Foto | Seni

Kepak Sayap Maestro Tari Indonesia

Seniman tari tradisional Indonesia yang menyebarkan kekayaan seni tari tradisi Indonesia ke berbagai daerah hingga ke mancanegara. Mereka juga mentransformasikan keahliannya, mewariskan pengetahuannya demi pelestarian kebudayaan Indonesia.

Tari Abimanyu Gugur oleh kelompok tari Padnecwara pimpinan Retno Maruti di Graha Bakti Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Senin (20/11/2006) malam, memukau penonton yang kebanyakan adalah peserta “Women Playwrights International Conference 2006”.

Keragaman seni tari tradisional Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke. Keberadaan para pelaku seni tari tradisi menjadi sangat penting dalam pelestarian kekayaan budaya Indonesia ini. Para seniman tari tradisi yang mempelajari tari tradisional tersebut memperkenalkan dan menyebarkan kesenian ini hingga ke mancanegara. Mereka juga mewariskannya pula ke generasi muda. Mereka mengajarkannya murid-muridnya agar seni tradisi bisa lestari turun-temurun ke anak didik mereka juga.

Kesenian yang berupa tari tradisi masing-masing daerah unik dan khas, namun beberapa nyaris punah. Tarian klasik biasanya durasinya lebih lama dan mempunyai pakem yang kaku, sehingga para senimannya berusaha mentransformasikan menjadi tari kreasi baru yang lebih menarik. Biasanya hal ini dilakukan agar dapat diaplikasikan pada berbagai pertunjukkan kesenian maupun pameran di berbagai kesempatan.

Pelestarian seni tari tradisi Indonesia selayaknya dilakukan oleh semua pihak: pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku seni, juga kita semua; agar kebudayaan tradisional Indonesia bisa terus bertahan di dalam dan di luar negeri.

Berikut adalah para maestro seni tari tradisi Indonesia yang terekam dalam Arsip Kompas.

Ist

Mbah Karimun

1. Mbah Karimun/Mbah Mun (1919 14 Februari 2010)

Mbah Mun, sapaan akrabnya, lahir di Pakisaji, Malang, sekitar tahun 1919. Sekolahnya hanya sampai kelas 6 SD Pakisaji, di zaman penjajahan Belanda. Sejak usia 14 tahun, ia sudah diajari menari topeng oleh sang ayah, Kiman. Karimun remaja juga belajar membuat Malangan, dengan mencontoh topeng-topeng peninggalan Kakek Serun. Ia pun melengkapi topeng buatannya dengan pakaian dari karung goni, dan sampur dari kulit kayu bende.

Sebelum kecelakaan yang menyebabkan kakinya patah pada tahun 1995, Mbah Mun dikenal luas sebagai penari Topeng Malangan yang terkenal di kalangan seniman tradisi di Malang. Pementasan untuk acara sunatan, perkawinan, 17 Agustus-an, hingga pentas pada acara resmi Kabupaten Malang. Ia pernah ditunjuk sebagai duta Malang ke Festival Tari Tradisional Tingkat Nasional di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, tahun 1978. Tujuh tahun kemudian, ia kembali pentas di TMII disaksikan oleh Presiden Soeharto, serta para pejabat tinggi dan duta besar negara sahabat.

Pada masa hidupnya, ada 144 jenis topeng yang dapat dibuat Mbah Mun. Sebanyak 67 topeng di antaranya untuk cerita pewayangan, sedangkan Topeng Malangan yang baku hanya 6 macam, yakni Klono, Bapang, Asmoro Bangun, Sekartaji, Gunung Sari dan Ragil Kuning.

Sanggar Tari Padepokan Panji Asmorobangun di Dusun Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, yang dibangun atas bantuan Presiden Soeharto, hingga kini terus menyebarkan ilmu dan mewariskan kesenian Tari Topeng Malangan kepada lingkungan sekitarnya, termasuk mahasiswa yang menulis skripsi tentang Topeng Malang.

Pada Desember 2007, Mbah Mun sempat pergi ke Jakarta menerima penghargaan sebagai maestro Topeng Malangan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.

Karimun (91), maestro topeng malang, meninggal pada Minggu, 14 Februari 2021 malam. Ia dikebumikan di sekitar punden Kedungmonggo, persis di samping Kali Metro, Malang, Senin pagi. Mbah Mun meninggal dunia di rumahnya di Desa Kedungmonggo, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, setelah mengalami sesak napas.

Sumber:

  • “Mbah Karimun. Penari Itu Tergeletak tak Berdaya. * Box”. Kompas, 10 Oktober 1995, hlm 20.
  • “Topeng Malang Masih Mujur”. Kompas, 18 Agustus 1997, hlm 10.
  • “Maestro Tari: Lelang Topeng untuk Biaya Hidup”. Kompas, 1 November 2008, hlm 13.
  • “Kesenian: Karimun, Maestro Topeng Malang Dikebumikan”. Kompas, 16 Februari 2010, hlm 12.
KOMPAS/RENY SRI AYU

Mak Coppong

2. Coppong Daeng Rannu/Mak Coppong (1920 – 2 Juni 2010)

Coppong Daeng Rannu atau yang lebih dikenal dengan Mak Coppong telah menekuni Tari Salonreng dan Pakarena pada usia 10 tahun. Pakarena adalah tarian khas Makassar kuno yang dulu kerap ditarikan dalam acara resmi di istana. Adapun Salonreng juga tarian Makassar kuno yang sarat nuansa ritual.

Mak Coppong menguasai lebih dari 10 jenis Tari Pakarena, antara lain, Yolle, Jangan Lea-lea, dan Maqbiring Kassiq. Ia pertama kali menari di depan umum di Balla Lompoa, Istana Raja Goa. Setelah itu, ia terus diundang berpentas di mana-mana, baik di dalam wilayah Gowa, maupun luar daerah seperti Makassar, Jakarta, Solo, dan Yogyakarta. Ia telah berkeliling dunia mulai dari Singapura, Australia, Eropa hingga Amerika Serikat, untuk menari dalam pementasan I La Galigo yang disutradarai oleh Robert Wilson.

Ilmu dan keterampilannya sudah ia wariskan kepada cucu-cucunya dan beberapa orang lainnya. Beberapa dari mereka bahkan sudah mandiri dan membentuk kelompok tari sendiri dan membina beberapa penari baru lainnya.

Semasa hidupnya, Mak Coppong mendapat sejumlah penghargaan, antara lain, penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya RI (1999) serta Anugerah Seni dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (2000).

Sumber:

  • “Mak Coppong, Harmoni Badai dan Angin Mamiri *Box”. Kompas, 8 Desember 1998, hlm 12.
  • “Mak Coppong – Mak Cammana Terima Penghargaan dari Menparsenibud”. Kompas, 24 September 1999, hlm 21.
  • “Sosok: Empu Tari Kuno Makassar”. Kompas, 28 April 2007, hlm 16.
  • “Obituari: Mak Coppong, Maestro Tari Tutup Usia”. Kompas, 3 Juni 2010, 23.
KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Muhammad Yazid

3. Muhammad Yazid (1925 23 September 2010)

Yazid lahir di Bengkalis, Riau, tahun 1925, dan sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR). Dia belajar menari Zapin sejak umur delapan tahun dari ayahnya sendiri yang juga penari, Tomel. Saat remaja, dia menambah ilmu lagi dari beberapa guru lain, seperti Muhammad Nur, Ares, dan Cik Muhammad.

