Paparan Topik | Hari Pahlawan

Hari Pahlawan: Potret Perjuangan Pahlawan Perempuan Indonesia

Sejak pertama kali gelar pahlawan nasional diberikan pada 1959, hingga tahun 2022 terdapat 200 orang yang dianugerahi gelar ini. Dari jumlah tersebut, terdapat 15 perempuan ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sejumlah anak melihat gambar wajah para pahlawan nasional yang dipasang di pintu masuk SD Assalam yang berlokasi di Jalan Sasak gantung, Bandung, Jawa Barat, Senin (10/11/2008). Pemasangan gambar seperti ini secara tidak langsung telah mengajak mereka mengenal para pahlawan nasional pada usia dini.

Fakta Singkat

  • Kementerian Sosial melalui Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial mencatat, sejak pertama kali gelar pahlawan nasional diberikan pada 1959, hingga 2022 ada 200 orang yang sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
  • Hanya ada 15 tokoh perempuan dari total 200 tokoh yang sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dari 1959-2022.
  • Apabila dikategorikan, 15 tokoh perempuan Pahlawan Nasional dapat dibagi ke dalam 3 kategori berdasarkan peran utama yang dilakukan, yakni:  perintis kemerdekaan, emansipasi perempuan, ibu negara.
  • Pahlawan Perempuan Perintis Kemerdekaan: Cut Meutia, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Laksamana Malahayati, Nyi Ageng Serang, Andi Depu, Opu Daeng Risadju, H. R. Rasuna Said, Fatmawati Soekarno.
  • Pahlawan Emansipasi Perempuan: R. A. Kartini, Dewi Sartika, Rohana Kudus, Maria Walanda Maramis, Siti Walidah
  • Pahlawan sebagai Ibu Negara: Siti Hartinah Soeharto.
  • Pemberian gelar pahlawan diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 

Setiap tanggal 10 November, masyarakat Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Tanggal tersebut mengacu pada peristiwa pertempuran besar di Surabaya antara tentara Indonesia dan Inggris pada 10 November 1945.

Perang dengan pasukan asing itu menjadi pertempuran pertama setelah proklamasi kemerdekaan, dan tercatat menjadi salah satu yang pertempuran terbesar dalam perjuangan kemerdekaan.

Mengacu pada artikel Kompaspedia (10/11/2020), selama kurang lebih tiga minggu lamanya, perang tersebut mengakibatkan setidaknya 20.000 korban meninggal dari pihak Indonesia, 1.600 korban Inggris tewas atau terluka, dan 150.000 warga sipil yang harus meninggalkan kota Surabaya.

Untuk menghargai jasa dan pengorbanan para pahlawan tersebut, 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan berdasarkan Keppres Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

Pada momen Hari Pahlawan pemerintah memiliki tradisi memberikan gelar Pahlawan Nasional. Merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, gelar Pahlawan Nasional adalah:

Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.”

Gelar Pahlawan Nasional pertama kali diberikan pada sastrawan dan tokoh Serikat Islam, Abdul Muis, yang dianugerahi gelar pahlawan oleh Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1959.

Sejak pertama kali diberikan pada tahun 1959, hingga tahun 2022 sudah ada 200 orang yang dianugerahi gelar pahlawan. Namun, dari jumlah tersebut hanya ada 15 perempuan yang diakui dan dinobatkan sebagai pahlawan nasional.

Mereka adalah Raden Ajeng Kartini, Cut Meutia, Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Maria Walanda Maramis, Siti Walidah, Nyi Ageng Serang, H. R. Rasuna Said, Siti Hartinah Soeharto, Fatmawati Soekarno, Opu Daeng Risadju, Laksamana Malahayati, Agung Hajjah Andi Depu, dan Rohana Kudus.

INFOGRAFIK: KOMPAS, 10 NOVEMBER 2015

Syarat pemberian gelar Pahlawan Nasional

Pemberian gelar pahlawan diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 

Syarat Umum:

  • WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI
  • Memiliki integritas moral dan keteladanan
  • Berjasa terhadap bangsa dan negara
  • Berkelakuan baik
  • Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara
  • Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.

Syarat khusus:

  • Gelar diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia
  • Semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
  • Tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan
  • Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya
  • Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara
  • Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa
  • Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi
  • Melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

INFOGRAFIK: KOMPAS, 11 NOVEMBER 2013

Berikut perjalanan, kiprah, dan peran para pahlawan nasional perempuan di Indonesia.

1. Raden Ajeng Kartini

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang akrab dikenal dengan sebutan R.A. Kartini adalah pahlawan nasional yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Ia dikenal sebagai sosok pahlawan Indonesia yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan dan ingin menghapuskan penderitaan perempuan yang terkungkung dalam tembok tradisi dan adat-istiadat masyarakat feodal-patriarkal Jawa.

Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1964.

Merujuk Kompaspedia (21/4/2021), Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Ia merupakan seorang perempuan berdarah ningrat Jawa. Ayahnyaa, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, adalah wedana Mayong yang kemudian menjadi Bupati Jepara, sedangkan ibunya bernama M.A. Ngasirah. Sang ibu merupakan seorang putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.

Putri kelima dari 11 bersaudara ini memang terlahir dari keturunan keluarga cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV adalah generasi pertama bangsawan Jawa yang menerima pendidikan Barat dan menguasi bahasa Belanda. Kakek Kartini kemudian juga mendidik anak-anaknya dengan pelajaran khas Barat, langsung dari seorang guru asli Negeri Belanda.

Kartini memperoleh pendidikan hingga usia 12 tahun. Ia mulai bersekolah pada tahun 1885 di Europeesche Lagere School (ELS). ELS merupakan sekolah milik pemerintah Hindia Belanda untuk anak keturunan Eropa dan pribumi dari kalangan bangsawan. Di sekolah ini, untuk pertama kalinya Kartini mendapatkan bahan bekal perjuangannya.

Setamatnya dari ELS, Kartini ingin meneruskan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Semarang. Bahkan, pernah ditawari untuk sekolah ke Belanda oleh gurunya. Sayangnya, meski terpelajar, keluarga Kartini masih memegang teguh tradisi, terutama mengenai peran perempuan dalam keluarga dan kehidupan. Sang ayah tidak lagi memberi izin Kartini melanjutkan sekolah dan terpaksa harus keluar untuk menjalani masa pingitan. Masa-masa inilah disebut Kartini bagai “dalam penjara”.

Kartini tidak banyak bergaul selama masa pingitannya. Ia mulai merenung tentang nasib perempuan yang terkungkung adat dan tidak bisa menentukan masa depannya sendiri. Selama masa pingitan ini, Kartini juga mulai rajin membaca buku dan mengasah pikirannya.

Memasuki usia 16 tahun, Kartini dibebaskan dari masa pingitan. Kemudian, ia banyak belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda. Dari buku-buku, koran, dan majalah, Kartini kian tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Peradaban pemikiran milik Eropa inilah yang menimbulkan keinginan tulus Kartini untuk memajukan perempuan pribumi, pada saat kondisi sosial perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Melalui penanya, Kartini mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam mendobrak tradisi feodal-patriarkal yang menghambat kemajuan kaum perempuan. Ia ingin perempuan memiliki masa depan yang lebih maju, bebas, cemerlang, dan merdeka. Ia pun menemukan bahwa pendidikan adalah kemutlakan yang perlu dibangun untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Sebab itu, baginya perlu didirikan sekolah untuk perempuan bumiputra.

Memasuki usia 24 tahun, Kartini dipersunting Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Meski telah menikah, perjuangan RA Kartini dalam membela hak-hak perempuan terus berlanjut dan mendapat restu dari suaminya. Ia pun mendirikan sekolah wanita yang terletak di sebelah timur pintu gerbang kompeks kantor Kabupaten Rembang.

Setahun setelah menikah, Kartini melahirkan anak satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat. Empat hari setelahnya, Kartini wafat dalam usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Meski Kartini telah wafat, ide untuk mendirikan sekolah bagi perempuan tak ikut terkubur bersama jasadnya. Sahabatnya di Belanda, Abendanon dan istrinya Rosa Manuela menerbitkan surat-surat Kartini dalam bentuk buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (Dari Gelap Terbitlah Terang) pada April 1911.

Buku tersebut ternyata menginspirasi orang-orang Belanda yang berhaluan politik etis, salah satunya Conrad Theodore van Deventer, hingga Ratu Belanda akhirnya menunjuk Abendanon untuk mengurusi masalah pendidikan perempuan pribumi di Hindia Belanda. Oleh sebab itu, dibentuklah komite pada 1912 yang bertanggung jawab dalam merumuskan pendidikan perempuan Jawa, yang kemudian mendirikan berbagai sekolah di Malang, Cirebon, Bogor, Surabaya, Semarang, dan Solo, seperti di Batavia.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Patung Kartini yang terletak di jantung kota Jepara, Jawa Tengah, ini menandai keberadaan RA Kartini sebagai lambang penyuluh bagi kaum perempuan di Indonesia (14/5/2007).

2. Cut Meutia

Cut Meutia atau Cut Nyak Meutia adalah salah seorang pejuang perempuan dari Aceh yang ikut mengangkat senjata melawan Belanda hingga akhir hayatnya. Ia dikenal ahli dalam mengatur strategi pertempuran dan sering kali membuat pertahanan militer Belanda di Aceh kewalahan.

Cut Meutia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1964 melalui Keputusan Presiden No. 107 Tahun 1964. Pada 19 Desember 2016, sosoknya juga diabadikan dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, Rp 1.000. 

