Paparan Topik | Hari Film Nasional

Sejarah Bioskop Indonesia dari Masa Hindia Belanda hingga Perang Kemerdekaan

Keberadaan gedung bioskop pada zaman Hindia Belanda dianggap sebagai salah satu simbol peradaban modern kota. Tidak mengherankan jika sepanjang abad ke-20 keberadaan gedung bioskop telah menjamur di kota-kota besar Hindia Belanda.

KOMPAS/EDDY HASBY

Iklan film di beberapa gedung bioskop di Jakarta (26/6/1999).

Fakta Singkat

  • Budaya film di Indonesia diawali dengan kegemaran masyarakat menonton sandiwara atau dahulu dikenal sebagai Toneel Melajoe.
  • Film di Hindia Belanda pertama kali muncul dalam iklan Bintang Betawi edisi 5 Desember 1900.
  • Pada awal tahun 1900 film yang dimainkan adalah film dokumenter, film bercerita baru muncul pada tahun 1903, dan film bersuara baru muncul di tahun 1929.
  • Hingga pada tahun 1920-an, 85 persen bioskop di Hindia Belanda dimiliki oleh pengusaha Tionghoa.
  • Pada tahun 1916 muncul peraturan tentang perfilman dan bioskop untuk mengatur film apa saja yang bisa dinikmati oleh masyarakat Hindia Belanda.
  • Pemerintah pendudukan Jepang menggunakan film dan bioskop sebagai alat propaganda anti barat.
  • Dibentuk Pusat Peredaran Film Indonesia pada 9 Januari 1946 untuk mengawasi peredaran film yang didominasi oleh film-film impor.

Budaya menonton film di Indonesia dibawa oleh orang-orang Belanda dari daratan Eropa sebagai bagian dari hiburan masyarakat. Sebelumnya, masyarakat yang menginginkan hiburan pertunjukkan hanya dapat menikmati teater. Orang-orang menyebutnya sebagai Toneel Melajoe.

Pertunjukkan Toneel Melajoe sendiri menyajikan sandiwara cerita yang mengangkat kisah-kisah dari luar negeri. Contohnya seperti Dongeng 1001 Malam yang seringkali diangkat dalam lakon cerita. Saking banyaknya cerita yang diangkat berlatarkan wilayah Istanbul maka muncul sebutan baru untuk pertunjukkan ini yakni Komedie Stamboel.

Namun, kelompok pertunjukkan ini tidak menetap di suatu daerah. Mereka menjual jasa hiburannya secara berkeliling dari satu kota ke kota lainnya. Keadaan inilah yang membuat masyarakat kadang harus menunggu cukup lama untuk menonton kelompok pertunjukkan favoritnya.

Maka ketika pada akhir tahun 1900 muncul pengumuman akan dibukanya gedung bioskop di Batavia memicu kegemparan. Saat itu masyarakat Hindia Belanda masih belum mengetahui benda yang bakal ditontonnya itu konon dapat memperlihatkan dengan nyata kejadian yang pernah terjadi di luar negeri. Mereka menyebut teknologi ini sebagai gambar hidup.

KOMPAS/EDWARD LINGGAR

Poster film di bioskop Kartika Chandra Theatre, Jalan Gatot Subroto, Jakarta (26/01/1972).

Bioskop pertama

Pada 5 Desember 1900 sebuah surat kabar Bintang Betawi menampilkan sebuah pengumuman tentang pertunjukkan film untuk pertama kalinya akan dimainkan di Batavia. Di dalam iklan disebutkan bahwa Nederlandsch Bioscoop Maatschappij akan memutar sebuah film di sebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae (Manage) pada pukul tujuh tiap malamnya. Masyarakat yang ingin menonton diharuskan membeli tiket sekitar f 0.25 sampai f 2 sesuai dengan kelasnya masing-masing.

Film yang dimainkan ketika itu adalah film dokumenter dan tidak bersuara. Film bercerita baru muncul pada tahun 1903. Sedangkan film yang memuat suara para aktornya baru muncul pada tahun 1929. Gambar yang disajikan pun masih bersifat sederhana bahkan sering bergetar dan goyang. Kondisi ini membuat penonton di bioskop menjadi kecewa sehingga jumlahnya tidak signifikan.

