diperoleh”, KOMPAS, 30 November 1991, hal 12.
- “Industri Farmasi Alami Kesulitan Musnahkan Obat”, KOMPAS, 26 Februari 1992, hal 2.
- “Obat Bebas untuk Asma agar Ditinjau”, KOMPAS, 16 Juni 1992, hal 1.
- “Obat Troglitazon Ditarik dari Pasar”, KOMPAS, 22 Desember 1997, hal 12.
- “Waspadai Jamu Berbahan Kimia Obat Keras”, KOMPAS, 15 Juli 1999, hal 9.
- “Perajin Jamu Cilacap Bangkrut”, KOMPAS, 30 Juli 1999, hal 20.
- “Pemasok Obat Daftar G Juga Harus Ditindak”, KOMPAS, 04 Agustus 1999, hal 9.
- “Obat Cisapride Ditarik dari Peredaran”, KOMPAS, 03 Juli 2000, hal 10.
- “Cisapride” Boleh Beredar Terbatas”, KOMPAS, 2 September 2000, hal 10.
- “Phenylpropanolamine Diduga Tingkatkan Kejadian Stroke”, KOMPAS, 30 November 2000. Hal 10.
- “Hindari Obat Flu dengan PPA Lebih 15 mg”, KOMPAS, 01 Mei 2001, hal 9.
- “Agustus, Batas Waktu Penarikan Obat dengan PPA di Atas 15mg”, KOMPAS, 26 Juni 2001, hal 10.
- “25 Produk Jamu Ditarik”, KOMPAS, 12 Oktober 2002, hal 10.
- “Ditarik, 100 PRoduk Suplemen Australia”, KOMPAS, 05 Mei 2003, hal 1.
- “Ditarik, Lima Produk Jamu Berbahan Kimia”, KOMPAS, 30 Oktober 2003, hal 18.
- “Ratusan Obat Kedaluwarsa dan Berbahaya, Beredar di Yogya”, KOMPAS, 11 Mei 2005, hal 2.
- “Obat “Langsing Ayu” Ditarik dari Peredaran * Efek Sampingnya Bahayakan Konsumen”, KOMPAS, 22 Agustus 2005, hal 13.
- “Kesehatan: Obat Kedaluwarsa di Puskesmas di Kabupaten Semarang”, KOMPAS JATENG, 08 Desember 2005, hal 1.
- “Kesehatan: Dinkes Tarik Semua Obat Kedaluwarsa”, KOMPAS JATENG, 13 Desember 2005, hal 3.
- “Kesehatan: Waspadai Obat Tradisional Berbahan Kimia Obat Bebas”, KOMPAS, 06 Desember 2006, hal 13.
- “Obat Generik: 30 Jenis Obat Terancam Tak Diproduksi”, KOMPAS, 07 Desember 2007, hal 13.
- “Kesehatan Masyarakat: Jamu Berbahaya Masih Banyak Beredar”, KOMPAS, 12 Juni 2008, hal 14.
- “Bahan Kimia: 21 Merek Obat Kuat Ditarik”, KOMPAS, 15 November 2008, hal 12.
- “Obat: Phenylpropanolamine Masih Diizinkan Beredar”, KOMPAS, 17 April 2009, hal 13.
- “Obat Pelangsing Ditarik * Sedikitnya 60 Jenis Bahayakan Kesehatan”, KOMPAS, 05 Juni 2009, hal 15.
- “Langkan: Pil Po Chai Dinilai Aman”, KOMPAS, 31 Maret 2010, hal 12.
- “Langkan: Pembekuan Izin Edar Obat Diabetes”, KOMPAS, 30 September 2010, hal 12.
- “HIV/AIDS: Pemerintah Tarik Obat ARV Kedaluwarsa”, KOMPAS, 02 Agustus 2011, hal 13.
- “Produk Farmasi BPOM: Investigasi Obat Anestesi Bermasalah”, KOMPAS, 17 Februari 2015, hal 1.
- “Produk Farmasi: Dua “Batch” Asam Traneksamat Ditarik dari Peredaran”, KOMPAS SIANG, 18 Februari 2015, hal 8.
- “Produk Farmasi: Semua Obat Injeksi Kalbe akan Diperiksa Ulang”, KOMPAS, 25 Maret 2015, hal 13.
- “Obat Kedaluwarsa: Pegawai BPOM Merangkap Apoteker”, KOMPAS, 20 September 2016, hal 27.
- “Kilas Daerah: Gubernur NTB Minta Pil Tramadol Ditarik”, KOMPAS, 29 September 2017, hal 22.
- “Produk Farmasi: Pengawasan Obat Perlu Diperkuat”, KOMPAS, 20 Februari 2018, hal 14.
- “Kilas Iptek: BPOM Tarik Viostin DS dan Enzyplex”, KOMPAS, 01 Februari 2018, hal 13.
- “Pengawasan Obat: BPOM Bekukan Izin Edar Produk Ranitidin”, KOMPAS, 12 OKtober 2019, hal 9.
- “Gangguan Ginjal akut: Tiga Obat Mengandung Cemaran Berbahaya”, KOMPAS, 24 Oktober 2022, hal 1.
- “Foto: Penarikan Produk Obat Sirup”, KOMPAS, 21 Oktober 2022, hal 8.
- “Bantuan Obat Segara Diedarkan”, KOMPAS, 30 Oktober 2022, hal 1.
- “Izin Edar Produk Obat Sirop Kembali Dicabut”, KOMPAS, 08 Desember 2022, hal 10.