Daerah

Kota Yogyakarta: Kota Pelajar, Wisata, dan Budaya

Kota Yogyakarta menyandang berbagai julukan, mulai dari Kota Pelajar, Kota Budaya, Kota Wisata, hingga Kota Perjuangan. Secara historis, kota yang banyak menjajakan masakan gudeg ini lekat dengan sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai jejak sejarah kota ini.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Kendaraan melintas di perempatan Tugu, Yogyakarta, Selasa (2/8/2016). Bangunan cagar budaya Tugu yang juga dikenal dengan nama Tugu Pal Putih tersebut menjadi salah satu ikon pariwisata Yogyakarta.

Fakta Singkat

Hari Jadi
7 Oktober 1756

Dasar Hukum
Undang-Undang No. 17/1947

Luas Wilayah
32,5 km2

Jumlah Penduduk
373.589 jiwa (2020)

Pasangan Kepala Daerah
Wali Kota Haryadi Suyuti
Wakil Wali Kota Heroe Poerwadi

Kota Yogyakarta merupakan ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan menjadi satu-satunya wilayah yang berstatus kota yang dikelilingi empat wilayah lainnya yang berstatus kabupaten. Tak hanya sebagai pusat pelayanan politik dan administrasi, Kota Yogyakarta juga sebagai pusat kegiatan ekonomi, pendidikan, jasa pelayanan, dan sosial budaya.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman, baru menjadi Kotapraja atau kota otonom dengan lahirnya UU No. 17 Tahun 1947. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa kabupaten kota Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman) dan beberapa daerah dari Kabupaten Bantul (yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo), ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah itu dinamakan Haminte Kota Yogyakarta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Haminte” diartikan sebagai pemerintahan kotapraja pada masa pendudukan Belanda.

Namun demikian, penyerahan wewenang secara riil baru dapat dilaksanakan pada tahun 1951. Jika melihat keluarnya UU pembentukan haminte Kota Yogyakarta tanggal 7 Juni 1947, Kota Yogyakarta dibentuk sebagai kota praja sebelum clash I. Akan tetapi, jika dilihat penyerahan wewenang secara riil dari DIY baru terjadi tahun 1951, atau sesudah clash II, memerlukan waktu sekitar 4 tahun.

Hari jadi atau kelahiran Kota Yogyakarta ditetapkan pada tanggal 7 Oktober 1756 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004. Berdasarkan ketetapan tersebut, tahun 2021 ini, Kota Yogyakarta akan merayakan hari jadinya ke-265 tahun. Penentuan tanggal itu bertepatan dengan peristiwa saat Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarganya mulai memasuki Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dengan luas wilayah 32,5 km2, Kota Yogyakarta terbagi ke dalam 14 kecamatan, meliputi 45 kelurahan, mencakup 617 RW (Rukun Warga), dan 2.535 RT (Rukun Tetangga). Sejak 2017, Kota Yogyakarta dipimpin oleh Wali Kota Haryadi Suyuti dan Wakil Wali Kota Heroe Poerwadi.

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta telah dikenal sebagai pusat perjuangan, pusat pendidikan, dan pusat kebudayaan. Sebutan Kota Perjuangan berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada masa kolonial Belanda, penjajahan Jepang, maupun di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Kota yang dihuni oleh sekitar 373 ribu jiwa ini dikenal pula dengan predikat Kota Pelajar/Pendidikan karena banyaknya tempat pendidikan seperti universitas dan perguruan tinggi yang ada di kota ini. Adapun julukan Kota Budaya berkaitan erat dengan beragam peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan yang sampai kini masih tetap lestari.

Kota Yogyakarta meraih beragam penghargaan. Di tingkat nasional, Kota Yogyakarta menyabet penghargaan, antara lain, Kota Peduli HAM dan Bhumandala Award serta penghargaan Innovative Government Award (IGA) pada tahun 2020 dengan predikat Kota Terinovatif dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.