Saat permulaan belajar, pertengahan tahun 1930-an, Yazid muda harus sembunyi-sembunyi. Maklum, Belanda sudah masuk ke Bengkalis dan melarang setiap kerumunan yang dicurigai bakal memicu perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Situasi itu berlanjut hingga masa pendudukan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Yazid leluasa mengasah keterampilan menari dan menambah pengetahuan seluk-beluk Zapin. Tahun 1950-an, nama Yazid mulai populer di wilayah Bengkalis bersama lima penari lain (yang kini almarhum), yaitu Hasan, Harun, M Yusuf, Hasan Matero, dan M Ali. Mereka keluar-masuk kampung untuk meramaikan berbagai hajatan rakyat.

Perkembangan Zapin semakin mencuat saat pemerintah pusat menggerakkan otonomi daerah pertengahan tahun 1990-an. Dengan semangat memperkuat seni tradisi demi mencari pijakan identitas lokal, pemerintah daerah Bengkalis pun mendorong pendirian sanggar seni tradisi dan membuka kesempatan untuk tampil pada acara-acara resmi.

Hidup sebagai Guru

Yazid tekun mengajar tari Zapin di Kampung Meskom dan “bergerilya” di beberapa daerah lain di Bengkalis. Biasanya, kakek ini menyambangi murid-murid dengan mengendarai motor tua sambil menyandang gambus di punggung. Kebiasaan itu masih kuat dilakoni sampai sekarang, meski upahnya kerap hanya cukup untuk menutup biaya transportasi.

Untuk mempercepat perkembangan seni tradisi itu, tahun 1998 dia ikut mendirikan Sanggar Yarnubih, kependekan dari nama tiga tokoh Zapin, yakni Yazid, Muhammad Nur, dan Ebih.

Lewat kelompok ini, kiprah Yazid semakin menonjol. Dia turut pentas di Riau, Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, serta di Johor dan Malaka, Malaysia. Tahun 2005 ia memperoleh Anugerah Seniman Tradisi dari Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Provinsi Riau. Pada 23 Juli 2010, Yazid menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan yang diserahkan oleh Wakil Presiden Boediono di Jakarta.

Muhammad Yazid (85), maestro Tari Zapin asal Pulau Bengkalis, Riau, berpulang pada hari Kamis (23/9) petang di Rumah Sakit Grand Hospital, Kota Bengkalis.

Sumber:

  • “Sosok: Yazid dan Regenerasi Zapin Melayu”. Kompas, 6 Oktober 2007, hlm 16.
  • “Obituari: Maestro Zapin Muhamad Yazid Telah Berpulang”. Kompas, 25 September 2010, hlm 22.

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Muhammad Yazid (80) memperagakan tarian Zapin tradisional di Desa Meskom, Bengkalis, Riau, akhir Agustus 2007. Yazid termasuk salah satu dari beberapa penari Zapin tua yang masih aktif menari.

KOMPAS/HIKMAT ISHAK

Enoch Atmadibrata

4. Enoch Atmadibrata (19 November 1927 – 15 April 2011)

Enoch Atmadibrata, anak mantri guru itu lahir di Garut, 19 September 1927. Setamat Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung, ia melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang saat itu masih merupakan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, namun hanya sampai berijazah Propadeuse Lengkap (P2).

Enoch belajar tari sejak duduk di bangku sekolah lanjutan pertama. Dari satu perguruan ke perguruan yang lain. Awalnya, ia belajar menari pada Sari Redman. Setelah selesai, ia pindah lagi belajar kepada Pak Ganjar almarhum. Kemudian, ia meneruskan belajar pada Perguruan Wirahmasari dan bertemu dengan salah seorang gurunya, Maman Surjaatmadja. Belum puas dengan itu semua, ia pun memasuki perguruan di Rancaekek, yang merupakan pusat dari perguruan Wirahmasari. Ia juga belajar kepada seniman tari Cece Somantri ketika masih di bangku SLA.

Pada tahun 1969–1971, Enoch diminta untuk mengajar tari di California, dan berkesempatan belajar di sana. Salah satu karya kreasinya berjudul Hujan Mungran.

Enoch mendokumentasikan kesenian Sunda dalam berbagai bentuk. Film 8 mm, slide, foto, kaset, benda-benda atau waditra (instrumen) musik Sunda dari berbagai daerah. Ada yang disebut gambang Baduy, berbagai jenis angklung, wayang kulit, dan beberapa jenis wayang golek yang biasa dimainkan dalam lakon Budug Basuh Kalabuat dalam Sanghyang Sri. Suatu pagelaran yang tak bakal dijumpai lagi.

Dalam bentuk dokumentasi, Enoch Atmadibrata menyimpan rekaman tidak kurang dari 25 jenis kesenian Sunda. Bahkan, di kalangan anak muda, beberapa di antaranya sangat boleh jadi tidak dikenal lagi. Sebut saja misalnya beberapa jenis pagelaran kesenian wayang seperti wayang kulit pada upacara Babarit di Cikasarung, Majalengka. Atau tentang berbagai jenis musik yang berasal dari Baduy seperti rendo (alat gesek), taleot, elet, caning (saron) dan angklung serta calung renteng.

Tanah Sunda memang sangat kaya dengan angklung. Hampir semua daerah memiliki instrumen tersebut. Dalam dokumentasinya ada yang disebut angklung buncis, angklung bungko karena berasal dari Bungko, Cirebon, dan ada pula yang disebut angklung gubrag, dan sebagainya.

Dokumentasinya tentang kesenian topeng paling lengkap, terutama topeng Cirebon, baik topeng babakan maupun topeng wayang, yakni mulai dari daerah Ciluwung, Slangit, Suraneggala, dan Losari, baik yang diambil ketika pagelaran di lapangan maupun di atas pentas.

Ia adalah penerima Anugerah Budaya Kota Bandung 2007. Mereka yang menerimanya dinilai dari aktualisasi dan konsistensinya berkarya di bidang seni dan budaya.

Setelah berjuang dengan penyakit prostat, jantung dan diabetes, hingga dirawat lama di rumah sakit, Enoch Atmadibrata meninggal dunia pada 15 April 2022.

Sumber:

  • “Enoch Atmadibrata, benih yang tumbuh di atas tanah tandus”. Kompas, 20 September 1977, hlm 5.
  • “Enoch Atmadibrata, Dokumentasi Budaya Sunda * Box”. Kompas, 6 Agustus 1997, hlm 24.
  • “Penggiat Kesenian: 10 Orang Terima Anugerah Budaya”. Kompas 6 September 2007, hlm 9.
  • “Sosok: Kesetiaan Enoch kepada Tari Rakyat”. Kompas, 27 Januari 2011, hlm 16.
KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Mbah Dariah

5. Mbok Dariah/Mbah Dariah (1928 – 12 Februari 2018) 

Dariah lahir sebagai laki-laki bernama Sadam, di Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, sebuah dusun kecil di sudut timur Kabupaten Banyumas. Ibunya, Samini, dan ayahnya, Kartameja, hidup sebagai petani kecil. Ia lahir sekitar tahun 1928. Saat berumur lima tahun, Sadam kecil ditinggal mati ayahnya dan bersama ibunya ikut dengan kakeknya, Wiryareja, di desa yang sama. Bersama kakeknya, Sadam tumbuh sebagai anak desa lugu.

Awal mula kecintaannya pada lengger berawal saat seorang pengembara (masyarakat setempat menyebutnya maulana) bernama Kaki (kakek) Danabau datang ke rumah Wiryareja. Pada suatu saat Kaki Danabau mengatakan kepada Wiryareja bahwa cucunya dirasuki indhang (roh) lengger dan akan terkenal.

Setelah mendengar kata-kata itu, diri Sadam bergejolak. Dia akhirnya pergi tanpa pamit dari rumahnya berbekal sedikit uang. Dia berjalan selama berhari-hari hingga akhirnya sampai di sebuah perkuburan tua. Di situ ada makam, lalu ia bertapa.

