KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN
Ronggeng amen dari Grup Ronggeng Girimukti, Padaherang, Ciamis, Jawa Barat, menari bersama penonton di halaman Balai Desa Sindangasih, Banjarsari, Ciamis, pada pertengahan Februari 2010.
Tari ronggeng merupakan kesenian yang sudah ada semenjak masa Kerajaan Pajajaran. Asal mulanya tari ronggeng pada tahun 1977, keberadaannya dengan terbukti adanya candi Ronggeng di Desa Sukajaya, Ciamis, Jawa Barat. Sekitar Candi Ronggeng terdapat sekumpulan batu dan arca berbentuk seperti gong kecil dan dipercaya berkaitan dengan tarian ronggeng.
Sejarah Tari Ronggeng
Dalam cerita rakyat masyarakat Ciamis, kesenian ronggeng gunung diilhami kisah hidup Dewi Siti Samboja yang melakukan pembalasan atas kematian suaminya Raden Anggalarang yang tewas dibunuh oleh sekelompok perampok. Dewi Siti Semboja kemudian menyamar sebagai penari ronggeng keliling dengan dayang-dayangnya. Dalam penyamarannya, ia mengubah namanya menjadi Dewi Rengganis. Dewi Siti Semboja mengelilingi daerah Pangandaran dari wilayah kerajaan hingga pelosok untuk mencari pelaku pembunuh Raden Anggalarang. Itulah mungkin salah satu penjelasannya mengapa seluruh penari dalam ronggeng gunung mengenakan sarung sebagai penutup wajah.
Para lelaki menari mengitari sang ronggeng yang berada di poros lingkaran. Tarian ronggeng gunung barangkali sangat berbeda dengan tarian Sunda pada umumnya yang menumpukan pergerakan pada tangan. Tari ronggeng gunung justru sebaliknya menjadikan kaki sebagai pengatur irama tarian. Pada babak tertentu, para penonton pun bergabung, menggerakkan kaki mengitari sang ronggeng (“Raspi, Nyanyian Sepanjang Malam.. *Box”, Kompas, 7 Oktober 2004, hal 12).
Tari ronggeng bukan sekedar dipentaskan sebagai hiburan saja, melainkan memiliki unsur magis. Di mana sebelum dilakukan pementasan, didahului dengan doa pengasih atau semacam mantra khusus. Hal itu bertujuan agar selama pertunjukan berlangsung akan berjalan lancar tidak ada gangguan. Beberapa penari ronggeng mengakui memiliki pekasih yang didapat dari para orang tua. Adanya amalan pekasih tersebut seorang penari ronggeng akan terlihat cantik, elok, menarik, rupawan ketika sedang tampil menari ronggeng di panggung. Hal ini membuat para penonton yang memandang wajah atau pun tarian seorang penari ronggeng akan terkesima dan sulit melupakan daya tarik penari ronggeng tersebut.
Ada beberapa penari ronggeng yang masih menggeluti tari ronggeng adalah Bi Raspi sang ronggeng. Bi Raspi berasal dari Dusun Ciparakan, Kalipucang. Ia sekarang tinggal di Desa Ciulu, Kecamatan Banjarsari, Jawa Barat. Ia belajar menari dan menyanyi sebagai ronggeng sekitar 56 tahun lalu dari ronggeng Maja Kabun dan Mak Icih di Desa Panyutran, Kecamatan Padaherang, Jawa Barat. Raspi memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan dasar karena keseringan manggung dari kampung ke kampung. Karena pada saat itu, masyarakat desa masih antusias dengan tari ronggeng yang dipentaskan saat pesta sunatan, pernikahan, dan syukuran hasil panen. Bi Raspi tetap eksis membawakan ronggeng gunung.
Pada tahun 2003, beberapa mahasiswa jurusan seni berasal dari Amerika Serikat sengaja mempelajari ronggeng gunung selama satu bulan. Mereka memilih Raspi sebagai sumber informasi utama untuk kesenian ronggeng. Setelah itu, Raspi menemukan penerus penari ronggeng, yaitu Nani Nurhayati yang merupakan anaknya sendiri (“Ronggeng Gunung Lebih Disukai Warga Kota * Ronggeng Kaler Mirip dengan Jaipongan”. Kompas, 12 Mei 2007, hal 1).
Bi Pejoh merupakan salah satu penari dari grup ronggeng Sari Gunung. Grup ini didirikan oleh Pa Sarli sejak zaman gerombolan DI/TII. Tahun 1965, grup Sari Gunung hampir setiap hari melakukan pementasan, karena di kala itu kesenian ronggeng gunung sangat digemari masyarakat.
Kartiwen atau lebi dikenal dengan Mimi Tiweng merupakan penari ronggeng ketuk yang berasal dari Dusun Tlakop Desa Telagasari, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Ronggeng ketuk merupakan kesenian tradisional yang bentuknya tidak banyak berbeda dengan kesenian sejenis yang menampilkan penari ronggeng. Di daerah lain, kesenian ini dinamakan ketuk tilu karena salah satu instrumennya atau waditra berupa cemplon yang dinamakan ketuk terdiri dari tiga buah. Julukan “Mimi” menunjukkan, ia merupakan seseorang yang dituakan karena kepiawaiannya pada salah satu bidang kesenian (“Sosok: Mimi Tiweng, Primadona Ronggeng Terakhir”. Kompas, 31 Juni 2010, hal 16).
Unsur-Unsur Tari Ronggeng
Kesenian tari ronggeng terdapat beberapa unsur yang menjadikan pementasannya menjadi totalitas dan mampu menciptakan daya tarik untuk menonton. Unsur-unsur tersebut di antaranya adalah:
Pakaian
Pakaian merupakan salah satu bagian yang wajib di semua jenis tari tradisional seperti halnya tari ronggeng. Penari perempuan biasanya menggunakan pakaian adat jawa, yaitu kebaya disertai dengan kain batik. Sedangkan, untuk penari laki-laki yang memainkan alat musik menggunakan ikat kepala dan sarung, ditambahkan sebuah golok yang diselipkan di bagian pinggang.
Aksesori
Para penari menggunakan berbagai aksesori saat melakukan penampilan tari seperti mahkota, gelang, kalung, dan anting. Warna aksesori yang dipilih biasanya bernuansa emas untuk menampilkan kesan elegan bagi penarinya.
Properti
Pada saat pertunjukan tari ronggeng penari perempuan menggunakan properti yakni selendang sebagai alat untuk menarik penonton untuk diajak menari bersama-sama. Sedangkan, untuk penari laki-laki menggunakan properti golok, topeng, dan keris yang biasanya digunakan pada tarian ronggeng blantek khas Betawi.
Iringan Musik
Dalam pementasan tari ronggeng diiringi dengan iringan musik yang terdiri dari sinden dan penabuh gamelan (gong, bonang, dan tabuhan kendang). Beberapa lagu yang biasanya dinyanyikan oleh sinden pada saat mengiringi tari ronggeng di antaranya adalah ladrang, parut, ondai, liring, manangis, urung-urung, kudup turi, sigaran, raja pulang, cacar burung, trondol, tunggul kawung, mangonet, dan lainnya.
Jenis tari ronggeng
Kesenian tari ronggeng ada beberapa macam jenisnya, di antaranya adalah:
Tari ronggeng gunung adalah tarian kuno khas yang berkembang di daerah pegunungan Ciamis, Jawa Barat. Penampilan tari ronggeng gunung sangat minimalis, hal ini karena hanya ada satu penari yang merangkap menyanyi dan pengiring musik. Biasanya lagu yang dibawakan berjumlah enam sampai delapan lau yang dibawakan secara berulang-ulang. Tari ronggeng gunung mempunyai kelebihan karena lebih menekankan pada gerakan kaki. Maka dari itu, penari harus memiliki fisik yang kuat, karena mereka tidak jarang menari sampai enam jam dalam sekali penampilan. Penari ronggeng juga harus memiliki jenis suara tinggi (“Budaya: Ronggeng Gunung, Teruslah Menari”. Kompas, 04 Januari 2011, hal 23).
Tari ronggeng kaler lebih dikenal sebagai ronggeng amen. Bentuk pertunjukannya merupakan pengembangan dari ronggeng gunung. Ronggengnya lebih dari dua orang dan musik pengiringnya adalah seperangkat gamelan lengkap dengan lagu-lagu kliningan. Adapun ronggeng tayub mirip dengan tayuban di wilayah Priangan.
Tari ronggeng belantek atau taring ronggeng blantek adalah sebuah tari kreasi yang berakar dari pertunjuakan rakyat Betawi pada masa penjajahan Belanda. Tari ini diangkat dari teater rakyat Betawi, yaitu Topeng Blantek. Tari ronggeng blantek adalah tari kreasi Betawi yang sengaja dicipatkan dan diklasifikasikan dalam jenis tari topeng. Tari ini terdiri dari beberapa bagian, yakni pertama, pendahuluan, isi, kemudian bagian penutup dimodifikasikan dengan beberapa gerakan silat Betawi.