Cut Meutia lahir di Pirak, Aceh Utara, Kesultanan Aceh, 15 Februari 1870. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud, seorang uleebalang (kepala pemerintahan) Pirak yang termasuk dalam wilayah (zelfbestuur) Keureutoe. Ibunya Bernama Cut Jah, putri Ben Seuleumak. Ibunya juga dipanggil Cut Mulieng karena berasal dari Kampung Mulieng. Cut Nyak Meutia mempunyai empat orang saudara yang semuanya laki-laki, yaitu Teuku Cut Brahim, Teuku Cut Hasan, Teuku Cut Muhammad Ali, Teuku Cut Muhammad Syah.

Sebagaimana lazimnya setiap anak perempuan di Aceh, Cut Meutia dididik dengan pelajaran agama Islam di bawah pengasuhan ulama-ulama. Hasil pendidikan yang diperoleh selama bertahun-tahun telah membuatnya tumbuh menjadi perempuan yang memiliki kepribadian teguh terhadap ajaran agama.

Semasa hidupnya, Cut Meutia menikah sebanyak tiga kali. Suami pertamanya adalah Teuku Syamsarif atau yang dikenal Teuku Chik Bintara. Namun, karena kecewa dengan sikap suaminya yang tunduk terhadap Belanda, Cut Meutia memilih pulang ke rumah orang tuanya dan akhirnya bercerai.

Selepas perceraian dengan Teuku Chik Bintara, Cut Meutia menikah dengan Teuku Chik Muhammad yang dikenal pula dengan nama Teuku Chik Tunon. Bersama dengan suami keduanya inilah Cut Meutia pertama kali turun ke medan perang. Bersama dengan suaminya, ia memimpin serangan melawan Belanda. 

Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam penyusunan strategi perang. Mereka memerintahkan pasukannya untuk memata-matai Belanda dengan berpura-pura sebagai pedagang sayur, pedagang buah-buahan, penjual ikan, dan penjual ayam untuk dapat leluasa memasuki tangsi-tangsi Belanda.

Ketika informasi didapatkan, Cut Meutia dan para pejuang Aceh menyusun strategi. Mereka kerap membuat serangan-serangan mendadak dan sporadis yang membuat pertahanan Belanda di Aceh porak-poranda.

Akibat rentetan serangan pasukan yang dipimpin Cut Meutia dan suaminya tersebut, Gubernur Sipil dan Militer Aceh Van Heutsz sampai harus memperbesar pasukannya menjadi dua batalion infantri dan enam batalion.

Namun pada 1905, Chik Muhammad tertangkap oleh Belanda. Ia dimasukkan ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman mati oleh pasukan Belanda. Sebelum menjalani hukumannya, Teuku Chik Tunong, meminta kepada Belanda agar dapat bertemu untuk terakhir kalinya dengan istrinya dan anaknya yang masih berumur 5 tahun.

Mengacu buku Cut Nyak Meutia (Kisah Perjuangan Perempuan Aceh), selain dimaksudkan untuk melepaskan rasa rindu dan salam perpisahan, pertemuan tersebut dimanfaatkan pula oleh Teuku Chik Tunong untuk memberikan amanah kepada Cut Meutia. Ada tiga permintaan yang ia lontarkan kepada istrinya. Satu pesan agar istrinya terus melakukan perlawanan terhadap Belanda, pesan selanjutnya adalah mendidik anak-anaknya agar tidak tunduk pada penjajah, dan pesan yang terakhir adalah agar istrinya bersedia menikah dengan sahabatnya yang juga sama-sama pejuang tangguh, yakni Pang Nanggroe.

Setelah suami keduanya meninggal, Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe. Bersama suami ketiganya ini, Cut Meutia kembali melanjutkan perjuangan dengan bergerilya dan terus meningkatkan perlawanan. Untuk menghadapi kegigihan dan perlawanan keras pasukan yang dipimpin Cut Meutia dan Pang Nanggroe, pemerintah Belanda sampai harus mengerahkan perwira-perwira handalnya.

Nahas, pada 1910, dalam suatu pertempuran dahsyat melawan Korps Marechausée di Paya Cicem, Pang Nanggroe tewas tertembak. Tak lama kemudian, Cut Meutia dan pasukan yang tersisa akhirnya terkepung dan tertangkap di Alue Kurieng. Namun, karena terus melawan, pasukan Belanda menembak Cut Meutia dan membuatnya gugur.

KOMPAS/VINA OKTAVIA

Masjid Cut Meutia di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat (8/7/2015). Sebelum resmi menjadi masjid, bangunan itu adalah itu adalah bekas gedung kolonial Belanda.

3. Cut Nyak Dhien

Pejuang perempuan Aceh lainnya yang ikut mengangkat senjata melawan pasukan Belanda adalah Cut Nyak Dhien. Ia terkenal ikut berperang langsung dan cakap memimpin pasukan dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Aceh. Bahkan, menjadi perempuan yang ditakuti oleh Belanda.

Cut Nyak Dien ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1962 oleh Presiden Soekarno melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 1964. Pada tahun 1998, potretnya sempat diabadikan dalam uang rupiah pecahan Rp. 10.000.

Cut Nyak Dhien dilahirkan pada tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Ia merupakan keturunan bangsawan Aceh Besar yang taat agama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, seorang perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati sendiri merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.

Pada 1862, ketika berusia 12 tahun, Cut Nyak Dhien sudah dinikahkan oleh orang tuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai satu orang anak.

Teuku Ibrahim merupakan pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda sehingga sering meninggalkan Cut Nyak Dhien dan anaknya untuk berperang. Meski demikian, Cut Nyak Dhien sangat mendukung suaminya dan bangga terhadap suaminya.  

Namun, kabar duka menimpa Cut Nyak Dhien pada 29 Juni 1878. Teuku Ibrahim gugur dalam pertempuran. Kepergian suaminya membuat Cut Nyak Dhien terpukul. Ia pun bersumpah akan menghancurkan Belanda dan melanjtkan perjuangan suaminya.

Cut Nyak Dhien kemudian menggantikan suaminya untuk memimpin pasukan dan ikut berperang melawan Belanda. Ia juga kemudian menikah lagi dengan Teuku Umar, yang merupakan seorang tokoh pejuang Aceh. Cut Nyak Dhien mau menikah dengan Teuku Umar karena Teuku Umar mengizinkan Cut Nyak Dien untuk ikut berperang melawan kolonial Belanda untuk membalas kematian Teuku Ibrahim Lamnga.

Bersama dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien menguatkan barisan para pejuang untuk kembali mengusir Belanda dari Aceh. Keduanya, melakukan pertempuran dengan semangat yang berkobar. Hingga membuat pemerintah Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.

Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar akhirnya gugur dalam perang di Meulaboh. Namun, hal itu tidak melunturkan semangat Cut Nyak Dhien. Ia mengobarkan semangat pengikutnya yang tersisa dan melanjutkan perlawanan hingga ke pedalaman Meulaboh.

Sayang, karena keadaan fisiknya yang mulai renta dan kondisi pasukan yang mulai melemah karena kehabisan makanan, uang, dan pasokan senjata, membuatnya tidak bisa terus menyerang. Ia bersama pasukannya terpaksa harus bersembunyi.

Akhirnya, Cut Nyak Dien pun tertangkap. Setelah tertangkap, Cut Nyak Dien dibawa dan dirawat di Banda Aceh. Kemudian diasingkan bersama tahanan politik Aceh lain ke Pulau Jawa, tepatnya di Sumedang, Jawa Barat, pada 1907. Setahun kemudian, pada 6 November 1908, karena usianya yang sudah tua dan kondisinya yang sering sakit-sakitan, Cut Nyak Dhien menghembuskan napas terakhirnya.

KOMPAS/SJAMSUL KAHAR

Replika Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Banda Aceh (27/10/1984).

4. Dewi Sartika

Dewi Sartika dikenal sebagai sosok pahlawan Indonesia yang mempelopori perjuangan bagi kaum perempuan, khususnya di Jawa Barat. Ia mendirikan sekolah bagi kaum perempuan bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung pada 1904.

Dewi Sartika ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1 Desember 1966 melalui Keputusan Presiden No. 252 Tahun 1966.

Dewi Sartika dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1884. Ia adalah putri pertama dan anak kedua dari R. Rangga Somanagara, Patih Bandung. lbunya adalah R.A. Rajapermas, putri Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah IV, yang terkenal dengan sebutan Dalem Bintang.

Dewi Sartika dibesarkan bersama-sama empat kakak laki-lakinya, R. Somamur, R. Junus, R. Entis dan R. Sari Pamerat, dalam lingkungan kehidupan keluarga yang baik. Sebagai anak seorang patih, Dewi Sartika memiliki status sosial yang mapan di masyarakat pada masa itu, di mana keluarga patih termasuk dalam golongan priyayi.

Orang tua Dewi Sartika berpandangan maju, memberikan pendidikan dasar yang baik kepada anak-anaknya, termasuk anak perempuannya. Pada masa itu, menyekolahkan anak perempuan bukan hal lazim dalam adat menak Sunda.

Dewi Sartika disekolahkan di Eerste Klasse School (Sekolah Kelas Satu). Eerste Klasse School adalah sekolah yang dibuka oleh Pemerintah Belanda bagi anak-anak priyayi dan bangsawan pribumi. Di sinilah ia belajar membaca, menulis, dan pengetahuan lainnya.

Sayang, ia tak sampai selesai mengenyam pendidikan Eerste Klasse School. Ayahnya dituduh terlibat dalam peristiwa pemasangan dinamit pada pertengahan bulan Juli tahun 1893. Akibatnya, ayah dan ibunya, R. Rangga Somanagara dan R.A. Rajapermas, dibuang ke Ternate.

