Fakta Singkat
Nama Lengkap
Sutomo alias Bung Tomo
Lahir
Surabaya, 3 Oktober 1920
Meninggal
Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981
Jabatan
Pahlawan Nasional
SK No. 041/TK/Tahun 2008
Bung Tomo adalah sosok yang selalu dikenang saat peringatan Hari Pahlawan. Melalui orasi-orasinya yang berapi-api di Radio Pemberontak yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI), Sutomo terus mengelorakan dan menyemangati pejuang agar terus berjuang pantang menyerah dalam melawan pasukan sekutu.
Sepanjang hidupnya Bung Tomo adalah tokoh yang bersikap kritis terhadap dua Presiden. Kepada Presiden pertama RI Soekarno, ia mengkritik kebijakan Soekarno yang gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ia juga mengkritik kehidupan pribadi Presiden terkait pernikahan, padahal sebelumnya ia terbilang dekat.
Sementara kepada Presiden kedua RI Soeharto, ia kerap memprotes dan mengkritik kebijakan-kebijakan Orde Baru, padahal sebelumnya ia mendukung Orde Baru dalam memberantas PKI dan komunisme di Indonesia. Puncaknya ketika ia memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai Ibu Tien Soeharto dalam setiap pidatonya. Sifat kritisnya itu membawanya ke penjara dengan tuduhan melakukan tindakan subversif.
Arek Surabaya
Sutomo atau Bung Tomo lahir di Kampung Blauran, Surabaya, Jawa Timur, pada 3 Oktober 1920. Sang ayah bernama Kartawan Tjiptowidjojo pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja dan pegawai di perusahan ekspor-impor Belanda. Sedangkan, ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.
Sutomo kecil mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat di Surabaya atau biasa disebut HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang berbahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Kemudian, ia melanjutkan ke sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Surabaya.
Ia bisa masuk ke sekolah tersebut karena ayahnya seorang polisi pamongpraja dan anggota Serikat Islam. Namun, pada usia 12 tahun, ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO dan melakukan pekerjaan kecil-kecilan membantu orang tuanya untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.
Belakangan ia melanjutkan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School), yakni sekolah setingkat dengan MULO ditambah AMS (Algemeen Metddelbare School), yang masa pendidikannya selama lima tahun. Sutomo berhenti di tengah jalan karena faktor pelajarannya yang berat dan kesulitan biaya pendidikan. Meski demikian, ia terus melanjutkan pendidikannya itu secara korespondensi dan tercatat sebagai murid yang dianggap lulus HBS tetapi tidak secara resmi.
Setelah malang melintang di dunia politik, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Indonesia tahun 1959. Ia menyusun skripsi cukup lama karena kesulitan bahan dan data. Skripsi yang disusun Bung Tomo berjudul Pengaruh Agama pada Pembangunan Ekonomi di Daerah Pedesaan Indonesia dengan dosen pembimbing Prof. Dr. Selo Sumardjan. Meski demikian, skripsinya tak pernah diuji.
Kementerian Sosial
Bung Tomo Alias Sutomo
Karier
Sutomo muda mulai bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada usia 12 tahun. Di kepanduan itu ia mendapatkan pendidikan pengganti pendidikan formal. Kesadaran nasionalisme dan semangat perjuangannya pun terasah dari kegiatan kepanduan tersebut.
Memasuki usia 17 tahun, ia meraih tingkat Pandu Garuda di KBI. Dengan pangkat tersebut, ia mulai dikenal oleh banyak orang dan mulai menunjukkan kepeduliannya kepada bangsa. Selain aktif di di kepanduan, ia juga terlibat dalam dunia tulis menulis.
Pada usia yang masih terbilang muda, yakni 19 tahun, Bung Tomo menjadi jurnalis yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah. Ia menjadi jurnalis lepas dan tulisannya kerap menghiasi harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.
Pada masa pendudukan Jepang, ia juga menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya saat usianya baru 25 tahun. Pada saat Indonesia merdeka, ia memberitakan kemerdekaan itu dalam bahasa Jawa agar tidak kena sensor oleh penjajah.
Pada tahun 1944, ia terpilih ia sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru, dan pengurus Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya. Patriotisme Bung Tomo mulai terlihat secara luas saat peristiwa 10 November 1945.
Ia menggelorakan rakyat Indonesia, khususnya yang berada di Surabaya, untuk melawan pasukan tentara Inggris yang ingin merebut kembali Indonesia. Bung Tomo berorasi lewat radio membakar semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan Indonesia.
Dalam peristiwa tersebut, Bung Tomo pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Ia memimpin laskar itu sejak 12 Oktober 1945 hingga Juni 1947. Tidak heran bila Bung Tomo sangat dihormati di kalangan laskar, paling tidak setelah 10 November 1945.
Dalam perkembangannya, ia tidak lagi berkegiatan di radio dan kemudian ditarik ke Markas Besar Umum Tentara Keamanan Rakyat dan diberi pangkat militer Jenderal Mayor. Pada masa itu, pangkat militer Indonesia hanya ada Jenderal, Letnan Jenderal dan Jenderal Mayor, lalu di bawahnya ada kolonel. Pangkat Mayor Jenderal dan Brigadir Jenderal belum dipakai kala itu.