Penari ronggeng blantek ini terdiri dari empat sampai enam orang. Kostum yang dipakai oleh penari bernuansa cerah, yakni kebaya berwarna merah muda, kain tumpal putih dan selendang dengan motif burung Hong, toka-toka silang berwarna merah, ampok, dan serbet. Aksesori yang digunakan di antaranya adalah kembang topeng, kalung bunga teratai bersusun tiga, pending, dan anting kuning.
Tari ronggeng ketuk merupakan kesenian tradisional yang bentuknya tidak banyak berbeda dengan kesenian sejenis yang menampilkan penari ronggeng. Di daerah lain, kesenian ini dinamakan ketuk tilu karena salah satu instrumennya atau waditra berupa cemplon yang dinamakan ketuk terdiri dari tiga buah. Instrumen lainnya adalah rebab (alat gesek), gendang dengan kulanter, gong, dan kecrek.
Tari ronggeng balik merupakan tari tradisional yang dipentaskan oleh perempuan suku Balik, suku asli di Kecamatan Sepaku dan sekitarnya, termasuk Kota Balikpapan. Tari ronggeng balik biasanya ditampilkan oleh penari yang juga berdendang dengan bahasa daerah suku Balik. Ronggeng balik ini, dahulunya digunakan untuk ritual penyembuhan bagi orang Balik. Salah satu yang masih aktif mengajarkan tari ronggeng balik adalah Yati Dahlia. Ia merupakan pendiri sanggar tari Uwat Bolum (“Sosok: Yati Dahlia – Tak Ingin Ronggeng Balik Tercekik”. Kompas, 2 April 2022, hal 16).
KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Raspi (52), penari ronggeng gunung dari Cikukang, Desa Ciulu, Kecamatan Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat, menunjukkan kebolehannya dalam pagelaran Tari Ronggeng Gunung di Lapangan Parkir Kebun Binatang Bandung, Jumat (31/12/2010).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Kelompok kesenian Ronggeng Gunung pimpinan Bi Pejoh dari Padaherang, Ciamis, ditampilkan dalam perhelatan Hajat Puseur Dayeuh di Cikapundung Riverspot, Bandung, Jawa Barat, Selasa (29/8/2017) malam. Penampilan kesenian ini menjadi salah satu upaya pelestarian kesenian tradisional Jawa Barat yang kian hampir punah karena sulitnya regenerasi senimannya.
KOMPAS/HER SUGANDA
Masih adakah ruang yang tersedia untuk menyaksikan Mimi Tiweng menari? Primadona ronggeng ketuk dari Dusun Tlakop itu terakhir kali tampil memesona dalam pergelaran di Gedung Negara Cirebon, awal Desember tahun lalu.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pelajar berlatih Tari Ronggeng Balik di halaman SD Negeri Sepaku 014, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (27/7/2022). Dengan dilatih oleh Yati Dahlia pelajar tersebut diajak untuk melestarikan tarian khas perempuan Suku Balik. Mereka berlatih dua kali seminggu. Tarian Ronggeng balik pada mulanya ditarikan sebagai bagian dalam ritual pengobatan. Kini tarian tersebut ditarikan saat menyambut tamu juga acara-acara budaya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Anak-anak berlatih tari Ronggeng Belantek di Sanggar Situ Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta, Minggu (17/7/2022). Sanggar Situ Babakan kembali aktif mengadakan pelatihan tari khas Betawi setelah vakum dua tahun akibat pandemi Covid-19. Jumlah siswa sebelum pandemi mencapai 400 anak dan kini setelah beraktivitas kembali, Sanggar Situ Babakan memulai latihan menari dengan 90 siswa. Pelatihan ini untuk melestarikan sekaligus sebagai upaya regenerasi penerus budaya Betawi. Latihan tari digelar dua kali dalam sepekan.
KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Penari pendamping ronggeng gunung dari Cikukang, Desa Ciulu, Kecamatan Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat, beraksi saat pergelaran Tari Ronggeng Gunung di Lapangan Parkir Kebun Binatang Bandung, Jumat (31/12/2010). Keberadaan ronggeng gunung mulai terdesak perkembangan zaman sehingga sulit melanjutkan proses regenerasi.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Sekitar 4.000 penari dari 16 kabupaten/kota di Jawa Barat menarikan ronggeng geber memeriahkan Hari Tari Sedunia di Kota Bandung, Minggu (28/4/2019). Melalui tarian itu, seni budaya diharapkan menjadi salah satu kekuatan pariwisata di Jabar.