Kota pelajar ini berhasil pula meraih penghargaan sebagai Kota Cerdas versi Harian Kompas melalui penilaian berdasar Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2018. Sebelumnya, Kota Yogyakarta juga berhasil meraih penghargaan yang sama pada tahun 2015.

Selain itu, Kota Yogyakarta juga pernah ditetapkan sebagai Kota Kebudayaan ASEAN (ASEAN City of Culture) ke-5 untuk periode 2018 hingga 2020. Penetapan ini dilakukan oleh Menteri ASEAN bidang kebudayaan dan kesenian (ASEAN Ministers Responsible for Culture and Arts/AMCA) pada tahun 2018 bertepatan dengan terlaksananya pertemuan AMCA yang ke-8 di Yogyakarta.

Sejarah pembentukan

KOMPAS/BAMBANG SIGAP SUMANTRI

Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I merupakan pendiri Keraton Yogyakarta yang mulai ditempati 7 Oktober 1756. Sebelumnya tempat itu hanya merupakan desa dan hutan Beringan.

Asal usul nama Yogyakarta hingga kini masih diselimuti misteri karena belum ditemukan bukti sejarah yang secara eksplisit menjelaskan asal-usul dan arti nama Yogyakarta dalam bentuk peninggalan tertulis yang sezaman dengan pendirian Kota Yogyakarta pada pertengahan abad ke-18. Hal itu dikemukakan oleh sejarawan Darmosugito, dalam buku Sedjarah Kota Jogjakarta yang diterbitkan tahun 1956.

Namun demikian, terdapat beberapa hipotesis dari para ahli sastra Jawa tentang asal-usul nama Yogyakarta. Sejarawan Peter Carey dari Inggris dalam bukunya Asal-Usul Nama Yogyakarta dan Malioboro (2015) menjelaskan bahwa nama Ngayogyakarta kemungkinan berasal dari kata “Ayodhyâ” dalam bahasa Sansekerta. Ayodhyâ menurutnya merupakan ibu kota Kerajaan Kosala yang diperintah oleh Rama dalam epos Ramayana.

Gagasan Carey tersebut diperkuat dalam buku Thomas Stamford Raffles, History of Java, yang terbit tahun 1871. Dalam bukunya, Raffles menegaskan bahwa kota ini diberi nama oleh pendirinya menurut nama Ayudhya, ibu kota Rama yang terkenal, yang kemungkinan hanya didengar Raffles dari tradisi tutur orang Jawa yang ditemuinya.

Jacobus Noorduyn, ahli linguistik asal Belanda, mengatakan hal berbeda. Menurut Noorduyn, berdasarkan dokumen-dokumen yang dikumpulkan, nama Ayogya/Yogya sudah ada sebelum kota ini dibangun tahun 1755–1756 oleh Mangkubumi. Penulisan nama Jogja, Djokjo, Djokja, Jogjo, Djokdjo sudah termuat dalam tulisan-tulisan yang dibuat oleh Belanda sejak tahun 1743.

Bahkan menurutnya, jauh sebelum peristiwa “Palihan Nagari” atau Perjanjian Giyanti yang memisahkan Surakarta dan Yogyakarta tahun 1755. Ejaan yang belum dibakukan dalam catatan-catatan Belanda itulah yang memunculkan variasi penulisan Yogya atau Jogja, karena huruf “J” dalam bahasa Belanda dibaca “Y”.

Sementara itu, dalam bahasa Jawa baru dan bahasa Indonesia, kata “Yogya” sudah mendapatkan terjemahannya yaitu “sesuai, layak, pantas, pas”.

Terlepas dari asal-usul nama Yogyakarta yang masih simpang siur tersebut, catatan sejarah menyebutkan bahwa cikal bakal Yogyakarta tak lepas dari sejarah berdirinya Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Sejumlah literatur menyebutkan bahwa pada akhir abad ke-16, terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan bernama Kerajaan Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kotagede (sebelah tenggara Kota Yogyakarta saat ini), kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura, dan Surakarta.

