Foto | Seni

Seniman dan Kelompok Teater

Pengakuan terhadap kualitas teater Indonesia dalam berbagai festival teater di dunia internasional cukup menggembirakan dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun, seni teater Indonesia harus melewati waktu panjang untuk melahirkan sejumlah dramawan yang mendirikan kelompok teater kenamaan yang punya prestasi.

Teater Indonesia tidak kalah bersaing dengan teater dari negara-negara lain. Teater merupakan bagian dari jenis kesenian pertunjukan drama yang dipentaskan di atas panggung. Seni teater adalah jenis kesenian pertunjukkan drama yang dipentaskan di atas panggung. Secara spesifik, seni teater merupakan sebuah seni drama yang menampilkan perilaku manusia dengan gerak, tari, dan nyanyian yang disajikan lengkap dengan dialog dan akting. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teater mempunyai tiga pengertian, yakni gedung atau ruangan tempat pertunjukan film, sandiwara, dan sebagainya.

Jenis teater ada dua macam yaitu teater tradisional dan teater modern. Teater tradisional banyak mengungkapkan tentang kearifan lokal dan sebagai sarana mewariskan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan. Sebagai contohnya antara lain wayang kulit, ludruk, dagelan, wayang orang, reog ponorogo, wayang golek, angklung badut, wayang suket, dan scandul. Sedangkan teater modern adalah teater yang penyampaian ceritanya berdasarkan pada naskah dan sumber ilmunya dari dunia barat, dan bahannya dari kejadian sehari-hari atau karya sastra. Contoh teater modern antara lain drama, sinetron, kabaret, dan film.

Seni teater Indonesia melewati waktu yang panjang untuk melahirkan sejumlah dramawan yang mendirikan kelompok teater kenamaan yang cukup legendaris di Indonesia. Dramawan tersebut antara lain Arifin C Noer yang mendirikan kelompok Teater Ketjil pada 1967, Teguh Karya yang mendirikan kelompok Teater Populer pada 1968, Wahyu Sihombing yang mendirikan kelompok Teater Lembaga, Putu Wijaya yang mendirikan kelompok Teater Mandiri pada tahun 1972, Nano Riantiarno yang mendirikan kelompok Teater Populer pada 1 Maret 1977, dan Jose Rizal Manua yang mendirikan kelompok Teater Tanah Air pada 11 September 1988.

Sudah banyak lakon teater yang dipentaskan dan prestasi yang ditorehkan, baik dari dalam negeri sampai mancanegara. Mereka mempunyai karakter dan gaya pementasan kelompok seni teaternya. Mereka menulis naskah, pemain, dan sutradara untuk karya yang diciptakan dan dipentaskan. Keunikan kelompok teater yang dipimpin oleh dramawan diantaranya Jose Rizal Manua, pemimpin Teater Tanah Air dimana para pemain dan inspirasi untuk drama yang diciptakan adalah anak-anak. Lain lagi dengan bentuk pementasan Teater Koma yang dipimpin oleh Nano Riantiarno lebih meriah dengan musik, gerak, dan nyanyi. Arifin C Noer merupakan perintis teater Indonesia.

Berikut ini adalah berapa catatan yang dirangkum Arsip Kompas Mengenal Dramawan dan Kelompok Seni Teater Indonesia.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Arifin C. Noer

Arifin C. Noer seorang dramawan kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941. Ia mengenal tentang teater dari jalanan, dimana teater anak-anak muda yang kebanyakan muncul dari kegemaran. Arifin C Noer tidak belajar atau bersekolah teater yang mengenalkan teater secara teoritis. Arifin mengenal dan menekuni teater semenjak merantau ke Solo dan Yogyakarta. Arifin C Noer dalam dunia teater disebut sebagai “perintis teater Indonesia”. Hal ini menggambarkan sekaligus menghormati posisi kesenimanan. Rekam jejak karier Arifin C Noer:

  • 1957: Arifin C Noer Tamat SMP Muhammadiyah Cirebon
  • 1960: Arifin C Noer tamat SMA Jurnalistik Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Tjokroaminoto.
  • 1961: Arifin C Noer menulis naskah yang berjudul Bulan Pada Suatu malam.
  • 1963: Arifin C Noer mulai membuat karya teater yang berjudul Bulan Pada Suatu Malam.
  • 1967: Karya “Mega-Mega” terpilih menjadi sandiwara terbaik karya Arifin C Noer oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
  • 1967: Arifin C Noer mendirikan Teater Ketjil.
  • 1968: Teater Ketjil yang didirikan oleha Arifin C Noer melakukan pementasan yang pertama kali di Balai Budaya Jakarta.
  • 1971: Karya Sandiwara Arifin C Noer yang berjudul “Kapai-Kapai” mendapatkan penghargaan Anugerah Seni dari Pemerintah RI.
  • 1972: Arifin C Noer mulai menulis skenario film yang berjudul Pemberang.
  • 1977: Arifin C Noer sebagai penulis dan sutradara untuk Suci Sang Primadona.
  • 1982: Film “Serangan Fajar” produksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN) memenangkan penghargaan Piala citra dan Festival Film Indonesia di Balai Sidang Jakarta. Arifin C Noer terpilih menjadi sutradara terbaik.
  • 1988: Arifin C Noer bersama kelompok Teater Kecil berkesempatan untuk mementaskan teater yang berjudul “Sumur Tanpa Dasar” di Festival Teater Asean.
  • 1988: Pergelaran Teater Ketjil mendapatkan penghargaan sebagai The Best Drama of the Year.
  • 1989: Arifin C Noer menulis naskah yang berjudul Orkes Madun IV.
  • 1990: Arifin C Noer terpilih menjadi sutradara film terbaik untuk film “Taksi” dalam penghargaan Piala Citra di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
  • 1991: Arifin C Noer menjadi sutradara untuk pementasan Kunjungan Nyonya Tua, yang digelar oleh Teater Ketjil di Gedung Kesenian Jakarta. Naskah diterjemahkan oleh Agus Setiadi, dari Der Besuch der alten Dame karya penulis asal Swiss Friedrich Doerrenmatt.
  • 1992 – Film Bibir Mer karya Arifin C Noer mendapatkan penghargaan Piala Citra di Festival Film Indonesia.
  • 1992: Arifin C Noer bersama Teater Ketjil menyelenggarakan pertunjukkan lakon Sumur Tanpa Dasar dalam Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat.
  • 1995: Arifin C Noer meninggal dunia pada 28 Mei 1995 pukul 06.25 di Rumah Sakit Medistra Jakarta, karena penyakit kanker hati.

KOMPAS/EFIX MULYADI

Awak Teater Ketjil pendukung Sumur Tanpa Dasar, semakin kompak di hari-hari akhir dalam tiga minggu lawatan di AS, 26 Januari – 18 Februari 1992. Subarkah, Ratna Riantiarno, Cok Simbara, Lucy Andalusia Sahab, Eddy de Rounde, di kamar rias.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Teguh Karya

Teguh Karya seorang sutradara teater kenamaan, kemudian ia terjun dalam dunia perfilman. Ia kelahiran Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937. Teguh karya bukan berasal dari keluarga seniman, ayahnya seorang pedagang kecil.  Lahir dengan nama asli Liem Tjoan Hok (setelah dibaptis menjadi Steve Liem, dan belakangan menjadi Teguh Karya). Ia anak tertua dari lima bersaudara putera-puteri keluarga Tedja Laksana Karya dan Naomi Yahya. Rekam jejak karier Teguh Karya:

  • 1954: Teguh Karya belajar tentang teater di Akademi Seni Drama dan Film.
  • 1962: Teguh Karya belajar di Akademi Teater Nasional (ATNI).
  • 1968: Teguh Karya mendirikan Teater Populer. Pertama kali kelompok Teater Populer menyelenggarakan pementasan pada 14 Oktober 1968 di Bali Room Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Dalam pementasan pertama ini, membawakan lakon Antara Dua Perempuan karya Alice Gesternberg, Kammerherre, dan Ghost karya Hendrik Ibsen.
  • 1971: Teguh Karya belajar film dengan pembuatan film “Wajah Seorang Laki-laki”.
  • 1973: Teguh Karya mendapatkan penghargaan sebagai sutradara terbaik di Festival Film Indonesia, dari film Cinta Pertama.
  • 1976: Teguh Karya melalui Teater Populer mementaskan lakon Perempuan Pilihan Dewa.
  • 1977: Film karya Teguh Karya  Badai Pasti Belalu mendapatkan penghargaan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia.
  • 1978: Teater Populer menyelenggarakan pementasan yang berjudul Dag Dig Dug.
  • 1979 – Film November 1928 karya Teguh Karya mendapatkan penghargaan Piala Citra.
  • 1983: Teguh Karya membuat karyanya Di Balik Kelambu.
  • 1986: Film Ibunda karya Teguh Kary mendapatkan penghargaan Piala Citra sebanyak sembilan sekaligus, termasuk film terbaik, dan sutradara terbaik.
  • 1987: Teater Populer mementaskan lakon Pernikahan Darah.
  • 1988: Teguh Karya mendapatkan penghargaan internasional melalui film Doea Tanda Mata sebagai film terbaik Festival Film Asia Pasifik. Di tahun ini pula Teguh Karya menggarap sinteron yang berjudul Pulang.
  • 1989: Teguh Karya membuat karya film Pacar Ketinggalan Kereta, film ini mendapatkan penghargaan Piala Citra.
  • 1992: Teguh Karya menggarap sinetron yang berjudul Arak-arakan.
  • 1994: Teguh Karya menggarap sinetron Alang-alang dan Bayangan Cermin Palsu.
  • 1997: Sinetron Perkawinan Siti Zubaedah merupakan karya Teguh Karya yang berhasil masuk nominasi Festival Sinetron Indonesia.
  • 2001: Teguh Karya menerima penghargaan Life Time Achievement dari Panitia Festival Asia Pasifik (FFAP), atas pengabdian untuk kemajuan dunia perfilman di Indonesia.
  • 2001: Teguh Karya meninggal dunia pada Selasa 11 Desember 2001 sekitar 10.30 dalam perjalanan menuju rumah sakit. Teguh yang meninggal dalam usia 67 tahun itu tahun-tahun belakangan memang sangat menurun kondisi kesehatannya sejak terkena stroke.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Salah satu adegan dalam teater “Pernikahan Darah” karya FG Loren yang dipentaskan oleh Teater Populer, Sutradara Teguh Karya di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta 25-27 Agustus 1971. Drama didukung oleh pemain-pemain terkenal seperti Tuti Indra Malaon, Slamet Rahardjo, Meinar Coeke, Sylvia Widiantoro dll. Naskah diterjemahkan oleh Asrul Sani.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Wahyu Sihombing

Washington Parlindungan Sihombing Nababan merupakan nama lengkap dari Wahyu Sihombing. Ia kelahiran Nagasaribu Siborong-borong, Tapanuli Utara, 15 Agustus 1932. Ia merupakan anak sulung dari 6 bersaudara. Ia menjadi salah satu sosok yang melakukan persemaian teater di Jakarta, kemudian keluar hingga ke berbagai daerah di Indonesia. Wahyu Sihombing lulusan dari Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), kemudian melanjutkan belajar teater ke Hawai atas bantuan East West Centra (1963-1964). Rekam jejak karier Wahyu Sihombing:

  • 1963: Mempunyai perusahaan film sendiri bernama Virgo Film yang didirikan bersama istrinya Tatiek Malyati.
  • 1964: Film pertama yang di produksi oleh perusahaan Virgo Film Balada Kota Besar dan Impian Bukit Harapan. Film inipun dilarang pada waktu Orde Lama.
  • 1968: Menduduki jabatan Wakil Ketua Dewan Produksi Film Nasional Departemen Penerangan.
  • 1970: Membuat Matinya Seorang Bidadari.
  • 1972: Anggota Dewan Kesenian Jakarta.
  • 1973: Ketua Festival Teater Remaja se-jakarta di Taman Ismail Marzuki.
  • 1976: Sutradara film Cinta Abadi.
  • 1977: Ketua Kursus Seni Peran Inter-Studio.
  • 1979: Film Gara-gara Isteri Muda menjadi nominasi untuk sutradara terbaik di Festival Film Indonesia.
  • 1980: Sutradara mementaskan lakon Bebek Liar bersama Teater Lembag dari Akademi Teater Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki.
  • 1981: Bekerja sama dengan penyair Sitor Situmorang mementaskan sandiwara Batak “ Pulo Batu” di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki.
  • 1982: Sutradara dari Teater Lembaga mementaskan Menunggu Godot di Taman Ismail Marzuki. Para pemain adalah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta.
  • 1986: Sutradara serial televisi Losmen.
  • 1988: Menerima hadiah Usmar Ismail oleh Dewan Film Nasional.
  • 1989: Meninggal dunia pada Sabtu 30 Desember 1989 sekitar 01.00, setelah mengalami serang jantung.

KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF

Sebuah adegan drama Rumah Wanita yang dipentaskan Teater Lembaga di Gedung Kesenian Jakarta 15-17 Juli 1990. Sayang, jam terbang pemainnya masih kurang.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Putu Wijaya

I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau yang lebih dikenal dengan Putu Wijaya merupakan budayawan sastra Indonesia asal Bali. Putu sendiri sebenarnya adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia kelahiran Tabanan, Bali, 11 April 1944. Ia konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kemajemukan, dan perdamaian lewat karyanya. Putu Wijaya selalu tak pernah lalai mengenakan topi warna putih, sebagai salah satu ciri khas penampilannya. Rekam jejak karier Putu Wijaya :

  • 1967: Juara ketiga dalam Lomba Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia  yang berjudul Lautan Bernyanyi.
  • 1969: Meraih gelar sarjana hukum di Universitas Gadjah Mada.
  • 1971: Redaktur Majalah Tempo.
  • 1971: Pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta dalam bentuk novel Telegram.
  • 1972: Bersama rekan-rekan di majalah Tempo mendirikan Teater Mandiri.
  • 1973: Bergabung dengan kelompok Teater Swaraj, sebuah kelompok teater milik masyarakat Ittoen. Kelompok teater ini setiap tahun melakukan pementasan keliling Jepang.
  • 1974: Pementasan sandiwara berjudul Aduh yang dipentaskan oleh Teater Mandiri.
  • 1975: Mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat.
  • 1976: Penulis naskah drama yang berjudul Dag Dig Dug.
  • 1978: Mementaskan monolog membacakan cerpen yang berjudul Bom di Taman Ismail Marzuki.
  • 1979: Redaktur Majalah Zaman.
  • 1980 – Putu Wijaya penerima penghargaan SEA Write Award dari Kerjaan Thailand. Pementasan pertama kali naskah Gerr oleh Teater Mandiri di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki.
  • 1985 – Putu Wijaya berkesempatan bermain drama di luar negeri dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman.
  • 1986 – Putu Wijaya membuat karya yang berjudul Hah, yang bercerita tentang ibu miskin dan realitas sosial kaum kecil metropolitan.
  • 1991 – Putu Wijaya penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation, Kyoto, Jepang.
  • 1991 – Putu Wijaya bersama Teater Mandiri berkeliling Amerika Serikat dalam pementasan drama Yel.
  • 1995 – Putu Wijaya menulis cerpen yang berjudul Merdeka, yang bercerita tentang seorang juragan tua yang menghadiahi burung-burung perkututnya dengan melepaskannya ke alam bebas.
  • 1996 – naskah Gerr diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Michael Bodden dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat dengan judul Geez.
  • 1997 – Teater Mandiri mementaskan lakon Dar Der Dor di Gedung Kesenian Jakarta, pada 1 Oktober 1997. Pementasan tersebut dipimpin dan disutradarai oleh Putu Wijaya.
  • 2002 – Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya tampil memukau membuka pertunjukan Puncak Festival Internasional Teater-Tari “Laokoon” Musim Panas (22 Agustus-8 September 2002) di Pusat Kesenian Kampnagel Hamburg, Jerman.
  • 2003 – Putu Wijaya membuat karya yang berjudul Zero yang dipentaskan pertama kali dalam acara Asia Meets IV di Taiwan dan menulis cerpen yang berjudul Poligami. Cerpen Poligami bercerita tentang perempuan yang ingin menjadi laki-laki yang dianggap menggenggam otoritas sosial lebih kuat. Fakta laki-laki pun kerap jadi korban perempuan, terutama saat dimabuk cinta.
  • 2005 – Putu Wijaya menulis cerpen yang berjudul Memek dan Setan. Cerpen Setan bercerita tentang setan yang berguru menjadi pahlawan.
  • 2006 – Putu Wijaya menulis cerpen yang berjudul Raksasa, bercerita tentang gerombolan orang-orang yang merasa lebih kuat sehingga mau memangsa manusia lain.
  • 2007 – Putu Wijaya menerima Federasi Teater Indonesia Award di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, karena sudah bergiat mengembangkan dunia teater Indonesia.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Teater Mandiri mementaskan lakon “Zera” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/4/2016). Lakon komedi ditulis dan disutradarai oleh Putu Wijaya, dikemas dengan apik dan menghibur, menandakan salah satu kepiawaiannya dalam menulis naskah.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Nano Riantiarno

Norbertus Riantiarno atau yang lebih dikenal  dengan nama Nano Riantiarno adalah seorang aktor, tokoh teater, penulis, sutradara, dan wartawan Indonesia. Ia kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949. Rekam jejak karier Nano Riantiarno:

  • 1965: Bergabung dengan kelompok kesenian Tunas Tanah Air Cirebon.
  • 1967: Belajar ke Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta.
  • 1968: Bersama Teguh Karya mendirikan Teater Populer.
  • 1971: Melanjutkan Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Jakarta.
  • 1977: Mendirikan Teater Koma, tepatnya pada 1 Maret 1977.
  • 1978: Mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk penulisan naskah film terbaik yang berjudul Jakarta-Jakarta.
  • 1982: Bersama Teater Koma mementaskan sandiwara yang menggabungkan nyanyi, tari dan musik sekaligus yang  berjudul Boom Waktu.
  • 1983: Bersama Teater Koma mementaskan lakon Opera Ikan Asin.
  • 1984: Bersama Teater Koma mementaskan Opera Salah Kaprah.
  • 1985: Bersama Teater Koma mementaskan Opera Kecoa.
  • 1986: Bersama Teater Koma mementaskan Opera Julini. Pada saat pementasan Opera Julini mampu menarik penonton sebanyak 16.500, hal ini menjadi rekor penonton di sebuah pementasan kelompok teater.
  • 1987: Sutradara sandiwara Para Bintang yang dipentaskan oleh Teater Koma di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Nano Riantiarno menerima Piala Vidia untuk penulis skenario sinetron Karina.
  • 1988: Penulis naskah dan sutradara sandiwara Opera Primadona yang akan dipentaskan oleh Teater Koma pada 24 Maret – 1 April 1988 di Gedung Kesenian Jakarta.
  • 1989: Teater Koma mementaskan lakon Banci Gugat di Gedung Kesenian Jakarta. Sandiwara ini disutradarai oleh Nano Riantiarno. Namun karya Nano Riantiarno yang berjudul Sam Pek Eng Tay dilarang untuk dipentaskan.
  • 1990: Teater Koma mementaskan lakon Konglomerat Burisrawa di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada 23 Maret -1 April 1990.
  • 1991: Sutradara dalam pementasan Teater Koma yang berjudul Orang Kaya Baru. Selain itu menulis naskah sandiwara yang berjudul Rumah Sakit Jiwa.
  • 1994: Sutradara untuk sinetron tentang penyakit AIDS  berjudul Onah dan Impiannya yang ditanyangkan di TVRI.
  • 1995: Sutradara untuk film Cemeng 2005 ( The Last Primadona).
  • 1998: Penulis naskah Opera Sembelit di pentaskan secara komedi oleh Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Sebagian personil Teater Koma dalam Panggung. Didi Petet (nomor dua dari kiri), Ratna Riantiarno (nomor empat dari kiri) dan Tarida Gloria (ujung kanan).

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Jose Rizal Manua

Jose Rizal Manua merupakan sosok pegiat teater yang tulus mengabdi pada seni teater. Ia kelahiran Padang, Sumatera Barat, 14 September 1954. Sejak kecil jiwa seninya Jose Rizal Manua sudah terlihat dari keterampilannya membaca puisi dan teater. Selain menekuni seni teater ia juga aktif menulis puisi. Puisi-puisi yang ia tulis memliki ciri khas yaitu kehumorannya. Jose merupakan seorang seniman dan pujangga. Rekam jejak karier Jose Rizal Manua:

  • 1972-1976: Bergabung dengan Teater Wijaya Kusuma yang dipimpin oleh Rendra Karno.
  • 1974-2010: Jose Rizal Manua bekerja di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
  • 1975: Mendirikan kelompok kesenian Teater Adinda bersama Yos Marutha Effendi. Teater ini menampung anak-anak yang berusia 7-14 tahun.
  • 1977: Bergabung dengan WS Rendra di kelompok kesenian Bengkel Teater.
  • 1978-1981: Bersama Teater Adinda secara berturut-turut menjadi juara pertama di Festival Teater Anak-anak Se-DKI Jakarta.
  • 1982-1986: Sutradara drama anak-anak Teater Legenda di TVRI.
  • 1986: Mendirikan kelompok kesenian Bengkel Deklamasi Jakarta.
  • 1988: Mendirikan kelompok kesenian Teater Tanah Air pada 11 September 1988 berlokasi di Taman Ismail Marzuki.
  • 1989-sampai sekarang: Menjadi pengajar di Fakultas Teater  dan Fakultas Film, Institut Kesenian Jakarta.
  • 1990: Mementaskan dengan membaca puisi humor di beberapa kota besar di Indonesia dan Malaysia.
  • 2004: Bersama Teater Tanah Air meraih medali emas sebagai penampil terbaik di The Asia Pasific Festival of Children’s Theatre di Toyoma, Jepang.
  • 2006: Bersama Teater Tanah Air berhasil menjadi juara pertama pada  9th World Festival of Children’s Theatre di Lingen, Jerman. Mereka juara pertama untuk dua kategori paling bergengsi dan penampilan terbaik dan sutradara terbaik. Lakon yang dipentaskan oleh Teater Tanah air pada acara itu berjudul Bumi di Tangan Anak-anak.
  • 2008: Menerima gelar Satya Lencana Wira Karya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jose Rizal Manua bersama Teater Anak menyelenggarakan pementasan lakon ”Spectacle PEACE a Visual Theatre Performance” karya Putu Wijaya, dalam acara 10Th World Festival of Children’s Theatre di Moskwa, Rusia.  Diundang khusus Markas Besar PBB di Palais des Nations-United Nations Office in Geneva (UNOG)-Switzerland, dalam rangka memperingati The United Nations Universal Children’s Day.
  • 2011: Menjadi salah satu juri  Festival Teater SLTA Se-Jabodetabek yang berlangsung di GRJS Bulungan Jakarta Selatan.
  • 2013: 13th International Children’s Festival of Performing Arts, New Delhi, India.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Anak raksasa gimbal melindungi telur makhluk purba dari pemburu jahat dalam sebuah adegan teater bertajuk Peace yang dimainkan anak-anak Teater Tanah Air di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (19/7/2009). Teater karya Putu Wijaya tersebut disutradarai oleh Jose Rizal Manua.

Referensi

Arsip Kompas
  • Dua Sutradara Diperkirakan Akan Bersaing di FFI 1992, KOMPAS, 15 Oktober 1992, hlm 12.
  • “Kunjungan Nyonya Tua” Arifin C Noer: Adakah Rasa Kelaparan ini Pada Kalian, KOMPAS, 12 Desember 1991, hlm 12.
  • FFI 90 Umumkan: “taksi” Film Terbaik, Raih 6 Citra, KOMPAS, 12 November 1990, hlm 1.
  • Teater Indonesia di Festival ASEAN, KOMPAS, 11 Agustus 1988, hlm 6.
  • Hasil FFI 1982: “Serangan Fajar” Terpilih Film Terbaik, KOMPAS, 15 Agustus 1982, hlml 1.
  • Arifin C Noer dan Bibir Indonesia, KOMPAS, 14 April 1992, hlm 16.
  • Profil Sutradara Indonesia Terbaik 1973: Teko Indah yang Tak Berpihak, KOMPAS, 06 Mei 1974, hlm 4.
  • Pementasan Bebek Liar, KOMPAS, 27 Juni 1980, hlm 6.
  • Putu Wijaya Menghipnotis Hamburg * Pergelaran, KOMPAS, 31 Agustus 2002, hlml 29.
  • Teater: Putu Wijaya Terima FTI Award, KOMPAS, 11 Januari 2008, hlm 12.
  • Skandal Primadona Teater Koma, KOMPAS, 23 Maret 1988, hlm 6.
  • Jose R Manua: Dinosaurus Takut Kuda Lumping * Box, KOMPAS, 26 Agustus 2004, hlm 12.
  • Persona: Jose Rizal – Magma Teater Anak, KOMPAS, 18 Oktober 2015, hlm 12.