KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Dupa dan lilin raksasa terpasang sepanjang Jalan Kelenteng, milik peziarah dari berbagai kota di Indonesia bahkan dari manca negara.
Wilayah Bagansiapiapi yang berada Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, menyimpan banyak potensi ruang dan keunikan khas lokal yang bisa dikembangkan dan dinikmati baik warga sekitar maupun wisatawan. Salah satunya adalah Ritual bakar tongkang atau yang dikenal dengan Go Gwe Cap, bermula saat etnis Tionghoa dari Hokkian, Provinsi Fujian, China datang ke Indonesia.
Festival bakar tongkang ini merupakan tradisi warga etnis Tionghoa asal Bagansiapiapi. Nenek moyang warga Bagansiapiapi berasal dari Fujian, China. Tujuan mereka datang ke Bagansiapiapi adalah mencari kehidupan yang lebih baik. Karenanya, berangkatlah mereka menggunakan kapal kayu atau tongkang mengarungi Laut China Selatan menuju perairan Selat Malaka. Terkatung-katung di tengah lautan, didera ombak dan badai, rombongan yang seluruhnya bermarga Ang itu nyaris putus asa. Mereka lalu berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya memohon keselamatan. Tidak lama kemudian, mereka itu melihat kerlap-kerlip cahaya dari tepian pantai yang menyala seperti api. Sebenarnya itu sinar kunang-kunang. Tongkang merapat ke daratan dan seluruh rombongan selamat. Tempat pendaratan itu pun dinamai Bagansiapiapi. Sebagai bentuk terima kasih, mereka membakar tongkang dan berjanji tidak akan kembali ke kampung halaman.
Kesakralan warga etnis Tionghoa Bagansiapiapi dalam ritual bakar tongkang patut mendapatkan pujian. Hal ini ditunjukkan, ketika replika kapal tongkang tersebut diarak ribuan warga dari Kelenteng In Hok Kiong menuju tanah lapang di dekat pantai Selat Malaka, sekitar satu kilometer dari kelenteng. Warga etnis Tionghoa tampak lebih khidmat berdoa sambil membawa hio. Tidak sedikit orang-orang baik anak muda sampai lansia berlutut dengan hio ketika tongkang lewat. Tongkang yang dibakar merupakan replika kapal dibuat berdasarkan petunjuk Dewa Kie Ong Ya melalui seorang Tanki.
Pembuatan kapal tongkang biasanya dilakukan 2–3 bulan menjelang hari pelaksanaan, Replika Kapal Tongkang dipersiapkan pembuatannya sebulan sebelumnya, dengan ukuran replika tongkang sepanjang 9,2 meter, lebar 2 meter, dan tiang tinggi 2,7 meter dengan bobot 400 kilogram. Bahan utama dalam pembuatan tongkang, yaitu kayu, bambu, dan kertas. Setelah selesai dibuat, tongkang pun dicat dan dihiasi dengan pernak-pernik sehingga terlihat sangat megah dan meriah.
Ritual tersebut mampu menyedot perhatian publik, termasuk perantau di dalam dan luar negeri. Keturunan perantau asal Bagansiapiapi tetap antusias dan terikat dengan tradisi nenek moyangnya. Itulah mengapa acara bakar tongkang semakin meriah. Ritual bakar tongkang masih bertahan sampai saat ini.
Namun, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, acara bakar tongkang sempat menghilang. Hal ini disebabkan penguasa pemerintahan Orde Baru kurang begitu menyukai dengan ritual bakar tongkang yang diselenggarakan oleh masyarakat yang menganut kepercayaan Khonghucu. Namun, sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, tradisi dari China yang beragama Khonghucu kembali diselenggarakan. Pada tahun 2000, ritual bakar tongkang mulai di selenggarakan lagi dan dijadikan ajang tahunan ini sebagai sarana pariwisata.
Ritual bakar tongkang dilakukan sebagai rasa syukur pada tanah harapan dan pembakaran replika kapal tongkang pada masa-masa selanjutnya menjadi kegiatan tahunan yang menjadi acara pariwisata.
Beberapa peristiwa Ritual Bakar Tongkang untuk Dewa Kie Ong Ya yang terangkum dalam foto-foto di Arsip Kompas.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Aneka kiriman untuk leluhur disiapkan di lokasi pembakaran tongkang.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Patung Dewa Kie Ong Ya diarak keliling kota.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Tongkang memasuki lokasi pembakaran. Suasana magis semakin kental dan semuan orang mengangkat hio.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Tradisi Ritual Bakar Tongkang di Kota Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir, Riau terus berlangsung setiap tahun. Agenda ini telah menjadi kalender even nasional yang tercatat dalam agenda Kementerian Pariwisata Indonesia. Bakar Tongkang merupakan ritual warga keturunan China Bagan Siapi-api yang terkait dengan sejarah berdirinya kota dimaksud pada masa lalu.
KOMPAS/NELI TRIANA
Ribuan warga keturunan China berlomba-lomba turut mengusung tongkang yang didalamnya terdapat Dewa Ki Ong Ya, Kamis (23/6/2005). Dengan dipimpin dewa ini, rakyat China berimigrasi sekitar 200 tahun lalu ke Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Ribuan orang mengeliling replika tongkang yang akan dibakar.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Warga menunggu ke mana arah jatuh tiang tongkang dalam acara Bakar Tongkang di Bangansiapi-api, 9 Juni 2009. Jika jatuh mengarah ke daratan, peruntungan tahun ke depan lebih banyak di daratan.
KOMPAS/NELI TRIANA
Ribuan warga keturunan Cina menyaksikan terbakarnya replika yang didalamnya terdapat Dewa Ki Ong Ya, Kamis (23/6/2005). Dengan dipimpin dewa ini, rakyat Cina berimigrasi sekitar 200 tahun lalu ke Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Untuk Dewa Laut (Kie Ong Ya), Sabtu (18/6/2011).
- Laut Harapan Tahun Ini * Ritual Tahunan Go Gwe Cap Diikuti 30.000 Wisatawan, KOMPAS, 19-06-2011, hal 3.
- Kebudayaan: Terima Kasih Dewa Laut, KOMPAS, 27-06-2008, hal 54.
- Ritual Bakar Tongkang: Ikon wisata Riau yang Butuh Polesan, KOMPAS, 22-06-2009, hal 24.
- Ritual Bakar Tongkang: Rasa Hongkong di Bagan Siapi-api, KOMPAS, 27-06-2008, hal 54.
Foto lainnya dapat diakses melalui https://www.kompasdata.id/
Klik foto untuk melihat sumber.