Sejak saat itu, Dewi Sartika tinggal bersama pamannya yang menjabat sebagai patih di Cicalengka, Raden Demang Suria Kartahadiningrat. Namun, ia diperlakukan dengan tidak ramah. Ia harus melakukan banyak pekerjaan rumah tangga dan tinggal di kamar bagian belakang. Hal itu merupakan dampak dari hukuman buang yang dijatuhkan kepada ayahanya yang dianggap noda atau aib yang besar pada nama keluarga.

Selama tinggal bersama pamannya, Dewi Sartika belajar adat Sunda, juga belajar memasak, menjahit, menyulam, dan kerajinan tangan lainnya. Dari situ, ia mulai mengenal keadaan yang menyedihkan dari kaumnya. Kaum perempuan hanya diajari memasak dan kerajinan tangan, dan tidak bisa mendapatkan pendidikan lain seperti kaum laki-laki, sehingga banyak perempuan, meski dari kalangan priyayi, tidak dapat membaca dan menulis.

Keadaan inilah yang menanamkan benih yang subur tumbuh dalam diri Dewi Sartika untuk berbuat sesuatu bagi kaumnya. Ia ingin mengajarkan menulis, membaca, dan pengetahuan lainnya selain pengetahuan kewanitaan kepada anak-anak perempuan.

Pada 1902, Dewi Sartika memutuskan kembali ke Bandung saat ibunya, Rajapermas, pulang dari pengasingan. Ia kemudian berjuang untuk mendirikan sebuah sekolah di Bandung, Jawa Barat, di mana ia tinggal saat itu.

Merujuk buku Dewi Sartika, untuk mewujudkan keinginan ini, Dewi Sartika memberanikan diri menghadap Bupati Bandung, R.A.A. Martanegara. Pada mulanya, Bupati Martanegara tidak menyetujui niat Dewi Sartika untuk membuka sekolah untuk anak-anak perempuan, karena menurut pendapatnya akan mendapat tantangan yang keras dari masyarakat. Pada akhirnya, Bupati dapat menyetujui maksud memajukan pendidikan kaum perempuan ini.

Pada tanggal 16 Januari 1904 didirikanlah “Sekolah lstri”. Tempatnya di Paseban Kabupaten Bandung sebelah barat, terdiri dari dua kelas dengan dua puluh orang murid, dengan tiga orang pengajar, yaitu Dewi Sartika, lbu Purma, dan lbu Uwit. Sementara itu, bangunan yang dipergunakan sangat sederhana, terbuat dari bahan kayu dan bambu, dindingnya dari seseg (bahan bambu yang dianyam), tapi atapnya sudah dari ari genting.

Adapun kurikulum yang diajarkan menekankan pada pelajaran-pelajaran ketrampilan wanita, seperti memasak, menjahit, menyulam, dan lainnya. Selain itu, juga ada pelajaran agama dan bahasa Belanda.

Pada tahun 1906 Dewi Sartika menikah dengan R.Kd. Agah Suriawinata, seorang guru kemudian menjadi Kepala Sekolah di Eerste Klasse School di Karang Pamulang. Ia sangat mendukung cita-cita dan karier Dewi Sartika.

Setelah enam tahun berdiri, tepatnya pada tahun 1910, Dewi Sartika akhirnya mengubah nama sekolahnya menjadi Sekolah Keutamaan Istri dan menambahkan beberapa mata pelajaran baru. Dalam mengajar, Dewi Sartika berusaha keras mendidik anak-anak perempuan agar kelak menjadi ibu rumah tangga yang baik, perempuan yang mandiri, fleksibel, dan terampil.

Pada tahun 1939, Dewi Sartika mendapatkan penghargaan Orde van Oranje Nassau dari pemerintah Belanda. Penghargaan jenis ini diberikan kepada orang yang memiliki kontribusi yang luar biasa dan istimewa.

Dewi Sartika meninggal pada 11 September 1947 di Cineam. 

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga Menyalakan lilin saat peringatan hari lahir pahlawan nasional Dewi Sartika di trotoar Jalan Kapten Muslihat, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/12/2020). Dewi Sartika adalah pahlawan yang memperjuangan hak pendidikan dan peranan perempuan Indonesia.

Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu adalah pejuang wanita yang memimpin tentara rakyat Maluku melawan tentara kolonial Belanda.

Martha Christina Tiahahu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 20 Mei 1969 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 012/TK/Tahun 1969. Namanya sampai saat ini juga diabadikan menjadi nama salah satu taman di daerah Blok M, Jakarta Selatan.

Martha Christina Tiahahu lahir pada tanggal 4 Januari 1800 di daerah Nusalaut, Maluku. Ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, adalah seorang panglima perang yang juga turut berjuang dalam perang Pattimura melawan Belanda pada tahun 1817. Sedangkan, ibunya adalah seorang keturunan kapitan besar Lolohowarlau dari negeri Titawasi yang bernama Sina.

Sebagai anak kapitan, Martha dikenal sebagai gadis yang pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya. Sejak kecil, Martha telah bergelut dengan kondisi revolusi pembebasan belenggu kolonialisme, dan kerap diajak langsung oleh ayahnya untuk konsolidasi perjuangan termasuk ke pertemuan untuk merencanakan serangan.

Pada saat Martha menginjak usia 17 tahun, ia sudah mulai mengikuti jejak sang ayah memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Jejak perlawanannya berawal dari tembusan surat perintah Thomas Matulessy, atau yang dikenal dengan nama Pattimura, yang sampai di tangan para Kapitan Nusalaut. Isi surat itu mengajak mereka ikut serta dalam perjuangan melawan Belanda yang berusaha menguasai Maluku.

Martha, yang melihat ayahnya bersiap untuk berangkat menghadiri pertemuan ke Saparua pada 14 Mei 1917, memohon kepada ayahnya untuk diperbolehkan turut ke Saparua. Awalnya, Kapitan Paulus Tiahahu menolak permintaan anaknya mengingat keadaannya yang sangat berbahaya bagi seorang gadis remaja. Namun, pada akhirnya meluluskan permintaan Martha karena melihat keteguhan dan keberaniannya.

Martha pun bergabung dalam barisan pejuang. Dalam perlawanan terhadap Belanda, Thomas Matulessy mengangkat Paulus Tiahahu sebagai kapitan Nusalaut, dengan dibantu oleh pimpinan pejuang lainnya, seperti Martha, Kapitan Abubu, dan Hehanussa Raja Titawaai.

Dalam perjuangannya, Martha bertempur dengan keberanian yang luar biasa. Ia bahkan mampu menggelorakan semangat kaum perempuan dan memimpin mereka untuk ikut ambil bagian mendampingi kaum pria dalam setiap medan pertempuran. Hal itu membuat militer Belanda kewalahan menghadapi perlawanan yang sengit. Bahkan, saat itu pimpinan Belanda, Richemont, tewas tertembak dalam pertempuran.

Pada 12 Oktober 1817, pemerintah Belanda memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat Maluku. Keterbatasan persenjataan pada saat itu menyebabkan pasukan tentara Maluku terdesak dan berhasil dipukul mundur.

Pemimpin pasukan rakyat seperti Thomas Matulessy, Lucas Latumahina, Anthone Rhebok, Thomas Pattiwael, Said Perintah, Paulus Tiahahu, Martha Christina Tiahahu, Raja Hehanusa, Raja Ulat, dan Patih Ouw pun berhasil ditangkap. Para tahanan kemudian divonis hukuman mati, kecuali Martha yang dibebaskan karena masih di bawah umur.

Namun, menyadari bahwa Martha sebagai keturunan Kapitan yang besar pengaruhnya terhadap penduduk dan berpotensi membahayakan kedudukan Belanda. Pasukan Belanda kemudian kembali menangkap Martha dan membuangnya untuk kerja paksa di perkebunan kopi di Jawa.

Dalam perjalan menuju Jawa itu, Martha mogok makan hingga jatuh sakit dan meninggal dunia pada tanggal 2 Januari 1918. Jenazah Sang Mutiara Nusalaut itu kemudian dibuang ke Laut Banda. 

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Baliho bergambar pahlawan nasional Martha Christina Tiahahu terpasang di salah satu sudut Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu (26/11/2016). Baliho yang dipasang oleh Komando Distrik Militer 0501/Berdiri Sendiri Jakarta Pusat tersebut menjadi salah satu upaya untuk mengingatkan masyarakat terutama generasi muda terhadap besarnya pengorbanan para pahlawan yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

6. Maria Walanda Maramis

Maria Josephine Catherina Maramis atau Maria Walanda Maramis merupakan seorang pahlawan perempuan dari Tanah Minahasa, Sulawesi Utara. Ia dikenal karena perjuangannya untuk meningkatkan taraf hidup kaum perempuan, khususnya perempuan di Minahasa, melalui pendidikan dan politik.

Maria Walanda Maramis ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 20 Mei 1969 melalui Keputusan Presiden No. 012/TK/TH Tahun 1969.

Maria Walanda Maramis dilahirkan pada 1 Desember 1872 di Minahasa Utara, Sulawesi Utara.  Ia merupakan putri bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Bernadus Maramis dan Sarah Rotinsulu. Namun, ia beranjak dewasa sebagai seorang yatim piatu karena ditinggal kedua orang tuanya meninggal akibat wabah kolera ketika usianya 6 tahun.

Setelah kedua orang tuanya meninggal, Maria Walanda Maramis diasuh oleh paman dari ibunya bernama Mayor Ezau Rotinsulu, yang menjabat sebagai Kepala Distrik Maumbi. Ia diasuh dengan baik dan berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah rendah Melayu yang mengajarkan baca tulis dan sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah.