Namun, pengusaha bioskop mulai mencari akal untuk menggaet para penonton lebih luas. The Royal Bioscope salah satu perusahaan bioskop di Batavia sempat menurunkan harga tiketnya. Mereka juga membagi kelas-kelas dalam gedung bioskop berdasarkan ras. Hal ini juga sebagai bagian dari politik rasial yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pembagian kelas penonton ini juga diikuti oleh harga tiket yang menyesuaikan dengan jenis kelasnya. Orang Eropa yang berada di kelas satu dibanderol dengan harga tiket f 1, orang-orang Timur Asing di kelas kedua dengan harga tiket f 0.50, dan kelas ketiga untuk masyarakat pribumi dengan harga tiket f 0.25.

Strategi perusahaan The Royal Bioscope ini cukup jitu karena sejak saat itu bioskop-bioskop di Batavia dibanjiri oleh penonton. Keadaan ini kemudian memicu beberapa perusahaan bioskop dari luar Hindia mulai membangun gedung-gedung bioskop baik di Batavia maupun di daerah-daerah lain di Hindia Belanda.

Tercatat pada tahun 1904 perusahaan Biograph Compagnie yang berasal dari Bombai membangun bioskopnya di Tanah Lapang Mangga Besar. Setahun kemudian giliran American Animatograph hadir di Gedong Kapitein Tan Boen Koei di Kongsi Besar.

Tidak hanya kalangan Eropa saja yang membuka bisnis bioskop di Hindia Belanda. Beberapa pengusaha keturunan Tionghoa juga banyak yang mengikuti jejaknya. Bahkan dalam surat kabar Panorama yang terbit di Bandung edisi 27 Agustus 1927 mencatat bahwa 85 persen bioskop di Hindia Belanda dimiliki oleh pengusaha Tionghoa.

Dalam buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia dijelaskan bahwa banyaknya pengusaha Tionghoa yang membuka bisnis bioskop di Hindia bertujuan sebagai investasi jangka panjang. Mereka tidak ingin kalah dari pengusaha-pengusaha asal Eropa dalam menggerakkan perekonomian di Hindia. Padahal saat itu sudah banyak pengusaha Eropa yang tidak berminat dalam bisnis bioskop.

KOMPAS/MARSELI

Calon penonton sedang bersiap membeli karcis di sebuah gedung bioskop di Jakarta (26/2/1982).

Undang-Undang Film dan Bioskop

Berkembangnya perfilman dan menjamurnya bisnis bioskop di Hindia Belanda membuat pemerintah kolonial bergerak untuk mengatur masuknya film-film asing ke dalam negeri. Apalagi semakin banyak perusahaan importir film di Hindia Belanda yang membuat film-film dari luar negeri bebas masuk. Hal ini mendorong pemerintah membentuk Ordonansi Bioscoope pada tahun 1916.

Namun, keberadaan ordonansi ini tidak membatasi gerak para importir film. Dalam buku Politik Film di Hindia Belanda dituliskan bahwa Ordonansi Bioscoope lebih bersifat pengawasan pada mekanisme perizinan sebelum film ditayangkan. Ordonansi ini seringkali dikenal sebagai komisi sensor. Komisi ini diberlakukan di Batavia, Medan, Semarang, dan Surabaya yang merupakan pintu gerbang dari masuknya film-film impor.

Pembentukan komisi sensor ini juga merupakan bentuk tanggapan atas isi film impor yang memuat perilaku buruk orang-orang barat. Tidak jarang dalam film impor tersebut terdapat adegan kekerasan sehingga memunculkan kesadaran penonton pribumi terhadap citra orang barat. Pemerintah menganggap bahwa adegan-adegan tersebut harus disensor supaya tidak mempengaruhi perilaku kehidupan pribumi.

Namun dalam kenyataannya, komisi sensor tidak dapat membatasi film mana saja yang dizinkan atau pun yang ditolak. Orang cenderung melihat bahwa komisi sensor hanya berkepentingan pada cukai impor dan pajak tontonan. Peluang ini justru dinikmati oleh segenap importir film Hindia Belanda. Mereka memutar film apa pun di bioskop sesuai dengan permintaan pasar. Bahkan film-film di bioskop Hindia Belanda justru lebih cepat ditayangkan dibandingkan dengan di negeri Belanda.

Pada tahun 1919, undang-undang perfilman kemudian direvisi. Komisi sensor tidak hanya digerakkan di empat kota, melainkan semakin diperluas di beberapa daerah. Langkah ini dilakukan untuk membendung peredaran film impor. Bahkan pemerintah daerah setempat berhak ikut menyeleksi film-film apa saja yang diperbolehkan untuk ditayangkan di bioskop.

