KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS (JAL)
Kediaman salah seorang warga Desa Lerehoma, Anggaberi, Konawe, Sulawesi Tenggara, seperti terlihat pada Minggu (10/11/2019). Desa yang hanya dihuni 33 keluarga ini dibuat berdasar Perda Nomor 7/2011 yang diketahui fiktif. Meski demikian, sejak 2017, desa ini menerima dana desa yang totalnya miliaran rupiah.
Beberapa desa fiktif di Konawe terungkap karena terbukti tidak memiliki warga. Desa-desa itu tetap mendapat aliran dana desa. Fakta ini menjadi peringatan bahwa mekanisme pengawasan aliran dana desa harus diperketat. Sejauh ini terungkap 34 desa penerima aliran dana desa bermasalah di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Sebanyak 31 desa, meskipun keberadaannya nyata, memiliki surat keputusan pembentukan desa dengan tanggal mundur sebelum keluar kebijakan moratorium dari Kementerian Dalam Negeri. Hal ini tidak sesuai dengan prosedur untuk menerima dana desa.
Sementara itu, tiga desa yang lain keberadaannya fiktif; yaitu Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lampuya, Desa Uepai dan Desa Moorehe di Kecamatan Uepai, tetap mendapat kucuran dana. Walaupun demikian, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Konawe menjamin anggaran desa dari pemerintah pusat ke daerah tidak dialirkan ke ketiga desa tersebut.
Berkaitan dengan temuan ini, kemendagri dan kepolisian menyelidiki pelanggaran yang terjadi hanya terkait masalah administrasi atau juga menyangkut masalah pidana. Direktur Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan menyebut akan segera mencabut keberadaan desa-desa yang terbukti fiktif.
“Kalau memang secara data dan administrasi jelas ada kekeliruan itu, kami akan cabut,“
Nata Irawan, Direktur Bina Pemerintahan Desa Kemendagri (Kompas, 8/11/2019).
Temuan terkait adalah soal ketidakcocokan data jumlah penduduk antara yang tercatat dengan temuan di lapangan. Menurut data Kompas, aturan pembentukan desa di Konawe tertuang dalam Perda No.7/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Konawe No.2/2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa Kabupaten.
Namun, merujuk pada aturan itu ditemukan adanya perbedaan data tertulis dengan data lapangan. Desa Lerehoma misalnya, tercatat memiliki penduduk 1.048 jiwa dengan 190 KK. Namun di lapangan, berdasarkan keterangan penjabat kades, hanya ada 55 keluarga dan yang tinggal di desa itu 33 keluarga saja.
Hal yang mirip terjadi di Desa Wunduongohi, Kecamatan Anggaberi. Pasalnya tercatat jumlah penduduk desa ini menurut data perda di atas adalah 190 keluarga dengan 1.028 jiwa. Namun fakta di lapangan menunjukkan hanya ada 117 keluarga dengan 350 jiwa.
Dokumen Terkait
- UU No 6 tahun 2014 tentang Desa
- Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2014 tentang Dana Desa
2014 - 2015
Masalah yang terjadi seputar aliran dana desa ini seakan menjadi bukti bahwa niat pemerintah untuk mengembangkan desa melalui program ini belum tercapai secara maksimal. Bahkan jika ditelusur lebih dalam, tarik-menarik kepentingan sudah mulai terjadi sejak awal pembentukan program ini.
Program dana desa dimulai pada tahun 2015 berdasar pada UU No.6/2014 tentang Desa. Salah satu poin dalam aturan itu menyebutkan tentang alokasi dana desa yang bersumber dari pusat. Tujuan dari alokasi ini adalah untuk mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan.
Secara spesifik dana desa kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah No.60/2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Aturan-aturan ini disahkan semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada awal 2015, terjadi tarik-menarik antara dua kementerian yang hendak menjadi pengelola utama program ini, yakni Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kementerian Desa).
Meskipun tarik-menarik masih terjadi, pada saat yang sama pemerintah menyebut aliran dana tidak akan terganggu dengan adanya masalah ini. Isu terhambatnya pemberian dana desa ini ditampik oleh Menteri Sekretaris Negara waktu itu, Pratikno (Kompas, 7/1/2015).
Pencairan dana desa yang besarnya sekitar Rp 1 miliar tiap desa adalah perintah UU No.6/2014 tentang Desa. Indonesia memiliki 72.944 desa. Dengan alokasi rata-rata Rp 1 miliar tiap desa, itu berarti akan terdapat anggaran sekitar Rp 73 triliun.
Program ini secara pasti akan melibatkan pemerintah daerah hingga tingkat desa untuk pengelolaannya. Berkaitan dengan ini pemerintah pusat yakin dengan kemampuan pengelolaan dana desa di daerah. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi kala itu, Marwan Jafar, optimis dengan kemampuan pengelolaan ini.
”Saya yakin siap karena para kepala desa sudah terbiasa menerima dan mengelola dana desa yang selama ini dialokasikan dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dari pengalaman saya berkunjung ke daerah-daerah, mereka menyatakan siap. Jadi, kita optimis.”
Marwan Jafar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kompas, 2/3/2015).
Meskipun diyakini siap, namun program dana desa yang akhirnya diurus oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi ini menemukan beberapa kendala di awal. Tercatat pada bulan Mei 2015, banyak desa belum siap dari segi administrasi sehingga baru 25 persen dari semua desa di Tanah Air yang berjumlah 74.093 desa, yang menerima dana tersebut.
”Dananya sudah ada, tetapi desa sendiri belum siap. Kami sudah beberapa kali meminta kepala daerah untuk sosialisasi ke desa penerima. Kenyataannya, banyak desa belum melengkapi administrasinya,” ujar Marwan Jafar.
Selain masalah administrasi, dana desa juga kerap dipolitisasi oleh kepala-kepala daerah untuk mendapatkan dukungan. ”Dana desa jangan dipolitisasi sebagai pemberian bupati. Ini murni bantuan pemerintah untuk desa,” lanjut Marwan (Kompas, 2/5/2015).
Tidak mulusnya penyaluran anggaran desa juga dipengaruhi fakta lapangan kurangnya pengetahuan para penjabat di tingkat daerah mengenai pengelolaan dana ini. Bahkan, para perangkat desa merasa perlu pendampingan dari pusat. Sekretaris Desa Ema, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon, Andi Moses, misalnya, meminta pemerintah agar memperbanyak pelatihan bagi aparat desa.
”Kami masih bingung dengan program tersebut. Kami khawatir jangan sampai ketidaktahuan kami membuat kami berhadapan dengan hukum atas tuduhan melakukan korupsi. Kami meminta pendampingan yang serius dari pemerintah”
Andi Moses, Sekretaris Desa Ema, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon (Kompas, 21/5/2015).
2016
Setelah setahun berjalan, ketidakpahaman pengelolaan masih menjadi kendala.
”Karena harus menyesuaikan dengan aturan yang berubah-ubah, kami pun harus merevisi RAPB (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja) desa, lebih dari tiga kali,” ujar Slamet, Kepala Desa Kandangan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Kompas, 4/1/2016).
Dampaknya, kemungkinan penyalahgunaan anggaran sangat mungkin terjadi. Misalnya dua kepala desa di Jawa Tengah harus diperiksa inspektorat wilayah kabupaten karena menggunakan kurang lebih 20 juta rupiah untuk syukuran bersama warga. Padahal, dana tersebut semestinya digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa.
Di Papua, Bupati Dogiyai Thomas Tigi serta Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Dogiyai Soleman Rante Tomassoyan, masing-masing dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Mereka didakwa menyalahgunakan dana bantuan sosial di Kabupaten Dogiyai yang merugikan keuangan negara Rp 3,7 miliar (Kompas, 9/1/2016).
Kendala-kendala ini coba diatasi oleh pemerintah dengan revisi aturan terkait dana desa. Aturan tersebut dikenal sebagai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 Dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara.
2017 - 2018
Meskipun beberapa kendala masih terjadi di lapangan, namun pemerintah tetap meneruskan program dana desa demi mengurangi kesenjangan antara wilayah desa dengan kota. Untuk itu, pemerintah menambah anggaran dana desa setiap tahunnya.
Presiden Joko Widodo menyampaikan secara langsung kenaikan anggaran dana desa ini. Sebelumnya, pada 2015, alokasi dana desa Rp 20,8 triliun.
”Tahun depan (2017), kan, sudah Rp 60 triliun dari alokasi sebelumnya yang Rp 46,98 triliun. Nanti, tahun depannya lagi (2018), kita tingkatkan lagi dua kali lipatnya. Kemarin sudah kami hitung-hitung,”
Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia.
Hal senada diungkapkan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sanjoyo. Dana desa ditingkatkan menjadi Rp 120 triliun pada 2018.
”Dari Rp 120 triliun, Rp 20 triliun khusus untuk membangun embung di setiap desa untuk menambah infrastruktur pertanian. Sebagian besar dana lainnya tetap untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan membangun basis infrastruktur desa, seperti jembatan dan jalan,” ungkap Eko Putro Sanjoyo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Sayangnya, pada tahun 2018, perangkat desa masih belum mampu menunjukkan kinerja maksimal. Pada awal tahun misalnya, penyaluran dana terkendala akibat belum rampungnya APBDes yang disusun perangkat desa.
Salah satu akibatnya dirasakan beberapa desa di Sidoarjo. Sebanyak 353 (seluruh) desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, belum menerima dana desa tahun 2018 untuk termin pertama sebesar 20 persen. Padahal, sesuai instruksi presiden, pencairan tahap pertama itu dilakukan maksimal minggu kedua Januari 2018.
Melihat masih banyaknya kendala yang terjadi, pemerintah akhirnya melakukan perubahan dengan tetap mengalirkan dana di angka Rp 60 triliun pada 2018. Aliran dana sebesar Rp 120 triliun baru akan diberikan pada tahun 2019. Pemerintah berfokus untuk menguatkan sistem tata kelola.
”Waktu itu dibahas bersama DPR, bahwa pemerintah agar mengevaluasi, juga memperkuat kesiapan desa dalam memanfaatkan dana desa. Evaluasi ini akan sangat berguna sehingga saat dana desa ditingkatkan sesuai mandat UU, sudah ditemukan suatu sistem yang bisa bermanfaat. Sehingga setiap anggaran yang ditambahkan ke desa akan memberikan manfaat sebesar-besarnya dan mengurangi penyelewengan maupun pelanggaran tata kelola,”
Sri Mulyani, Menteri Keuangan (Kompas, 6/1/2018).
2019
Di antara banyak kendala yang terjadi, partisipasi warga desa dianggap menjadi kunci penting bahkan bisa menjadi kontrol terhadap penyelewengan yang terjadi, termasuk korupsi. Dengan demikian, tokoh penggerak diharapkan muncul untuk membantu perencanaan. Sekretaris Daerah Kendal Mohamad Toha menuturkan, ”Kami sarankan memanfaatkan sarjana yang ada di desa. Pintar, jujur, dan kreatif. Itu yang diambil” (Kompas, 19/9/2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito. Arie berpandangan perencanaan harus melewati musyawarah dan perencanaan yang sungguh-sungguh. Perencanaan bukan sekadar pemenuhan syarat administrasi.
”Pengelolaan dana desa pasti berhasil asalkan partisipasi masyarakat hidup, forum-forum warga aktif, dan musyawarah dijalankan dengan baik.” kata Arie dalam diskusi ”Membangun dari Desa, Praktik Kelola Dana Desa” di Balai Desa Bumiayu, Weleri, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah (Kompas, 19/9/2019).
Sebagaimana terjadi di Cirebon, Desa Kamarang, Kecamatan Greged, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dana desa berhasil dimanfaatkan oleh warga untuk mengelola sampah dan mengatasi kekurangan air bersih berkat ide kreatif yang muncul. Untuk mengatasi masalah sampah, dibuat TPS dan insinerator yang berfungsi untuk membakar sampah dengan aman dan ramah lingkungan.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI (IKI)
Ero Sumarto (48) memasukkan sampah ke insinerator di pembuangan sampah (TPS) di Dusun Manis, RT 008 RW 003, Desa Kamarang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (17/7/2019). Dengan dana desa sekitar Rp 100 juta, pemerintah setempat membangun insinerator untuk mengatasi masalah sampah. Insinerator itu diklaim ramah lingkungan karena asap tidak mengepul saat proses pembakaran.
Untuk mengatasi masalah air, pemerintah desa (pemdes) membuat 100 lubang resapan biopori. Lewat biopori, pipa dipasang di dalam tanah. Pipa tersebut menampung sampah organik yang nantinya dijadikan pupuk kompos.
Pemerintah Desa Kamarang bahkan ke depannya menargetkan semua rumah terairi. Setelah persoalan utama warga, yakni sampah dan air, selesai, masih ada sasaran produktif lain, yakni bergerak ke pariwisata. ”Kamarang bisa jadi tempat arung jeram,” kata Kuwu (Kepala Desa) Kamarang Endang Kusnandar.
Sayangnya, menjelang akhir tahun 2019 masih ditemukan penyelewengan berkaitan dengan dana desa ini. Dengan banyaknya desa penerima program dana desa ini, maka pengawasan memang membutuhkan perhatian. Penyelewengan yang terjadi di Konawe, bisa menjadi pengingat pemerintah untuk mengungkap hal-hal serupa yang mungkin terjadi di daerah lain.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo, jika terjadi desa fiktif, problem sesungguhnya ada pada verifikasi, validasi, dan monitoring. Artinya, pengawasan cenderung formal tanpa pengecekan lapangan faktual (Kompas, 17/7/2019).
Referensi
- Arsip Pemberitaan Kompas