Namun, kesempatan menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di sekolah sama sekali tertutup. Adat di Minahasa mengatur bahwa perempuan tidak boleh melanjutkan sekolah setelah selesai Sekolah Rendah Belanda.

Maria sempat berusaha meminta kepada pamannya untuk bisa bersekolah lagi. Alih-alih disetujui, ia malah disodori calon suami yang bernama Joseph Frederik Calesung Walanda, seorang guru yang baru saja menyelesaikan sekolah pendidikan guru di Ambon.

Pada usia 18 tahun, Maria menikah dengan Joseph Frederik Calesung Walanda. Sejak itu, Maria Josephine Chaterine Maramis kemudian lebih dikenal sebagai Nyonya Maria Walanda Maramis. Mereka dikaruniai tiga orang anak, semuanya perempuan, yakni Wilhelmina Frederika, Anna Paulina, dan Albertine.

Joseph merupakan suami yang suportif dan mendorong kemauan Maria untuk belajar. Dari Joseph, Maria Walanda Maramis banyak belajar tentang bahasa dan pengetahuan lain, seperti keadaan masyarakat di Sulawesi dan sejarah. Joseph juga menjadi kawan diskusi Maria untuk membahas gagasan mengenai perjuangan memajukan kaum perempuan dan anak-anak.

Perjuangan Maria memajukan kaum perempuan dimulai dari anak-anak perempuannya. Dengan memasukkan ketiga putri-putri mereka ke ELS (Europeesche Lagere School), sebuah sekolah rendah Belanda.

Usahanya ini bukan tanpa pengorbanan. Suami Maria Walanda Maramis sempat kehilangan pekerjaan karena dituduh “memberontak” dengan memasukkan anak-anaknya ke ELS. Saat itu, ELS tertutup untuk kaum pribumi. Kaum pribumi hanya boleh bersekolah di sekolah desa.

Perjuangan Maria memajukan kaum perempuan tidak sampai di situ saja. Pada 8 Juli 1917, Maria dan beberapa perempuan progresif lain mendirikan organisasi pendidikan perempuan bernama “Percintaan Ibu kepada Anak Temurunnya” (PIKAT).

Program yang akan dijalankan oleh PIKAT ada dua. Pertama adalah penerbitan suatu majalah yang berguna untuk menyebarkan ide-ide terkait kemajuan perempuan. Kedua, mendirikan sekolah khusus perempuan yang diberi nama “Huishoudschool PIKAT” guna melepaskan kaumnya dari belenggu sistem sosial.

Upaya itu berhasil, PIKAT mulai tersebar di berbagai wilayah, tak hanya Sulawesi, tetapi juga sampai ke Pulau Jawa. Sekolah PIKAT juga mengalami kemajuan dan membuka cabang di berbagai daerah. Pelajaran yang diberikan, antara lain, pelajaran mode, pelajaran pertolongan pertama kepada kecelakaan, pekerjan rumah, hingga bahasa Belanda.

Selain pendidikan, Maria juga memperjuangkan agar perempuan diberi suara dalam urusan pemerintahan dan diberi tempat di Dewan Kota. Pada Desember 1918, Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht/VVV) di Batavia, yang didirikan oleh perempuan Belanda di Hindia Belanda, mengirim surat kepada pengurus PIKAT untuk menanyakan dukungan perempuan Minahasa pada hak pilih perempuan. Maria yang saat itu menjabat Direktur PIKAT menjawabnya dengan tegas, yakni setuju.

Pada 1919, belasan anggota PIKAT berangkat ke Volksraad atau Dewan Rakyat di Batavia untuk meminta agar perempuan pribumi mendapatkan hak pilih dalam pemilihan anggota dewan rakyat. Perjuangan itu membuahkan hasil pada 1921. Pemerintah Belanda memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dalam pemilu meski belum bisa dipilih.

Aktivitas Maria dalam memperjuangkan kemajuan kaum perempuan terus berlanjt hingga ia tutup usia pada pada 22 April 1924 dalam usia 51 tahun. Maria dimakamkan di Maumbi, Sulawesi Utara.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Acara memperingati Hari Kelahiran Pahlawan Nasional Maria Walanda Maramis ke-104. Peringatan tersebut bertema Konsolidasi Mensukseskan Pemilu 1977.

7. Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan)

Nyai Ahmad Dahlan atau yang bernama asli Siti Walidah adalah tokoh pergerakan emansipasi perempuan pada era pergerakan nasional, awal abad ke-20.  Ia merupakan pendiri perkumpulan kaum perempuan Sopo Tresno, kemudian disahkan menjadi organisasi Aisyiyah, yang bertujuan mendukung kaum perempuan mendapatkan pendidikan seperti kaum laki-laki.

Siti Walidah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto berdasarkan Keputusan Presiden No. 42/TK/1971.

Siti Walidah lahir pada 3 Januari 1872 di Kauman, Yogyakarta. Ayahnya merupakan seorang ulama dan anggota dari Kesultanan Yogyakarta, bernama Kyai Haji Muhammad Fadli. Ibunya dikenal dengan nama Nyai Mas.

Sejak kecil, ia tumbuh di lingkungan keluarga yang religius. Ia menempuh pendidikan belajar di rumah dalam berbagai aspek Islam, termasuk bahasa Arab dan al-Qur’an. Sayang, tidak banyak sumber yang rinci menjelaskan tentang masa kecilnya. 

Pada 1889, Siti Walidah menikah dengan Muhammad Darwis atau yang lebih dikenal dengan nama K.H. Ahmad Dahlan. K.H. Ahmad Dahlan adalah putra K.H. Abubakar, Khatib Amin Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta.

Pada tahun 1912, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, organisasi pembaruan Islam pertama di Yogyakarta. Sejak itu, Siti Walidah pun mengikuti suaminya dalam perjalanan dakwah dan mengembangkan Muhammadiyah.

Sesekali, ia juga menggantikan peran suaminya, menyampaikan pengajian di pengajian kaum perempuan, forum Wal Ashiri, di beberapa kampung di Yogyakarta. Dari situ, ia mulai menaruh perhatian terhadap pendidikan kaum perempuan.

Menyadari bahwa dirinya memiliki kewajiban yang sangat besar dalam pendidikan untuk mengentaskan kaumnya dari belenggu kebodohan, pada tahun 1914, Siti Walidah mendirikan kelompok pengajian yang diberi nama “Sopo Tresno”, sebuah kelompok pengajian untuk perempuan yang didirikan Kauman, Yogyakarta.

Melalui pengajian tersebut, para perempuan belajar tentang agama, khususnya makna ayat-ayat tentang perempuan dalam Alquran. Selain itu, juga belajar membaca dan menulis serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Pada 1917, Sopo Tresno yang anggotanya terus bertambah diganti namanya menjadi “Aisyiyah”, diambil dari istri Nabi Muhammad, yang bernama Aisha. Merujuk artikel jurnal “Konsep Pendidikan Perempuan Siti Walidah”, melalui Aisyiyah ini Nyai Ahmad Dahlan mencoba memperkenalkan pemikirannya bahwa perempuan mempunyai hak yang sama untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Selain itu, ia juga menentang praktik kawin paksa.

Gerakan yang dilakukan Siti Walidah pun mendapat dukungan dari suaminya. Pada 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah secara organisasi.

Siti Walidah semakin giat dalam memperuangkan nasib kaum perempuan. Ia mendirikan banyak sekolah perempuan di bawah naungan Aisyiyah. Selain itu, ia juga membuat media Suara Aisyiyah sebagai sarana penyebaran nilai-nilai dan pemikiran dari anggota. 

Pada 1926, Siti Walidah memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Ia tercatat menjadi perempuan pertama yang memimpin konferensi semacam ini. Pengaruhnya dalam nuansa pergerakan nasional pun semakin besar.

Pada 1943, semasa pemerintahan militer Jepang, Aisyiyah kemudian dilarang. Demi tetap bisa mendidik perempuan dan anak-anak, Siti Walidah bekerja di sekolah-sekolah bentukan Jepang.

Siti Walidah meninggal pada 31 Mei 1946, dalam usia 74 tahun. Jasadnya dimakamkan di lingkungan Masjid Gede Kauman. Meski demikian, Aisyiyah tetap terus berkembang dan tetap eksis hingga hari ini.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Peserta Heroic Track melihat patung yang bercerita tentang perjuangan pemuda saat mengunjungi Museum 10 Nopember di Surabaya, Senin (3/11/2014). Kegiatan yang diselenggarakan Pemkot Surabaya dalam rangka menyambut Hari Pahlawan bertujuan agar pelajar selalu mengenang jasa pahlawan pada pertempuran mempertahankan kemerdekaan khususnya pertempuran 10 Nopember 1945.

8. Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang adalah merupakan seorang tokoh perempuan pejuang dari Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai salah satu pemimpin pasukan yang membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda dalam Perang Jawa (1825 – 1830).

Nyi Ageng Serang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 084/TK/1974 pada 13 Desember 1974.  Namanya juga digunakan untuk gedung Dinas Kebudayaan dan Permuseuman di Jakarta Selatan.

Nyi Ageng Serang yang bernama asli Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi lahir pada tahun 1752 di Desa Serang, Purwodadi, Jawa Tengah, dari keluarga ningrat Mataram yang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ia adalah putri Pangeran Natapraja, penguasa wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di Serang.

Nyi Ageng Serang dikenal sebagai perempuan yang kuat, tangguh, dan cerdas. Sejak muda, ia telah mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa XVIII-XIX, Nyi Ageng Serang telah masuk Korps Nyai di Keraton Yogyakarta ketika berumur 16 tahun.