Seiring waktu, kewibawaan dan kedaulatan Mataram terganggu karena intervensi Belanda. Akibatnya, muncul gerakan antipenjajah dibawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut, dicapai Perjanjian Giyanti atau “Palihan Nagari”.

Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel pada tanggal 13 Februari 1755 selaku perwakilan kolonial Belanda. Dalam perjanjian tersebut, dinyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sedangkan Kasultanan Ngayogyakarta atau lazim disebut Yogyakarta, dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.

Dalam perjanjian itu pula, Pangeran Mangkubumi diakui menjadi raja atas setengah daerah pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

KOMPAS/MARIA HARTININGSIH

Jalan masuk kompleks pemakaman terbelah untuk dihuni para juru kunci dari Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Pemandangan ini merupakan sisa-sisa perpecahan Mataram menjadi dua kerajaan pada tahun 1775.

Setelah Perjanjian Giyanti, kemudian diikuti dengan pertemuan antara Sultan Yogyakarta dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada tanggal 15 Februari 1755. Dalam pertemuan itu, dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan.

Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta.

Pada tanggal 13 Maret 1755, Kasultanan Yogyakarta mengumandangkan proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755.

Proses pembangunan Keraton Yogyakarta berlangsung hingga hampir satu tahun. Selama proses pembangunan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang. Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para pengikutnya baru memasuki Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756. Momentum kepindahan  sultan dan keluarganya ini kemudian dijadikan sebagai dasar penentuan hari jadi Kota Yogyakarta.

Seiring berjalannya waktu, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami pasang surut, karena pengaruh pemerintah kolonial baik Belanda maupun Inggris. Pada tanggal 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta. Penggantinya, Sri Sultan Hamengku Buwono III, dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo (putera Hamengku Buwono I) yang diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.

Wilayah kekuasaan Kasultanan yang diberikan kepada Paku Alam I meliputi sebagian kecil di dalam Ibukota Negara dan sebagian besar di daerah Adikarto (Kulonprogo bagian selatan). Daerah ini bersifat otonom, dan dapat diwariskan kepada keturunan Pangeran Notokusumo. Karena itu, sejak 17 Maret 1813, Adipati Paku Alam I mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman.

Dalam perjalanan sejarahnya, perubahan besar terjadi setelah lahirnya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Raja Yogyakarta segera mengucapkan selamat atas berdirinya republik baru tersebut kepada para proklamator kemerdekaan.

Dukungan terhadap republik semakin penuh ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada tanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia.

Kemudian pada tanggal 30 Oktober 1945, dikeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan pemerintahan di DIY akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.

Dalam perkembangannya, Kota Yogyakarta, baik yang menjadi bagian dari Kasultanan maupun menjadi bagian dari Pakualaman, telah dapat dibentuk satu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman. Akan tetapi, Kota Yogyakarta ketika itu belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom. Penyebabnya, kekuasaan otonom yang meliputi bidang pemerintahan masih tetap di Pemerintahan DIY.

Pemerintah Kotamadya Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 7 Juni 1947 ketika dinyatakan sebagai kota praja berdasarkan UU 17/1947 yang membentuk Yogyakarta sebagai Haminte Kota atau Kota Otonom.

Namun demikian, pembentukan Haminte Kota Yogyakarta kurang berjalan lancar. Sebab pada tanggal 7 Juni 1947 itu, status DIY belum diatur dengan undang-undang oleh pemerintah pusat sesuai dengan pasal 18 UUD 1945. Padahal, Kota Yogyakarta lebih dahulu dibentuk oleh pemerintah pusat sebagai Haminte Kota dengan undang-undang. Akibatnya, pemerintah DIY akan kehilangan kekuasaan dan pengawasan terhadap pemerintah Haminte Kota Yogyakarta.

