KOMPAS/KARTONO RYADI
Lambang supremasi sepakbola junior Indonesia, Piala Suratin, diterimakan kepada kapten PSMS Juanda oleh Ketua Umum PSSI Ali Sadikin setelah kemenangan 3-0 atas juara bertahan Persiter Ternate. Kompetisi ini juga sebagai bentuk penghormatan kepada Ir. Soeratin ketua PSSI yang pertama (26/5/1980).
Olahraga sepakbola di Indonesia mulai marak dikenal sejak abad ke-19 yang dibawa oleh orang-orang Eropa ke Hindia Belanda. Mulai saat itu bermunculan tim-tim sepakbola baik yang dimiliki oleh orang Belanda, Tionghoa, Arab, dan bumiputera. Namun, hanya tim-tim yang tergabung dalam organisasi sepakbola Hindia Belanda NIVB (Nederlandsch Indische Voetball Bond) yang dapat menikmati fasilitas lapangan sepakbola dan menjalankan kompetisi tiap tahunnya.
Hal ini menyulut Ir. Soeratin Sosrosoegondo bersama kawan-kawannya untuk mendirikan organisasi olahraga sendiri yang melingkupi seluruh tim bumiputera. Cita-cita ini terwujud pada 19 April 1930 di Yogyakarta yang melahirkan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia) oleh tujuh perserikatan. PSSI menjadi salah satu organisasi pertama tingkat nasional milik bumiputera yang lahir dalam cengkeraman kolonialisme Belanda.
PSSI kemudian berencana untuk menyelenggarakan kompetisi menandingi NIVB. Bukanlah perkara yang mudah mengadakan kompetisi sepakbola pada masa kolonial terutama kurangnya fasilitas yang memadai. Namun, di tengah kekurangan tersebut PSSI mampu menyelenggarakan kompetisi pertamanya yang bernama Stedenwerd pada tahun 1931 di alun-alun Keraton Solo.
Stedenwerd yang diselenggarakan dari tahun 1931-1942 ini mampu mengimbangi liga sepakbola bikinan kolonial Belanda. NIVB sampai tercengang dengan kompetisi PSSI yang selalu ramai penonton, bahkan membuat organisasi milik orang Belanda ini sempat terpecah belah.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia kompetisi sepakbola banyak yang dihentikan. NIVB dibubarkan dan PSSI kemudian dilebur menjadi satu dalam Tai Iku Kai organisasi olahraga milik Jepang. Perang Dunia II dan masa-masa revolusi praktis membuat aktivitas sepakbola Indonesia berhenti total.
1914
Untuk pertama kalinya diadakan kejuaraan sepakbola antarklub lokal di Jawa yang diadakan oleh orang-orang Belanda. Kompetisi yang bernama Koloniale Tentoonstelling di Semarang ini mempertemukan klub lokal yang berasal dari Batavia, Surabaya, Bandung, dan Semarang. Kesuksesan kompetisi ini membuat panitia mengadakan secara rutin tiap tahun di empat kota besar tadi.
1919
Kompetisi sepakbola bernama Stedenwedstrijden atau Stedentournooi yang diadakan setiap tahun oleh sebuah komite dianggap sukses karena dapat menarik banyak klub-klub milik orang Belanda untuk ikut. Hal ini memicu didirikannya Nederlandsch Indische Voetball Bond (NIVB) untuk mengorganisir kompetisi tahunan dengan aturan yang tetap.
1924
Reksohadiprojo, Soetarman, dan Sastrosaksono memprakarsai berdirinya Vorstelandsche Voetbalbond yang beranggotakan kesebelasan sepakbola bumiputera Rome, De leew, Mars, Legioen, Kras, Pamor, Taruno Kembang, Mat, dan klub sepakbola Belanda-Tionghoa De Roode Lie.
1925
Persatuan Sepakbola Mosvia, Starmvogels, HKS, dan Among Rogo, mengikuti ajakan Wihardjo untuk mendirikan perhimpunan sepakbola di Magelang yang bernama Indonesische Voetbalbond Magelang.
1927
Di Surabaya didirikan Soerabajasche Indonesische Voetbalbond sebagai bagian dari perhimpunan sepakbola Surabaya dengan pengurusnya antara lain Pamudji, Pamudjo, R. Sanusi, Sidik, Askaboel, Radjiman Nasution, dan lain sebagainya.
1928
Di Jakarta berdiri perkumpulan sepakbola bernama Voetbalbond Indonesische Jakarta. Beberapa tempat yang lain juga berdiri Madioensche Voetbalbond, Bandoengsche Indonesische Voetbalbond, dan Persatuan Sepakbola Mataram.
