Paparan Topik | Politik dan Demokrasi

Golongan Muda dalam Pergerakan Politik Indonesia

Sejarah bangsa Indonesia telah menunjukkan politik dan golongan muda adalah dua entitas yang koheren dan bersinggungan. Keterlibatan golongan muda dalam kancah politik telah dimulai sejak masa perjuangan dan dilanjutkan hingga kini.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana pelaksanaan Kongres Pemuda II yang menjadi sejarah tonggak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tersaji dalam diorama di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta, Kamis (25/10/2018).  Museum ini ramai dikunjungi warga yang ingin mempelajari lebih dekat sejarah yang melahirkan sumpah untuk meleburkan berbagai latar belakang perbedaan menjadi satu Indonesia.

Fakta Singkat

Golongan Muda dan Gerakan Politik

  • Sejak 1908, dalam siklus 20 tahun-an, alih generasi golongan muda Indonesia melahirkan pembaharu gerakan perjuangan sosial-politik bangsa.
  • Golongan muda Indonesia dalam dimensi politik dekade pertama abad ke-21 memiliki modal besar, secara demografis dan keakraban berinternet.
  • Runtuhnya Rezim Orde Baru pada 1998 terjadi akibat gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa dan golongan muda melalui aksi turun ke jalan.
  • Jumlah golongan muda pada 2020 mencapai hampir seperempat penduduk Indonesia (23,86 persen) dan menjadi populasi terbanyak.
  • Pada 2019, hingga 83 persen dari total pengguna internet Indonesia adalah golongan muda usia 15-24 tahun.
  • Media sosial dan internet memiliki pengaruh besar dalam pembangunan dan pergerakan narasi politik.

Dalam sebuah periodisasi waktu, hadir berbagai kelompok usia dalam masyarakat sosial. Masing-masing kelompok ini menawarkan keunikan dan kelebihannya. Meski begitu, tak ada yang mampu mengalahkan daya pikat golongan muda, setidaknya bagi Mao Tse-tung dan Soekarno. Kedua tokoh besar revolusi Asia Tenggara ini melihat potensi golongan muda sebagai katalisator perubahan. Ong Hok Ham dalam Analisa Kekuatan Politik di Indonesia menuliskan bahwa Mao Tse-tung meletakkan sumber kekuatan revolusi budayanya pada golongan muda. Begitu juga Soekarno yang mewariskan pesan melanjutkan revolusi bagi para pemuda.

Idealisme dan semangat membara menjadi kelebihan yang hanya ditawarkan golongan muda – menjadikan kelompok ini begitu dinamis. Ong Hok Ham melanjutkan, dengan dilengkapi pengetahuan dan keprihatinan sosial, golongan muda memiliki potensi besar untuk menjadi kelompok kekuatan dalam melakukan perubahan.

Dalam konteks dewasa ini, pandangan terhadap golongan muda oleh Mao Tse-tung dan Soekarno nyatanya terwariskan dengan baik. Partai-partai politik dengan terbuka memberikan kesempatan bergabung dan terlibat aktif. Di sisi lain, golongan muda masa kini sendiri memiliki karakter yang terbuka dan melek terhadap dunia politik.

Para golongan muda ini sendiri, menurut Undang-Undang No.40 Tahun 2009, adalah warga negara Indonesia dengan usia 16 sampai 30 tahun yang berada pada periode penting pertumbuhan dan perkembangan. Dalam rentang usia tersebut, golongan muda pada periode ini termasuk Generasi Y (atau yang akrab dikenal sebagai milenial) dan Generasi Z.

Salah satu wujud spesifik dari hubungan kedua aktor ini ditunjukkan oleh banyaknya kompilasi video partai politik pada media sosial Tiktok dan Instagram. Dalam video-video tersebut tampak bagaimana para golongan muda mengenakan atribut parpol bersangkutan sembari menari maupun memeragakan sesuatu. Hal ini sendiri memicu diskusi menarik seputar perihal pro dan kontra strategi marketing partai. Dalam konteks relasi yang lebih umum, kian banyak golongan muda yang bergabung dengan partai politik. Sebaliknya, partai politik pun semakin mengincar keanggotaan golongan muda. Aktualisasi peran pemuda dalam konteks dinamika demikian menunjukan indikasi yang positif akan partisipasi golongan muda dalam kegiatan politik nasional.

