Indonesia memiliki pejuang di bidang seni dan sastra. Kontribusi mereka sangat besar dalam membangun seni dan sastra Indonesia, hingga dikenal di mancanegara. Selain ikut menyuarakan perjuangan dalam karya-karyanya, mereka juga berperan dalam kemajuan seni dan sastra Indonesia. Mulai dari pameran dan pementasan seni yang dilakukan di dalam dan luar negeri, penerbitan dan penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing maupun sebaliknya. Adapula yang berkiprah menggaungkan kritik sastra, literasi sastra dan mendokumentasikannya. Warisan salah satu dari mereka adalah PDS HB Jassin, Jakarta, yang merupakan pusat dokumentasi sastra terlengkap di dunia.
Raden Saleh Syarif Bustaman (Mei 1811 – 23 April 1884)
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Kurator Jim Supangkat, di Jakarta, Selasa (3/2/2015), menjelaskan lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857) karya Raden Saleh (1811-1880) yang telah rampung direstorasi dan akan dipamerkan dengan tema “Aku Diponegoro” di Galeri Nasional, Jakarta. Selain sejumlah lukisan Raden Saleh, pameran juga menampilkan karya-karya perupa Indonesia yang menafsirkan sosok pahlawan nasional tersebut. Pameran dibuka untuk publik pada 6 Februari sampai 8 Maret 2015.
Pada tahun 1830, Raden Saleh berangkat ke Belanda bersama Inspektur Keuangan Tuan de Lange untuk belajar ilmu pasti, ilmu ukur tanah, dan ilmu pesawat disamping belajar melukis. Meski sempat menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif pemerintah Hindia Belanda. Pemikirannya itu dituangkannya ke dalam lukisan ‘Penangkapan Diponegoro’ yang sempat menghuni Museum Negeri Belanda. Pada tahun 1978, lukisan itu dikembalikan ke Indonesia dan kini tersimpan di Istana Negara, Jakarta. Setelah hampir seperempat abad melanglang buana di Eropa, tahun 1851 Raden Saleh kembali ke Tanah Air.
Raden Saleh merupakan pelopor seni lukis modern Indonesia, dengan aliran Romantisisme yang pertama yang menggunakan warna dalam lukisannya, dengan teknik lukisan yang realis naturalistik menjadi pendobrak tradisi seni lukis klasik tanah air yang telah berjalan berabad-abad lamanya. Inilah kepeloporan atau ketokohan seorang Raden Saleh, yang karyanya merupakan rintisan pembaruan seni lukis modern Indonesia. Selain menjadi pelukis, ia juga seorang ilmuwan Indonesia pertama dalam bidang Paleontologi dan pendiri Planten en Dierentuin (Tanaman dan Kebun Binatang) cikal bakal Kebun Binatang Ragunan.
Karya Raden Saleh berjumlah kurang lebih 230 lukisan, namun sebagian hilang dan terbakar pada pameran di Paris tahun 1931, sehingga yang bertahan sekitar 150 lukisan. Menurut catatan Pusat Dokumentasi Raden Saleh di Jakarta, jumlah total karya Raden Saleh yang asli dan bisa dibuktikan melalui dokumen adalah 149 buah. Dari jumlah itu, sebanyak 64 lukisan dan 28 gambar merupakan koleksi museum atau koleksi pribadi. Sebanyak 49 lukisan dan 2 gambar masih harus dicari, sedang 6 lukisan hancur atau rusak.
Penghargaan/Gelar:
- King’s Painter, Peintre de Sa Majeste le Roi de Pays Bas, Djurugambar dari Sri Paduka Kanjeng Raja Wollanda
- Gelar ‘Ridder van de Witte Valk’ dari Saxe-Weimar
- Gelar ‘Ridder der Kroonorde van Pruisen’ dari Prussia
- Gelar ‘Ridder der Orde van de Eikenkoon’ dari Luxemburg
- Gelar ‘Commandeur met de Ster der Franz Joseph Orde’ dari Austria
- Anugerah Seni sebagai ‘Perintis Seni Lukis di Indonesia’, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Anumerta) (1969)
- Sebuah kawah di planet Merkurius diberi nama Raden Saleh (2008)
- Bintang Mahaputera Adiprana dari Pemerintah Republik Indonesia (2011)
Affandi Koesoema (18 Mei 1907 – 23 Mei 1990)
KOMPAS/KARTONO RYADI
Tiga pelukis besar Indonesia, Affandi, R. Basoeki Abdullah RA, dan S. Sudjojono, Rabu (30 Oktober 1985) sore, melukis bersama pada satu kanvas di Pondok Putri Duyung, di tepi danau buatan di Pasar Seni Ancol. Acara ini juga merupakan serial rujuk dua pelukis besar Indonesia, S Sudjojono dengan R Basoeki Abdullah RA. Basoeki Abdullah, Ir Ciputra, dan Sudjojono sedang memperhatikan Affandi beraksi melukis.