Seusai bertapa berhari-hari, Sadam pulang ke rumah, setelah sebelumnya membelanjakan seluruh uangnya untuk membeli gelung brongsong (konde yang dilengkapi semacam ikat kepala sehingga pemakaiannya tinggal dipasang di kepala), kemben, sampur, dan kain.

Sekembali ke desanya, Sadam yang saat itu berumur sekitar 16 tahun telah memantapkan diri menjadi penari lengger. Dia berganti nama menjadi Dariah. Uniknya, tak ada yang mengajari Dariah. Selang beberapa bulan, nama Dariah langsung moncer sebagai primadona lengger. Tak hanya di Banyumas, bahkan hingga Purbalingga dan Banjarnegara. Dia ditanggap di berbagai hajatan, terutama yang digelar orang-orang terpandang kala itu.

Kejayaan lengger bertahan hingga Gerakan 30 September pada tahun 1965 meletus. Kala itu seniman tradisional menjadi kelompok sosial yang oleh rezim Orde Baru ditengarai dekat dengan komunisme. Begitu pula seniman lengger yang banyak ditangkap pemerintah. Saat lengger dilarang, Dariah menjadi perias pengantin atau sering disebut dukun manten. Profesi yang dilakoninya hingga usia senja.

Mbah Dariah memperoleh gelar Maestro Seniman Tradisional dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2011.

Semasa hidupnya, Dariah yang melajang sepanjang hayat tetap mendedikasikan diri bagi seni yang telah mengubah jalan hidupnya. Meski untuk berjalan pun harus tertatih, dia rajin mengajar bocah-bocah kecil menari lengger di Sanggar Seni Banyu Biru yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya.

Maestro lengger lanang Banyumas, Mbah Dariah, meninggal pada Senin 12 Februari 2018 dalam usia 90 tahun.

Sumber:

  • “Sosok: Pengabdian Dariah, Lengger Lanang Terakhir”. Kompas, 23 Juni 2012, hlm 16.
  • “Penari Tak Renta Dimakan Usia”. Kompas, 9 Maret 2014, hlm 13.
  • “Kilas Metro: Maestro Lengger Dariah Wariskan Totalitas”. Kompas, 14 Februari 2018, hlm 21.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Dua generasi penari lengger lanang banyumasan, Mbah Dariah (86) dan Agus “Agnes” Widodo (26), menari bersama, Rabu (19/2/2004), di Petilasan Panggihsari, Desa Somakaton, Somagede, Banyumas, Jawa Tengah.

ARSIP BENTARA BUDAYA BALI

Ida Bagus Oka Wirjana

6. Ida Bagus Oka Wirjana/Ida Bagus Blasinga (1929 – 3 Februari 2017)

Ida Bagus Oka Wirjana lahir di Blangsinga, Kabupaten Gianyar, Bali, pada 1929. Ia belajar menari Tari Baris sejak umur 8 tahun dari pamannya. Tari Baris menjadi bekal yang kuat untuk mempelajari tarian Bali lainnya, terutama tarian kebyar.

Memiliki nama panggilan Oka Blangsinga adalah seniman spesialis tari Kebyar Duduk yang sudah langka ditemui pada generasi saat ini.

Bentara Budaya Bali bekerja sama dengan Yayasan Tetamian Griya Blangsinga pernah mementaskan Tribute to Maestro Blangsinga pada akhir September 2013. Ia juga hadir dan sempat menari. Pementasan itu memaknai 75 tahun Ida Bagus Oka Blangsinga berkarya.

Oka Blangsinga pernah menari di Istana Kepresidenan pada era Presiden Soekarno dan menjadi duta negara dalam lawatan ke Eropa, Asia, dan Amerika.

Sejumlah penghargaan yang pernah diterima Oka Blangsinga adalah Dharma Kusuma Media dari Gubernur Bali (1987), penghargaan Dewan Kesenian Pusat Jakarta (1999), dan penghargaan tertinggi Siwa Nataraja dari ISI Denpasar (2008).

Maestro tari Ida Bagus Oka Wirjana (88) asal Blangsinga, Kabupaten Gianyar, Bali, meninggal Jumat 3 Februari 2017, karena sakit. Ia meninggalkan 2 istri, 16 anak, 35 cucu, dan 11 cicit.

Sumber:

  • “Sang Maestro: Bila Usia Tak Menjadi Kendala untuk Menari…”. Kompas, 23 Desember 2006, 8.
  • “Obituari: Maestro Tari Oka Blangsinga Berpulang”. Kompas, 4 Februari 2017, hlm 12.
  • “Seni: Tarian Sukma Oka Blasinga”. Kompas, 7 Mei 2017, hlm 24.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Salah satu adegan dalam opera tari klasik jawa “Suropati” yang dipentaskan oleh Kelompok Kesenian Padnecwara di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta, Jumat (31/8/2012). Opera tari klasik yang menjadi pembuka Festival Schouwburg X ini bercerita tentang kisah kepahlawanan Suropati dalam melawan penjajah.

KOMPAS/MATHIAS HARIYADI

Bagong Kussudiardja

7. Bagong Kussudiardja (9 Oktober 1929 – 16 Juni 2004)

Bagong Kussudiardja lahir 9 Oktober 1928 di kota Yogyakarta. Putera bangsawan ini mulai tahun 1946 berguru menari Jawa klasik kepada Pangeran Tedjakusumo dan Kuswadji. Gaya tari klasiknya ia padukan dengan pelajaran tari modern Martha Graham di Amerika Serikat, ketika sebuah beasiswa diperolehnya pada tahun 1957.

Tari Layang-layang ciptaan pertamanya menuai pro dan kontra pada tahun 1954, meski dianggap merusak aturan-aturan tari tradisional Jawa, ada juga yang memuji pembaruan koreografi tari tradisional yang selama ini dianggap monoton. Berbagai tanggapan atas tariannya itu justru memantik semangatnya untuk semakin berkreasi dan bereksperimen dalam mencipta tarian-tarian baru lainnya.

Pendiri Pusat Latihan Tari Bagong Kusudiardja pada tahun 1958 dan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja pada tahun 1978, memperlihatkan komitmen dan keinginannya untuk melestarikan kesenian lewat pendidikan dan latihan di Indonesia. Ia ingin ada Bagong-Bagong muda lainnya, yang melestarikan kebudayaan dan seni tradisi lewat pendidikan sistem padepokan.

Bagong Kussudiardja adalah seorang seniman serba bisa yang sudah menciptakan sekitar 200 tarian, 20 fragmen, belasan ribu lukisan dan berbagai karya patung. Di bidang seni rupa, Bagong dikenal sebagai perintis seni lukis batik kontemporer dan sering menyelenggarakan pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Hampir seluruh dunia pernah disinggahi Bagong untuk pameran lukisan atau menggelar tari, yang membuahkan pengakuan dan berbagai penghargaan internasional.

Penghargaan:

  • Penghargaan Seni BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) (1959)
  • Medali Emas dari Sri Paus Paulus II atas karya lukisannya (1973)
  • Satya Lencana Dwija Setia (1975)
  • Medali Emas dari pemerintah Bangladesh dari karya lukisannya (1983)
  • Art Award dan Hadian Seni Pemerintah Republik Indonesia (1985)
  • Penghargaan ASEAN (1987)
  • Anugerah Seni dari Pemda Provinsi DIY (1988)
  • Memenangkan Bienalle Seni Lukis III (1992)
  • Penghargaan dari ACAA (Asian Christian Art Association) (1992)
  • Penghargaan Seni Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (1992)

Bagong meninggal dalam usia 75 tahun di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, Selasa malam 15 Juni 2004, pukul 22.45, setelah menderita komplikasi. Seniman kelahiran Yogyakarta, 9 Oktober 1928, itu dirawat sejak Kamis pekan lalu akibat komplikasi penyakit prostat, paru-paru, diabetes, dan jantung. Bagong Kussudiardja, koreografer dan pelukis andal dari Yogyakarta, Rabu, 16 Juni 2004 siang dimakamkan di sisi makam istri pertamanya, Sofiana, di makam keluarga Sembungan, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sumber:

Bagong Kussudiardjo. KOMPAS, 23 Agustus 1981, hlm 1.

Bagong Kussudiardjo: Kompetisi, Roh Kesenian Saya. KOMPAS, 25 April 1992, hlm 12.

Bagong: Energi Besar Tari Indonesia. KOMPAS, 10 Oktober 1992, hlm 16.

73 Tahun Bagong Kusudiardja: Ciptakan Guruh Gemuruh. KOMPAS, 11 Oktober 2001, hlm 21.

Bagong Kussudiardja Meninggal: Energi Besar Itu Telah Pergi. KOMPAS, 17 Juni 2004, hlm 1.

Obituari: Bagong Kussudiardja: Saya Belum Lelah * Seni. KOMPAS, 20 Juni 2004, hlm 18.

Beberapa adegan dari Padepokan Seni Bagong Kussudihardja (PSBK) di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). PSBK mementaskan Lorong dan Bedaya Gendheng di GKJ 22-23 Mei 1991.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Mimi Rasinah

8. Mimi Rasinah (3 Maret 1930 – 7 Agustus 2010)

Perjalanan hidup Mimi Rasinah sangat menyatu dengan Tari Topeng. Pada usia lima tahun, Mimi Rasinah tidak sekolah. Orangtuanya tidak menginginkan ia sekolah dan diarahkan ayahnya khusus menjadi penari topeng. Usia Sembilan tahun, ia sudah harus ikut bebarangan (ngamen) bersama orangtuanya, berjalan kaki dari satu kampung ke kampung yang lain.

Setelah suami pertamanya meninggal (Tamar, seorang dalang), Mimi Ras menikah lagi beberapa tahun kemudian, dengan Amad, dan melahirkan dua anak, Warno dan Weci.

Sejak usia 20 tahun, Mimi Ras mengembangkan karakter topeng pada Topeng Cirebon yang umumnya terdiri dari 5 karakter. Mimi Ras mengembangkan menjadi 8 karakter: Panji, Samba (putih dan merah), Rumyang, Tumenggung, Kelana (Kelana gandrung, Kelana Udeng, Dursasana, Kiprah, Jinggananom).

Pada tahun 1974, Mimi Ras terkena stroke, setelah itu, hari-harinya lebih banyak di tempat tidur dan di kursi roda. Namun, permintaan tampil menari secara khusus tetap ada sambil duduk di kursi roda, dengan hanya tangan kanannya ia menari.

Setelah ada larangan dari pemerintah, Mimi Rasinah sempat 20 tahun tidak menari. Toto Amsar Suanda dan Endo Suanda-lah yang berhasil membujuk Mimi Ras menari lagi. Meskipun dengan sebuah syarat, minta dibelikan gigi palsu.

Bersama Toto dan Endo, Mimi Ras berpentas di lima kota di Jepang, dan mendapat bantuan dari pemerintah Jepang.

Sejak 29 November 1999, berdiri sanggar tari di rumahnya di Desa Pekandangan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dengan nama Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah. Sanggar ini selain mengajarkan tari topeng dan gamelan untuk anak-anak, juga menerima permintaan kursus privat.

Mimi Ras menerima penghargaan Hadiah Seni 2002 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, serta Woman of The Year 2005 dari ANTV.

Tahun 2005, Mimi Ras berpentas di Jepang, Inggris, Perancis, Italia, Belanda dan Swiss. Sepulang dari Inggris, langsung mengajar tari ke sekolah-sekolah, dan terkena stroke lagi karena kelelahan.

Mimi Rasinah tutup usia Sabtu 7 Agustus 2010 di RSUD Indramayu. Rasinah diduga meninggal akibat komplikasi penyakit stroke, darah rendah, kelelahan, dan usia lanjut.

Sumber:

Topeng Indramayu: Rasinah Tetap Menggetarkan. KOMPAS, 9 September 2000, hlm 9.

Daya Hidup ala Rasinah. KOMPAS, 25 Agustus 2002, hlm 18.

Jalan Berliku Para Pengabdi. KOMPAS, 14 Desember 2003, hlm 13.

Topeng Indramayu: Tarian Terakhir Mimi Rasinah. KOMPAS, 8 Agustus 2010, hlm 1.

Obituari: Penantian Terakhir Mimi Rasinah. KOMPAS, 8 Agustus 2010, hlm 3.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Meski stroke dan harus terduduk, maestro tari topeng Indramayu, Mimi Rasinah (80), tetap penuh semangat menari bersama cucu dan penerusnya, Aerli Rasinah (26), di Bentara Budaya Jakarta pada Pentas Seni dan Pameran “Indramayu dari Dekat”, Rabu (4/8/2010) malam.

REPRO BUKU MAESTRO SENI TRADISI

Syeh Lah Geunta

9. Syeh Lah Geunta (1946 – 20 Juni 2015)

Dilahirkan di Desa Geulanggang Tengoh, Bireuen, tahun 1946 dengan nama Abdullah Abdulrahman. Anak kedua dari tiga bersaudara ini mulai belajar tari seudati saat ia masih duduk di kelas IV sekolah rakyat (SR). Ketertarikannya untuk menggeluti tari seudati didukung ibunya, namun ditentang sang ayah, karena khawatir akan menggangu pelajaran di sekolah dan saat mengaji. Namun, Abdullah kecil tetap bertekad dengan niatnya dan diam-diam ikut berlatih tari seudati bersama teman-temannya di hutan dekat Bireuen. Hasil dari latihan itu pertama kali mereka tampilkan di pasar malam Kota Bireuen, kemudian berlanjut hingga sampai ke Sigli dan Langsa.

Abdullah benar-benar kepincut pada seudati, dan kekhawatiran ayahnya terbukti. Abdullah hanya menempuh pendidikan formal hingga kelas II SMP, kemudian ia pun drop out. Selanjutnya ia mencurahkan hidup sepenuhnya untuk seudati. Pengorbanannya tidak sia-sia, keinginan yang keras serta pantang menyerah menekuni seni tradisi melambungkan namanya hingga ke seantero Aceh.

Pada malam resepsi peletakan batu pertama SMA Cut Gapu, Bireuen, 1963, Abdullah tampil memukau dihadapan Ali Hasyim, sastrawan terkemuka yang juga merupakan Gubernur Aceh. Begitu pentas usai, Ali Hasyim secara khusus naik ke panggung, memberinya gelar Syeh Lah Geunta.

Setelah dewasa, Syeh Lah Geunta benar-benar dikenal di hampir semua wilayah Aceh. Dari seratusan syeh seudati di Aceh, nama dan permainan Syeh Lah Geunta selalu ditunggu masyarakat. Berkat pengaruh Syeh Lah, beberapa sanggar seudati dan rapa’I di Kota Langsa mulai hidup kembali. Banyak juga yang mengenal sosoknya karena tidak pernah menolak orang-orang yang mau belajar seudati dan tarian Aceh lainnya.

Penghasilan dari seni tradisi memang tidak menentu. Terkadang dibayar ala kadarnya, tapi ada kalanya tak dibayar sepeserpun. Pada peringatan dua tahun bencana tsunami di Aceh, Syeh Lah Geunta dilibatkan oleh sebuah lembaga nonpemerintah (NGO/LSM) yang membayar permainan seudatinya hingga Rp 15 juta.

