KOMPAS/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
Pejalan kaki melintasi bola besi di kompleks Museum Transmigrasi di Desa Bagelen, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Kamis (5/4/2018). Bola besi itu merupakan simbol peralatan yang digunakan para kolonis atau transmigran untuk membuka hutan-hutan menjadi permukiman dan lahan perkebunan.
Sejarah perpindahan penduduk itu mungkin sudah setua sejarah manusia. Dari satu titik lokasi kehidupan ke titik lain, dari satu pulau ke pulau lain, bahkan dari satu benua ke benua lain, telah berlangsung proses perpindahan penduduk secara spontan.
Istilah transmigrasi pertama kali dikemukakan oleh Bung Karno pada tahun 1927, seperti yang tertulis dalam Harian Soeloeh Indonesia. Selanjutnya, dalam Konferensi Ekonomi di Kaliurang, Yogyakarta, bersamaan dengan Rapat Panitia Siasat Ekonomi pada 3 Februari 1946, Wakil Presiden Mohammad Hatta menyebutkan pentingnya transmigrasi untuk mendukung pembangunan industri di luar Jawa.
Transmigrasi pertama setelah Indonesia merdeka terjadi pada tanggal 12 Desember 1950, sebanyak 23 kepala keluarga dari Bagelen ke Sukadana di Lampung. Program transmigrasi memang bisa digunakan untuk bermacam-macam tujuan yang terutama untuk menyejahterakan penduduk setempat dan transmigran yang bersangkutan.
Periode Pemerintahan Belanda (1905-1942)
Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan transmigrasi (kolonisasi) yang pertama kali, telah berhasil memindahkan 155 kepala keluarga dari daerah Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo Karesidenan Kedu menuju Gedong Tataan di Lampung.
KOMPAS/YAMIN INDAS
Sudut pemandangan di Kota Metro, Kabupaten Lampung Tengah ini tadinya adalah lokasi pemukiman transmigrasi, yang dulu dikenal “kolonisasi”. Bila pertambahan penduduk Lampung tidak ditekan secara serius, pada suatu waktu seluruh Lampung akan berkembang menjadi kota seperti Metro ini.
Periode Pemerintah Jepang (1942-1945)
1942
Transmigrasi (kolonisasi) pada masa pemerintahan Jepang mulai dilaksanakan lagi dari Jawa ke Lampung memindahkan 1.867 kepala keluarga dari daerah Batanghari Utara.
1947
Lembaga yang mengurus pemindahan penduduk (transmigrasi) adalah Kementerian Perburuhan dan Sosial.
1948
Istilah Kolonisasi berubah menjadi Transmigasi, lembaga yang mengurusi tersebut dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.
1949
Kepengurusan transmigrasi ditangani oleh Kementerian Pembangunan Masyarakat.
Periode Prapelita (1950-1968)
1950
Kepengurusan transmigrasi ditangani oleh Jawatan Transmigrasi. Pada 12 Desember 1950 telah memindahkan 25 kepala keluarga ( 91 jiwa) dari kecamatan Bagelen, Karesidenan Kedu ke Lampung dan Lubuk Linggau. Momentum tanggal 12 Desember tersebut yang diperingati sebagai Hari Bhakti Transmigrasi. Selama orde lama, kebijakan transmigrasi untuk memindahkan penduduk dari pulau yang padat penduduknya ke pulau yang sedikit penduduknya.
1959
Lembaga penyelenggara adalah Kementerian Sosial. Jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan dari daerah Jawa tengah dari tahun 1959-1963 adalah sekitar 75.000 jiwa yang dikirim ke daerah luar Jawa. Pada tahun 1964 telah berhasil dikirim 7.320 jiwa dan tahun 1965 telah dikirim sebanyak 26.314 jiwa ke daerah Irian Barat.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Gubernur Kalimantan Barat Cornelis menerima Transmigration Award bidang media massa yang diserahkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono disaksikan pula Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Muhaimin Iskandar di Hotel Bidakara Gedung Birawa, Jakarta, Rabu (28/12/2011) .Pemberian Transmigration Award ini dalam rangka peringatan Hari Bhakti Transmigrasi ke-61 Tahun 2011. Selain itu enam gubernur, enam bupati/walikota, satu akademisi dan satu kalangan pelaku usaha serta media massa nasional juga menerima award tersebut.
Periode Pelita I (1969-1974)
1972
Lembaga penyenggalara adalah Departemen Transmigrasi dan Koperasi. Pada tanggal 28 Juli 1972 disahkan UU No. 3 tahun 1972 tentang pokok-pokok penyelenggaraan ketransmigrasian. Dengan adanya UU Transmigrasi bertujuan untuk mencapai peningkatan taraf hidup, pembangunan daerah, keseimbangan penyebaran penduduk, pambangunan yang merata diseluruh Indonesia, pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia, kesatuan, dan persatuan bangsa. Orientasinya masih mengacu pada penyebaran penduduk dari Jawa ke pulau lain sebesar-besarnya. Pada tahun ini pemerintah mampu memindahkan penduduk keluar Jawa sebesar 46.268 kepala keluarga.
Periode Pelita II (1974-1979)
1974
Lembaga penyelenggara adalah Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi. Bermunculan transmigrasi yang bermacam-macam di Indonesia diantaranya adalah transmigrasi umum, transmigrasi spontan dengan bantuan biaya, transmigrasi spontan tanpa biaya bantuan presiden, transmigrasi sektoral, dan transmigrasi integrasi ABRI. Dimulainya usaha-usaha untuk daya tarik kerjasama dengan instansi lain. Pemilihan wilayahnya diprioritaskan untuk daerah kritis, daerah bencana alam, daerah padat penduduk, dan daerah yang terkena pembangunan.
1975
Program pelatihan untuk pemuda putus sekolah untuk menjadi pembina unit desa transmigrasi. Selama kurun waktu empat tahun (1974-1978) Ditjen transmigrasi telah mendidik 3.110 transmigran di Pusat Latihan Transmigrasi atau Balai Latihan Transmigrasi di seluruh Indonesia. Kemudian dipilih sebanyak 870 orang sebagai pembina desa transmigrasi, 2.065 orang sebagai transmigrasi inti, dan 175 orang sebagai transmigran terampil. Pada masa ini dilaksanakan program Pola Sitiung, dimana beban tugas transmigrasi dilaksanakan tidak hanya Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi, tetapi juga dibagi pada berbagai departemen lain diantaranya adalah PUTL, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen P dan K, Departemen Pertanian, dan Departemen Perhubungan. Seluruhnya dikoordinir Badan Pengembangan Pembangunan Daerah Transmigrasi.
Periode Pelita III ( 1979-1984)
Lembaga Penyelenggara adalah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Orientasi transmigrasi bergeser dari aspek sosial ke ekonomi, sehingga sektor transmigrasi dialihkan dari bidang kesejahteraan sosial ke sektor ekonomi dan keuangan. Pada tahun 1983, urusan transmigrasi menjadi departemen sendiri yaitu Departemen Transmigrasi.
Periode Pelita IV ( 1984-1989)
Lembaga penyelenggara adalah Departemen Transmigrasi. Orientasi diarahkan pembangunan transmigrasi dengan program pembinaan daerah permukiman transmigrasi, peningkatan mutu transmigrasi, kegiatan bantua luar negeri. program perkebunan inti rakyat (PIR) pola baru, dan hutan tanaman industri (HTI).
Periode Pelita V (1989-1994)
Lembaga penyelenggara adalah Departemen Transmigrasi. Pola transmigrasi yang dikembangkan pemerintah dalam Pelita V ini diantaranya adalah PIR Trans (Perusahaan Inti Rakyta Transmigrasi), TIR Trans ( Tambak Inti Rakyat Transmigrasi), HTI Trans ( Hutan Tanaman Industri Transmigrasi), jasa dan industri, dan Transmigrasi Pengembangan Desa Potensial. Selain itu, pengembangan yang dilakukan adalah sumber daya manusia melalui pendidikan di Pusat Latihan Transmigrasi (Puslatrans) dan Balai-balai Latihan Transmigrasi (Balatrans). Lembaga pendidikan ini dibawah naungan Deptrans dan PPH.
KOMPAS/IRWAN GUNAWAN
Para calon transmigran yang dikumpulkan di Balai Latihan Transmigrasi Jawa Tengah, Semarang, ini sedang menanyakan segala masalah yang dialami para transmigran teladan sebelum berangkat ke lokasi transmigrasi.
Periode Pelita VI ( 1994-1999)
Lembaga penyelenggara adalah Departemen Transmigrasi dan PPH. Pengembangan program Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) yang merupakan transmigran spotan yang potensial untuk kawasan timur Indonesia. Orientasi pembangunan transmigrasi lebih diarahkan untuk mendukung pembangunan daerah, memperbanyak penyebaran penduduk dan tenaga kerja, dan meningkatan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat setempat.
Periode Reformasi (1999-2000)
Lembaga penyelenggara adalah Menteri Negara Transmigrasi dan Kependudukan dibantu oleh Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas Nasional. Orientasi mengurusi tentang informasi transmigrasi dan kependudukan, administrasi kependudukan, kawasan transmigrasi, dan urusan perpindahan penduduk.
Periode Gotong Royong (2001-2003)
Lembaga penyelenggara adalah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Orientasinya diarahkan penanganan pengungsi dalam pengalokasian jumlah transmigran, terlebih dahulu dilakukan nees assesment (analisis kebutuhan) berkenaan dengan kapasitas dan kebutuhan daerah penerima.
Periode Tahun 2004-2009
Penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah melalui pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, dan penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil. Program transmigrasi yang dikembangkan melalui pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM), yaitu kawasan transmigrasi yang pembangunan dan pengembangannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
KOMPAS/IMAM PRIHADIYOKO
Sejumlah pengguna jalan melintasi ruas jalan akses kawasan transmigrasi Sungai Rambutan atau yang kerap disebut Kota Terpadu Mandiri Sungai Rambutan di Banyuasin, Senin (25/10/2009). Kawasan transmigrasi ini sudah didukung dengan infrastruktur dasar yang memadai, berupa jalan aspal dan lampu jalan yang menggunakan tenaga surya.
Periode Tahun 2012
Pembangunan transmigrasi diprioritaskan pada pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya alam. Pembangunan harus terintegrasi antara desa dan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Sampai tahun 2012 tercatat 103 permukiman transmigrasi menjadi ibu kota kabupaten/kota, 382 permukiman menjadi ibu kota kecamatan, dan 1.183 permukiman transmigrasi menjadi desa definitif. Saat ini, total kawasan bekas permukiman transmigrasi ada 3.055 lokasi.
Periode Tahun 2015
Tahun 2015, sebanyak 104 kabupaten dan kota di Indonesia lahir dari permukiman transmigrasi. Sementara 383 permukiman transmigrasi lain berkembang menjadi ibu kota kecamatan. Sebanyak 3.055 desa di Indonesia dibangun dari 1.183 permukiman transmigrasi hingga menjadi desa definitif, sedangkan sisanya menjadi bagian desa-desa setempat yang terlebih dahulu ada.
Periode Tahun 2019
Tahun 2019 untuk memudahkan program pengembangan wilayah tersebut, Kemendesa PDTT meluncurkan aplikasi Sipukat, yaitu aplikasi berbasis laman yang berisikan informasi tentang kawasan transmigrasi meliputi potensi, komoditas unggulan, dan badan usaha milik desa (BUMDes) di suatu wilayah. Sipukat menyediakan informasi cepat dan akurat yang dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan. Pengembangan kawasan transmigrasi di Indonesia, ada dua cara yang ditempuh. Cara tersebut adalah dengan merespons permintaan daerah yang menginginkan wilayahnya dijadikan kawasan transmigrasi dan adalah dengan program intensifikasi potensi yang sudah ada di kawasan transmigrasi.
Referensi
- Jafar, Marwan Nurdin. 2015. Transmigrasi: Menggapai Cita. Jakarta: Tempo Inti Media
- 1993 .Konsep Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (1994/1995-1998/1999): Departemen Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan Republik Indonesia
- Penyelenggaraan Transmigrasi di Indonesia 1905-2008. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Ketransmigrasian-Depnakertrans
- Jumlah Transmigran, KOMPAS, 23-11-1966, hlm 2.
- Transmigrasi Terbesar di Dunia, KOMPAS, 08-11-1966, hlm 1.
- Pidato Pembukaan Sidang DPR: Dalam Waktu 9 ½ Bulan DPR Sahkan 4 Undang-undang, KOMPAS, 18-08-1972, hlm 2.
- Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi, KOMPAS, 24-06-1972, hlm 1.
- Jenis Transmigrasi Perlu Disempurnakan: Untuk Hindari Kekacauan Penerangan bagi Calon Transmigran, KOMPAS, 22-05-1974, hlm 4.
- Pemuda Putus Sekolah akan Ditampung Program Transmigrasi, KOMPAS, 17-05-1978, hlm 2.
- Target Trasmigrasi Pelita II Tidak Tercapai, KOMPAS, 06-12-1976, hlm 1.
- Kebijaksanaan Akhir Pelita IV: Departemen Transmigrasi akan Mengurangi Jumlah Pengawainya, KOMPAS, 12-11-1987, hlm 2.
- Mutu Transmigrasi Harus Diutamakan, KOMPAS, 19-02-1991, hlm 2.
- Siswono Yudihusodo: Harus Dihapus, Kesan Transmigrasi Hanya Diperuntukan Warga Miskin, KOMPAS, 15-06-1995, hlm 2.
- Transmigrasi: Haruskah Berakhir?, KOMPAS, 09-12-2000, hlm 1.
- Pintu Itu Bernama Sipukat, KOMPAS, 11-11-2020, hlm B.