Karena itu pula, Pemerintah DIY belum bersedia menyerahkan sebagian wewenangnya, sebelum status DIY ditentukan. Haminte Kota Yogyakarta tetap menjadi bagian dari DIY dan tetap mempunyai wewenang untuk mengawasi jalannya Pemerintahan Haminte Kota Yogyakarta.

Persoalan itu akhirnya bisa diselesaikan setelah terbitnya UU 22/1948 yang mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bersamaan dengan itu pula, dikeluarkan UU 16/1950 yang mengubah UU 17/1947.

Dengan demikian, DIY maupun Kota Praja Yogyakarta sama-sama ditetapkan sebagai daerah otonom berdasarkan UU 22/1948, DIY sebagai daerah tingkat I sedangkan Kota Praja Yogyakarta sebagai daerah tingkat II sekaligus menjadi bagian dari DIY.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka. Dengan dikeluarkannya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut dengan pemerintahan Kota Yogyakarta dengan wali kota sebagai kepala daerahnya.

Geografis

Kota Yogyakarta terbentang antara 110°24’19”–110°28’53” Bujur Timur dan antara 07°15’24”–07°49’26” Lintang Selatan. Kota ini terletak di tengah-tengah Provinsi DIY, dengan batas-batas wilayah: di sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Sleman; di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman; di sebelah selatan berbatasan Kabupaten Bantul; sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman.

Wilayah Kota Yogyakarta hanya 1,02 persen (32,5 Km2) dari luas wilayah Provinsi DIY. Jarak terjauh dari utara ke selatan kurang lebih 7,5 km dan dari barat ke timur kurang lebih 5,6 km.

Kota Yogyakarta yang terletak di daerah dataran lereng aliran Gunung Merapi memiliki kemiringan lahan yang relatif datar (antara 0–2 persen) dan berada pada ketinggian rata-rata 114 meter dari permukaan air laut (dpa). Sebagian wilayah dengan luas 1.657 hektar terletak pada ketinggian kurang dari 100 meter dan sisanya (1.593 hektar) berada pada ketinggian antara 100–199 meter dpa. Sebagian besar jenis tanahnya adalah regosol.

Secara garis besar, kota ini mempunyai tipe tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Komposisi penggunaan tanahnya, 74,92 persen pekarangan, 12,20 persen sawah, 0,07 persen tegalan dan 12,81 persen lain-lain.

Secara umum, jumlah curah hujan tertinggi selama tahun 2019 terjadi pada bulan Maret, yaitu sebanyak 648,40 mm3 dan terendah terjadi pada bulan Juni, yaitu sebanyak 1,00 mm3 . Rata-rata hari hujan per bulan adalah 9.25 hh/rd.

Kelembaban udara rata-rata cukup tinggi, yaitu berada pada kisaran 77–88 persen. Yang terendah terjadi pada bulan September, yaitu sebesar 77 persen. Kelembaban udara tinggi terjadi pada bulan Maret, dan Januari mencapai 88 persen.

Wilayah Kota Yogyakarta dilewati oleh tiga sungai, yaitu Sungai Gajahwong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Code di bagian tengah, dan Sungai Winongo di bagian barat kota.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Mahasiswa asal Sumba, Nusa Tenggara Timur, menampilkan tari tradisional Kataga dalam acara Ruwatan Code di kawasan Kotabaru, Yogyakarta, Rabu (30/3/2016). Kegiatan itu untuk mengampanyekan pentingnya merawat kelestarian lingkungan sungai dan mengajak masyarakat berhenti memanfaatkan sungai untuk tempat membuang sampah. Acara tersebut juga untuk meningkatkan semangat persaudaraan antarwarga yang tinggal di Yogyakarta.

Pemerintahan

Merunut wali kota Yogyakarta dari masa ke masa, Moh Enoh tercatat sebagai wali kota pertama Yogyakarta. Enoh menjabat wali kota Yogyakarta dari Mei hingga Juli 1947. Ketika menjabat, Kota Yogyakarta waktu itu masih menjadi bagian dari DIY dan statusnya belum dilepas.

