Foto

Tragedi Bintaro 1987

Banyaknya penumpang yang berada di atap gerbong, sambungan, dan yang bertengger di lokomotif menyebabkan besarnya jumlah korban tak terelakan.

KOMPAS/Jimmy S Harianto

Kerasnya tabrakan antara kereta api patas Merak dengan kereta lokal Rangkas Bitung-Jakarta di Bintaro tahun 1987 membuat kedua lokomotif itu ringsek.

Tabrakan Kerata Api (KA) Turangga dengan KA commuter line Bandung Raya yang  terjadi pada 5 Januari 2024 lalu di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat mengingatkan kita kembali kepada peristiwa kelam yang hampir serupa hampir 37 tahun lalu di Bintaro.

Senin pagi, 19 Oktober 1987 merupakan hari kelabu bagi dunia perkeretaapian Indonesia. Kala itu, kereta api Patas Merak jurusan Tanah Abang-Merak yang berangkat dari stasiun Kebayoran (KA  220) bertabrakan “adu banteng” dengan Kereta api lokal Rangkas jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota (KA 225) yang berangkat dari Stasiun Sudimara di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan.

Dahsyatnya tabrakan hingga mengeluarkan bunyi bagai bom meledak yang menimbulkan kerusakan yang sangat parah pada dua rangkaian kereta api tersebut. Lokomotif penarik gerbong yang beradu hancur.

Di beberapa bagian kerangka kereta yang terbuat dari besi super kokoh bengkok. Bahkan saking kuatnya tabrakan, satu gerbong melesak masuk ke gerbong lainnya.

Jumlah korban pun tidak sedikit. Hal tersebut disebabkan sistem perekeretaapian kita yang masih buruk waktu itu. Banyak penumpang liar—alias mereka yang tidak membeli tiket—duduk di atap-atap gerbong, berdesakan di sambungan gerbong kereta, dan bertengger di lokomotif atau kepala kereta.

Menurut laporan resmi Perusahaan Jawatan Keret Api (PJKA), korban tewas 139 orang dengan 72 tewas di tempat dan sisanya meninggal dalam kondisi sekarat. Dari 139 korban tewas, 113 di antaranya segera teridentifikasi.  

Sebanyak 254 orang luka-luka dengan rincian 170 luka berat dan 84 luka ringan. Kondisi mereka yang meninggal maupun luka berat sangat memilukan.

Meningkatnya jumlah korban juga disebabkan lamanya proses evakuasi. Petugas dibantu masyarakat kesulitan mengeluarkan korban yang terjebak di dalam gerbong dan yang terjepit di antara besi-besi kereta.

Bakti Suryana (54), yang saat peristiwa itu terjadi masih pelajar SMA, dan sekolahnya dekat dengan lokasi kejadian, menceritakan bahwa ia bersama teman-temannya langsung ikut membantu menyelamatkan korban. “Banyak dari tubuh korban yang tidak utuh lagi”, ujarnya. Menurutnya, cuaca terik dan kurangnya alat khusus untuk memotong besi menjadi kendala utama menyelamatkan nyawa korban.

KOMPAS/Jimmy S Harianto

Salah satu gerbong melesak masuk ke gerbong yang berada di depannya. Kondisi demikian membuat banyak penumpang yang menjadi korban berada  dalam posisi terjepit.

KOMPAS/Dudy Sudibyo

Kondisi kereta api yang bertabrakan di Pondok Betung, Bintaro tahun 1987. Akibat kecelakaan tersebut…penumpang meninggal dunia, dan menjadi tabrakan kereta paling tragis dalam sejarah perkeretapian Indonesia.

KOMPAS/Dudy Sudibyo

Masyarakat menyaksikan proses evakuasi korban yang terjepit di dalam gerbong kereta.

KOMPAS/Hasauddin Assegaff

Untuk memudahkan evakuasi korban, petugas dibantu salah seorang warga melubangi atap gerbong kereta menggunakan gergaji mesin.

KOMPAS/Jimmy S Harianto

Petugas dibantu warga berhasil mengeluarkan korban yang terluka dari salah satu gerbong.

KOMPAS/Widi Krastawan

Banyaknya korban yang terjepit atau terjebak di dalam kereta membuat proses penyelamatan berlangsung hingga malam hari.

KOMPAS/Kartono Ryadi

Ratusan kerabat dan keluarga korban memadati RSCM dan kamar mayat untuk mencari keluarganya. Mereka memadati papan pengumuman yang mencantumkan para korban yang dirawat di unit gawat darurat.

Foto lainnya dapat diakses melalui https://data.kompas.id/.
Klik foto untuk melihat sumber.

Artikel terkait