Tahun 1950 atau lima tahun setelah kemerdekaan RI, Bung Tomo dipercaya menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata, sekaligus merangkap Menteri Sosial Ad Interim di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Jabatan itu dia emban hingga Maret 1956.
Setelah Pemilu pertama September 1955, Bung Tomo melalui Partai Rakyat Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Partai yang berlambang pohon kelapa itu merupakan perubahan dari Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), yang didirikan dan dipimpin Bung Tomo selama masa revolusi.
Posisi sebagai wakil rakyat diembannya dari tahun 1956 hingga tahun 1959 atau hingga Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden pada Juli 1959 yang membubarkan Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan kembali ke UUD 1945.
Merasa tak puas dengan kebijakan Presiden Soekarno, pada Tanggal 24 Agustus 1960 Bung Tomo menggugat Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Soekarno di depan Pengadilan Negeri. Soekarno digugat karena telah membubarkan Konstituante, hasil Pemilu 1955. Walaupun tidak berhasil, namun Bung Tomo telah melakukan upaya menegakkan kehidupan berdemokrasi.
Pada awal-awal Orde Baru, Bung Tomo yang terkenal religius merupakan mendukung aksi unjuk rasa para mahasiswa pada tahun 1965–1966 tentang penolakan komunisme di Indonesia. Ketika Orde Baru berkuasa, Bung Tomo menilai pemerintahan di Orde Baru tidak berpihak kepada rakyat dan justru malah menguntungkan pada para konglomerat maupun investor asing.
Ia mengkritik keras beberapa program pembangunan yang digagas Presiden Soeharto. Salah satu program yang dikritik keras adalah terkait pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai dan dirancang oleh Siti Hartinah, istri Presiden Soeharto pada tahun 1978.
Akhirnya, pada 11 April 1978 Bung Tomo ditangkap dan berujung dipenjara dengan tuduhan melakukan tindakan subversif. Bung Tomo kemudian mendekam di balik jeruji sel tahanan selama satu tahun, sejak tahun 1978. Setahun kemudian, ia dibebaskan.
Sekeluarnya dari penjara, Bung Tomo lebih mencurahkan perhatiannya untuk kelurga dan mendidik keempat anaknya. Ia juga fokus pada kegiatan sosial keagamaan dan tidak lagi bersikap vokal.
Pada 7 Oktober 1981, ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji di Arab Saudi. Sesuai prosedur, jenazah Bung Tomo harusnya dikebumikan di Arab Saudi, namun berkat dorongan dari keluarga dan bantuan sejumlah pihak termasuk pemerintah, maka muncul inisiatif untuk memulangkan jenazah Bung Tomo ke Tanah Air.
Setelah empat bulan kematiannya, jenazah Bung Tomo berhasil dibawa ke Tanah Air. Pada 3 Feburari 1982, jenazah Bung Tomo dibawa ke Surabaya untuk kemudian dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel Rejo sesuai dengan permintaannya ketika masih hidup. Jenazah disemayamkan dengan upacara militer.
Jenazah Bung Tomo tiba di Bandara Halim Perdana Kusumah dari Arab Saudi untuk kemudian dibawa ke Surabaya dan dimakamkan di sana.
Daftar Penghargaan
- Satyta Lencana Kemerdekaan
- Bintang Gerilya
- Bintang Veteran RI
- Gelar Pahlawan dari GP Ansor (2007)
- Gelar Pahlawan Nasional (2008)
Penghargaan
Berkat jasa-jasanya selama perang kemerdekaan, Pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Sutomo alias Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008 atau 27 tahun setelah kematiannya. Gelar itu diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada ahli waris Sutomo yang diwakili Sulistina Soetomo, istri almarhum Bung Tomo.
Tahun sebelumnya, GP Ansor juga menganugerahi gelar Pahlawan Nasional pada Bung Tomo yang diterima anak laki-lakinya Bambang Sulistomo. GP Ansor menilai Bung Tomo merupakan pahlawan sejati yang memilih bersebarangan dengan pemerintahan baik Orde Lama maupun Orde Baru.
Pemberian gelar pahlawan nasional dari Negara kepada Bung Tomo, sekaligus mengakhiri polemik berkepanjangan yang sempat muncul dalam beberapa tahun terakhir. Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo pernah disampaikan kepada pemerintah, tapi tidak mendapat persetujuan.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan ucapan selamat kepada Ny Sulistina Soetomo (kiri), istri almarhum Bung Tomo atau Soetomo, saat menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra Adipradana di Istana Negara, Jakarta, Jumat (7/11/2008).
Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya yang terjadi pada 10 November 1945 merupakan perang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Bung Tomo berperan penting dalam membakar semangat dan menambah semangat juang pemuda pemudi Surabaya dalam dipertahankan kemerdekaannya.