Maret 1930
Beberapa orang bumiputera membentuk sebuah panitia pertandingan amal bernama Voetbalwedstijden yang terdiri dari tim-tim yang tergabung dalam Persatuan Sepakbola Mataram (PSM). Rencananya mereka akan mengundang beberapa tim dari luar kota untuk ikut dalam sebuah pertandingan. Namun, kesebelasan dari luar kota menolak dan menyarankan agar panitia meminta izin kepada NIVB terlebih dahulu yang membawahi tim tersebut. Sayangnya NIVB melarang tim di bawahnya untuk ikut berpartisipasi.
10-11 April 1930
Larangan NIVB mendorong tokoh-tokoh sepakbola bumiputera bergerak. Mereka berkumpul membicarakan tentang pentingnya sebuah badan induk organisasi sepakbola yang terdiri dari tim seluruh Indonesia sehingga dapat menyaingi NIVB. Akhirnya, disepakati untuk diadakan konferensi pada 19 April 1930 di Gedung Societeit Hande Proyo, Yogyakarta.
19-20 April 1930
Konferensi dihadiri oleh 17 orang wakil dari tujuh perserikatan (bond) yakni Jakarta (VIJ=Voetbalbond Indonesische Jakarta), Bandung (BIVB=Bandoengsche Indonesische Voetbalbond), Magelang (IVBM=Indonesische Voetbalbond Magelang), Madiun (MVB= Madioensche Voetbalbond), Surabaya (SIVB= Soerabajasche Indonesische Voetbalbond), Surakarta (VVB=Vorstelandsche Voetbalbond), dan Yogyakarta (PSM=Persatuan Sepakbola Mataram). Dari pertemuan tersebut lahirlah induk organisasi sepakbola bumiputera yang bernama PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia) berkedudukan di Yogyakarta. Ir. Soeratin terpilih sebagai ketua PSSI yang pertama.
1931
PSSI untuk pertama kalinya mengadakan kompetisi dengan sistem turnamen (stedentournooi) dengan mempertandingkan tujuh perserikatan anggota awal PSSI. Sebelumnya, perserikatan terlebih dahulu melaksanakan kompetisi internal antaranggotanya. Dari sana baru dibentuk tim perserikatan yang akan bertanding dengan tim perserikatan lainnya. Kompetisi tersebut bernama Stedenwedstryden (Stedenwerd) yang dilaksanakan di alun-alun Keraton Solo. VIJ menjadi perserikatan pertama yang menjuarai kompetisi ini.
1932
Kesuksesan Stedenwerd I di Solo membuat PSSI merancang kompetisi yang lebih matang karena antusiasme yang besar dalam setiap pertandingan. Stedenwerd II kemudian dilaksanakan di Jakarta. Pemain-pemain yang bernaung di bawah bendera NIVB tetap dilarang untuk ikut. Ini juga sebagai bagian strategi NIVB untuk mengacaukan kompetisi milik PSSI. Ternyata larangan tersebut tidak membuat tim-tim perserikatan bumiputera terpengaruh. PSIM Yogyakarta tampil sebagai juara.
Mei 1933
Kompetisi Stedenwerd III dilaksanakan di Surabaya dengan persiapan yang lebih baik. Soeratin, ketua PSSI juga mengundang beberapa pengurus NIVB, di antaranya J.C.J. Mastenbroek untuk ikut menyaksikan pertandingan. Tujuannya untuk memperlihatkan kemampuan bumiputera dalam menyelenggarakan kompetisi resmi. Bahkan kesuksesan kompetisi Stedenwerd III sampai membuat NIVB mengakuinya dan menawarkan PSSI untuk bekerjasama. Namun, kerjasama ini menimbulkan masalah karena beberapa pengurus NIVB tidak terima, begitupun dengan PSSI juga tidak langsung menyetujuinya.
Oktober 1933
Susuhunan Paku Buwono X meresmikan Stadion Sriwedari sebagai sarana PSSI untuk mempersatukan sikap dalam mengembangkan sepakbola bumiputera. Dalam peresmian tersebut juga dipertandingkan kesebelasan VVB Surakarta melawan PSIM Yogyakarta. Paku Buwono X menyediakan sebuah piala yang diberinama Sunan’s Beker.
1935
Perkembangan PSSI semakin tidak terbendung dengan bergabungnya 12 tim perserikatan di dalam induk organisasi tersebut, meskipun semuanya masih berdomisili di Pulau Jawa. Permasalahan ini membuat organisasi NIVB terpecah dan berubah nama menjadi NIVU (Nederland Indische Voetbal Unie).
1937
NIVU semakin mendekatkan diri dengan PSSI guna mempersiapkan tim Piala Dunia 1938 di Perancis. Oleh karena itu kedua organisasi ini kemudian meneken perjanjian atau gentlement agreement yang isinya adalah kerjasama antara NIVU dengan PSSI untuk membentuk tim bersama yang akan berangkat ke Piala Dunia Perancis 1938.