Affandi adalah pelopor ekspresionisme baru di Indonesia. Energik dan humanisme menjadi ciri khas dalam goresan karyanya. Pelukis yang menemukan teknik ‘pelototan’, yaitu teknik tanpa memakai kuas, hanya dengan memelototkan cat dari tube, kemudian menggunakan tangan serta jarinya untuk melukis Teknik baru itu semakin menambah citarasa ekspresionismenya, meski menurut Affandi sendiri, alirannya adalah humanisme.
Pada zaman pendudukan Jepang, Affandi menggunakan karya seninya sebagai media kritik. Tahun 1944, Jepang memesan sebuah poster kepada pendatang baru yang sedang naik daun ini. Temanya untuk menggingatkan Keberangkatan Romusha. Tetapi, Affandi malah membuat patung yang menggambarkan penderita akibat Romusha dan “Tiga Orang Pengemis” sebagai gambaran kekejaman Jepang. Tahun 1946 lahir lukisan ‘Lasykar Rakyat Mengatur Siasat’ dan poster perjuangan ‘Boeng, Ajo Boeng’ yang merupakan kolaborasinya dengan Sudjojono dan Chairil Anwar yang menggambarkan situasi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1954 Affandi mendapat undangan untuk perpartisipasi dalam pameran Venice Biennale di Italia, itu pertama kalinya seniman Indonesia berpameran di pameran seni rupa bergengsi saat itu.
Selama masa hidupnya, Affandi menghasilkan hingga lebih dari dua ribu lukisan, yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Penghargaan:
- Doctor Honoris Causa dalam bidang kesenian dari Universitas Singapura (1974)
- Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld (1977)
- Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Republik Indonesia pada (1978)
S Sudjojono (14 Desember 1913 – 25 Maret 1986)
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Lukisan yang diperbesar hingga berukuran 8 x 12 meter persegi berjudul “Kawan-kawan Revolusi” menempel di sisi selatan kompleks Gedung Agung, Jalan KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Jumat (1/1/2010). Lukisan karya Sudjojono ini merupakan salah satu karya seni dalam Biennale Jogja X yang berakhir pada 10 Januari 2010.
KOMPAS/KARTONO RYADI
Pelukis yang dikenal sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern.
Bernama lengkap Sindusudarsono Sudjojono, ia lebih suka memakai nama S. Sudjojono dengan kode S.S. 101 untuk setiap karyanya. Pada tahun 1939, Sudjojono mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) bersama dengan Otto Jaya, Suromo dan Agus Djaya, sehingga tahun 1939 itu disebut sebagai tonggak awal sejarah seni lukis modern berciri Indonesia.
Semasa hidupnya, Sudjojono banyak menulis dan melahirkan gagasan tentang seni rupa Indonesia, dan Sudjojono-lah pelukis Indonesia pertama yang menulis kritik dan ulasan dalam bahasa Indonesia. Yang paling bersejarah adalah pertentangannya dengan gaya melukis Mooi-Indie yang artinya lukisan tentang Hindia Belanda yang indah, menurutnya melukis harus realistis dan bercorak Indonesia.
Di masa penjajahan, Sudjojono aktif mencetak dan menyebarkan poster-poster propaganda anti-Belanda dan anti-Jepang. Saat Indonesia merdeka, atas permintaan Bung Karno, Sudjojono bersama Affandi dan Chairil Anwar membuat poster terkenal ‘Boeng, Ajo Boeng’. Kemudian lahir pula lukisan yang mengabadikan perjuangan berjudul “Kawan-kawan Revolusi” (1947) dan “Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro” (1979).
Penghargaan:
- Anugerah Seni Rupa 1970
Basuki Abdullah (27 Januari 1915 – 5 November 1993)
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Lukisan berjudul “Pangeran Diponegoro Memimpin Perang ” karya Basuki Abdullah turut dipamerkan di Pameran Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenen Republik Indonesia, Goresan Juang Kemerdekaan di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis (4/8/2016).