Indikasi positif golongan muda juga ditunjukkan dalam konteks kegiatan politik nasional, Pemilihan Umum (Pemilu), di mana partisipasi aktif mereka menjadi semakin baik. Survei yang diadakan oleh Transparency International Indonesia (TII) pada Februari 2014 menunjukkan bahwa hingga 63 persen golongan muda di Provinsi Jakarta memilih untuk menggunakan hak suara mereka dalam pemilu DPR, DPRD dan DPD. Selain itu, 29 persen golongan muda masih belum memutuskan dan delapan  persen menyatakan tidak akan menggunakan hak politiknya. Untuk pemilu presiden dan wakil presiden, hingga 77 persen pemilih pemula DKI Jakarta memutuskan untuk ikut mencoblos, 20 persen belum memutuskan keikutsertaannya, dan tiga  persen lainnya tidak mau menggunakan hak pilih. Data-data tersebut menunjukkan bahwa golongan muda memiliki kepedulian politik yang baik dalam konteks partisipasi kegiatan politik.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Peserta Heroic Track melihat patung yang bercerita tentang perjuangan pemuda saat mengunjungi Museum 10 November di Surabaya, Senin (3/11/2014). Kegiatan yang diselenggarakan Pemkot Surabaya dalam rangka menyambut Hari Pahlawan bertujuan agar pelajar selalu mengenang jasa pahlawan pada pertempuran mempertahankan kemerdekaan khususnya pertempuran 10 November 1945.

Sejarah Golongan Muda dalam politik

Setiap periodisasi generasi tertentu akan melahirkan generasi muda terbaiknya. Forum Mangunwijaya IX dalam buku Humanisme menunjukkan bagaimana tiap siklus 20 tahunan terjadi alih generasi muda sebagai pembaharu dalam gerakan perjuangan sosial-politik bangsa Indonesia. Perhitungan dimulai dari golongan muda angkatan 1908. Setiap periodisasi perjuangan yang dilakukan golongan muda ini memiliki konteks sosial-politisnya masing-masing dan dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan karakter perjuangan pada zamannya.

Pada 1908, golongan muda prakemerdekaan tersebut melahirkan organisasi pemuda Boedi Oetomo. Soetomo, bersama para mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen seperti Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji Tirtonegoro, mendirikan sebuah basis persatuan untuk membangun harmoni yang baik dalam kebudayaan Melayu dan pencerdasan bangsa. Melalui kelahiran ini, golongan muda 1908 telah terlibat aktif sebagai salah satu penetas pertama bagi pemikiran tentang bangsa. Meski begitu, Y. B. Mangunwijaya melihat kegiatan ini masih lebih condong sebagai suatu gerakan kultural daripada politik.

Pada 1928, tepat 20 tahun setelah berdirinya Boedi Oetomo, golongan muda menjadi katalis aktif dalam terciptanya Sumpah Pemuda – sebuah ikrar kesatuan nasional bangsa Indonesia untuk mengusahakan kedaulatan dan kemerdekaan. Dalam kesempatan tersebut, pemuda-pemudi Indonesia mengakui bertumpah darah tanah Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia. Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia dan kehadiran organisasi-organisasi kepemudaan regional menjadi penggagas terciptanya kongres ini.

Hampir 20 tahun setelahnya, Sutan Sjahrir, Chaerul Saleh, Wikana, dan para golongan muda lainnya menculik Soekarno-Hatta dan terlibat dalam dorongan proklamasi kemerdekaan pada 1945. Dalam periode ini, golongan muda menunjukkan diri sebagai sebuah kekuatan sosial tersendiri yang memiliki daya tawar dan daya juang tinggi dalam dinamika perpolitikan Indonesia. Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 tidak pernah dapat dilepaskan dari kontribusi golongan muda – di mana ketika pada saat itu golongan tua tidak menunjukkan reaksi yang cepat dan berani dalam melihat penyerahan Jepang atas Sekutu sebagai peluang kemerdekaan.

Pada 1965, situasi sosial dan politik di Indonesia, secara khusus Ibu Kota, menjadi mencekam. Sebabnya adalah penculikan dan pembunuhan para petinggi Angkatan Darat, dengan tertuduh utama Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa yang kelak dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S) tersebut segera melahirkan kampanye antikomunis yang meluas. Kondisi demikian juga menarik partisipasi dan reaksi golongan muda dari berbagai latar belakang, di mana hal ini menciptakan solidaritas untuk menolak ideologi PKI. Kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI menjadi bukti konkretnya untuk mewadahi para golongan muda yang menolak keras komunis. Mereka menyampaikan Tiga Tuntutan Rakyat (Pembubaran PKI, Pembubaran Kabinet Dwikora, dan Penurunan Harga Kebutuhan Pokok) dan melancarkan berbagai demonstrasi. Kemunculan KAMI juga mendorong kemunculan perhimpunan muda lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI).

KOMPAS/EDDY HASBY

Mahasiswa se-Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan Presiden Soeharto mundur.

Pada 1998, generasi muda menjadi aktor esensial dalam reformasi politik di tahun tersebut, yakni penggulingan Presiden Soeharto. Dimulai dari Jalan Gejayan, Yogyakarta pada 1997, pekik perjuangan mahasiswa atas penggulingan Soeharto kian terdengar di berbagai kota hingga puncaknya, Mei 1998 di Senayan. Pada waktu tersebut, gerakan mahasiswa dari berbagai daerah dan kelompok berhasil memasuki dan menduduki Gedung DPR/MPR. Perjuangan reformasi mahasiswa terpenuhi ketika pada akhirnya Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei 1998 setelah 32 tahun menjabat.

Meski begitu, terlepas dari periodisasi 20 tahunan tersebut, perlu disadari bahwa tentu terdapat pula wujud-wujud perjuangan golongan muda lainnya di luar waktu tersebut. Misalnya saja, gerakan mahasiswa pada tahun 1974 untuk melakukan kritik terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Aksi tersebut menghasilkan gerakan Mahasiswa Menggugat dengan diketuai oleh Arif Budiman.

Oleh karena itu, tampak bagaimana golongan muda telah menjadi bagian penting dalam dinamika historis perpolitikan bangsa Indonesia, melalui berbagai masa perjuangan kebangsaan Indonesia. Dalam tiap zaman tersebut, golongan muda telah menunjukkan dirinya sebagai kelompok paling strategis. Pun, pembicaraan suatu generasi hampir selalu terarah pada posisi dan partisipasi pemuda dalam generasi terkait (Kompas, 20/09/2016, “Peran Politik Pemuda). Masing-masing kelompok muda hadir dan terlibat aktif dalam perpolitikan sesuai dengan kebutuhan aktual pada zamannya.

Modal partisipasi dalam politik kontemporer

Sebelum masuk ke dalam kesatuan sosial-ekonomi, eksistensi golongan muda erat kaitannya dengan masalah belajar sebagai proses pembangunan kualitas sebagai mahasiswa. Pendidikan jadi penyempurna bagi kemewahan idealisme dan emosi yang dimiliki pemuda. Sebaliknya, edukasi semata hanya berupa pelarian dari buta huruf dan kebodohan. Dengan berbagai proses diskursus di kampus, mahasiswa memiliki bekal yang cukup untuk membaca realita, memampukan mereka untuk menawarkan sejumlah peran yang dapat dilakukan. Dengan bekal dan modal istimewa tersebut, kepedulian sosial menjadi sarana terakhir golongan muda melengkapi kehadiran dirinya dalam perbaikan bangsa.

Terdapat sejumlah pandangan pesimis akan kepedulian dan partisipasi golongan muda dalam politik. Namun, jajak pendapat yang diadakan oleh Kompas pada 1995 justru menunjukkan kondisi sebaliknya—di mana golongan muda tak saja hanya memiliki kepedulian politik, tetapi juga kecendrungan yang baik dan mendukung. Dalam jajak pendapat tersebut, diperoleh 78 persen golongan muda memiliki kepedulian politik (dengan rincian 10 persen Sangat Peduli dan 68 persen Cukup Peduli).

Selain temuan  persentase tersebut, ditemukan pula keselarasan antara tingkat latar belakang pendidikan yang berbanding lurus dengan kepedulian politik golongan muda. Semakin tinggi tingkat pendidikan golongan muda, maka semakin tinggi pula kepedulian politiknya. Pengetahuan politik golongan muda dikatakan cukup memadai di mana pada kemudiannya menjadi katalis perangsang bagi kesadaran politik. Tendensi ini menunjukkan tren positif bagi partisipasi golongan muda dengan dimensi politik (Kompas, 5/9/1995, “Hasil Jajak Pendapat Kompas: Visi Pemuda Indonesia Modern: Kepedulian Politik Tinggi, Fanatisme Suku Rendah”).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia menggelar aksi deklarasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, (25/3/2018). Aksi tersebut mengajak masyarakat untuk mendukung Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang damai dengan menolak segala kampanye hitam, ujaran kebencian, dan berita bohong atau hoax.

Dalam konteks spesifik dewasa ini, golongan muda didominasi oleh generasi yang memiliki kedekatan erat dengan dunia digital. Generasi milenial, sebagai generasi yang mendominasi kelompok muda dengan tahun lahir antara 1980 sampai tahun 2000, memiliki salah satu ciri utama tingginya intensitas penggunaan serta keakraban terhadap media dan teknologi digital. Di saat bersamaan, generasi Y sebagai golongan muda, bahkan memperoleh paparan terhadap dunia yang digital yang lebih masif dibandingkan pendahulunya. Generasi Y hidup dan bertumbuhkembang dalam lingkungan yang penuh dengan paparan digitalisasi.

Kedua generasi ini lahir dan besar dalam lingkungan sosial-politik yang demokratis. Mereka adalah generasi yang telah mengenal dan memperoleh sifat-sifat demokrasi dalam proses bertumbuh kembang. Kondisi demikian memberikan kecenderungan dalam bersikap kritis dan skeptis. Dalam latar belakang demikian, media sosial, sebagai anak kandung teknologi digital, menjadi salah satu koridor yang mewadahi kehadiran dan sifat golongan muda terhadap dunia luarnya.

Bersamaan dengan hal tersebut, media daring semakin menguasai ruang publik. Dimensi politik, sebagai bagian dari ruang publik tersebut, juga kian dipengaruhi oleh kehadiran media digital. Penelitian oleh Juwono Tri Admojo dalam artikel ilmiah “Dinamika Partisipasi Politik Remaja Melalui Media Sosial” memberikan contoh konkret akan hal ini dengan mengambil komparasi atas Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 dengan pemilihan pada tahun 2004 dan 2009. Pada tahun-tahun lebih awal tersebut, media sosial belum memiliki dominasi sekuat sekarang. Namun, di Pemilu 2014, media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram dipandang sebagai kekuatan baru yang menjanjikan. Melalui kanal-kanal tersebut, dapat disalurkan informasi dan narasi terkait kehidupan perpolitikan.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Warga membubuhkan cap tangan saat sosialisasi dan deklarasi Masyarakat Indonesia Anti Hoax di Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Jakarta, Minggu (8/1). Deklarasi yang juga dilakukan di lima kota lainnya di Indonesia itu bertujuan untuk membersihkan media sosial dari berita bohong alias Hoax.

Penggunaan media sosial bahkan dapat berujung pada kapasitas menumbangkan kekuasaan politik yang berlangsung. Admojo memberikan contoh dalam konteks internasional, kejatuhan Presiden Tunisia, Zein El Abidine ben Ali, yang telah berkuasa selama 23 tahun. Pada tahun 2011, berkat gerakan dari golongan muda Tunisia melalui media sosial semacam Facebook, Twitter, dan lainnya, berhasil mengumpukan massa, membangun narasi, dan mewujudkan perjuangan dalam dunia politik jalanan. Proses penggulingan Zein El Abidine pun dikenal sebagai Revolusi Media Sosial.

Selaras dengan kapasitas para golongan muda Tunisia dalam menggulingkan kekuatan politik berkuasa melalui media sosial, kekuatan serupa juga sangat mungkin dimiliki oleh golongan muda Indonesia. Golongan muda dan media sosial menjadi dua topik yang inheren dalam perbincangan dan kajian. Admojo mengutip bahwa survey oleh MarkPlus Youth menunjukkan bahwa hingga 76,7 persen anak muda di Indonesia memiliki intensitas yang tinggi dalam melakukan update status di media sosial.

Survei yang dilakukan oleh BPS dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2015–2019 menunjukkan bahwa kelompok usia 15 sampai dengan 24 tahun menjadi kelompok pengguna internet terbanyak di Indonesia pada 2019 dengan mencapai rasio 83,58 persen. Sejak 2015, kelompok usia ini terus menjadi pengguna internet terbanyak dengan proporsi yang berbeda jauh dengan kelompok usia lainnya.

Kedekatan terhadap dunia digital dan media sosial yang begitu tinggi ini juga diikuti oleh karakter golongan muda dalam menggunakan media sosial. Kelompok usia ini mempunyai kecenderungan untuk menyebarkan pengaruh kepada sesama pengguna media sosial. Karakter ini menjadi sebuah unsur penting dalam menunjukkan pengaruh dan keterlibatan mereka dalam partisipasi politik. Golongan muda memiliki kemampuan memengaruhi sekaligus menggalang dan menyebarkan informasi.

Selain memiliki modal akan kedekatan terhadap media sosial, modal besar lain yang dimiliki oleh golongan muda adalah dominasinya secara demografis. Menurut hasil Susenas tahun 2020, perkiraan jumlah pemuda sebesar 64.50 juta jiwa atau hampir seperempat dari total penduduk Indonesia (23,86 persen). Golongan muda pun menjadi populasi terbesar dalam struktur piramida penduduk di Indonesia.

Dengan bekal yang demikian, kehadiran golongan muda kerap dewasa ini menjadi begitu penting dalam dinamika politik nasional dan regional. Jumlahnya yang masif didukung oleh karakter politiknya yang mendukung. Menyadari kondisi ini, kian banyak partai politik yang memberikan ruang lebih bagi golongan muda untuk menjadi kader maupun bagian dalam pemasarannya. Media sosial terbukti ampuh untuk mendekatkan partai politik pada masyarakat luas sebagai target elektoral potensialnya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pelajar berbusana adat membawa bendera merah putih sepanjang 2.000 meter dalam rangkaian Sumpah Merah Putih di area Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (26/10/2019). Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober ini diisi dengan pentas sosio drama Kita Merah Putih, pembacaan Sumpah Merah Putih yang dipimpin Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan kirab bendera merah putih. Kegiatan ini untuk mengingatkan generasi muda agar menjaga kebhinekaan dalam mengisi kemerdekaan.

Menjaga pergerakan politik

Golongan muda telah berhasil mempertahankan tajinya dalam berbagai gelombang transformasi politik di Indonesia. Mulai dari masa prakemerdekaan hingga berpuluh dekade pascakemerdekaan. Masing-masing pergerakan yang dilakukan tiap generasi muda berbeda, di mana mereka mereka memiliki alasan, suasana, peran, dan hasil perjuangan politiknya sendiri. Perbedaan inilah yang akan memberikan ciri tersendiri bagi gerakan golongan muda yang timbul.

Kedekatan pada media sosial sebagai sebuah sarana yang jitu dalam pembangunan narasi dan kampanye politik dan jumlah yang mendominasi secara demografis menjadi bekal utama golongan muda dewasa ini. Keduanya dapat digunakan secara konkret dan baik untuk memberikan kontribusi sendiri yang akan identik dengan ciri pergerakan golongan muda 20 tahun pascakeruntuhan Orde Baru. Masalah kesempatan bukan lagi menjadi suatu penghalang bagi golongan muda saat ini. Tantangan utama justru berasal dari dalam: mentransformasikan potensi yang mereka miliki.

Terkait ini, aktivis dan mantan Jaksa Agung Indonesia Marsilam Simandjuntak menuliskan dalam artikelnya “Gerakan Mahasiswa: Mencari Definisi” bahwa adalah menjadi kewajiban tiap generasi muda untuk menemukan ciri pergerakannya sendiri. Oleh karenanya, tidak lagi penting untuk golongan muda saat ini kembali melihat bentuk-bentuk perjuangan lama dan menirukannya. Mereka harus mampu berdiri sendiri secara otentik entah dalam posisi dan bentuk apapun. Golongan muda, dalam pandangan Marsilam, harus memiliki karakter untuk “selalu bisa menjadikan dirinya suatu kelompok pendesak” dalam setiap zaman dan dalam setiap sistem politik. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku

Forum Mangunwijaya IX. 2015. Humanisme Y. B. Mangunwijaya. PT Kompas Media Nusantara: Jakarta.

Onghokham. 1985. “Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik”. Dalam e. a. Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia (hal. 111-128). Jakarta: LP3S.

Simandjuntak, M. 1985. “Gerakan Mahasiswa: Mencari Definisi?” Dalam e. a. Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia (hal. 164-173). Jakarta: LP3S.

Jurnal
  • Atmodjo, J. T. 2014. “Dinamika Partisipasi Politik Remaja Melalui Media Sosial”. Jurnal Visi Komunikasi Volume 13, No. 02, 281-295.
  • Transparency International Indonesia. 2014. Persepsi Pemilih Pemula Pada Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu Nasional 2014. Jakarta: Transparency International Indonesia.
Arsip Kompas
  • Mote, Suprihadi, O., Faizaliskandiar, M., & Mindra. (1995, September 5). Hasil “Jajak Pendapat Kompas” Visi Pemuda Indonesia Modern: Kepedulian Politik Tinggi, Fanatisme Suku Rendah. Diambil kembali dari kompasdata.id.
Internet

Badan Pusat Statistik. (2020). Proporsi Individu Yang Menggunakan Internet Menurut Kelompok Umur ( persen), 2017-2019. Diambil kembali dari bps.go.id: https://www.bps.go.id/indicator/27/1228/1/proporsi-individu-yang-menggunakan-internet-menurut-kelompok-umur.html

Badan Pusat Statistik. (2020, April 29). Statistik Indonesia 2020. Diambil kembali dari bps.go.id: https://www.bps.go.id/publication/2020/04/29/e9011b3155d45d70823c141f/statistik-indonesia-2020.html