Bung Tomo dikenal sebagai seorang orator yang pembakar semangat arek-arek Suroboyo dalam menghadapi tentara Sekutu melalui pidato-pidatonya di radio itu. Sebelum membacakan pidato legendaris tentang semangat perjuangan itu, Bung Tomo terlebih dahulu meminta izin kepada Rais Akbar Nahdlatul Ulama, atau pimpinan tertinggi NU kala itu, KH Hasyim Asy’ari.
Lewat orasi-orasi membara yang ia sampaikan lewat siaran radio di Radio Pemberontakan dan direlay RRI, Bung Tomo mampu mengobarkan semangat juang arek-arek Suroboyo untuk terus melawan pasukan Inggris dan sekutu.
Meski para pemuda Surabaya menggunakan persenjataan hasil rampasan dari tentera Jepang yang tidak seimbang dibanding kekuatan sekutu, namun berkat semangat yang terus dikobarkan Bung Tomo, mereka berhasil melawan tentara Sekutu selama 20 hari.
Meski korban tewas dari pejuang dan rakyat Jawa Timur diperkirakan mencapai 16.000 jiwa dan ratusan ribu rakyat terpaksa mengungsi, pertempuran tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap tentara asing. Pekik “Merdeka atau Mati“, “Sekali Merdeka Tetap Merdeka“, juga berawal dari perang yang dimulai tanggal 10 November itu.
Pertempuran Surabaya ini membuktikan bangsa Indonesia, yang telah menyatakan kemerdekaannya beberapa bulan sebelumnya, masih ada. Setelah pertempuran Surabaya, mata dunia terbuka, bahwa bangsa Indonesia itu kuat. Tentara Inggris kehilangan jenderalnya dan angkat kaki, tidak mau mendukung Belanda.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan hingga sekarang.
Pemberontakan di Surabaya sebagai reaksi ultimatum Brigjen Malaby dari tentara Inggris pada tanggal 10 November 1945
Referensi
“Bung Tomo dan Pekik Merdeka * 50 Tahun Indonesia Merdeka”. Kompas, 3 Jun 1995, Halaman 1
“10 November 1945: Titik Balik dalam Sejarah Indonesia”. Kompas, 10 Nov 1993, Halaman 4
“Malam Nostalgia 10 November 1945-1994. Mengenang Pejuang Bung Tomo”. Kompas, 20 Des 1994, Halaman 20
“Tiga Pahlawan Nasional * Natsir, Bung Tomo, dan Abdul Halim”. Kompas, 08 Nov 2008, Halaman 15
“Bung Tomo dan Orasinya”. Kompas, 17 Nov 2018, Halaman 15.
Sulistina. 2008. Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawanmu, Sutomo. Jakarta: Visimedia.
- https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/10/200000765/bung-tomo-pahlawan-yang-religius-tapi-tolak-poligami?page=all
- https://nasional.kompas.com/read/2018/11/10/11110081/bung-tomo-pengobar-semangat-rakyat-surabaya-melawan-penjajah?page=all
- https://tekno.kompas.com/read/2008/11/07/09585382/gelar.pahlawan.nasional.bung.tomo.bareng.moh.natsir
- https://nasional.kompas.com/read/2008/11/02/2125508/bung.tomo.akhirnya.dapat.gelar.pahlawan.nasional#:~:text=SURABAYA%2C%20MINGGU%20%2D%20Tokoh%20perjuangan%20asal,pada%2010%20November%202008%20mendatang
- https://nasional.kompas.com/read/2008/11/08/10263625/bung.tomo.untuk.generasi.mudahttps://nasional.kompas.com/read/2008/11/08/09561670/akhirnya.kota.pahlawan.punya.pahlawan?page=all
- https://intisari.grid.id/read/03913575/bung-tomo-masih-sempat-bikin-skripsi-karena-tak-ingin-ketinggalan-seperti-anak-muda-sekarang?page=all
Biodata
Nama
Sutomo
Lahir
Surabaya, 3 Oktober 1920
Jabatan
Pahlawan Nasional
Pendidikan
- MULO, 1932
- HBS, tidak selesai
- Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, (1959–1968)
Karir
- Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), 1937
- Jurnalis lepas pada harian Soeara Oemoem (Suara Umum -EYD), 1937
- Redaktur mingguan Pembela Rakyat, 1938
- Jurnalis dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, 1939
- Kepala kantor berita Antara di Surabaya, 1942
- Anggota Gerakan Rakyat Baru, 1944
- Pengurus Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya, 1944
- Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata, Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, 1955–1956
- Menteri Sosial Ad Interim, Kabinet Perdana Menteri, Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, 1955–1956
- Anggota DPR dari Partai Rakyat Indonesia,1956–1959
- Bergerak di bidang sosial ekonomi dan dakwah (1980-1981)
Penghargaan
- Satyta Lencana Kemerdekaan
- Bintang Gerilya
- Bintang Veteran RI
- Gelar Pahlawan dari GP Ansor (2007)
- Gelar Pahlawan Nasional (2008)
Keluarga
Istri
Sulistina Sutomo
Anak
- Tin Sulistami
- Bambang Sulistomo
- Sri Sulistami
- Ratna Sulistami
Sumber
Litbang Kompas