Ketika Perang Jawa pecah pada 1825, Nyi Ageng Serang diminta oleh Pangeran Diponegoro untuk membantu perang melawan Belanda. Saat itu, usianya sudah lanjut, 73 tahun, namun ia menyetujui dan langsung menggabungkan diri bersama pasukan Diponegoro.

Nyi Ageng Serang memberikan kontribusi yang sangat besar dalam Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Ia memimpin pasukan yang bernama Semut Ireng. Tugasnya adalah bergerilya merebut bagian timur Jawa Tengah, seperti Serang, Purwodadi, Grobogan, Gundih, Jakenan, Juwana, Demak, Semarang hingga sekitar Yogyakarta.

Dari surat yang dikirimkan Kapten Buschkens, Komandan Sekolah Militer di Semarang, yang dikirimkan kepada atasannya, yaitu Mayor Jenderal Joseph Van Geen pada tanggal 3 September 1825. Dijelaskan bahwa Nyi Ageng Serang memimpin pasukan berkekuatan 500 orang di kawasan Serang-Demak pada bulan-bulan pertama perang.

Selama peperangan, Nyi Ageng Serang dikenal sebagai ahli strategi. Salah satu strategi yang paling terkenal adalah penggunaan lumbu atau daun keladi untuk menyamar dan menyerang musuh. Taktik kamuflase daun lumbu adalah taktik yang dilakukan dengan cara menyerang diam-diam dengan pasukan dalam jumlah kecil untuk membunuh para serdadu Belanda. Setalah itu, mereka berlari ke ladang atau semak atau hutan menggunakan daun lumbu yang mereka bawa untuk bersembunyi.

Strategi perang gerilya dengan kamuflase ini sangat menyulitkan pihak musuh sebab sulit terdeteksi. Berkat strategi perang tersebut, pasukannya selalu berhasil memporak-porandakan pasukan Belanda di daerah Purwodadi, Semarang, Demak, Kudus, Yowono, hingga Rembang.

Pangeran Diponegoro pun mengakui Nyi Ageng Serang sebagai seorang ahli strategi dan kemiliteran sehingga dipercaya sebagai penasehat umum dalam Perang Jawa. Ia sangat dihormati pasukan Diponegoro karena keahliannya, juga karena dianggap memiliki kesaktian yang berasal dari senjata cundrik dan selendang pusaka yang diwariskan oleh Kanjeng Ratu Ageng, permaisuri Sultan Hamengku Buwono I, yang selalu dibawa dalam berperang.

Namun, pada tahun 1827, karena keadaan tubuhnya yang kurang baik dan telah lanjut usia, Nyi Ageng Serang tidak lagi ikut membawa senjata bersama pasukannya. Ia kemudian meninggal pada tahun 1828 di Desa Karangjati, Bergas, Semarang, akibat sakit yang dideritanya.

9. H. R. Rasuna Said

Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah pahlawan yang banyak berjuang menyuarakan hak-hak perempuan. Ia juga dikenal sebagai aktivis pergerakan dan cukup terpandang di kalangan masyarakat Minang.

H.R. Rasuna Said ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 084/TK/Tahun 1974 pada 13 Desember 1974. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada tanggal 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya, Haji Muhammad Said atau yang kerap disapa Haji Said merupakan saudagar Minagkabau dan saat masih muda merupakan seorang aktivis pergerakan di Sumatera Barat.

Rasuna Said mendapatkan pendidikan dasar di sebuah sekolah agama di kampungnya. Setelah tamat, melanjutkan pendidikan di Pesantren Ar-Rasyidiyah yang dipimpin oleh Syekh Abdul Rasyid. Pada masa itu, pendidikan di pesantren mayoritas dipenuhi oleh anak laki-laki sehingga ia menjadi santri perempuan satu-satunya.

Sejak muda, Rasuna Said sudah tertarik dengan memiliki minat dan pengetahuan yang tinggi akan dunia politik. Perjuangan politiknya dimulai ketika ia bergabung Sarekat Rakyat pada 1926, pada usia 16 tahun, dan duduk sebagai sekretaris cabang Sumatera Barat. Sarekat Rakyat pada waktu itu memang banyak menarik minat kalangan muda Minang. Tokoh sentral organisasi ini adalah Tan Malaka.

Kemudian Rasuna Said juga bergabung dalam Soematra Thawalib dan mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada 1930. PERMI didirikan untuk tujuan sosial dan edukasi. Bersama PERMI, ia ikut merintis pendirian sekolah-sekolah Thawalib dan mengajar di sekolah tersebut, serta memimpin Kursus Putri serta Kursus Normal di Bukittinggi.

Pada 1932, PERMI resmi menjadi partai politik yang berlandaskan Islam dan kebangsaan. Di dalam PERMI, Rasuna Said menjadi sosok yang sangat menonjol, bertugas di bagian seksi propaganda. Ia memberikan kursus pelajaran berpidato dan berdebat sebagai latihan ketajaman pikiran bagi kader-kader PERMI. Selain itu, ia juga kerap berpidato di muka umum menyampaikan orasi yang isinya mengecam pemerintah kolonial.

Akibat pidatonya yang keras mengecam pemerintah kolonial membuatnya sempat ditangkap dan dipenjara pada 1932. Dia menjadi perempuan pertama Indonesia yang terkena hukum Speek Delict, hukum kolonial Belanda yang menyatakan seseorang bisa dihukum karena berbicara menentang Belanda.

Setelah peristiwa itu, pemerintah Hindia Belanda selanjutnya mengadakan kontrol yang sangat ketat terhadap segala macam bentuk penerbitan, pidato, dan khotbah di masjid-masjid, lalu pengawasan terhadap aktivis-aktivis PERMI.

Pada 1935, selepas dari penjara, Rasuna Said pindah ke Medan karena setelah peristiwa itu pemerintah Hindia Belanda mengadakan kontrol yang sangat ketat terhadap aktivis dan segala macam bentuk aktivitas PERMI.

Di Medan, ia menuangkan bakat jurnalistiknya dengan menerbitkan sekaligus sebagai pimpinan redaksi sebuah majalah bernama Menara Poeteri. Di majalah inilah ia banyak menuliskan gagasannya seputar pentingnya peran perempuan, kesetaraan dengan pria, dan keislaman. Kemudian juga mendirikan sebuah sekolah putri di Medan pada 1937.

Pada masa pemerintahan militer Jepang (1942 – 1945), Rasuna Said ikut serta mendirikan organisasi pemuda Nippon Raya di Padang untuk membentuk kader-kader perjuangan.
Namun, organisasi ini akhirnya dibubarkan pemerintah Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Ia kemudian duduk di kursi Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat.

Setelah itu, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), juga aktif dalam organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) sebagai pimpinan cabang Jakarta. Jabatan politik terakhir yang diembannya adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Rasuna Said wafat pada 2 November 1965 di Jakarta pada usia 55 tahum akibat sakit kanker payudara. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

10. Fatimah Siti Hartinah Soeharto

Fatimah Siti Hartinah Soeharto yang lebih dikenal dengan nama Tien Soeharto merupakan istri Presiden Indonesia kedua, Jenderal Purnawirawan Soeharto.

Fatimah Siti Hartinah Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 30 Juli 1996 melalui Keputusan Presiden No. 060/TK/TH tahun 1996.

Siti Hartinah lahir di Desa Jaten, Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 23 Agustus 1923. Ia merupakan anak kedua dari 10 bersaudara pasangan KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo.

Semasa kecil, Siti Hartinah hidup berpindah-pindah mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke berbagai daerah. Ia menempuh pendidikan sekolah dasar yang disebut sekolah Ongko Loro di Matesih dan kemudian melanjutkan ke Holland Indlanche School (HIS) di Solo dan Wonogiri. Ia pun sempat bercita-cita ingin menjadi dokter dan melanjutkan pendidikannya, namun tidak tercapai.

Pada masa pendudukan militer Jepang, Siti Hartinah memasuki gerakan kepanduan dan kemudian bergabung dengan organisasi wanita Fujinkai. Dalam organisasi itu dilatih baris-berbaris, latihan kepemimpinan, dan lain-lain.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, Siti Hartinah bergabung menjadi anggota Laskar Puteri Indonesia. LPI bertujuan untuk membentuk pasukan bantuan untuk melayani kepentingan pasukan di garis depan dan garis belakang demi suksesnya perjuangan, seperti menyelenggarakan dapur-dapur umum, membatu tugas-tugas kesehatan PMI, mencari peralatan dan makanan untuk kesatuan yang membutuhkan. Selama menjadi anggota LPI ini, Siti Hartinah bertugas mengendalikan urusan perlengkapan atau logistik.

Pada 26 Desember 1947, Siti Hartinah dengan Soeharto menikah di Surakarta, Jawa Tengah. Mereka dikaruniai enam orang anak, mereka adalah Siti Hardiyanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsi.

Pada 12 Maret 1967, Soeharto terpilih menjadi presiden menggantikan Presiden Soekarno secara aklamasi melalui sidang MPRS. Tugas selanjutnya Siti Hartinah adalah sebagai Ibu Negara. Ia kemudian akrab disapa dengan nama Ibu Tien Soeharto.

Ketika menjadi Ibu Negara inilah titik penting kiprahnya. Menurut beberapa sumber, tindakan dan pemikiran yang dikeluarkan Soeharto saat menjabat sebagai presiden, sedikit banyak dipengaruhi Ibu Tien. Bahkan, ia pun dianggap sebagai penopang kepemimpinan Presiden Soeharto.

Selama mejadi Ibu Negara, ada beberapa hal penting yang dilakukan oleh Ibu Tien. Ia terlibat menjadi penggerak Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dan Dharma Wanita, serta banyak terlibat dalam agenda pemberdayaan perempuan. Salah satu pemikirannya yang paling penting adalah menentang poligami. 

