Kronologi | Puasa Ramadhan

Tradisi Ramadhan di Tanah Air

Di tanah air, setiap daerah memiliki tradisi unik dalam mengisi kegiatan selama Bulan Ramadhan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Santri tadarus bersama memperingati Nuzulul Quran di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al-Mubarokah, Desa Sempu, Andong, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (2/5/2021) malam. Kegiatan ini dilakukan saat malam Ramadhan dengan penerangan lampu berbahan bakar minyak tanah untuk mengenang tradisi masyarakat pada masa lampau. Kegiatan tahunan ini diikuti sebagian dari 250 santri di pondok pesantren tersebut.

Bulan Ramadhan selalu memberi warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat muslim. Berbagai kegiatan dilakukan, mulai dari santap sahur, buka puasa, hingga kegiatan menyambut malam Lailatur Qadar. Setiap daerah memiliki kegiatan yang berbeda-beda dan dilakukan rutin setiap tahun sehingga menjadi sebuah tradisi turun temurun sejak lama.

Di Gresik, Jawa Timur, misalnya, ada Tradisi Kolak Ayam yang merupakan hidangan tradisional berusia ratusan tahun yang berkembang di Desa Gumeno, Kelurahan Gumeno, Kecamatan Manyar. Dikisahkan, Sunan Dalem, putra kedua Sunan Giri, salah satu dari Walisongo, sedang membangun masjid. Tepat pada tanggal 1 Ramadhan, ia jatuh sakit. Tak satu pun jenis obat yang mampu menyembuhkan Sunan Dalem dari sakitnya hingga suatu saat Sunan Dalem memutuskan untuk shalat istigharah. Pada malam 23 Ramadhan, muncul bisikan kuat. Sunan Dalem meminta para pengikutnya menyiapkan masing-masing satu ayam kampung ke masjid. Ayam-ayam tersebut kemudian dipotong dan dimasak menjadi hidangan kolak. Setelah Sunan Dalem makan kolak ayam itu bersama-sama para pengikutnya, ia pun sembuh dari sakitnya (“Kolak Ayam, Tradisi Wali Songo”, Kompas, 15 Desember 2001).

Demikianlah tradisi yang ada di daerah-daerah selama Bulan Ramadhan, dijaga dan dilestarikan oleh penduduk setempat. Namun demikian, ada kalanya tradisi tersebut kadang telah bergeser karena perkembangan zaman sehingga tidak sepenuhnya dilakukan seperti pada masa lampau.

  • Seni Obrok-Obrok (Cirebon, Jawa Barat)

Kesenian yang muncul pada dini hari selama bulan Ramadhan sebagai penggugah warga masyarakat yang akan makan sahur. Alat musik pokok yang digunakan seni obrok-obrok adalah tambur, berbagai bentuk rebana, gitar, dan seruling. Lagu-lagu yang ditampilkan seni obrok-obrok bukan hanya lagu yang bersifat agamis, tetapi lebih banyak lagu tarling (gitar suling) khas tradisional Cirebon (“Obrok-obrok, Perjalanan Seni Penggugah Sahur”, Kompas, 13 Desember 2001 halaman 1).

KOMPAS/RINI KUSTIASIH

Kelompok obrog Sapta Nadha Entertainment pimpinan Karman (54), berkeliling kampung di RW 04 Kesambi Dalam, Kelurahan Drajat, Kota Cirebon, Jawa Barat, Minggu (28/6/2015), dini hari, pukul 01.00. Mereka membawa gerobak besi berisi alat musik organ, dan sebelas kru yang sejak pukul 01.00 hingga 03.00 berkeliling kampung membangunkan orang sahur. Mereka melakukan tradisi obrog atau membangunkan orang sahur sembari membunyikan lagu-lagu daerah maupun dangdut. Jika pada masa lalu kelompok obrog membunyikan kentongan, di masa kini mereka seperti kelompok organ tunggal yang melengkapi diri dengan seruling, organ, dan gitar listrik. Biduanita bahkan diundang khusus menyanyikan lagu sambil berkeliling kampung. Atas upanya itu, kelompok obrog tidak mendapatkan imbalan.

  • Penyalaan Lampu Jojor (Lombok, Nusa Tenggara Barat)

Pada masa dimulainya Malam Lailatul Qadar bulan Ramadhan, masyarakat Lombok menyalakan lampu jojor yang diletakkan di tempat tertentu, seperti dekat wadah menyimpan beras, sudut-sudut rumah, seputar pohon kayu dan bong atau gentong penyimpan air wudhu, air minum, dan keperluan mencuci peralatan rumah tangga. Meletakkan lampu jojor di tempat tertentu tadi, guna memberi “penerang” atau tanda ke mana Lailatul Qadar singgah, di samping untuk mengusir setan-belis (setan-iblis) yang menggoda manusia. Lampu jojor dibuat dari biji jarak atau biji jamplung yang dikeringkan dan ditumbuk halus kemudian dililitkan pada bilah bambu.

Sumber:

  • “Lampu Jojor Pengusir Setan Belis *Pernik *Liputan Lebaran & Natal 2001 Tahun Baru 2002” (Kompas, 13 Desember 2001 halaman 9)
  • “Menyambut Lailatul Qadar” (Kompas, 27 Mei 2019 halaman 17)

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Hukmi Firdaus (31), warga Dusun Kuang Jukut, Desa Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara, Jumat (15/5/2019), meletakkan dila jojor di sudut-sudut rumahnya. Dila jojor dinyalakan pada malam ganjil di 10 hari akhir bulan Ramadhan untuk menyambut Lailatulqadar.

  • Tradisi Sanggringan Kolak Ayam (Gresik, Jawa Timur)

Kolak ayam merupakan hidangan tradisional berusia ratusan tahun yang berkembang di Desa Gumeno, Kelurahan Gumeno, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Makanan istimewa itu dihidangkan tepat pada malam 23 bulan Ramadhan, sebagai makanan berbuka puasa yang dinikmati bersama-sama warga di Masjid Jami’ Sunan Dalem.

Kolak Ayam, Tradisi Wali Songo – Pernik * Liputan Lebaran & Natal Tahun Baru 2002 (Kompas, 15 Desember 2001 halaman 9)

Ritual: Tradisi Sanggringan Memupuk Kebersamaan (Kompas, 23 Agustus 2011 halaman 2)

KOMPAS/ADI SUCIPTO

Remaja pria di Desa Gumeno, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Minggu (20/7/2014), dilibatkan dalam menata kolak ayam untuk warga sekitar. Tradisi sanggringan, yakni berbuka bersama dengan menyantap kolak ayam, di Masjid Jami’ Sunan Dalem Desa Gumeno sudah berlangsung 489 tahun atau sejak 22 Ramadhan 946 Hijriah. Kolak ayam selalu dimasak laki-laki dan untuk regenerasi setiap tahun dipilih satu generasi terbaru untuk terlibat dalam memasak kolak ayam.

  • Tradisi Tumbilotohe (Gorontalo)

Tradisi untuk menyalakan dian atau pelita kecil selama tiga hari menjelang Idul Fitri. Selama tiga hari, nyala itu terus dijaga menyambut kemenangan pada Idul Fitri. Secara harfiah, tumbilotohe berarti ’menyalakan penerang’. Awalnya pelita yang dipakai berupa kayu damar dan sejenis janur yang disebut daun woka, kalau dibakar, berbau harum. Akan tetapi, pada masa kini tradisi ini kadang telah berubah menggunakan lampu.

Tradisi: Merawat Akar lewat Tradisi Ramadhan ( Kompas, 8 Juni 2019 halaman 1)

KOMPAS/JEAN RIZAL LAYUCK

Seorang gadis memandang 3.000 lampu botol yang berpendar di lapangan sepak bola Yosonegoro, Limboto, Kabupaten Gorontalo, Selasa (7/9/2010) malam. Ritual pasang lampu tumbilotohe menandai Lailatul Qodar tiga malam menjelang Lebaran.

  • Tradisi Patrol (Jawa Timur)

Tradisi patrol dilakukan oleh rombongan warga yang berkeliling kampung, melakukan ronda sambil memukul gendang dan bernyanyi dengan tujuan membangunkan siapa saja yang berpuasa, untuk segera menyiapkan sahur. Selain membangunkan warga untuk sahur, sebagian pemuda yang melaksanakan patrol juga berupaya menarik perhatian gadis impiannya. Biasanya mereka akan berlama-lama memukul gendang dan bernyanyi di depan rumah sang dara. Kalau sang gadis kemudian muncul di balik jendela rumah, si pemuda pun tersenyum bahagia. Jika orangtua sang dara muncul, mereka bergegas berlalu.

“Patrol” Tradisi Unik Bulan Puasa di Surabaja (Kompas, 28 Oktober 1971 halaman 3)
Tradisi Puasa: Dari ”Patrol” sampai ”Makmeugang” * Lensa Berita (Kompas, 19 Juni 2016 halaman 11)

KOMPAS/MOHAMMAD BAKIR

Bulan puasa dirasakan meriah di hampir kebanyakan daerah, karena masyarakat banyak yang begadang dan ikut berbuat “amal”. Mereka membangunkan warganya agar makan sahur dengan memperdengarkan bunyi-bunyian. Di Sumenep (Madura) ada banyak kelompok pemusik, di antaranya kelompok pimpinan Sumari (accordion), yang memutari jalan-jalan di Desa Marengan Daya.

  • Tradisi “Ngater” (Lombok, Nusa Tenggara Barat)

Mengantar makanan sesama tetangga untuk santapan berbuka puasa ini, di Lombok acapkali disebut ngater, ngejot, dan menaek. Ngater, mungkin berasal dari kata mengantar. Ngejot, biasanya diberikan pada keluarga dan tetangga, sedang menaek mungkin asal dari kata naik, khusus mengirimkan makanan untuk jemaah di masjid. Makanan yang diantar dalam tradisi masyarakat Lombok ini jenisnya bermacam-macam, tetapi umumnya merupakan makanan khas Lombok, seperti kolak, buah, pecel, pelecing kangkung, nasi dan lauk-pauk. Tradisi ngater ini tidak hanya dilakukan masyarakat yang beragama Islam, mayarakat non-Muslim pun ikut mengirim makanan kepada tetangganya, tanpa memandang agama, namun hanya dengan motivasi mempererat ikatan kekeluargaan.

Tradisi “Ngater” di Lombok – Pernik * Liputan Lebaran & Natal 2001 Tahun Baru 2002 (Kompas, 14 Desember 2001 halaman 9)

KOMPAS/KHAERUL ANWAR

Para pemuda mewakili warga Desa Lenak Pesiraman dan sekitarnya, di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menyerahkan makanan berbuka puasa dalam tradisi Ngejot (mengantar makanan) kepada kepala desa, tokoh adat, dan tokoh agama desa itu, Sabtu (18/8/2012) sore.

  • Tradisi Takjilan Bubur (Bantul, Yogyakarta)

Meskipun usianya sudah berabad-abad, tradisi ini masih mengakar kuat di Masjid Sabilurrosyad Kauman, Desa Wijirejo, Pandak Bantul, Yogyakarta. Berbuka puasa dengan semangkuk bubur berlauk sayuran tahu dan tempe menjadi kebiasaan mereka. Menyantap bubur saat berbuka (menu takjilan) dipercaya menyehatkan badan karena teksturnya lembut, segar, dan tidak terlalu berat sehingga membuat perut yang seharian kosong lebih nyaman. Tradisi takjilan bubur sudah ada sejak Masjid Sabilurrosyad Kauman didirikan pada abad ke-14. Masjid itu didirikan oleh Panembahan Bodho, yang merupakan murid Sunan Kalijaga. Panembahan Bodho menggunakan bubur sebagai sarana dakwah. Lewat metode ini, ia bisa mengumpulkan warga sekitar untuk bahu-membahu mengumpulkan bahan makanan. Setelah buka puasa, ia pun menyampaikan ajaran Islam sehingga masyarakat lebih mudah menerimanya.

Ramadhan: Takjilan Bubur, Tradisi yang Bertahan Selama Berabad-abad (Kompas Jogja, 5 September 2008 halaman 1)

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Mengenyam kebersamaan berbuka dengan menyantap bubur Ramadhan. Warga berbuka puasa dengan menyantap bubur di Masjid Sabiilurrosyaad, Desa Wijirejo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (18/5/2018).

  • Tradisi Selikuran (Semarang, Jawa Tengah)

Malam menjelang hari kedua puluh satu bulan Ramadhan dikenal sebagai malam seribu bulan atau juga malam lailatulkadar. Masyarakat Jawa umumnya menyebut sebagai malam selikuran. Masyarakat Dusun Jubuk, Desa Tegal Waton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, menggelar Wilujengan Malam Selikuran atau selamatan malam dua puluh satu bulan Ramadhan di mata air Sendang Senjoyo, tempat yang dianggap suci dan dikeramatkan. Wilujengan Malam Selikuran merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya Islam dengan budaya Jawa atau kejawen yang hidup di masyarakat sekitar Sendang Senjoyo. Dalam tradisi kejawen masyarakat setempat, pada malam selikuran itu Sendang Senjoyo dipercaya mengeluarkan lenga tala atau air suci.

Tradisi Selikuran: Malam Seribu Bulan di Sendang Senjoyo (Kompas, 23 Oktober 2006 halaman 2)

KOMPAS/C WAHYU HARYO PS

Rombongan adat Desa Tegal Waton, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, melangsungkan kirab Wilujengan Malam Selikuran, Jumat (13/10/2006) di Sendang Senjoyo. Tradisi ini merupakan akulturasi budaya Jawa dengan Islam.

  • Tradisi “Ngabuburit” (Bandung, Jawa Barat)

Kata ngabuburit sudah menjadi bahasa Indonesia. Asalnya tentu dari bahasa Sunda, burit, yang berarti sore atau petang. Dengan kata lain, sebagai representasi waktu yang menunjukkan mulainya malam hari. Ngabuburit berarti menunggu sore atau mengisi waktu hingga sore tiba. Akan tetapi, kini artinya menyempit. Ngabuburit bermakna menunggu saatnya buka puasa. Istilah ini seolah menjadi tren di bulan puasa. Tentu yang dimaksud adalah melakukan kegiatan sambil menunggu saatnya berbuka puasa. Selain itu, ngabuburit tidak mengenal batas umur; dapat dilakukan dari orang tua, anak muda, sampai anak-anak. Ngabuburit biasanya dilakukan sekitar 1-2 jam sebelum waktu berbuka puasa.

Forum: Tradisi “Ngabuburit” di Bandung (Kompas Jawa Barat, 1 Oktober 2007 halaman 4)

KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS

Sambil menunggu waktu berbuka puasa tiba (ngabuburit), anak-anak menikmati wisata kuda di Lapangan Abra, Cipedes, Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/8/2009). Para penyedia jasa wisata kuda mematok Rp 1.000 per satu putaran.

  • Tradisi Ndengu-Ndengu (Bungku, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah)

Ndengu-ndengu adalah tradisi membangunkan orang sahur yang sudah dilakukan warga Bungku, ibu kota Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah secara turun-temurun. Ndengu-ndengu sendiri adalah musik yang dimainkan dari seperangkat alat musik, seperti gong, ganda otolu—sejenis gong kecil berjumlah tiga, gendang, dan simbal. Musik ini dimainkan oleh remaja dan anak-anak.

Langkan: Foto – Ndengu-ndengu Tradisi Ramadhan (Kompas, 25 Agustus 2011 halaman 12)

KOMPAS/RENY SRI AYU

Ndengu-ndengu adalah tradisi membangunkan orang untuk sahur yang secara turun-temurun dilakukan warga di Bungku, ibu kota Kabupaten Morowali, Sulteng. Ndengu-ndengu adalah musik yang dimainkan dari seperangkat alat musik, seperti gong, ganda otolu-sejenis gong kecil berjumlah tiga, gendang, dan simbal. Musik ini dimainkan oleh remaja dan anak-anak.

  • Tradisi “Koprekan” (Kota Tegal, Jawa Tengah)

Warga Kelurahan Mangkukusuman menggelar koprekan pada bulan Ramadhan. Dengan menggunakan alat sederhana berupa kentungan bambu, warga bergiliran keliling kampung membantu warga lainnya menjalankan ibadah puasa agar tidak terlambat sahur. Koprekan bukan hanya tradisi membangunkan sahur, kegiatan itu sarat dengan kebersamaan dan semangat tolong-menolong antarwarga. Menurut warga setempat, koprekan membuat warga terhindar dari bangun siang. Dengan demikian, mereka sahur tepat waktu sehingga dapat menjalankan ibadah puasa dengan tenang.

Tradisi ramadhan : “Koprekan”, Kebersamaan Sahur (Kompas, 7 Agustus 2012 halaman 21)

KOMPAS/SIWI NURBIAJANTI

Sejumlah warga berkeliling di sepanjang Jalan Cereme, RT 11 RW 3, Kelurahan Mangkukusuman, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, Jawa Tengah, sambil menabuh kentungan, Rabu (1/8/2012) pukul 03.30. Koprekan di wilayah itu sudah berlangsung selama 27 tahun. Kegiatan itu dimaksudkan untuk membangunkan warga yang hendak sahur.

  • Tradisi Nujuhlikur (Bengkulu)

Puluhan susunan tempurung kelapa terbakar berjajar rapi di pekarangan hampir setiap rumah warga di Dusun Parit, Desa Jeranglah Rendah, Kecamatan Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu. Nyala dari bakaran tempurung itu seolah menjadi penerang jalan desa di tengah gelapnya malam. Bakaran tempurung itu menjadi pertanda tradisi ”Nujuhlikur” telah dimulai. Tradisi Nujuhlikur adalah tradisi turun-temurun di Bengkulu Selatan yang selalu diperingati pada malam ke-27 bulan suci Ramadhan. Sementara membakar tempurung disebut juga sebagai “Marak Lunjuk”. Tradisi Nujuhlikur juga diperingati dengan berbuka puasa bersama di masjid.

Menjaga Tradisi: “Nujuhlikur” Bersama “Marak Lunjuk” * Liputan Lebaran 2018 (Kompas, 18 Juni 2018 halaman 2)

  • Baarakan Naga (Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan)

Baarakan atau karnaval sepasang naga hanya diadakan pada malam sahur terakhir bulan Ramadhan oleh warga Kota Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Ini merupakan simbol turunnya naga laki (naga jantan) dan naga bini (naga betina). Naga dibawa sekelompok remaja yang berlari-lari dan meliuk-liuk di sepanjang jalan. Suasana bagarakan sahur terakhir itu terasa makin marak karena rumah-rumah penduduk diterangi lampu-lampu.

Arakan Naga, Melepas Ramadhan di Kandangan * Mozaik (Kompas, 29 Desember 2000 halaman 10)

KOMPAS/M SYAIFULLAH

Perahu–Miniatur perahu dengan membawa seperangkat gamelan wayang kulit Banjar dari Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai saelatan menjadi juara favorit Bagarakan Sahur dalam Festival Tanglong dan Bagarakan Sahur di kta Banjarmasin, Kalsel. Festival yang sudah berlangsung lima tahun terakhir merupakan upaya mempertahankan kegiatan seni dan budaya warga Banjar yang dilaksanakan pada bulan puasa Ramadhan.

Penulis:
Muhammad Rofiq

Riset Foto
AAN/Rofiq

Editor
Dwi Rustiono

Sumber: Arsip Kompas