Berkat seudati, ia telah pentas di berbagai tempat di tanah air. Bersama kelompoknya, Syeh Lah Geunta bersama kelompoknya pernah tampil di mancanegara, seperti Tokyo, Jepang (1989), New York, Amerika Serikat (1991), Kuala Lumpur, Malaysia (1991), Singapura dan Spanyol (1992).

Sumber:

Pentas Pamitan Minang dan Aceh dari Sumatera, untuk Amerika. KOMPAS, 24 Februari 1991, hlm 6.

Anugerah Seni NAD bagi Seniman Aceh. KOMPAS, 16 Oktober 2001, hlm 20.

Kesenian Aceh, Wajah Aceh. KOMPAS, 2 Februari 2002, hlm 29.

KOMPAS/MATHIAS HARIYADI

Ayu Bulantrisna Djelantik

10. Ayu Bulantrisna Djelantik (8 September 1957 – 24 Februari 2021)

Lahir di Deventer, Belanda, 8 September 1947, dengan nama Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik. Ia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya Anak Agung Made Djelantik, seorang dokter dan ibunya Astri, seorang bidan berkebangsaan Belanda. Semasa sekolah rakyat, ia belajar tari bersama anak-anak sebayanya dibawah asuhan Ida Bagus Raka Bongkasa. Kakeknya, Ida Anak Agung Bagoes Djelantik, dikenal sebagai raja Karang Asem yang gemar tarian. Neneknya, Mekle Slaga, terkenal sebagai penari legong.

Dalam usia sembilan tahun, tahun 1950-an, Ayu Bulan ikut ayahnya ke Belanda saat tugas belajar. Saat itulah pertama kalinya ia menari di mancanegara yang mengundang decak kagum seorang pemilik sekolah tari. Di sana, ia diminta mendemonstrasikan kebolehannya.

Awal tahun 1960-an, ketika usianya menanjak remaja, bakat tari Ayu Bulan kian berkembang. Apalagi setelah bergabung dengan kelompok tari sekeha di Peliatan, sebuah desa kecil di dekat Ubud. Di bawah asuhan penari Anak Agung Mandera, ia keluar-masuk kampung dan kota untuk menari di berbagai pentas. Mulai dari keperluan upacara adat hingga perjamuan tamu-tamu penting. Termasuk di antaranya, tampil di kediaman Presiden Soekarno, Tampaksiring.

Memasuki usia 18 tahun ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. Kesibukan kuliah tahun 1966-1973, tidak mengurangi kegiatannya di bidang tari. Setiap hari libur ia menghabiskan waktunya di sanggar tari Gita Saraswati, di samping memberi les privat untuk sekadar mencari uang saku tambahan.

Pengalaman pentas internasional yang mulai ada sejak kelas II SMP, kian semarak semasa mahasiswa hingga sekarang. Setiap tahun ia diminta memperkuat misi kesenian Indonesia ke luar negeri. Di bawah pimpinan Sampurno selaku ketua rombongan, ia ikut menjadi duta seni Indonesia di Singapura, Hongkong, Thailand, Filipina, dan Jepang. Belakangan, ia melanglang buana di Korea, Pakistan, hingga ke banyak negara Eropa seperti Belanda, Jerman, Belgia, dan Rusia.

Penjiwaan tari antara lain diperdalam lewat interaksinya dengan seniman dan guru tari lainnya. Sebut misalnya seperti Gusti Made Sengog, Sardono W Kusumo, Maruti, Hurriah Adam (alm), Sentot, Sal Murgiyanto, dan Irawati Durban. Pergaulannya intens sewaktu mengajar di Akademi Seni Tari di Bandung sebelum menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Unpad.

Penari Legong ini mendirikan Bengkel Tari Ayu Bulan di Bandung, Jawa Barat, di tahun 1994. Desember 1996 ia tampil di Moskwa (Rusia), tepat dua pekan sebelum ia ujian doktor (PhD) di Universitas Antwerp (Belgia).

Bengkel tarinya itu sudah beberapa kali melakukan pergelaran dengan menampilkan kreasi-kreasi baru tanpa meninggalkan filosofinya. Di antaranya, legong klasik, legong tua, dan legong Abimayu Gugur.

Bulantrisna menjadi pengurus Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia yang diketuai Endo Suanda. Ia juga menjadi konsultan klinik perkembangan anak Yayasan Surya Kanti, sebuah lembaga di Bandung yang peduli terhadap perkembangan anak-anak tunarungu.

Bulantrisna berpulang pada 24 Februari 2021, karena sakit kanker pankreas yang dideritanya.

Sumber:

Bulantrisna Djelantik, Tarian Dokter Bali * Box. KOMPAS, 14 Mei 1997, hlm 24.

Nama dan Peristiwa: Dr dr Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik (51). KOMPAS, 14 Desember 1998, hlm 12.

Tari yang Lepas Konteks Ritual * Kehidupan. KOMPAS, 18 Mei 2003, hlm 14.

Nama & Peristiwa: Bulantrisna Djelantik – Menari Tengah Malam. KOMPAS, 31 Agustus 2007, hlm 32.

Obituari: Kepak Kupu Bulantrisna. KOMPAS, 25 Februari 2021, hlm 15.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Ayu Bulantrisna Djelantik

KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Amaq Raya

11. Amaq Raya/Loq Saleh

Bernama asli Loq Saleh, Amaq Raya lahir di Desa Lenek, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada era penjajahan Belanda sekitar tahun 1933. Keterampilan mencipta tari dan gending didapat dari ayahnya yang juga seniman kondang di desanya. Namun, guru yang sekaligus mengasah bakat alam Amaq Raya adalah Amaq Tahim. Lingkungan Desa Lenek, yang dikenal sebagai gudang seniman tradisi, turut menempanya menjadi seniman gandrung Lombok.

Amaq aktif dalam kegiatan kesenian sejak zaman penjajahan Jepang. Baik menjadi penari, pencipta tari, gending, maupun penabuh gamelan wayang. Amaq remaja (15 tahun) bersama teman-teman sedesa Lenek, bergabung dalam sebuah kelompok kesenian tradisi yang berpentas dalam pesta-pesta adat, memainkan tari tradisional gandrung dan wayang. Meski buta huruf karena tidak sekolah, Amaq bisa mendalang, memainkan semua instrumen gamelan Sasak, dan hafal seluruh gending-gending pusaka lama. Ia juga terdorong untuk mengubah, membarui, dan mencipta tarian maupun gending baru.

Lahirlah karya pertamanya Tari Gagak Mandi yang mulai populer tahun 1956. Karya yang diciptakan ketika berusia sekitar 17 tahun itu digarap dengan susah payah selama satu tahun. Idenya diperoleh ketika dia mandi di sungai, melihat gerak-gerik sejumlah burung gagak yang juga mandi di sungai yang sama.

Sejak Tari Gagak Mandi lahir, Amaq makin populer di dalam hingga di luar kampungnya. Ia pun semakin percaya diri, sehingga lebih gigih mengasah bakat alamnya. Sehingga lahirlah karya-karya tari dan gending berikutnya, antara lain Kebyar Galian Lombok, Semar Geger, Kembang Jagung, Pidata,Tandak Geruk, hingga Gending Nyondol dalam rentang tahun 1957-1990-an.

Ia beberapa kali diundang dalam acara kenegaraan, seperti tampil di depan Presiden Soekarno di Bali (1957), kunjungan Presiden Soekarno di Lombok (1958), dan tampil di Istana Merdeka di hadapan Presiden Soeharto (1990). Pada tahun 1988, ia diundang main di tiga provinsi di Jepang (Tokyo, Kagawa dan Omea), di mana dia menampilkan Kecimo, Perisaian, Gandrung dan Cepung.

Pemahaman tentang sejarah, diwujudkan lewat seni tembang (pepaosan) Pemban Selaparang, diciptakan tahun 1970, mengisahkan suka-cita rakyat Kerajaan Selaparang yang pernah Berjaya di Lombok Timur tempo dulu. Namun, dalam Ensiklopedi Musik dan Tari Nusatenggara Barat, Pemban Selaparang tidak disebutkan penciptanya (NN).

Kegiatan menciptanya mulai surut, namun kepeduliannya terhadap seni terus membara. Amaq Raya hampir selalu mendampingi seniman muda menghadiri undangan hajatan yang semakin jarang, sebagai pemandu rekan-rekannya, maupun sebagai sekaha (penabuh) karena memang dia serba bisa memainkan beragam instrumen musik tradisi. Di masa tuanya, selain mengandalkan hasil berpentas, ia hidup dari upah pemecah batu kali dan pembuat batu bata. Belakangan, karena sering sakit-sakitan, kiprah keseniannya kemudian diteruskan oleh anak-anaknya.

Sumber:

Amaq Raya Mengabdi Kesenian Lombok. KOMPAS, 11 Agustus 2000, hlm 12.

Tari: Riang Menyambut Ajal. KOMPAS, 22 Desember 2013, 21.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Amaq Raya menarikan tari Gagak Mandiq dari Lombok, dalam pergelaran Maestro! Maestro! #8 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu, (18/12/2013). Pagelaran yang sudah berlangsung untuk ke-8 kalinya ini menampilkan para empu penari tradisi yang mencerminkan kekayaan budaya tari di Indonesia.
KOMPAS/FRANS SARTONO

Ni Luh Menek

12. Ni Luh Menek

Ni Luh Menek kelahiran Desa Jagaraga, Buleleng, Bali, tahun 1939. Tumbuh dalam lingkungan budaya di mana menari merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Lahir dari keluarga petani, putri pasangan Ketut Griya dan Ketut Sandat ini matang sebagai penari desa di bawah asuhan seniman-seniman tari di Desa Jagarana.

Pada umur 12 tahun, ia dilatih oleh Pan Wandres sampai sang empu itu tidak mampu lagi menari. Menek kemudian dilatih oleh Gde Manik. Dari mereka Luh Menek digembleng Tari Kebyar Legong. Sejak 1954, ia menjadi penari yang mewakili Desa Jagarana. Ia menari keliling dari desa ke desa di pelosok Bali, dan juga menari di depan Presiden Soekarno di Istana Tampak Siring Bali, Istana Bogor dan Istana Negara Jakarta.

Atas masukan Presiden Soekarno, Tari Kebyar Legong karya Pan Wandres itu dilakukan perubahan oleh Gde Manik. Karya yang semula berdurasi 15 menit dengan 2 penari, menjadi berdurasi 10 menit, dan gubahan itu menjadi Teruna Jaya.

Apresiasi yang diterima Ni Luh Menek antara lain penghargaan untuk Tari Teruna Jaya dan Palawakya dari Bupati Buleleng tahun 2001, penghargaan Seni Dharma Kusuma dari Pemerintah Provinsi Bali tahun 2011, penghargaan sebagai Pelestari dan Seniman Tari dari Desa Tejakula tahun 2013 dan penghargaan 35 Tahun Bentara Budaya tahun 2017.

Sanggar Tari Teja Manik sekaligus rumah tinggalnya terletak di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Putra dan putrinya telah berkeluarga dan tinggal di Denpasar, dan suaminya, Made Meliun sudah berpulang pada 2014 yang lalu. Kegiatan rutinnya selain memenuhi undangan menari adalah mengajar anak-anak dari usia 9 tahun hingga usia dewasa. Mereka datang dari desa dan kota, bahkan ada mahasiswa dari Jepang, Perancis dan Amerika Serikat.

Sumber:

Langkan: 7 Tokoh Dapat Anugerah dari Bentara Budaya. KOMPAS, 22 Februari 2018, hlm 12.

Bentara Budaya: Kesetiaan Menek, Ketekunan Samadi. KOMPAS, 26 Februari 2018, hlm 12.

Sosok: Ni Luh Menek – Pancaran Taksu Sang Penari. KOMPAS, 3 Maret 2018, hlm 16.

KOMPAS/FRANS SARTONO

Ni Luh Menek, menari Teruna Jaya di Bentara Budaya Bali, Sabtu 24 Februari 2018

KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Sardono W Kusumo

13. Sardono W Kusumo

Lahir di Solo tanggal 6 Maret 1945. Belajar silat ketika masih di sekolah dasar. Silat merupakan keahlian dasar para penari laki-laki. Ketika di SMP Ksatrian, ia mulai belajar menari di bawah bimbingan RM Joko Suharjo di lingkungan keraton Kasunanan Surakarta.

Pernah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, namun tidak tamat di kedua kampus itu. Sardono mengembangkan dan melestarikan seni budaya melalui karya seni tari, khususnya Sendratari Ramayana.

Beberapa penghargaan sudah diterimanya, antara lain penghargaan khusus berupa diploma berpigura dari Pemerintah Meksiko (1993), penghargaan Prince Claus Awards 1997 dari Kerajaan Belanda, Distinguished Award dari International Society for the Performing Arts Foundation (ISPA) di Singapura (2003), dan Bintang Budaya Parama Dharma (2003) dari Presiden RI.

Sardono menciptakan lebih dari 25 karya tari. Beberapa karya Sardono adalah Dongeng dari Dirah, Hutan Plastik, Hutan Merintih, Passage Through the Gong, Opera Diponegoro, Cak Tarian Rina, Awal Metamorfosis, dan Samgita Pancasona.

Budayawan dan koreografer tari ini ikut terlibat mendirikan dan mengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang kemudian menjadi Institut Kesenian Jakarta, sejak tahun 1969. Dari lembaga itu juga ia menerima anugerah gelar profesor atau guru besar dari IKJ di tahun 2004.

Sumber:

Pria Tampan dari Utara. KOMPAS, 31 Agustus 1976, hlm 5.

Sardono dan Jim Supangkat Terima “Prince Claus Awards 1997”. KOMPAS, 19 Desember 1997, hlm 10.

Sardono W Kusumo, Saatnya Menjadi Guru * Box. KOMPAS, 24 Juni 2003, hlm 12.

Anugerah untuk Delapan Putra Bangsa. KOMPAS, 15 Agustus 2003, hlm 1.

Nama dan Peristiwa: Sardono W Kusumo (57). KOMPAS, 8 Januari 2004, hlm 12.

Persona: Tanah Air Sardono W Kusumo. KOMPAS, 13 Agustus 2006, hlm 12.

KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR

Untuk pertama kalinya maestro tari dan koreografer Sardono W Kusumo bertemu mahapianis Iravati Sudiarso. Tampak Sardono menari diiringi dentingan piano yang dimainkan Iravati pada pergelaran musik dan tari lanjutan Resital Pianoforte. Acara ini digelar Jaya Suprana School of Performing Arts dan House of Piano di Gedung Kesenian Jakarta, akhir Oktober 2009.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Retno Maruti

14. Retno Maruti

Lahir di Solo, 8 Maret 1947 dengan nama Theodora Retno Maruti. Ayahnya, Susiloatmodjo seorang dalang dan pemahat (ukir) sungging di Padepokan Sungging Ukir Miji Pinilihan Solo. Ibunya, Siti Marsiyam, seorang wanita yang suka membatik dan merias putra-putrinya ketika akan pentas. Sejak umur 5 tahun Retno sudah mengenal tari-tarian. Guru tarinya antara lain RT Koesoemokesowo, RAy Sukorini, RAy Laksmintoputri, Bagong Kussudiardjo, dan Basuki Kusworogo. Tari Bedaya yang merupakan tari Jawa Klasik yang dikuasainya pertama kali. Ia juga belajar nembang pada Bei Mardusari dan Sutarman.

Menikah dengan Sentot Sudiarto yang seorang penari juga di tahun 1970.

Sebagai penari ia sudah mengunjungi berbagai kota di luar negeri seperti New York, Paris, Belanda dan Tokyo, bersama kelompok tarinya Padneswara yang didirikan bersama suaminya tahun 1976.

Sebagai penari dan koreografer, ia telah menghasilkan berbagai karya, antara lain, Damarwulan (1976), Abimanyu Gugur (1976), Sawitri (1977), Palgunadi (1978), Rara Mendut (1979), Sekar Pembayun (1980), Keong Emas (1981), Begawan Ciptoning (1983), Surapati (2001), dan Alap-alap Sukesi (2004).

Apresiasi yang diterima Retno antara lain, penghargaan Teknologi Seni Budaya Kalyana Kretya Utama dari Menristek BJ Habibie (1997), Citra Adhikarsa Budaya dari Departemen Kesenian dan Kebudayaan RI (2003), Perempuan Pilihan dan Mestro dari Metro TV (2003), Nominator Women of The Year dari ANTV (2004), dan penghargaan Akademi Jakarta 2005 untuk pencapaian dan pengabdian di bidang kesenian/humaniora.

Sumber:

Nama & Peristiwa: Retno Maruti – profil. KOMPAS, 9 September 1978, hlm 6.

Retno Maruti * Tidak Berminat Hidup Hanya dari Menari. KOMPAS, 21 Januari 1979, hlm 1.

Lebih Jauh Dengan: Theodora Retno Maruti. KOMPAS, 20 Juli 1986, hlm 2.

Retno Maruti, Kijang Ramayana * Box. KOMPAS, 28 September 1996, hlm 24.

Lebih Jauh Dengan: Retno Maruti. KOMPAS, 29 Juni 1997, hlm 2.

Persona: Jalan Tari Retno Maruti. KOMPAS, 20 November 2005, hlm 12.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pementasan tari sekar puri dalam Lelangen Beksan karya Retno Maruti dan Rury Nostalgia di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Jumat (8/9/2017).

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Didik Nini Thowok

15. Didik Nini Thowok

Lahir pada 13 November 1954 di Temanggung Jawa Tengah, dengan nama Kwee Tjoen Lian lalu karena sering sakit-sakitan, orang tuanya mengganti namanya menjadi Kwee Tjoen An. Setelah peristiwa G30S/PKI, keturunan Tionghoa diwajibkan mengganti namanya menjadi nama pribumi sehingga namanya menjadi Didik Hadiprayitno. Pertama kali belajar menari Jawa Tahun 1966 saat usianya 12 tahun, dibimbing oleh Sumiasih, teman sekelasnya yang pandai menari dan nembang. Putra pertama dari pasangan Hadiprayitno (Kwee Yoe Tiang) dan Suminah ini selalu haus belajar tari. Selanjutnya ia mempelajari banyak jenis tari dari berbagai daerah di Indonesia. Hingga tahun 2004, Didik telah berguru kepada 23 orang, antara lain Ni Ketut Sudjani (Temanggung), I Gusti Gde Raka (Bali), Rasimoen (Malang), Sawitri (Cirebon), Ni Ketut Reneng (Bali), Kamini (Surakarta), Bagong Kussudiardja (Yogyakarta), BRAy Yodonegoro (Yogyakarta), Sangeeta (India), Richard Emmert (Jepang), Sadamu Omura (Jepang), Jetty Roels (Belgia), dan Gojo Masanosuke (Jepang).

Setelah mulai kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta, Didik membantu kakak angkatannya Bekti Budi Hastuti menarikan fragmen tari Nini Thowok bersama Sunaryo. Kesuksesannya membawa trio tersebut pentas di berbagai acara. Mereka lantas menyebut kelompok mereka sebagai Bengkel Nini Thowok. Selanjutnya di belakang nama mereka melekat nama tambahan Nini Thowok. Sejak itu, Didik memutuskan untuk menekuni tari-tarian putri.

Ketika ia mulai sering keluar negeri di tahun 2000-an, mulai dikenal istilah crossgender, sebuah identifikasi terhadap sebuah kemampuan yang melintasi batas-batas seksualitas. Pada Maret 2003, ia tergabung dalam pertunjukan yang berjudul Impersonators, The Female Role Players in Asian Dance and Theater di Tokyo, Jepang. Dalam pertunjukan yang disponsori Japan Foundation ini, Didik bergabung dengan para penari cross jender dari Jepang, India dan Cina.

Tahun 1980 Didik mendirikan sanggar tari bernama Natya Lakshita yang artinya tari yang berciri. Ia sendiri melahirkan karya-karya penuh humor seperti Topeng Walang Kekek (1980), Tari Dwimuka (1987), Kuda Putih (1987), Topeng Nopeng (1988) dan Dwimuka Jepindo (1999).

Tariannya yang terkenal yaitu Tari Dwimuka dengan mengenakan 2 topeng dari Bali dan Cirebon, masih sering ditarikannya dan masih tetap mengundang decak kagum penontonnya.

Sumber:

Pentas Tari “Reinkarnasi”: Gerak Jujur Didik Nini Thowok. KOMPAS, 26 November 1994, hlm 16.

Persona: Didik Nini Thowok. KOMPAS, 18 Januari 2004, hlm 16.

50 Tahun Didik Nini Thowok: Hibrid Joko Tarub dan Pemancing Hagoromo. KOMPAS Jogja, 18 Desember 2004, hlm 8.

Seni: Tertawa Itu Sehat. KOMPAS, 19 April 2020, hlm 11.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Seniman tari Didik Nini Thowok mewayangkan secara bebas cuplikan prosa liris Le Livre de Centhini, serat Centhini versi Elizabeth D Inandiak, di Pusat Kebudayaan Perancis (CCCL) di Surabaya, Jumat (23/1/2004).

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Ery Mefri

16. Ery Mefri

Ery Mefri yang lahir di Saning Bakar, Solok, Sumatera Barat, pada 23 Juni 1958 ini, belajar menari dari ayahnya, Djamin Manti Jo Sutan sejak usia 3 tahun. Tarian yang dipelajari pertama kali adalah tari piring. Sejak kecil Ery belajar silat dari seorang guru, dan dasar dari seluruh tarian minang adalah gerakan-gerakan silat. Saat istirahat belajar silat, mereka mempraktikkan seni randai, menyanyikan tembang-tembang tradisi dan membawakan lakon-lakon yang diambil dari mitologi.

Sebelum akhirnya belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Padang Panjang, Sumatera Barat, Ery sesungguhnya telah menguasai tarian tradisi secara otodidak. Ery tamat dari SMKI tahun 1981 dan tahun 1982 mulai mencipta tari sendiri. Justru saat ia mulai mencipta tari sendiri banyak yang menganggapnya merusak tari minang, karena diadaptasi dengan tari kontemporer.

Setelah tamat SMKI, Ery mendirikan kelompok tari bernama Nan Jombang Group,

Lebih dari 36 karya dihasilkannya, antara lain Bundo Kanduang, The Hope Becomes a Dream, Tangka Sang Cangka, Ratok Piriang, Tiang Nagari, Adat Salingka Nagari 2, dan Balega Di Nan Salai. Karya-karyanya berangkat dari semangat tradisi Minang telah memperkaya tari baru Indonesia.

Sumber:

Ery Mefri, Menyatukan Rasa dalam Tari * Box. KOMPAS, 21 Juni 2003, hlm 12.

Tari Minang Baru di BBJ. KOMPAS, 11 Desember 2003, hlm 8

Teriakan dalam Gerak Ery Mefri. KOMPAS, 13 Desember 2003, hlm 1.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Beberapa adegan pergelaran tari Nan Jombang Group karya Koreografer Ery Mefri di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (17/6/2003).

KOMPAS/BRE REDANA

Wangi Indriya

17. Wangi Indriya

Wangi Indriya lahir di Desa Tambi, Kecamatan Sliyeg, Indramayu, 10 Agustus 1961. Anak kedua dari empat bersaudara ini mulai belajar tari dasar seperti serimpi dari Taham ayahnya yang seorang dalang dan perajin wayang, saat kelas V sekolah dasar. Kemudian ia belajar tari topeng sejak kelas I SMP. Sang kakek, Wisat, seniman tradisi serba bisa (seorang dalang wayang, pelawak, pintar macapatan, dan pembuat wayang kulit), memanggil dua guru untuk mengajar Wangi menari, yaitu Pak Tarip dan Pak Nargi dari Kecamatan Kertasemaya didatangkan untuk mengajar secara privat. Ia kemudian piawai membawakan tari siklus Panji yang terdiri dari Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Kelana. Wangi berkibar sebagai penari topeng yang piawai di sekitar Indramayu, Majalengka dan Kuningan.

Ketika ia kelas III SMU ia dipaksa berhenti sekolah, karena cemas melihat perkembangan anaknya yang mulai kurang perhatian terhadap kesenian.

Tampil dalam Festival Dalang Wanita di Solo tahun 1990. Ia juga ikut dalam Binojakrama Padalangan tahun 1994 sebagai peserta dalang wanita.

Selain menjadi penari topeng, ia juga pesinden, dalang wayang kulit dan piawai memainkan waditra (instrumen musik tradisional Cirebon). Kakaknya Sidem Permanawati pesinden dan penari, adiknya Suheti penari, pesinden dan menabuh gamelan, adiknya Sunanah penari topeng.

Wangi mampu bergabung dengan seniman lain dalam pagelaran tari bertajuk “Surat Shinta”, di Teater Besar STSI Surakarta, 13 Oktober 2002. Bersama Mugiyono Kasido, Thongchai “Boy” Hannarong dari Topeng Thailand, Hanny Herlina dan Padepokan Tjipto Budaja, Wangi dengan topeng Klana tampil sebagai Rahwana.

Namun, pengalaman paling berharganya adalah saat berkolaborasi dalam film animasi siluet Petualangan Pangeran Akhmed karya Lotte Reiniger. Wanita pengarang kelahiran Berlin-Charlottenburg, Jerman, 2 Juni 1899, itu adalah salah satu seniman dan sekaligus pemula film Jerman yang terpenting. Film ini merupakan film animasi panjang pertama di dunia yang diciptakan selama tahun 1923-1926.

Tahun 2006, Wangi terbang ke Melbourne untuk pentas iLa Galigo yang diangkat dari karya sastra Bugis, iLa Galigo, yang disutradarai Robert Wilson. Setelah audisi pada 2003, Wangi terpilih memerankan Ratu We Nyiliq Timo, perempuan pertama dalam versi Bugis yang menurunkan manusia-manusia lain di bumi. “Kalau enggak salah, saya juga tidak begitu paham cerita iLa Galigo.”

Bersama rombongan iLa Galigo, Wangi ikut berpentas di Singapura, Barcelona di Spanyol, Perancis, Italia, New York di Amerika Serikat, dan Oktober ke Melbourne di Australia. Sebelum ikut iLa Galigo, Wangi pernah pentas di Jepang (1994), Perancis, Belgia, Swiss, dan Belanda (2001). Di dalam negeri dia diundang antara lain ke Solo Dance Festival (2001) serta Temu Koreografer Wanita, pentas di Teater Utan Kayu dan Bengawan Solo Festival (2006).

Sebagai dalang topeng, ia memperoleh penghargaan dalam peringatan 25 tahun Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diselenggarakan 2-7 Noveber 1993.

Ibu dari Aris, Rio dan Ade ini memimpin Sanggar Mulya Bhakti yang didirikan ayahnya pada tanggal 1 Juni 1983, Wangi berusaha menularkan keahliannya. Murid-muridnya terdiri dari anak-anak hingga remaja yang duduk di bangku SD, SMP, SMA dan mahasiswa sekolah tari.

Sumber:

Nyi Wangi, Hapus Citra Negatif Seniwati * Box. KOMPAS, 1 Juni 1996, hlm 24.

Wangi, Penari Topeng Indramayu Serba Bisa * Box. KOMPAS, 15 April 2004, hlm 12.

Persona: Kesetiaan Wangi Indriya. KOMPAS, 15 Oktober 2006, hlm 12.

Maestro Seni dan Regenerasi. KOMPAS, 27 Februari 2010, hlm 7.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tari Topeng Panji dari Cirebon dipentaskan salah satu penerus, Wangi Indriya, saat Gala Show Festival Topeng Nusantara 2010 di Panggung Budaya Cilimus 1928, Resort Prima Sangkanhurip, Kuningan, Jawa Barat, Sabtu (16/10/2010).

KOMPAS//LASTI KURNIA

Nungki Kusumastuti

18. Nungki Kusumastuti

Lahir di Banda Aceh, 29 Desember 1958, dengan nama Siti Nurchaerani Kusumastuti. Anak dari pasangan Sayid Warsito dan Siti Rektorini ini memasuki dunia tari sejak berusia lima tahun saat masih tinggal di Aceh. Ketika pindah ke Banjarmasin, kemudian ke Jakarta, ia meneruskan hobi menarinya. Bermula dari tari Jawa, Nungki kemudian mempelajari beberapa tari tradisional Nusantara.

Saat kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di mana dia belajar penataan tari dan antropologi tari tahun 1977 hingga tahun 1987. Ia juga menyerap pelajaran tari modern dan kontemporer. Kepiawaian menari membawa Nungki pada banyak pentas di tingkat nasional dan internasional seperti di Asia, Afrika, Amerika Serikat dan Eropa. Dunia tari juga mengantarkannya memasuki dunia film, sinetron dan bintang iklan.

Pernah menjabat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1994-2002, Pimpinan Produksi, Humas dan Ketua Bidang Dana Pertunjukkan Padneswara pimpinan Retno Maruti (1997-2004), Manajer IKJ Dance Company (1998-2004), Direktur Indonesia Dance Festival (2004, 2006, & 2008), Ketua Bidang Program dan Penggagas Forum Apresiasi Seni Pertunjukan ke Sekolah (1998-2009).

Istri dari Febrimansyah Lubis ini sempat menjadi Duta Wisata Eropa, Amerika (Face of Indonesia), mendapat penghargaan dari Kementerian Pariwisata RI sebagai penyelenggara Festival Terbaik di Indonesia bersama dengan Maria Darmaningsih dan Ina Suryadewi di tahun 2014.

Sumber:

Nungki Kusumastuti: Kisah Tangis Sang Penari. KOMPAS, 10 Februari 1991, hlm 7.

Nungki, Bergerilya untuk Seni Tari. KOMPAS, 19 Juli 2009, hlm 20.

Perjalanan: Menari Itu Seperti Meditasi. KOMPAS, 19 Juli 2009, hlm 20.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Salah satu adegan dalam opera tari klasik jawa “Suropati” yang dipentaskan oleh Kelompok Kesenian Padnecwara di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta, Jumat (31/8/2012). Opera tari klasik yang menjadi pembuka Festival Schouwburg X ini bercerita tentang kisah kepahlawanan Suropati dalam melawan penjajah.

Referensi

Buku
  • Wahjoe L, Imam. 2003. Profil Maestro Indonesia. Jakarta: PT Indonesia Raya Audivisi.
  • Nurhan, Kenedi. Rita Sri Hastuti., dan Yusuf Susilo Hartono. 2008. Maestro Seni Tradisi. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI & Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).