Munir, sosok aktivis hak asasi manusia yang sampai akhir hayatnya konsisten memperjuangkan hak-hak sipil. Pria sederhana dengan perawakan kecil ini sangat vokal dalam membela dan mengungkap kasus-kasus HAM di Indonesia. Keberaniannya bukan tanpa risiko. Ia tewas dalam pesawat terbang setelah diracun dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda pada tanggal 7 September 2004 WIB.
Munir Said Thalib, lahir di Malang 8 Desember 1965. Ia mengawali karier sebagai relawan di LBH Surabaya tahun 1989, setahun sebelum lulus dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Kiprahnya makin dikenal sejak menjadi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan diakhir hidupnya menjabat Direktur Eksekutif Imparsial (sekaligus menjadi pendiri lembaga pemantau hak asasi manusia tersebut).
Dalam menjalankan tugas bermacam ancaman dan teror bahkan kecaman dari pejabat militer kala itu, sudah biasa dia terima, namun semua itu tidak membuatnya bungkam. Gaya bicaranya yang datar namun lugas barangkali memekakkan telinga bagi pihak-pihak yang yang berseberangan dengannya.
Beberapa kasus besar yang pernah didampinginya, yakni kasus pembunuhan Marsinah, penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa tahun 1998, serta kritik terhadap pelaksanaan darurat militer di Aceh.
Kebencian dan pujian terhadap dirinya bagai berjalan beriringan. Selain teror dan tekanan, Munir Said Thalib juga mendapat banyak penghargaan dalam bidang hak asasi manusia baik dari dalam maupun luar negeri. Beberapa penghargaan prestisius yang pernah didapat adalah The Right Livelihood Award di Swedia pada tahun 2000 (sebuah penghargaan yang sering disebut Nobel Alternatif). Pada tahun 1999, Majalah Asiaweek menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda pada milenium baru dan menjadi “Tokoh 1998” versi majalah Ummat.
Kenangan akan Munir sebagai aktivis dan pejuang HAM kini tersimpan dalam Museum Omah Munir di Malang, Jawa Timur di mana tersimpan benda-benda sederhana namun penuh cerita.