Para pemilik bioskop pun terkena imbas peraturan perfilman yang baru. Mereka tidak hanya dibatasi mengimpor film-film dari luar negeri. Namun, mereka juga diharuskan memperlihatkan bukti kepada anggota kepolisian bahwa film tersebut telah lolos sensor. Setelah dinyatakan telah lolos sensor baru pemilik bioskop diizinkan memutar filmnya.

Peraturan ini semakin membuat importir film dan pengusaha bioskop semakin merugi. Para penonton semakin kecewa dengan penyensoran film yang dianggapnya telah merusak kualitas film itu sendiri. Akibatnya banyak dari penonton mulai enggan untuk datang ke bioskop.

Keadaan para pengusaha bioskop semakin terjepit ketika krisis ekonomi tahun 1929. Jumlah impor film yang dahulu sudah merosot sejak adanya komisi sensor, pada tahun 1930-an kondisinya semakin parah. Tercatat dalam buku Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia, film Amerika yang awalnya mendominasi kemudian turun dari 69,1 persen di tahun 1931 menjadi 37,3 persen di tahun 1934.

Tidak hanya film-film Amerika saja yang mengalami penurunan impor. Film-film dari negeri Tiongkok juga turun dari 9,1 persen pada tahun 1931 menjadi 1,8 persen di tahun 1934. Produksi film dalam negeri pun juga semakin sepi dari 5,2 persen di tahun 1931 merosot ke angka 1,0 persen di tahun 1934. Hal ini mengakibatkan beberapa bioskop menayangkan film-film yang sama tiap harinya atau tidak ada film yang ditayangkan.

Akhirnya, para pengusaha bioskop berkumpul dan menyelenggarakan rapat di Batavia pada 13 September 1934. Mereka berkomitmen untuk memperkuat barisan bioskop dalam menghadapi masa-masa yang sulit akibat krisis ekonomi dan kecenderungan sensor yang sembarangan.

Hasilnya, terbentuk Gabungan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda dengan ketua Holthaus dari Centraale Theater Buitenzorg, sekretaris Liono dari perusahaan film Remaco, bendahara Van Der Ie dari Centraale Bioscoop Batavia, dan dua orang komisaris, yaitu Yo Heng Siang dari Globe Bioscoop dan Oey Soen Tjan dari Cinema Palace Batavia.

KOMPAS/MARSELI

Kursi besi di dalam gedung bioskop seronie (22/9/1981)

Jepang masuk

Pendudukan Jepang ke Hindia memiliki dampak yang cukup besar dalam bisnis bioskop dan perfilman. Sejak Maret 1942, Jepang melarang seluruh kebudayaan barat di Hindia termasuk film-film impor yang kebanyakan berasal dari Amerika. Pemerintah pendudukan Jepang kemudian menggantinya dengan film-film Jepang yang banyak diputar di bioskop.

Dalam buku Sejarah Film Indonesia yang ditulis oleh Misbach Yusa Biran menyatakan bahwa film-film yang dimainkan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang harus berisikan pesan antibarat. Ide dan pengaruh barat yang nampak dalam film harus dilenyapkan dan digantikan dengan semangat kehidupan Jepang. Bagi pemerintah Jepang, film dimanfaatkannya sebagai wadah menghilangkan nilai-nilai barat di dalam masyarakat.

Pada Oktober 1942 Jepang juga mendirikan organisasi khusus untuk menangani film yang bernama Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa) dikepalai oleh S.Oya. Sesudah itu, Jepang juga mendirikan badan usaha film yang bernama Nippon Eiga Sha yang juga dikenal dengan Nichiā€™ei. Perusahaan ini bertugas untuk memonopoli distribusi film-film ke bioskop. Oleh karena itu, film yang dibawa oleh Jepang masuk ke Indonesia merupakan film-film propaganda mengenai kehebatan Jepang.

Beberapa bioskop di Indonesia diwajibkan untuk memutar film-film propaganda Jepang. Film ini berupa potongan gambar tentara Jepang yang diputar sebelum film cerita. Tujuannya untuk membuat masyarakat mengetahui betapa kuatnya tentara Jepang dalam menghasilkan kemenangan di medan-medan pertempuran. Harapannya masyarakat Indonesia ikut terpengaruh setelah melihat film tersebut.

Tidak hanya potongan film tentang tentara Jepang yang dimainkan, namun bioskop-bioskop juga memainkan film-film yang didatangkan langsung dari Jepang. Film-film tersebut pada umumnya juga menggambarkan tentang keunggulan Jepang. Tercatat film-film Jepang yang pernah diputar di bioskop-bioskop Indonesia saat itu adalah Nankai no Hanataba (Bunga dari Selatan), Shogun to Sanbo to Hei (Jenderal dan Prajurit), Singapore Soko Geki (Serangan atas Singapura), dan Eikoku Koezoeroeroe no Hi (Saat Inggris Runtuh).