Selanjutnya, wali kota kedua Yogyakarta dijabat oleh Soedarisman Poerwokoesoemo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. Adapun DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955. Soedarisman menjabat wali kota Yogyakarta dari Juli 1947 sampai Januari 1966.

Selanjutnya wali kota Yogyakarta berturut-turut dijabat oleh Soedjono AY (1966–1975), H Ahmad (1975–1981), Soegiarto (1981–1986), Djatmiko D (1986–1991), dan R Widagdo (1991–1996, 1996–2001).

Kemudian diteruskan oleh Wali Kota Herry Zudianto selama dua periode (2001–2006, 2006–2011), Haryadi Suyuti (2011–2016), Pelaksana Tugas Sulistyo (28 Oktober 2016 — 22 Mei 2017), dan Haryadi Suyudi (2017–2022).

Secara administratif, Kota Yogyakarta terbagi ke dalam 14 kecamatan, meliputi 45 kelurahan, mencakup 617 RW (Rukun Warga), dan 2.535 RT (Rukun Tetangga).

Untuk mendukung roda pemerintahan, Pemerintah Kota Yogyakarta didukung oleh 4.876 orang pegawai negeri sipil (PNS). Berdasarkan golongan kepangkatan, PNS daerah yang masuk golongan I sebanyak 116 orang, golongan II mencapai 1.080 orang, golongan III sebanyak 3.743 orang dan sisanya golongan IV sebanyak 1.528 orang.

KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti (ketiga dari kanan), seusai peresmian trotoar dan boulevard di kawasan Kotabaru, Kota Yogyakarta, Jumat (21/12/2018).

Politik

Peta politik di Kota Yogyakarta dalam tiga kali penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) menunjukkan besarnya pengaruh politik PDI-P dalam meraih simpati rakyat Yogyakarta. Dalam tiga pemilu tersebut, PDI-P mampu memperoleh kursi terbanyak di DPRD Kota Yogyakarta.

Pada Pemilu 2009, PDI-P meraih 11 kursi DPRD Kota Yogyakarta. Disusul Partai Demokrat dengan 10 kursi, PAN, PKS ,dan Golkar masing-masing memperoleh lima kursi, serta PPP dan Gerindra masing-masing memperoleh dua kursi.

Pada Pemilu 2014, terdapat delapan parpol yang mampu merebut kursi legislatif di DPRD Kota Yogyakarta. Partai NasDem dan Demokrat masing mendapatkan satu kursi. Lalu, empat kursi masing-masing diperoleh PKS dan PPP. Tiga partai, yakni Golkar, Gerinda, dan PAN masing-masing mendapatkan lima kursi. Terakhir, kursi terbanyak diperoleh PDI-P dengan jumlah 15 kursi. Adapun empat parpol yang tidak mendapatkan kursi, yakni PKB, Hanura, PBB, dan PKPI.

Pada Pemilu 2019, dari 40 kursi yang tersedia di DPRD Kota Yogyakarta, delapan Parpol berhasil merebut kursi. PDI-P kembali meraih kursi terbanyak dengan 13 kursi, disusul PAN enam kursi, Gerindra dan PKS masing-masing lima kursi, Golkar dan Nasdem masing-masing empat kursi, Demokrat dua kursi, dan terakhir PPP meraih satu kursi.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

KPU Kota Yogyakarta membuka A5 Corner di kampus Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Selasa (12/2/2019). Layanan tersebut juga dibuka di sejumlah kampus lainnya untuk membantu mahasiswa dari luar Kota Yogyakarta yang telah terdaftar sebagai pemilih di tempat asalnya agar dapat menggunakan hak pilihnya di Yogyakarta tanpa harus pulang ke kampung halaman.

Kependudukan

Populasi penduduk Kota Yogyakarta menurut Sensus Penduduk 2020 sebanyak  373.589 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 182.019 jiwa dan perempuan sebanyak 191.570. Jumlah penduduk Kota Yogyakarta tersebut hanya 10,18 persen dari total penduduk DIY.