1938
Kerjasama antara NIVU dengan PSSI batal karena berbagai macam masalah dalam persiapan pembentukan tim yang akan diberangkatkan ke Piala Dunia Perancis 1938. PSSI menolak dengan tegas tidak mau bertanding di bawah bendera Hindia Belanda. Apalagi NIVU beralasan bahwa badan organisasi sepakbolanya telah diakui oleh FIFA. Buntut dari pertentangan itu adalah pemain yang berangkat ke Perancis merupakan pilihan dari NIVU. Pada pertandingan pertama tim Hindia Belanda digebuk Hongaria 6-0 dan tersingkir dari perhelatan Piala Dunia.
1942-1943
Pendudukan Jepang membuat banyak orang-orang Belanda angkat kaki dari Indonesia sehingga menyebabkan NIVU bubar. PSSI dilebur menjadi satu dalam Tai Iku Kai. Tidak berselang lama aktivitas sepakbola dibatasi oleh tentara Jepang dan diganti dengan taiso atau senam pagi. Mereka diwajibkan untuk menghadap ke Hinomaru (bendera Jepang) dan melakukan saikeree atau penghormatan kepada bendera Jepang yang mengarah ke Tokyo.
1944-1946
Tai Iku Kai diubarkan sehingga urusan olahraga diserahkan kepada organisasi GELORA (Gerakan Latihan Olahraga) yang merupakan bagian dari PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Pada akhir 1946 GELORA masih belum dapat menjalankan tugasnya karena perang kemerdekaan Indonesia.
Januari 1947
Kongres Olahraga pertama sejak kemerdekaan Indonesia diselenggarakan di Surakarta. Pertemuan ini menghasilkan beberapa keputusan antara lain membubarkan GELORA, mendirikan Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI), dan mendirikan persatuan olahraga yang baru bernama Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI). R. Maladi terpilih sebagai ketua bagian sepakbola dalam kepengurusan PORI.
Daftar Juara Kompetisi PSSI (1931-1943)
Tahun |
Nama Perserikatan |
1931 | VIJ (Jakarta) |
1932 | PSIM (Yogyakarta) |
1933 | VIJ (Jakarta) |
1934 | VIJ (Jakarta) |
1935 | Persis (Solo) |
1936 | Persis (Solo) |
1937 | Persib (Bandung) |
1938 | Persis (Solo) |
1939 | Persis (Solo) |
1940 | Persis (Solo) |
1941 | Persis (Solo) |
1942 | Persis (Solo) |
1943 | Persis (Solo) |
Sumber: Saputra, Asep, dkk. 2010. Sepakbola Indonesia Alat Perjuangan Bangsa dari Soeratin hingga Nurdin Halid (1930-2010). Jakarta: Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia.
Baca Juga Seri Kronologi Kompetisi Sepak Bola Indonesia:
Bagian Kedua: Pembentukan Liga Perserikatan Indonesia
Bagian Ketiga: Liga Semi Profesional Galatama
Bagian Keempat: Bergabungnya Perserikatan dan Galatama Menjadi Liga Indonesia
Bagian Kelima: Dualisme Liga Indonesia antara ISL dan IPL
Bagian Keenam: Sanksi Fifa dan Upaya Kebangkitan Liga Indonesia
Referensi
- “41 Tahun PSSI”, dalam KOMPAS 20 Januari 1971, hal. 3.
- “Di Yogya 50 tahun lalu mereka lahirkan PSSI”, dalam KOMPAS 19 April 1980, hal. 4.
- “Mengenang masa keemasan sepakbola Indonesia”, dalam KOMPAS 19 April 1980, hal. 5.
- “Sepakbola Indonesia dan Masa Perjuangan PSSI”, dalam KOMPAS 19 April 1980, hal. 5.
- “Ir Soeratin: Membangkitkan Nasionalisme Melalui Sepak Bola * Edisi Khusus”, dalam KOMPAS 1 Januari 2000, hal. 52.
- “Antara Kesepuhan PSSI dan Kesurutan Prestasi”, dalam KOMPAS 19 April 2003, hal. 23.
- “Soeratin, Pahlawan Nasional Sepak Bola?”, dalam KOMPAS 8 Juli 2006, hal. 7.
- Elison, Eddie. 2014. Soeratin Sosrosoegondo: Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
- Herfiyana, Novan, dkk. 2011. Muatan Lokal Ensiklopedia Sepak Bola Indonesia. Jakarta: PT Lentera Abadi.
- Palupi, Srie Agustina. 2004. Politik & Sepak Bola di Jawa, 1920-1942. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
- Saputra, Asep, dkk. 2010. Sepakbola Indonesia Alat Perjuangan Bangsa dari Soeratin hingga Nurdin Halid (1930-2010). Jakarta: Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia.
Penulis
Martinus Danang
Editor
Inggra Parandaru