Usaha Jepang melakukan proses penghilangan nilai-nilai barat juga terlihat dalam penggantian nama bioskop. Para pengusaha bioskop yang nama bioskopnya masih menggunakan nama barat harus diganti dengan nama-nama Jepang. Contohnya istilah bioskop atau teater diganti dengan Gekidjo, seperti bioskop Central di Bogor diganti namanya menjadi Thoeo Gekidjo.

Perubahan juga terjadi dalam pembagian kelas bagi penonton bioskop. Dahulu pada masa kolonial Belanda, para penonton bioskop dibagi dalam tiga kelas berdasarkan ras. Namun, setelah Jepang datang peraturan tersebut dihilangkan. Penduduk pribumi biasa diizinkan untuk menonton film tanpa adanya kelas tertentu. Tetapi ada beberapa bioskop di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang yang menyediakan khusus untuk penonton Jepang.

KOMPAS/MARSELI

Ciri khas sebuah bioskop klas bawah ialah jalan masuk menuju loket biasanya terbuat dari pagar besi (4/2/1982)

Perang Revolusi

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, keadaan perfilman Indonesia masih belum pulih. Hal ini juga berdampak pada bisnis bioskop yang masih lesu karena tidak adanya film dalam negeri yang diputar maupun minimnya impor film luar negeri. Saat itu masyarakat Indonesia masih disibukkan dengan perang revolusi yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan Belanda.

Namun, pemutaran film di bioskop sepanjang perang kemerdekaan tidaklah benar-benar berhenti. Orang-orang Belanda terutama mereka yang tergabung dalam tentara Netherland Indies Civil Administration (NICA) mencoba membangun kembali bioskop-bioskop di beberapa kota yang mereka kuasai. Para tentara NICA membutuhkan film sebagai sarana hiburan mereka ketika perang. Sehingga, beberapa film impor diperbolehkan untuk diputar di bioskop meskipun masih sedikit.

Keadaan ini berbanding terbalik di beberapa wilayah yang tidak dikuasi oleh NICA. Di kota-kota yang dikuasai oleh tentara republik dipenuhi oleh warga pribumi maupun pengungsi yang diusir oleh tentara NICA. Mereka tidak memperdulikan keberadaan bioskop karena gedung-gedungnya dimanfaatkan sebagai tempat penampungan.

Berkembangnya gedung-gedung bioskop oleh tentara NICA membuat pemerintah Indonesia khawatir karena film-film yang diputar dapat mempengaruhi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta membentuk Pusat Peredaran Film Indonesia (PPFI) pada 9 Januari 1946.

Pembentukan PPFI ini bertujuan agar pemerintah Indonesia dapat mengawasi peredaran film yang saat itu didominasi oleh film-film impor. Ali Sastroamidjojo sebagai wakil pemerintah di dalam PPFI mengharapkan film digunakan sebagai alat pendidikan untuk memperluas pemahaman masyarakat. Selain itu pemerintah juga berkeinginan agar bioskop tidak hanya sebagai sarana komersialisasi, namun juga sebagai alat untuk mencari dana perjuangan di medan perang kemerdekaan.

Meskipun bioskop-bioskop ketika itu lebih banyak memutar film-film dari luar negeri, namun pemerintah berusaha untuk memproduksi film dalam negeri. Tujuannya untuk menyeimbangkan narasi-narasi film dari luar negeri. Berita Film Indonesia hingga tahun 1949 berhasil memproduksi 18 rekaman berita dan film dokumenter. Judulnya, antara lain, Indonesia Raja, Kapok, Nica Teror, Padi dan 10 November, Indonesia Fight for Freedom, dan sebagainya.

Walaupun pemerintah berusaha untuk memutar film-film tersebut di bioskop pada masa perang kemerdekaan, pengaruhnya masih minim bagi masyarakat. Mereka masih disibukkan dengan perang kemerdekaan sehingga tidak mempedulikan tontonan di bioskop. Malahan sandiwara teater kembali naik daun karena dianggap lebih dekat dengan rakyat.

Referensi

Buku
  • Arief, M. Sarief. 2010. Politik Film di Hindia Belanda. Depok: Komunitas Bambu.
  • Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950. Depok: Komunitas Bambu.
  • Jauhari, Haris (ed.). 1992. Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Tjasmadi, H.M. Johan, dkk (ed.). 2008. 100 Tahun bioskop di Indonesia (1900-2000). Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera.