KOMPAS/Hasanuddin Assgaff
Adegan guyonan pertunjukan Ludruk Mandala dalam lakon “Sakerah” di Taman Ismail Marzuki (10/8/1988). “Sakerah” menceritakan kisah perlawanan rakyat terhadap kesewenangan aparat Belanda, dan menjadi lakon lakon favorit kelompok ludruk.
Ludruk Mandala merupakan salah satu grup teater rakyat dari Jawa Timur yang pada tahun 1980-an pernah sangat terkenal. Penampilannya di panggung maupun di layar televisi selalu dinanti banyak orang. Penggemar ludruk asal Surabaya ini tidak hanya berasal dari daerah asalnya, tetapi sampai sekitaran Jawa Tengah, bahkan di Ibu Kota Jakarta.
Tema yang dipentaskan oleh grup ludruk yang terbentuk tahun 1979 ini pun beragam, mulai dari masalah sehari-hari, tema perjuangan, sampai cerita-cerita legenda. Semua disampaikan dengan bahasa sederhana, yang umum digunakan masyarakat kalangan bawah. Yang paling ditunggu-tunggu dari pertunjukan Ludruk Mandala adalah guyonan Jawa Timuran para pemain yang tampil di sela-sela cerita.
Beberapa nama terkenal lahir dari pertunjukan ini, seperti Cak Kabul, Cak Rukiman, Cak Sokran, Cak Nurbuat, dan Cak Bambang. Merekalah yang sering membuat “gerr” para penonton dengan lawakan ringan yang diselinggi sindiran.
Pada masa jayanya, rombongan Ludruk Mandala selain sering tampil di TVRI (waktu itu stasiun televisi satu-satunya). Grup ini juga pernah manggung tetap di beberapa tempat di Ibu Kota, seperti di Gedung Loka Seni Tradisional di Sarinah dan Taman Ismail Marzuki.
Kesenian Ludruk sendiri memiliki sejarah cukup panjang. Berawal dari yang namanya Ludruk Bandan pada sekitar abad ke-12 hingga ke-15. Ludruk Bandan mempertontonkan atraksi kekuatan fisik dan kekebalan yang bersifat magis, dengan menitikberatkan pada kekuatan batin. Sebelum bermetamorfosis menjadi sebuah sandiwara humor seperti sekarang ini, pada era Ludruk Besutan (sekitar tahun 1911–1931), pemain tokoh utama juga sekaligus berperan sebagai pawang hujan di lokasi pertunjukan, pengundang tamu, sampai soal menjaga keamanan.
Keunikan dari kesenian ludruk adalah semua pemainnya laki-laki, termasuk primadonanya yang disebut “primadon”. Dalam pertunjukan ludruk, biasanya terdapat unsur tari remo, dagelan, selingan, dan cerita (lakon). Tak ada pakem yang pasti terhadap pertunjukan ludruk, seperti jumlah pemain dan jumlah babak. Para pemain ludruk dituntut berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat terlebih dulu.
KOMPAS/Efix Mulyadi
Pertunjukan Ludruk Mandala di panggung Gedung Wayang Orang Ngesti Widodo di Kramat Tunggak, Jakarta Utara, Februari 1985.
KOMPAS/Efix Mulyadi
Satu adegan dalam lakon “Sarip Tambakyasa” yang dimainkan Ludruk Mandala di Taman Ismail Marzuki pada awal Februari 1980.
KOMPAS/Efix Mulyadi
Ludruk Mandala, dengan komposisi para pemain sebanyak 37 orang saat tampil di Taman Ismail Marzuki awal Januari 1985.
KOMPAS/JB Kristanto
Dua pemain pengocok perut Ludruk Mandala, Cak Nurbuat (kiri) dan Cak Kabul saat tampil di TVRI dengan lakon “Panglima Naaman” (23/12/1981) .
KOMPAS/Efix Mulyadi
Salah satu keuntungan pemeran “seniwati” adalah merias wajah sendiri tiap menjelang main. Dengan peralatan sederhana dan tempat sempit pun jadi. Bahkan seorang anggota malah telah membuka salon. Foto Februari 1985.
KOMPAS/Efix Mulyadi
Penampilan Cak Bambang (kiri) dan Cak Kabul saat di luar panggung. Mereka berdua merupakan pentolan sekaligus pelawak Ludruk Mandala.
Foto lainnya dapa diakses melalui: https://data.kompas.id/
Klik foto untuk melihat sumber.
“Ludruk Mandala, Potret Teater Rakyat”. Kompas, 7 Maret 1981.
“Dibungkam Natal”. Kompas, 26 Desember 1981.
“Grup Ludruk Mandala Utuh Kembali”. Kompas, 2 Januari 1985.
“Ludruk Mandala Bangkit Lagi”. Kompas, 17 Februari 1985.