Secara kewilayahan, penduduk Kota Yogyakarta terkonsentrasi di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Umbulharjo dan Kecamatan Gondokusuman. Sedangkan Kecamatan Ngampilan, Gondomanan, dan Pakualaman merupakan tiga kecamatan urutan terbawah yang memiliki penduduk paling sedikit.

Sebagai kota pelajar, Kota Yogyakarta memiliki jumlah mahasiswa yang besar, baik yang berasal dari area Jawa maupun luar Jawa, bahkan dari luar Indonesia sehingga kota ini juga disebut sebagai salah satu kota yang heterogen di Indonesia.

Mayoritas penduduk Kota Yogyakarta beragama Islam (82,84 persen), berikutnya agama Katolik (10,27 persen). Sementara itu, persentase paling kecil, yaitu kepercayaan lain sebesar 0,01 persen. Persentase lainnya yaitu Kristen (6,44 persen), Budha (0,32 persen), dan Hindu (0,13 persen).

Di bidang pekerjaan, penduduk Kota Yogyakarta tahun 2019 paling banyak bekerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran, yakni 44,06 persen. Disusul sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan (20,53 persen), sektor industri pengolahan (14,52 persen), sektor angkutan, pergudangan, dan komunikasi (7,0 persen), sektor bangunan (3,64 persen) serta  sektor pertanian (0,33 persen).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pawai HUT ke-261 Kota Yogyakarta – Warga mengikuti pawai Wayang Jogja Night Carnival di Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta, Sabtu (7/10/2017) malam. Pawai yang diikuti perwakilan warga dari 14 kecamatan tersebut untuk merayakan hari ulang tahun ke-261 Kota Yogyakarta.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
86,61 (2020)

Angka Harapan Hidup 
74,56 tahun (2020)

Harapan Lama Sekolah 
17,43 tahun (2020)

Rata-rata Lama Sekolah 
11,46 tahun (2020)

Pengeluaran per Kapita 
Rp18,67 juta (2020)

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
9,16 persen (Agustus 2020)

Tingkat Kemiskinan
7,27 persen (Maret 2020)

Kesejahteraan

Pembangunan manusia di Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun menunjukkan kemajuan. Hal itu tecermin dari pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) yang sejak tahun 2010 sudah masuk status “sangat tinggi”.

Terakhir pada tahun 2020, IPM Kota Yogyakarta mencatatkan nilai 86,61. Kendati turun 0,04 dibandingkan tahun 2019 (86,65), IPM Kota Yogyakarta masih menempati peringkat pertama secara nasional.

Dari komponen pembentuknya, umur harapan hidup saat lahir mencapai 74,56 tahun. Dari sisi pendidikan, harapan lama sekolah tercatat 17,43 tahun dan rata-rata lama sekolah tercatat 11,46 tahun. Sementara itu, indikator pengeluaran per kapita yang disesuaikan untuk menggambarkan standar hidup layak  mencapai Rp18,67 juta per kapita per tahun.

Adapun tingkat pengangguran terbuka Kota Yogyakarta tercatat sebanyak 22.624 orang (9,16 persen). Sedangkan angka kemiskinan Kota Yogyakarta pada Maret 2020 tercatat sebanyak 31,62 ribu atau 7,27 persen.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pelajar mengikuti kegiatan Lomba Bercerita tingkat SD/MI se-Kota Yogyakarta di Perpustakaan Pevita, Mantrijeron, Yogyakarta, Kamis (21/3/2019). Kegiatan itu digelar antara lain untuk meningkatkan budaya literasi di kalangan anak-anak sekaligus mendorong mereka mampu berekspresi melalui seni bertutur.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Rp563,17 miliar (2020)

Dana Perimbangan 
Rp818,76 miliar (2020)

Pertumbuhan Ekonomi
-2,42 persen (2020)

PDRB per kapita
Rp82,52 juta/tahun (2020)

Inflasi
1,40 persen (2020)

Ekonomi

Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Yogyakarta pada tahun 2020 mencapai Rp35,76 triliun. Dari angka PDRB tersebut, struktur perekonomian kota ini didominasi oleh lima lapangan usaha, yaitu industri pengolahan (13,07 persen); informasi dan komunikasi (12,52 persen); penyediaan akomodasi dan makan minum (10,92 persen); administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib (10,38 persen); dan jasa pendidikan (10,04 persen).