Ibu Tien melihat bahwa poligami seringkali menimbulkan ketidakadilan dalam perkawinan. Oleh sebab itu, ia mendesak terwujudnya regulasi yang bisa mengatur dan melarang poligami, terutama di kalangan PNS.

Upaya itu akhirnya berbuah kebijakan antipoligami. Pada 21 April 1983, keluar Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang izin pernikahan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil. Dalam peraturan tersebut, PNS yang akan menikah atau bercerai harus meminta izin dulu kepada atasan. Peraturan dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 kemudian disempurnakan dalam PP Nomor 45 Tahun 1990. Dalam peraturan yang baru ini, PNS yang berpoligami dapat dikenakan sanksi hukuman disiplin berat.

Selain mengupayakan pemberdayaan perempuan, Ibu Tien juga memiliki ketertarikan terhadap pendidikan dan kebudayaan. Hal itu terlihat dari gagasannya mengenai pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972.

Proyek taman miniatur Indonesia tersebut dicetuskannya dengan tujuan sebagai sarana pendidikan dan pengenalan keanekaragaman budaya di Indonesia. Di TMII, gambaran keragaman budaya tersebut diwujudkan melalui Anjungan Daerah, yang mewakili suku-suku bangsa yang berada di 33 Provinsi Indonesia. Proyek ini kemudian dibuka secara resmi pada 20 April 1975 oleh Presiden Soeharto. 

Selain TMII, pembangunan lain yang juga diprakarsai oleh Ibu Tien Soeharto adalah Museum Tekstil pada 28 Juni 1976. 

Pada 28 April 1996, Tien meninggal dunia akibat penyakit jantung yang dideritanya. Ia dimakamkan di Astana Giri Bangun, Jawa Tengah, pada 29 April 1996.

KOMPAS/JB SURATNO

Presiden Soeharto yang duduk bersebelahan dengan Ibu Tien tampak berbincang dengan kondektur saat dalam perjalanan uji coba KRL jenis baja antikarat dari stasiun Manggarai ke Tanah Abang pergi-pulang (5/7/1986).

11. Fatmawati Soekarno

Fatmawati Soekarno adalah perempuan yang menjahit bendera pusaka Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945, sekaligus merupakan ibu negara pertama.

Fatmawati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 4 November 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid melalui Keputusan Presiden No. 118/TK/2000. Namanya juga diabadikan menjadi nama salah satu rumah sakit umum di Jakarta Selatan.

Fatmawati dilahirkan di Bengkulu, Sumatera Selatan, pada tanggal 5 Februari 1923. Ia adalah anak pertama dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah. Ayahnya adalah seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu, sedangkan sang ibu merupakan keturunan Putri Indrapura, seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Sumatra Barat.

Oleh orang tuanya, Fatmawati sempat disekolahkan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Jalan Peramuan. Namun, kemudian ia dipindahkan ke HIS Muhammadiyah Bukit Kecil. Sayang, karena kondisi ekonomi keluarga makin memburuk Fatmawati tidak melanjutkan lagi pendidikannya.

Pada 1938, Fatmawati bertemu Soekarno untuk pertama kali. Ketika itu, Fatmawati diajak oleh ayahnya, Hassan Din, untuk bertemu dengan Soekarno yang tengah diasingkan ke Bengkulu. Soekarno diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Bengkulu setelah dipindahkan dari Ende, Flores.

Sejak itu, Hasan Din menitipkan Fatmawati kepada Soekarno untuk mendapatkan bimbingan dan pengajaran. Pada 1938, Fatmawati sudah tinggal dengan keluarga Soekarno di Bengkulu. Ia kemudian semakin akrab dengan keluarga barunya tersebut, terutama dengan Soekarno yang dianggap sebagai seorang guru. Dari keakraban ini tumbuh perasaan antara Soekarno dan Fatmawati.

Pada 1943, Soekarno bercerai dengan Inggit Garnasih. Tak lama kemudian, Soekarno melamar dan menikahi Fatmawati. Mereka dikaruniai lima orang anak, yakni Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Sepanjang menjadi istri, Fatmawati selalu mendukung Soekarno dalam perjuangan meraih kemerdakaan Indonesia. Dari situ, ia pun turut terlibat dalam perjuangan dengan membantu menyediakan pasokan makanan dan mendukung para gerilyawan serta keluarga yang ditinggalkan.

Ketika kondisi Jepang semakin terdesak oleh Sekutu, Jepang menjanjikan akan memerdekakan Indonesia. Mendengar kabar itu, Fatmawati pun berpikir bahwa perlu adanya bendera Merah Putih untuk dikibarkan sebagai salah satu simbol kemerdekaan.

Tanpa pikir panjang, Fatmawati segera mencari bahan dan menjahit bendera Merah Putih. Padahal, saat itu ia sedang hamil besar. Namun, ia tetap memaksakan diri menjahit bendera tersebut untuk dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan.

Tak hanya menjahit bendera Merah Putih. Ia juga menjadi saksi rangkaian proses proklamasi kemerdekan, mulai dari Rengasdengklok, penyusunan naskah proklamasi, pembacaan teks proklamasi, hingga pengibaran Sang Saka Merah Putih.

Ketika Indonesia telah berhasil memproklamasi kemerdekaan, Fatmawati tak lantas hidup tenang dalam kenyamanan sebagai istri seorang presiden. Ketika Belanda melakukan agresi militer, ia dan keluarganya berkali-kali mengungsi untuk berlindung dari serangan Belanda.

Fatmawati meninggal mendadak pada 1980 karena serangan jantung saat transit di Kuala Lumpur, Malaysia, dalam perjalanan kembali ke Indonesia dari ibadah umrah. Ia kemudian dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

IPPHOS

Upacara penaikan bendera sang merah putih di halaman Gedung Pegangsaan Timur 56 (Gedung Proklamasi). Tampak antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Letkol Latief Hendraningrat (menaikkan bendera) Ny. Fatmawati Sukarno dan Ny.S.K Trimurti.

12. Opu Daeng Risadju

Opu Daeng Risadju adalah seorang pahlawan perempuan asal Sulawesi Selatan. Ia menjadi tokoh penting dalam pergerakan nasional Persatuan Islam, khususnya di Luwu. Organisasi pergerakan ini tidak hanya menjadi wadah pendidikan politik yang menjadikan Islam sebagai faktor perekat nasional dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda tetapi juga pelopor pergerakan nasional dan kemerdekaan Indonesia

Opu Daeng Risadju ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 85/TK/2006 pada tanggal 3 November 2006. Namanya pun diabadikan menjadi nama jalan di Kota Palopo, Sulawesi Selatan.

Opu Daeng Risaju atau yang bernama asli Famajjah lahir pada tahun 1880 di Palopo, Sulawesi Selatan, dari pasangan Muhammad Abdulah To Bareseng dan Opu Daeng Mawellu. Ibunya yang bernama Opu Daeng Mawellu merupakan cicit Raja Bone XXII. Dari silsilah tersebut, ia adalah seorang keturunan bangsawan di Sulawesi Selatan.

Merujuk buku Tokoh Inpiratif Bangsa, semasa kecilnya Opu Daeng Risaju tidak pernah mengikuti pendidikan secara formal di sekolah. Namun, ia banyak mendapatkan pendidikan agama dan tradisi adat Luwu dari orang tuanya. Ia mampu menyelesaikan 30 juz Alquran saat kanak-kanak. Selain itu, dirinya juga mempelajari fiqih dari buku yang ditulis oleh salah satu tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan, Khatib Sulaweman Datung Patimang.

Setelah beranjak dewasa, Opu Daeng Risaju dinikahkan dengan seorang ulama dari Bone, yakni H. Muhammad Daud, yang pernah bermukim di Mekkah dan merupakan anak dari teman dagang ayahnya. H. Muhammad Daud kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. Sejak saat itu, nama Famajjah bertambah gelar menjadi Opu Daeng Risadju.

Pada 1905, Belanda berhasil menguasai Kerajaan Luwu, sehingga Opu Daeng Risaju dan suaminya harus meninggalkan Kota Palopo dan memilih menetap di Pare-Pare. Di sinilah ia kemudian memulai aktivitas politik, dengan bergabung sebagai anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Selama aktif di PSII cabang Pare-Pare, Opu Daeng Risaju mulai banyak berkenalan dengan aktivis-aktivis pergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang membuatnya semakin intensif dalam kegiatan politik.

Pada 1930, Opu Daeng Risaju kembali ke Palopo. Tak lama, ia kemudian mendirikan PSII cabang Palopo pada dan ditunjuk menjadi ketua. Ia pun tercatat menjadi perempuan pertama yang menjadi pimpinan partai politik yang berasaskan Islam.

Di bawah kepemimpinan Opu Daeng Risaju, PSII Palopo berkembang pesat. Dalam waktu singkat sudah berdiri perwakilan di beberapa distrik, yakni di Bajo, Belopa, Suli, Malangke, dan Malili. Berita ini pun membuat risau pemerintah kolonial Belanda yang menganggapnya sebagai ancaman politik.

Oleh pemerintah Belanda, Opu Daeng Risaju dianggap sebagai penghasut yang menyebarkan kebencian di kalangan rakyat untuk membangkang terhadap pemerintah kolonial Belanda. Ia mendapat tekanan dari pemerintah Belanda dan sempat ditahan selama 12 bulan pada tahun 1930.

Namun, penangkapan tersebut nyatanya tak membuat Opu Daeng Risaju mengendurkan perlawanannya. Pada 1933, ia menghadiri Kongres PSII di Batavia, kemudian mengunjungi beberapa kota di Jawa bertemu sejumlah tokoh nasional untuk menambah pengalaman dan pengetahuan untuk kemudian dibawa ke daerahnya.

Akibat kegiatannya tersebut, ia mendapat reaksi keras dari dari anggota dewan adat yang pro-Belanda. Ia diseret ke meja pengadilan adat dengan tuduhan melanggar adat dan dijatuhi hukuman tahanan selama 14 bulan.

Pada masa perang revolusi kemerdekaan, Opu Daeng Risaju banyak melakukan memobilisasi para pemuda untuk berjuang melawan Netherlands-Indies Civil Administratio (NICA) yang berusaha mengambil alih kekuasaan pemerintah Indonesia. Pada 1946, ia bersama para pemuda melakukan serangan terhadap tentara NICA di Sulawesi Selatan.

NICA pun kemudian melakukan pengejaran terhadap Opu Daeng Risaju. Akhirnya, NICA berhasil menangkap Opu Daeng Risaju di Lantoro dan memaksanya berjalan sejauh 40 kilo meter ke Watampone untuk diadili. Ia ditahan sebulan lalu dipindahkan ke Sengkang, kemudian dikembalikan ke penjara Bajo di Bone. Selama penahanan ini, Opu Daeng Risaju mendapat berbagai macam penyiksaan hingga membuatnya tuli.

Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949, Opu Daeng Risaju dibebaskan dan pindah ke Pare-Pare. Ia meninggal di usia 84 pada 10 Februari 1964 di Palopo dan dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo. 

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pemain Operet Merdeka Atau Mati bernyanyi bersama spentas dalam rangka peringatan Hari Pahlawan di Balaikota Surabaya, Surabaya, Jumat (10/11/2017). Operet tersebut mengisahkan pertempuran arek-arek suroboyo dan relawan dari seantero nusantara dalam mempertahankan kemerdekaan.

13. Laksamana Malahayati

Laksamana Malahayati merupakan salah satu perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ia banyak dikenal sebagai laksamana laut perempuan pertama di dunia. Juga karena keberhasilannya memimpin prajurit perempuan di Kesultanan Aceh dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda pada abad ke-16.

Laksamana Malahayati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 2017 melalui Keputusan Presiden No. 115 tahun 2017. Pada 2021, namanya diabadikan menjadi nama salah satu jalan di Jakarta melalui Keputusan Gubernur Nomor 1214 Tahun 2021 tentang Penetapan Nama Jalan Laksamana Malahayati menggantikan Nama Jalan Inspeksi Kalimalang Sisi Sebelah Utara.

Laksamana Malahayati memiliki nama asli Keumalahayati. Ia lahir di Aceh Besar pada 1550. Ayah dan kakek merupakan laksamana angkatan laut Kesultanan Aceh.

Dari latar belakang itu, sejak kecil Keumalahayati ingin menjadi seorang pelaut atau laksamana yang tangguh dan gagah berani seperti ayah dan kakeknya. Ia menempuh pendidikan militer di Ma’had Baitul Maqdis yang terletak di Kutaraja. Di akademi inilah kemampuan militer Keumalahayati terasah, dan bertemu suaminya, Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief.

Kemampuan Keumalahayati diuji ketika pecah perang di Teluk Haru sekitar Selat Malaka antara Kesultanan Aceh dan Portugis pada 1586. Pertempuran yang dikomandoi oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil (1589 – 1604) dengan didukung dua laksamana, termasuk Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, suami Keumalahayati, berlangsung sengit. Meski pasukan Aceh berhasil memenangkan peperangan, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief harus gugur dalam pertempuran tersebut.

Kematian Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief membuat Keumalahayati terpukul. Ia menyimpan dendam dan menuntut balas atas kematian suaminya tersebut. Dengan semangat berkobar ia pun melanjutkan perjuangan.

Demi mencapai tujuannya, Keumalahayati meminta kepada Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil untuk membuat pasukan perangnya sendiri. Pasukan tersebut terdiri dari ribuan perempuan yang menjadi janda karena suami mereka pun gugur pada perang di Teluk Haru dan diberi nama Inong Balee, artinya adalah perempuan janda. Berbekal ilmu militer yang didapat ketika menimba ilmu di Mahad Baitul Maqdis, ia melatih para janda tersebut menjadi pasukan tempur yang tangguh.

Sejak itu, Keumalahayati bersama pasukan Inong Balee sering terlibat dalam pertempuran, baik melawan Belanda maupun Portugis. Kemampuan Inong Balee pun teruji dan menjadi pasukan yang disegani. Karenanya, mereka diserahi misi khusus, yakni mengamankan jalur laut perdagangan kesultanan serta mengawasi pelabuhan-pelabuhan di samudra Aceh kala itu.

Keumalahayati dan pasukan Inong Balee semakin tersohor ketika mereka berhasil mengalahkan pasukan Belanda pimpinan Cornelis de Houtman yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah dan merebut kekuasaan dari Kesultanan Aceh pada 1599. Cornelis de Hotman pun tewas terbunuh di tangan Keumalahayati dalam pertarungan satu lawan satu di atas geladak kapal.

Perjuangan Laksamana Malahayati melawan penjajah harus terhenti sekitar tahun 1606. Ia gugur saat bertempur melawan pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Jasad Laksamana Malahayati kemudian dimakamkan di Desa Lamreh, Kecamatan Majid Raya, Kabupaten Aceh Besar.

KOMPAS/PURNAMA KUSUMANINGRAT

Makam pahlawan Laksamana Malahayati di Lhokseumawe, pada awal April 1976.

14. Agung Hajjah Andi Depu

Agung Hajjah Andi Depu adalah pejuang perempuan asal Sulawesi Barat. Ia dikenal gigih menentang kekuasaan Belanda yang akan kembali setelah kemerdekaan Indonesia, khususnya di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Andi Depu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 8 November 2018 berdasarkan Keputusan Presiden No. 123/TK/Tahun 2018. 

Andi Depu atau yang memiliki nama asli Sugiranna Andi Sura lahir di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, pada Agustus 1908. Ia berasal dari keturunan bangsawan tinggi Mandar. Ayahnya merupakan Raja Balanipa ke-50, La’ju Kanna Idoro, sedangkan ibunya bernama Samaturu.

Merujuk Miftahul Jannah dalam artikel “Andi Depu and Women’s Leadership in the Colonial Era: A Study of Feminism”, semasa kecil, Andi Depu dikenal memiliki karakter seperti laki-laki. Ia memiliki hobi memanjat pohon, menunggang kuda, membuat mainan dan aksesoris, serta terbiasa manette atau menenun sarung sutra yang disebut Lipasa’be Mandar.

Andi Depu hanya menyelesaikan pendidikan formalnya pada tingkat volkschool atau sekolah rakyat. Namun, hal ini justru dimanfaatkannya untuk bergaul bersama rakyat dan memperdalam agamanya. Interaksi dengan berbagai lapisan masyarakat membuatnya bisa mengenal kehidupan masyarakat di luar istana.

Pada 1923, saat berumur 15 tahun, ia dinikahkan dengan seorang yang bernama Andi Baso Pawiseang, anak dari Pammase atau Pallabuang, keturunan Arajang Balanipa ke-46. Keduanya dikaruniai satu anak bernama Bau Parenrengi Depu.

Pada 1927, ayah Andi Depu menunaikan ibadah haji. Namun, ternyata ayahnya meninggal dunia ketika berada di Jeddah. Untuk sementara, kedudukan ayahnya dilanjutkan oleh suami Andi Depu. Namun, Dewan Adat kemudian secara resmi menetapkan Andi Depu menjadi Arajang Balanipa.

Pada 1942, tentara Jepang masuk ke wilayah Mandar. Keadaan politik masyarakat berubah drastis. Awalnya Jepang masuk dengan menampakan kebaikan, namun kemudian berbagai aturan pelarangan dikeluarkan oleh tentara Jepang. Hal ini kemudian membuat Andi Depu memulai perjuangan untuk mengusir Jepang.

Pada 1943, ia mempelopori berdirinya Fujinkai di daerah Mandar. Fujinkai adalah organisasi perempuan di bawah pendudukan Jepang. Melalui organisasi ini, Andi Depu mengambil kesempatan untuk merangkul kaum perempuan agar tidak mudah dipengaruhi Jepang.

Pada 1945, saat Jepang mulai terdesak oleh Sekutu dalam perang, Andi Depu turut terlibat dalam berdirinya organisasi kelaskaran di Balanipa yang disebut Islam Mudah yang kemudian berganti nama menjadi Kris Muda (Kebangkitan Rahasia Islam Muda). Ketika Indonesia dinyatakan merdeka, Andi Depu bersama rekan-rekannya turut menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh pelosok Mandar dan sekitarnya.

Namun, tak lama pasca-proklamasi, Belanda kembali datang membonceng sekutu untuk merebut kedaulatan. Andi Depu pun lekas menyusun kekuatan bersama rakyat dan menggunakan Istana Balanipa sebagai markasnya. Rangkaian pertempuran dan penghadangan dilakukan terhadap pasukan Belanda (NICA).

Merujuk Abd. Rahman Hamid dalam artikel jurnal “Nasionalisme Dalam Teror di Mandar Tahun 1974”, daerah perjuangan Kris Muda mencakup seluruh Mandar, yang dibagi atas tiga divisi, yaitu Divisi I (Balanipa, Binuang, dan Pitu Uluna Salu), Divisi III (Majene, Pembuang, Tjenrana, Tapalang, dan Mamuju), dan Divisi V (khusus wanita di seluruh daerah dan luar Mandar). Dua divisi beroperasi di luar Mandar, yaitu Divisi II (Makassar, Pulau-Pulau Makasar, Maros, Pangkajene, Mandalle, Bonthain, Balangnipa, Sinjai, dan Tanete) dan Divisi IV (Bone, Pare-pare, Takkalasi, Barru, Soppengriaja, Rappang, dan Enrekang)

Pergerakan Andi Depu dan para pejuang Republik di Mandar sangat meresahkan Belanda. Untuk memberantas aksi para pejuang, NICA melakukan penangkapan terhadap pimpinan pejuang. Pada bulan Oktober 1946, Andi Depu ditangkap. Ia ditahan di Majene. Kemudian dipindahkah dari Majene ke Parepare, kemudian Rappang, Polewali, Pinrang, Bantaeng, dan Jeneponto sampai Makassar.

Perjuangan rakyat Mandar tidak berhenti. Kepemimpinan Andi Depu digantikan oleh puteranya, Andi Parenrengi. Laskar Kris Muda terus melancarkan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Pasca-penyerahan kedaulatan pada 1949, Andi Depu dibebaskan. Ia pun kembali ke Mandar untuk memimpin bekas wilayah Kerajaan Balanipa sampai tahun 1956, sebelum mengundurkan diri karena kondisi kesehatannya. 

Andi Depu meninggal dunia pada 18 Juni 1985 dalam usia 78 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar, Sulawesi Selatan.

KOMPAS/NINA SUSILO

Presiden Joko Widodo memberi selamat kepada Anies Baswedan yang juga Gubernur DKI setelah penetapan Abdurrahman Baswedan, kakek Anies, sebagai pahlawan nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (8/11/2018). Dalam acara pemberian gelar tersebut, AR Baswedan diwakili putra bungsunya dr Samhari Baswedan (paling kiri). Selain AR Baswedan dari DI Yogyakarta, pemerintah juga menetapkan Agung Hajjah Andi Depu dari Sulawesi Barat, Depati Amir dari Bangka Belitung, Kasman Singodimedjo dari Jawa Tengah, Pangeran Mohammad Noor dari Kalimantan Selatan, dan Brigjen KH Syam’un dari Banten sebagai pahlawan nasional.

15. Rohana Kudus

Rohana Kudus merupakan jurnalis perempuan pertama di Indonesia asal Sumatera Barat. Ia dikenal gigih memperjuangkan nasib kaum perempuan pada masanya, mendirikan surat kabar Soenting Melajoe untuk mewadahi pemikiran perempuan serta mendirikan sekolah puteri untuk mengajari keterampilan.

Rohana Kudus ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah pada tahun 2019 berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Sosial Nomor 555/3/PB/.05.01/11/2019 tanggal 7 November 2019.

Rohana Kudus yang memiliki nama asli Siti Rohana dilahirkan di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 20 Desember 1884. Ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan, seorang Kepala Jakasa di masa Hindia Belanda, dan ibunya bernama Kiam.

Rohana Kudus hidup dalam masyarakat Minangkabau yang sangat ketat terhadap adat dan tradisi. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal semasa kecil. Namun, dari sang ayah, ia diajarkan baca dan tulis. Ayahnya pun sering membawakan Rohana buku, surat kabar dan majalah sepulang bekerja. Berkat membaca, ia memiliki pengetahuan yang luas dan menguasai banyak bahasa asing, mulai dari bahasa Belanda, Arab, Latin, dan Arab Melayu.

Dari kebiasaan membaca itu pula kesadarannya terkait nasib kaum perempuan tumbuh dan mulai kritis terhadap kondisi perempuan di Koto Gadang. Ia melihat kaum perempuan tidak bisa berkembang di lingkungan sosial yang terlalu dibatasi. Ruang gerak perempuan yang terbatas membuat perempuan kesusahan.

Kesadaran tersebut memantik semangat Rohana Kudus untuk berjuang memajukan kaum perempuan. Bahkan, setelah menikah pada 1908 dengan Abdoel Kudus, seorang notaris, penulis, dan aktivis pergerakan, semakin bersemangat Rohana mendidik kaum perempuan Koto Gadang. Namun, maksud baik ini ditanggapi keliru. Beberapa kalangan menentang karena dianggap merusak budi pekerti perempuan Koto Gadang sehingga Rohana dan suaminya terpaksa meninggalkan Koto Gadang merantau ke Padang Panjang dan Maninjau.

Pada 1911, Rohana Kudus kembali ke Koto Gadang. Ia kemudian bersama-sama dengan 60 orang perempuan termasuk istri para tokoh adat dan agama Koto Gadang menggagas pembentukan Perkumpulan Karadjinan Amai Satia di Koto Gadang.

Merujuk tulisan Soraya Oktarina dan Heru Permana Putera “Rohana Kuddus: Gender dan Gerakan Sosial-Politik”, Perkumpulan Karadjinan Amai Satia pada awalnya hanyalah sebagai tempat berkumpul dan bertemu perempuan-perempuan Koto Gadang. Kemudian, Rohanna mengarahkan Karadjinan Amai Satia tersebut menjadi sebuah lembaga pendidikan bagi perempuan.

Adapun mata pelajaran yang diberikan berupa membaca, menulis huruf Arab, Arab Melayu, dan huruf Latin tingkat dasar. Pelajaran lainnya, yakni berhitung, pendidikan rohani dan akhlak menurut ajaran Islam, adat istiadat, kepandaian mengurus rumah tangga, memasak, tata cara mengasuh anak yang baik, menyulam, menganyam, menjahit, menenun dan keterampilan lainnya yang sangat dibutuhkan perempuan saat itu.

Setahun kemudian, pada 10 Juli 1912, Rohana Kudus mendirikan surat kabar Soenting Melajoe setelah sebelumnya banyak menulis Oetoesan Melajoe dan sejumlah surat kabar lainnya. Soenting Melajoe beredar luas ke seluruh daerah terutama di wilayah Sumatera Barat. Susunan redaksi mulai dari pemimpin redaksi, redaktur, dan penulis semuanya perempuan.

Soenting Melajoe hadir dengan tulisan-tulisan edukasi berkeadilan gender dan menjadi wadah penulis perempuan untuk menuangkan gagasan. Tulisan-tulisannya pada dasarnya ditujukan untuk menggerakan hati dan pemikiran perempuan. Melalui salah satu tulisannya, Rohana Kudus pun menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan bisa maju bersama. Ia banyak menulis yang berisi ajakan kepada kaum perempuan agar tidak boleh menyerah, harus memiliki daya untuk maju, dan berjuang mendapatkan hidup yang lebih baik.

Pada 1921, Rohana Kudus pindah ke Medan dan menjadi redaktur surat kabar Perempoean Bergerak. Namun, tak lama ia memutuskan pindah kembali ke Koto Gadang dan mengajar di Sekolah Vereeniging Studiefonds Minangkabau (VSM). Ia juga menjadi koresponden tetap surat kabar Dagblad Radio yang terbit di Padang dan menulis untuk surat kabar Tjahaja Soematra mulai 1924.

Rohana Kudus diketahui meninggal dunia pada usia 87 tahun pada 17 Agustus 1972.

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku dan Jurnal
  • Hamid, Abd. Rahman. 2015. “Nasionalisme Dalam Teror di Mandar Tahun 1974”. Jurnal Rihlah Vol. III No. 1, 35-45.
  • Ajisman, dkk. 2017. Tokoh Inspiratif Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Zahrina, Cut. 2021. Cut Nyak Meutia (Kisah Perjuangan Perempuan Aceh). Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Aceh.
  • Agustiningsih, Ema Pratama. 2019. Pergerakan Perempuan di Minangkabau: Kiprah Rohana Kudus dalam Nasionalisme Tahun 1912-1972. Titian: Jurnal Ilmu Humaniora3(2), 260-275.
  • Sufyan, Fikrul Hanif. 2022. “Melumpuhkan Rasuna Said: Menuntut Indonesia Merdeka Tahun 1932”. Danadyaksa Historica2(1), 71-79.
  • Jannah, Miftahul. 2022. “Andi Depu and Women’s Leadership in the Colonial Era: A Study of Feminism”. Al-Maiyyah: Media Transformasi Gender Dalam Paradigma Sosial Keagamaan15(1), 16-29.
  • Ibrahim, Muchtaruddin. 1996. Cut Nyak Din. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Lasminah, Putu. 2007. Nyi Ageng Serang. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
  • Wiriaatmadja, Rochiati. 2009. Dewi Sartika. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
  • Oktarina, Soraya. 2021. “Rohana Kuddus: Gender Dan Gerakan Sosial-Politik”. Journal of Feminism and Gender Studies1(2), 59-74.
Internet

• “Raden Ajeng Kartini”, diakses dari kompaspedia.kompas.id
• “H. R. Rasuna Said”, diakses dari kepustakaan-kowani.perpusnas.go.id
• “Laksamana Malahayati Perempuan Pejuang yang berasal dari Kesultaan Aceh”, diakses dari budaya.jogjaprov.go.id
• “Malahayati, Laksamana Perempuan Pertama di Dunia”, diakses dari indonesia.go.id
• “Maria Walanda Maramis: Kartini dari Minahasa”, diakses dari kebudayaan.kemdikbud.go.id
• “Martha Christina Tiahahu, Srikandi Belia dari Nusa Laut”, diakses dari vredeburg.id
• “Siti Walidah: Biografi Singkat”, diakses dari aisyiyahstudies.org
• “Soeharto Masa Bakti 1966 – 1998”, diakses dari kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id
• “Soekarno Masa Bakti 1945 – 1966”, diakses dari kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id

Artikel terkait