KOMPAS/AGUS DERMAWAN T
Pelukis bergelar ‘Painter of Kings’ dengan aliran realis dan naturalis romantik.
Basuki Abdullah yang terkenal sebagai pelukis naturalis romantik, adalah anak dari Abdullah Suriosubroto, yang juga pelukis naturalis, dan ia adalah cucu Wahidin Sudirohusodo seorang tokoh pergerakan Boedi Oetomo. Setelah berkesempatan berpameran di Jaarbeurs atau Pameran Dagang Bandung, Basuki Abdullah bertolak ke Belanda dan bercita-cita menjadi pelukis yang lebih mumpuni.
Pada 6 September 1948 diadakan sayembara melukis saat penobatan Ratu Yuliana, Basuki Abdullah berhasil menjadi pemenang mengalahkan 87 pelukis Eropa di Amsterdam, Belanda. Sejak itu pula dunia mengenal Basuki Abdullah, putera Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia. Basuki banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan diluar negeri, diantaranya menetap di Thailand selama 15 tahun dan sempat menjadi pelukis Istana Muangthai (Thailand). Di masa Presiden Soekarno, Basuki Abdullah pernah menjadi pelukis Istana Merdeka.
Penghargaan:
- Sertifikat Royal International of Art di Den Haag, Belanda (1936)
- Bintang Emas Poporo dari Raja Bhumibol Abduljadej (Raja Thailand)
- Bintang Kehormatan dari Vietnam
Bagong Kussudiardja (9 Oktober 1928 - 15 Juni 2004)
KOMPAS/KARTONO RYADI
Art Summit Indonesia ’95 (disingkat ASI ’95) yang merupakan ajang pertemuan seni kontemporer di bidang musik dan tari yang berlangsung di Jakarta sejak 23 September 1995 di Graha Bhakti Budaya TIM. Di pengujung acara yang berlangsung selama 20 hari itu, tak ketinggalan tampil koreografer Indonesia Bagong Kussudiardja (Gedung Kesenian Jakarta, 10-11 Oktober 1995) dengan garapan Tari Semar dan Tari Lelakon. Salah satu adegan lelakon, sebuah tari, yang menurut Bagong, cermin hidup dalam kehidupan yang menyeluruh.
KOMPAS/MATHIAS HARIYADI
Koreografer, penari, pelukis, pematung dan aktor Indonesia
Lahir di kota Yogya, putera bangsawan ini mulai tahun 1946 berguru menari Jawa klasik kepada Pangeran Tedjakusumo dan Kuswadji. Gaya tari klasiknya ia padukan dengan pelajaran tari modern Martha Graham di Amerika Serikat, ketika sebuah beasiswa diperolehnya pada tahun 1957.
Tari Layang-layang ciptaan pertamanya menuai pro dan kontra pada tahun 1954, meski dianggap merusak aturan-aturan tari tradisional Jawa, ada juga yang memuji pembaruan koreografi tari tradisional yang selama ini dianggap monoton. Berbagai tanggapan atas tariannya itu justru memantik semangatnya untuk semakin berkreasi dan bereksperimen dalam mencipta tarian-tarian baru lainnya.
Pendiri Pusat Latihan Tari Bagong Kusudiardja pada tahun 1958 dan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja pada tahun 1978, memperlihatkan komitmen dan keinginannya untuk melestarikan kesenian lewat pendidikan dan latihan di Indonesia. Ia ingin ada Bagong-Bagong muda lainnya, yang melestarikan kebudayaan dan seni tradisi lewat pendidikan sistem padepokan. Sebuah sistem yang ia lukiskan sebagai gabungan pesantren Indonesia dan santiniketan India. Praktis dan kekeluargaan.
Bagong Kussudiardja adalah seorang seniman serba bisa yang sudah menciptakan sekitar 200 tarian, 20 fragmen, belasan ribu lukisan dan berbagai karya patung. Di bidang seni rupa, Bagong dikenal sebagai perintis seni lukis batik kontemporer dan sering menyelenggarakan pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Hampir seluruh dunia pernah disinggahi Bagong untuk pameran lukisan atau menggelar tari, yang membuahkan pengakuan dan berbagai penghargaan internasional. Hal ini sebagai bukti anak bangsa mampu berkiprah hingga ke mancanegara lewat karya seni budaya khas Indonesia.