Di sektor industri pengolahan, jumlah industri kecil dan menengah (IKM) di Kota Yogyakarta tercatat sebanyak 2.704 unit pada tahun 2018. Menurut jenis usahanya, 59 persen (1.592 unit) IKM merupakan industri pangan; 21 persen (580 unit) industri sandang dan kulit; 9 persen (236 unit) adalah industri kimia dan bahan bangunan; 7 persen (188 unit) industri kerajinan; dan 4 persen (108 unit) industri logam dan elektronik.

Sebagai kota pelajar, kontribusi dari sektor jasa pendidikan termasuk lima besar dari total nilai PDRB Kota Yogyakarta. Kontribusinya mencapai Rp3,59 triliun pada tahun 2020.

Di sisi keuangan daerah, pada tahun 2020, dari total pendapatan sebesar Rp1,69 triliun, kontribusi dari pendapatan asli daerah (PAD) senilai Rp563,17 miliar. Adapun dana perimbangan dari pemerintah pusat sebesar Rp818,76 miliar dan pendapatan lain-lain sebesar Rp317,81 miliar.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Rombongan wisatawan pertama mengunjungi obyek wisata Tamansari, Yogyakarta, yang dibuka kembali, Rabu (8/7/2020). Obyek wisata andalan Yogyakarta itu kembali dibuka setelah sebelumnya ditutup selama empat bulan akibat pandemi Covid-19. Antisipasi penyebaran pandemi dilakukan dengan protokol kesehatan dan membatasi jumlah pengunjung maksimal sebanyak 250 wisatawan dalam satu waktu. Setiap rombongan wisatawan maksimal berjumlah sepuluh orang dan wajib didampingi oleh pemandu wisata.

Di sektor pariwisata, Kota Yogyakarta termasuk Daerah Tujuan Wisata (DTW) utama di Indonesia. Kota ini hanya kalah bersaing dengan Pulau Bali. Terdapat beragam destinasi wisata di kota ini yang menarik banyak wisatawan.

Keberadaan Keraton Yogyakarta yang masih kental dengan budaya Jawa, merupakan salah satu keunikan yang mampu menarik minat wisatawan untuk berkunjung di Kota Yogyakarta. Pasar tradisional seperti Pasar Beringharjo dan jalan Malioboro juga menjadi sasaran utama bagi wisatawan yang ingin membeli berbagai kerajinan.

Di samping itu, terdapat pula tempat yang menyajikan makanan khas Kota Yogyakarta seperti gudeg, bakpia pathuk, dan yangko. Bagi wisatawan yang ingin mengetahui sejarah di kota Yogyakarta terdapat beberapa museum di antaranya Museum Sono Budoyo, Benteng Vredeburg, dan Museum Sasmita Loka.

Pada tahun 2018, tercatat 4,75 juta wisatawan berkunjung ke Yogyakarta. Sebanyak 4,62 persen merupakan wisatawan asing dan sisanya 95,38 persen wisatawan domestik. Kunjungan wisatawan asing terbanyak pada bulan Juli–Agustus, sedangkan untuk wisatawan domestik terbanyak pada bulan Desember.

Adapun lokasi wisata dengan pengunjung terbanyak adalah Kebun Binatang Gembira Loka, yakni mencapai 1,407 juta pengunjung. Diikuti oleh Taman Pintar yang menyedot pengunjung sebanyak 997.904 orang.

Pada tahun 2018, jumlah akomodasi hotel dan penginapan yang ada di wilayah Kota Yogyakarta tercatat sebanyak 569 buah yakni terdiri dari 98 hotel berbintang dan 471 hotel nonbintang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pembeli mengantre gudeg untuk oleh-oleh di sentra penjualan gudeg di Jalan Wijilan, Yogyakarta, Rabu (23/9/2009). Selama masa libur Lebaran, penjualan makanan khas Yogyakarta tersebut meningkat hingga lebih dari 100 persen dibandingkan pada hari biasa dan mencapai sedikitnya 1.000 kardus per hari.

Referensi

Arsip Berita Kompas
  • “Pemda Kodya Yogyakarta Kelahirannya Penuh Liku”, Kompas, 07 Juni 1992, hal. 08
  • “Tinggal di Yogyakarta Kalau Ingin Hidup Panjang”, Kompas, 07 Juni 1992, hal. 08
  • “50 Tahun Kodya Yogyakarta. Gelombang Romantik Terus Dicari”, Kompas, 07 Juni 1997, hal. 15
  • “Daerah Istimewa Yogyakarta, Bukan Tanpa “Telur”, Kompas, 23 Agustus 1998, hal. 07
  • “Kota Metropolitan, Sebenarnya Kota Gombal”, Kompas, 07 April 2000, hal. 01
  • “Kota Yogyakarta * Otonomi”, Kompas, 16 Februari 2001, hal. 08
  • “Menilik Berbagai Keunggulan * Otonomi”, Kompas, 16 Februari 2001, hal. 08
  • “Diusulkan, Hari Jadi Kota Yogyakarta 7 Oktober”, Kompas Jawa Tengah, 26 Juni 2003, hal. 019
  • “Yogya, Kota Sejarah Kelas Dunia?”, Kompas Jawa Tengah, 07 Juli 2004, hal. 02
  • “Yogyakarta di Persimpangan Jalan”, Kompas Jawa Barat, 04 September 2004, hal. 01
  • “Yogya Tidak Punya Citra yang Menonjol”, Kompas Jogja, 28 Oktober 2004, hal. 07
  • “Citra Kota Pendidikan Harus Dibangun Kembali”, Kompas Jogja, 05 Januari 2005, hal. 01
  • “Yogyakarta Pecahkan Rekor Muri, lalu…*Opini”, Kompas Jogja, 24 Januari 2005, hal. 04
  • “Kota Pendidikan Yogya, Tidak Boleh Hilang”, Kompas Jogja, 18 Maret 2005, hal. 01
  • “Citra Kota Pendidikan: Menyambung Kembali Gelas Retak *Liputan Khusus”, Kompas Jawa Tengah, 02 Apr 2005, hal. 14
  • “Malioboro, Umbu, dan Yogyakarta Kita *Forum”, Kompas Jogja, 30 Juni 2007, hal. 04
  • “Masa Depan Keistimewaan Yogyakarta”, Kompas, 06 Oktober 2007, hal. 33
  • “Perubahan Budaya: Wong Mataram dan Problem “Rosa-rosa”, Kompas, 06 Oktober 2007, hal. 37
  • “Pemerintah Kota Yogyakarta: Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahun 2008”, Kompas Jogja, 24 April 2009, hal. 08
  • “RUU Keistimewaan Yogyakarta: Rakyat Siap Lakukan Referendum”, Kompas, 04 November 2010, hal. 05
  • “Kota Yogyakarta: Inovasi untuk Jawab Tantangan * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 16 Juli 2015, hal. 22
  • “Strategi Pemerintahan: Melayani dengan Teknologi * Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015”, Kompas, 16 Juli 2015, hal. 22.
  • “Yogyakarta, Daerah Istimewa dengan Peran yang Juga Istimewa”, Kompas, 05 September 2020, hal. A
Buku dan Jurnal
Internet
Aturan Pendukung

Editor
Topan Yuniarto