Penghargaan:
- Penghargaan Seni BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) (1959)
- Medali Emas dari Sri Paus Paulus II atas karya lukisannya (1973)
- Satya Lencana Dwija Setia (1975)
- Medali Emas dari pemerintah Bangladesh dari karya lukisannya (1983)
- Art Award dan Hadian Seni Pemerintah Republik Indonesia (1985)
- Penghargaan ASEAN (1987)
- Anugerah Seni dari Pemda Provinsi DIY (1988)
- Memenangkan Bienalle Seni Lukis III (1992)
- Penghargaan dari ACAA (Asian Christian Art Association) (1992)
- Penghargaan Seni Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (1992)
Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 - 30 April 2006)
KOMPAS/JOHNNY TG
Dengan senang hati, Pramoedya Ananta Toer melayani permintaan tanda tangan di dalam buku karyanya usai acara peluncuran lima buah bukunya, Sabtu (11/5/2002), di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Kelima buku tersebut adalah Korupsi, Cerita Dari Jakarta, Mereka Yang Dilumpuhkan, Perburuan, dan Arok Dedes.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Sastrawan yang memiliki julukan bapak realisme sosialis.
Masa lalu Pramoedya Ananta Toer yang menjadi aktifis di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI), membuat sepak terjangnya dibatasi, bahkan di berangus. Pada tahun 1965 ia ditangkap pemerintah Orde Baru karena di anggap terlibat dengan aktivitas PKI. Meski dipenjara di Tangerang, Salemba, Cilacap dan selama 10 tahun di pengasingan Pulau Buru, tidak menghentikannya dalam berkarya. Pramoedya yang mengarang sejak tahun 1940-an telah menghasilkan banyak karya sastra, yaitu cerpen, novel, esai, dan karya terjemahan.
Meski sempat dilarang beredar di era orde baru, kini karya-karya Pramoedya menjadi potret lengkap kehidupan sosial, politik dan sejarah masyarakat Indonesia, dan menjadi bacaan wajib para penikmat sastra. Karyanya yang fenomenal adalah tetralogi Pulau Buru, yeng diterjemahkan oleh Max Lane ke dalam bahasa Inggris yang terbit di tiga Negara, yaitu Inggris, Australia dan Amerika Serikat. Lebih dari 50 karyanya kini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, dengan lebih dari 42 bahasa asing. Hal ini membuktikan, buah karya anak bangsa yang berkualitas, akan tetap dihargai para penikmat karyanya, baik di negerinya sendiri hingga sampai ke mancanegara.
Penghargaan:
- Hadiah Sastra dari Balai Pustaka (1950)
- Hadiah Sastra dari BMKN (1952)
- Anugerah Freedom to Write Award dari PEN American Centre, AS (1980)
- Anugerah The Fund for Free Expression dari New York, Amerika Serikat, (1980)
- Anugera Stiching Wertheim Belanda (1995)
- Anugerah Ramon Magsasay Filipina (1995)
- Penghargaan Unesco Madanjeet Singh Prize oleh Dewan Eksekutif Unesco (1996)
- International PEN Award Association of Writes Zentrum Deutschland (1999)
- Anugerah Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters Perancis (2000)
- New York Foundation for the Arts Award (2000)
- Fukuoka Cultural Grand Prize (2000)
- Freedom of Expression Prize dari Norwegia Author’ Union (2004)
- Medal of Honor for Pablo Neruda Cetennial dari Pemerintah Cile (2004)
WS Rendra (7 November 1935 – 6 Agustus 2009)
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Dramawan WS Rendra bersama anak-anak dari Sanggar Teater Jakarta ketika mementaskan “Saatnya Mendengar Suara Anak-anak” pada Parade Teater Anak di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Minggu (22/7/2007). Pementasan itu dilaksanakan dalam rangka menyemarakkan Hari Anak Nasional 2007.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Penyair dengan julukan ‘Burung Merak’ di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, Senin (28/11/2005).
Willibrordus Surendra Broto Rendra atau WS Rendra adalah sastrawan produktif dalam menulis puisi, skenario drama, film, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Penyair yang di juluki ‘Burung Merak’ ini, tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu lahir banyak seniman-seniman muda, yang memperkaya khazanah seni Indonesia.
Meski beberapa kali ditangkap karena dianggap makar, pengikut PKI atau melawan pemerintah, WS Rendra tetap konsisten menyuarakan kritik sosial dalam sajak atau puisinya.
Gairahnya dalam berkarya tertuang dalam berbagai bentuk, antara lain naskah drama, sajak, puisi, skenario drama, film, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Ia juga aktif mengikuti festival puisi di luar negeri. Beberapa karya Rendra sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, diantaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Penghargaan/Gelar:
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954)
- Penghargaan sebagai salah satu Penyair Terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1955-1956)
- Anugerah Seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1969)
- Hadiah Seni dan Piagam Penghargaan dari Akademi Jakarta (1975)
- Adam Malik Award (1989)
- Hendar Fahmi Ananda Award, Lombok (1993)
- SEA Write Award Kerajaan Thailand (1995)
- Juara I Hadiah Sastra Asia Tenggara (1996)
- Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1996)
- Jos Kaj Tyl (Kedutaan Besar Ceko (1997)
- Achmad Bakrie Award 2006 untuk Kesusastraan
- Anugerah Federasi Teater Indonesia Award (2006)
- Penghargaan Seni, Budaya, dan Pariwisata, Jawa Barat (2007)
- Doktor Honoris Causa UGM (2007)
Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940 – 19 Juli 2020)
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sastrawan dan seniman Sapardi Djoko Damono bercerita tentang dunia sastra di Indonesia beserta kehidupan-kehidupan sastra kepada sejumlah mahasiswa dari sejumlah kampus di Bandung saat acara Lego Ergo Scio di Kotabaru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (30/5/2015). Sapardi mengatakan, hanya media massa cetak di Indonesialah yang paling banyak memberi ruang sastra dibandingkan dengan media-media cetak di negara lain di Asia Tenggara sehingga tempat menulis sastra di Indonesia lebih leluasa.Dia juga bercerita bahwa era dunia maya pun berkontribusi besar dalam memberi ruang lebih dan mengembangkan dunia sastra bagi kalangan muda.
KOMPAS/DAHONO FITRIANTO
Sapardi Djoko Damono adalah penyair, pengamat sastra, penerjemah karya sastra asing dan pendidik. Ia adalah sastrawan Indonesia yang lengkap.
Sapardi Djoko Damono tertarik menulis sejak SMA, terutama setelah membaca puisi Rendra, Balada Orang-orang Tercinta. Kemudian ketika kuliah ia menerjemahkan buku puisi Brasil dan puisi klasik China, yang kemudian berpengaruh besar dalam sajak-sajaknya.
Di samping bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Sapardi pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana ‘Yayasan Indonesia’ Jakarta, redaksi majalah sastra ‘Horison’, sebagai sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, anggota Dewan Kesenian Jakarta, anggota redaksi majalah ‘Pembinaan Bahasa Indonesia’, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka, sekretaris Yayasan Lontar, dan sebagai Ketua Pelaksana Pekan Apresiasi Sastra 1988, Depdikbud Jakarta.
Tahun 1988 Sapardi mendirikan HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia), dan menjadi ketua umum selama tiga periode, selain itu ia juga tercatat sebagai anggota HPBI (Himpunan Pembina Bahasa Indonesia) dan KITLV (Koninklijk Institut vor Taal Landen Volkekunde).
Sapardi sering menghadiri pertemuan sastra internasional untuk mendukung hazanah sastranya. Selain menulis puisi, ia juga menulis beberapa buku tentang sastra Indonesia dan menerjemahkan beberapa karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Karya dan kontribusinya dalam kesusastraan Indonesia tidak diragukan lagi dan menuai berbagai penghargaan di dalam dan luar negeri.
Penghargaan:
- Penghargaan Cultural Award dari Australia (1978)
- Anugerah Puisi Putera II dari Malaysia (1983)
- Mataram Award (1985)
- SEA Write Award dari Thailand (1986)
- Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990)
- Penghargaan Kalyanan Kretya dari Menristek RI (1996)
- Achmad Bakrie Award 2003
- Penghargaan Sastra Khatulistiwa (2004)
- Penghargaan dari Akademi Jakarta (2012)
- Lifetime Achievement IKAPI Awards 2020
Hamsad Rangkuti (7 Mei 1943 – 26 Agustus 2018)
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hamsad Rangkuti Ikut Memeriahkan Acara “Seniman Jakarta Baca Pusi Ramadhan” di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (7/12/2000) Malam, Dengan Sebuah Kisah Tentang Burung Pelatuk.
Sejak karya pertama Hamsad Rangkuti, Sebuah Lagu di Rambung Tua, yang dimuat surat kabar harian Indonesia di Medan tahun 1962. Terhitung hingga kini ia sudah menulis sekitar 100 cerita pendek. Karya fenomenalnya yang berjudul ‘Maukan Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu, membuat ia laris diundang ke berbagai tempat untuk membacakannya.
Setelah mengikuti Konferensi Karyawan Pengarang seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta tahun 1964, ia memutuskan tinggal di Jakarta. Bekerja sebagai pemimpin Redaksi Majalah Horison di tahun 1980-1990-an, ia membaca semua karangan yang masuk, sehingga bisa tetap mengikuti perkembangan sastra Indonesia. Karya-karyanya tersebar dalam buku kumpulan cerita pendek, dan beberapa diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan bahasa Inggris.
Penghargaan:
- Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001)
- Khatulistiwa Literary Award 2003
- SEA Write Award 2008 dari Raja Thailand
- Penghargaan Kesastraan Pusat Bahasa (2008)
- Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi (2014)
Rosihan Anwar (10 Mei 1922 – 14 April 2011)
KOMPAS/MATHIAS HARIYADI
Wartawan senior Rosihan Anwar ketika membaca puisi di depan peserta Kongres VII Bahasa Indonesia di Hotel Indonesia, Rabu (28/10/1998) malam. Acara malam itu dipenuhi guyonan satir yang membuat suasana kongres menjadi segar.
Rosihan Anwar dikenal sebagai seorang wartawan, sastrawan, sejarawan, budayawan dan pejuang kemerdekaan, yang ikut membangun dan memberikan kontribusi bagi bangsa, dengan menghasilan tulisan-tulisan jurnalistik dan karya sastra.
Berkarya di enam zaman, sejak penjajahan Jepang (1942-1945), Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Orde Baru (1966-1998) hingga masa Reformasi (1999-2011), membuat spektrum tulisannya sangat luas.
Ia menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Pedoman (1948-1961 dan 1968- 1974) yang pernah diberedel tiga kali. Pertama, Pedoman diberedel Pemerintah Belanda pada 29 November 1948, lalu diberedel Pemerintah Orde Lama pada 7 Januari 1961. Setelah terbit lagi pada masa Orde Baru, koran itu diberedel lagi oleh Soeharto pada 18 Januari 1974.
Ia kemudian menjadi penulis lepas di berbagai media, tak hanya dalam negeri, tetapi juga media asing, seperti Asia Week (Hongkong), The Straits Time (Singapura), New Straits Time (Malaysia), The Hindustan Times (India), Het Vriye Volk (Belanda), dan The Melbourne Age (Australia).
Meski tak berpendidikan formal sejarah, Rosihan memberikan sumbangan penting bagi sejarah. Dia menjadi saksi dan pelaku sejarah sejak zaman Jepang hingga kini. Semua dituliskannya, seperti dalam buku Sejarah Kecil (empat jilid).
Ia adalah sosok wartawan yang menguasai bahasa Inggris, Jerman dan Perancis, memiliki memori yang kuat, daya pantau yang tajam, pandangan yang kritis mendekati sarkastis, dan kemahirannya menulis secara cepat, dengan gaya sederhana dalam bahasa Indonesia yang serba rapi.
Penghargaan:
- Bintang Mahaputra III (1974)
- Bintang (The Order of the Knights) Rizal, Filipina (1977)
- Piagam Penghargaan Pena Emas PWI Pusat (1979)
- Third ASEAN Awards in Communication (1993)
- Anugerah Kesetiaan Berkarta sebagai Wartawan (2005)
- Bintang Aljazair (2005)
- Lifetime Achievement Award 2007
HB Jassin (13-Juli 1917 – 11 Maret 2000)
KOMPAS/JB SURATNO
HB Jassin di depan koleksi kliping, di kantornya, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, TIM, Jakarta (22/5/1987).
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi HB Jassin, memulai kebiasaannya menggunting koran yang ia beli secara kiloan, lalu menempelkan dan mengklipingnya dalam satu tema, sehingga dalam kurun waktu 80 tahun-an telah terkumpul berbagai dokumentasi tentang kesusasteraan dan kebudayaan, baik dari guntingan koran, majalah, ataupun buku-buku. Ia juga mengumpulkan buku-buku kesusastraan, mulai dari kesusastraan Belanda, Melayu, Rusia, dan Perancis. Ketekunan, ketelitian dan ketabahan dalam bekerja menjadi ciri khas HB Jassin yang dikenal para sastrawan yang bersinggungan dengannya.
Selain mendokumentasikan berbagai karya sastra, HB Jassin juga menghasilkan lebih dari 20 karangan asli, belasan terjemahan. Ia juga menulis kritik sastra pada majalah Horison yang diasuhnya dan melakukan studi atau riset tentang karya sastra.
Pada tanggal 30 Mei 1977, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin berdiri, koleksinya adalah seluruh koleksi HB Jassin yang dikumpulkannya sejak tahun 1933, lembaga ini merupakan salah satu pusat dokumentasi sastra terlengkap di dunia.
Penghargaan/Gelar:
- Satyalencana Kebudayaan (1970)
- Hadiah Martinus Nijhoff dari Belanda (1973)
- Doctor Honoris Causa dari Fakultas Sastra UI (1975)
- Ramon Magsaysay 1987
- Bintang Mahaputra Nararya 1994
- Penghargaan Penulis Terbaik dari Mendikbud (1994)
- Penghargaan dari Balai Pustaka atas Jasanya dalam Mengembangkan Sastra Indonesia (1997)
- Penghargaan dari Himpunan Pengarang Indonesia Aksara (1997)
Referensi
- “Raden Saleh: Pelopor seni lukis modern di Indonesia”, Kompas, 5 Agustus 1967, hlm 3.
- “Raden Saleh: Pelopor seni lukis modern di Indonesia (II-Habis)”, Kompas, 7 Agustus 1967, hlm 3.
- “103 Tahun Raden Saleh Tutup Usia: Antara Mitos dan Makam”, Kompas, 26 April 1983, hlm 1.
- “Merevisi Sejarah Seni Eropa”, Kompas, 7 April 1996, hlm 2.
- “Taman Margasatwa : Sejarah Panjang Kebun Binatang Ragunan”, Kompas, 30 Maret 2015, hlm 27.
- “Bintang Mahaputra utama bagi 4 Putera RI”, Kompas, 16 Agustus 1978, hal 1.
- “Affandi, Sisi Lain Seniman Besar”, Kompas, 26 Mei 1990, hlm 16.
- “Tonggak Lahirnya Seni Rupa Indonesia Modern”, Kompas, 11 Juli 1999, hlm 15.
- “Seni Sepanjang Tahun untuk 100 Tahun Affandi”, Kompas, 2 Februari 2007, hlm 11.
- “Sekitar Anugerah Senirupa 1970”, Kompas, 17 Oktober 1970, hlm 4.
- “Pelukis Sudjojono : Bisa Suka Meski Tidak Setudju”, Kompas, 14 Desember 1970, hlm 3.
- “Mengenang S Sudjojono (14 Desember 1913-26 Maret 1986)”, Kompas, 25 Maret 1987, hlm 13.
- “Padepokan Bagong”, Kompas, 6 Oktober 1978, hlm 3.
- “Sepuluh Seniman Terima Penghargaan Seni DIY”, Kompas, 24 Maret 1988, hlm 9.
- “Bagong Terima Penghargaan: Seniman Bagong Kussudiardja menerima penghargaan ACAA”, Kompas, 7 Juni 1992, hlm 16.
- “Tahun Bagong Kusudiardja: Ciptakan Guruh Gemuruh”, Kompas, 11 Oktober 2001, hal 21. 73
- “Para Penari di Kanvas Bagong * Jendela”, Kompas, 15 Oktober 2003, hlm 37.
- “Bagong Kussudiardja Meninggal: Energi Besar Itu Telah Pergi”, Kompas, 17 Juni 2004, hlm 1.
- ” Indikator Kompas: Kiprah Seni Bagong Kussudiardja”, Kompas Jawa Tengah, 17 Juni 2004, hlm 1.
- “Medali Perancis untuk Pramoedya Ananta Toer”, Kompas, 27 Mei 2000, hlm 9.
- “Pramoedya Terima Penghargaan”, Kompas, 31 Mei 2000, hlm 9.
- “Nama dan Peristiwa: Pramoedya Ananta Toer Dinyatakan Sebagai pemenang Grand Prize Fukuoka Asian Culture Prizes ke 11”, Kompas, 19 Juli 2000, hlm 12.
- “Pramoedya Terharu Terima Penghargaan Norwegia * Humaniora”, Kompas, 4 Juni 2004, hlm 9.
- “Nama dan Peristiwa: Sastrawan Pramoedya Ananta Toer (79) mendapat hadiah bonus dari Duta Besar Cile James Sinclair, Selasa (3/8), malam.”, Kompas, 5 Agustus 2004, hlm 12.
- “Sosok Rendra dan Ajaran Kepedulian”, Kompas, 16 Agustus 2006, hlm 16.
- “Regol: Rendra Terima Doktor Honoris Causa”, Kompas Jogja, 25 Agustus 2007, hlm 11.
- ““Burung Merak” Itu Pun Terbang”, Kompas, 7 Agustus 2007, hlm 1.
- “Sapardi, Seno dan Linda Christanty Raih Penghargaan Sastra Khatulistiwa * Humaniora”, Kompas, 13 Oktober 2004, hlm 9.
- “Persona: Sapardi – Mempertanyakan Kebenaran”, Kompas, 12 Desember 2010, hlm 23.
- “Sosok: Sapardi Djoko Damono – Ada Sajak Apa Lagi, Den Sastro?”, Kompas, 21 Maret 2017, hal 16.
- “In Memoriam Sapardi Djoko Damono: Duka Bulan Juli”, Kompas, 20 Juli 2020, hal 1 & 15.
- “Sapardi Nan Abadi”, Kompas, 21 Juli 2020, hlm E.
- “Langkan: Ikapi Awards 2020 untuk Penulis dan Pegiat Literasi”, Kompas, 29 September 2020, hlm 5.
- “Sastra Bibir Hamsad Rangkuti”, Kompas, 22 April 2000, hlm 12.
- ““Bibir dalam Pispot” Raih Khatulistiwa Award”, Kompas, 18 Oktober 2003, hal 8.
- “Nama & Peristiwa: Hamsad Rangkuti – Terima SEA Write Award”, Kompas, 16 September 2008, hlm 32.
- “Nama & Peristiwa: Hamsad Rangkuti – Penghargaan Sastra”, Kompas, 6 November 2008, hlm 32.
- “Obituari: Sastrawan Senior Hamsad Rangkuti Berpulang”, Kompas, 27 Agustus 2018, hlm 12.
- “Nama & Peristiwa: Rosihan Anwar – Ulang Tahun ke-85”, Kompas, 11 Mei 2007, hlm 32.
- “Sosok: Semangat Menulis Rosihan Anwar”, Kompas, 25 Maret 2010, hlm 16.
- “Obituari: Selamat Jalan Rosihan, Guru Para Wartawan”, Kompas, 15 April 2011, hlm 1.
- “Rosihan Anwar Pergi Mendadak”, Kompas, 15 April 2011, hal 7.
- “Nama & Peristiwa: Rosihan Anwar – Raja Jin”, Kompas, 18 Februari 2020, hal 32.
- “HB Jassin memenangkan hadiah Hijhoff”, Kompas, 16 Januari 1973, hlm 3.
- ” HB Jassin, Senang Dipuji Tapi “Minder” Kalau Harus Pidato”, Kompas, 25 Mei 1977, hlm 1.
- “Pada Ulang Tahun Ke-70: Jassin Dapat Hadiah Magsaysay”, Kompas, 1 Agustus 1987, hlm 1.
- “HB Jassin 75 Tahun: Kritikus atau Dokumentator”, Kompas, 31 Juli 1992, hlm 1.
- “HB Jassin: Mendengar Tikus Mencicit”, Kompas, 31 Juli 1992, hlm 16.
- “Foto: Bintang Mahaputra”, Kompas, 16 Agustus 1994, hlm 1.
- “Mendikbud Wardiman Serahkan Penghargaan Penulis Terbaik”, Kompas, 29 Desember 1994, hlm 16.
- “80 Tahun HB Jassin: Pusat Dokumentasi Sastra Itu…”, Kompas, 1 Agustus 1997, hlm 1.
- “Penghargaan Aksara untuk HB Jassin, Umar Nur Zaiin, dan Ray Rizal”, Kompas, 11 Agustus 1997, hlm 10.
- “HB Jassin, Mata-Telinga Sastra Indonesia * Box”, Kompas, 24 Februari 1999, hlm 12.
- “Tokoh Sastra HB Jassin Tutup Usia”, Kompas, 12 Maret 2000, hlm 1.
http://museumbasoekiabdullah.or.id
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id
http://dispusip.jakarta.go.id