IPPHOS
Setelah Madiun direbut kembali dari pemberontak PKI, Polisi Negara RI Jawa Timur mengadakan apel pada bulan November 1948. Wakil Kepala Polisi RI Sumarto memeriksa keadaan asrama-asrama dan gedung-gedung lain, dengan diantar oleh Inspektur Polisi Moh. Yasin (1/11/1948).
Amir Sjarifuddin merupakan salah satu tokoh penggerak peristiwa Madiun 1948. Terlibatnya Amir diawali rasa kecewa terhadap pemerintahan Soekarno-Hatta karena kebijakannya dianggap terlalu lunak terhadap Belanda yang ingin kembali ke Indonesia.
Amir dikenal sebagai Perdana Menteri Indonesia yang memimpin kabinet sejak 3 Juli 1947 hingga mundur secara resmi pada periode keduanya, 29 Januari 1948. Gejolak politik setelah Perjanjian Renville menjadi penyebab mundurnya Amir.
Setelah keluar dari pemerintahan, Amir mendirikan organisasi bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR). Kelompok ini gemar mengkritik pemerintahan yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk segera membatalkan Perjanjian Renville dan mengganti Kabinet Hatta dengan kabinet parlementer.
Peristiwa ini menjadi awal pembangkangan FDR terhadap pemerintahan Soekarno-Hatta. Mereka tidak puas dengan kebijakan terkait perundingan Indonesia-Belanda. FDR berkeinginan agar wilayah Indonesia tetap utuh di tengah siasat Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Namun, Kabinet Hatta yang saat itu memerintah tidak mengindahkan usulan-usulan dari FDR. Protes pun dilakukan oleh simpatisan FDR, salah satunya dengan aksi mogok kerja organisasi buruh.
Aksi FDR semakin berkembang setelah kedatangan Musso salah satu tokoh PKI yang sempat bersembunyi di Moscow, Uni Soviet, karena dikejar-kejar pemerintah Hindia Belanda. Setelah menguasai FDR, Musso bersama PKI, menjadi penggerak diproklamasikannya “Soviet Republik Indonesia”.
Gerakan separatisme yang ingin menggantikan pemerintahan Soekarno-Hatta ini dapat ditumpas oleh operasi militer. Pasukan TNI berhasil memburu para pemberontak dan berhasil menyelesaikan ancaman separatisme pada akhir tahun 1948.
7 Januari 1948
Perjanjian Renville antara Indonesia dengan Belanda menimbulkan perpecahan politik di dalam negeri. Masyumi dan PNI dua partai besar pendukung Kabinet Amir Sjarifuddin menarik menteri-menterinya dari kabinet.
23 Januari 1948
Akibat ditinggalkan dua partai besar, Kabinet Amir Sjarifuddin goyah. Amir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno yang segera menunjuk Mohammad Hatta, wakilnya, untuk membentuk kabinet baru.
26 Februari 1948
Amir Sjarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang merupakan gabungan dari Partai Sosialis (PS), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Buruh, Partai Komunis Indonesia (PKI), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI). FDR menuntut Kabinet Hatta untuk dibubarkan dan diganti dengan kabinet parlementer, Perjanjian Renville dibatalkan, menghentikan semua perundingan antara Indonesia-Belanda, dan nasionalisasi semua perusahaan Belanda/asing.
20 Mei 1948
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil partai, termasuk dengan FDR mengenai kemungkinan reshuffle kabinet.
26 Mei 1948
Sebuah radio Moscow, Uni Soviet, mengabarkan bahwa pemerintahan Uni Soviet meratifikasi perjanjian pertukaran konsul dengan pemerintah Indonesia. Kabar ini dianggap memperkuat posisi tawar FDR dalam menghadapi Hatta dan sebagai usaha untuk merusak perjanjian antara Indonesia-Belanda. Namun, pemerintah Indonesia menunda ratifikasi perjanjian tersebut sehingga membuat FDR kecewa.
27 Juli 1948
Perdana Menteri Mohammad Hatta menyetujui program-program nasional yang dibahas dalam pertemuan dengan wakil-wakil partai dan FDR. Isi dari program nasional tidaklah jauh berbeda dengan tuntutan awal FDR untuk membatalkan seluruh perjanjian Renville. Namun, FDR bersikukuh agar program nasional tersebut dijalankan oleh kabinet parlementer bukan Kabinet Hatta. Usulan FDR ini ditolak oleh Mohammad Hatta.
23 Juni 1948
Terjadi aksi pemogokan buruh yang dikomandoi SOBSI. Diperkirakan sekitar 15.000 buruh pabrik melakukan aksi mogok di Delangu. Mereka menuntut agar pembagian bahan pakaian dan makanan tidak hanya diberikan kepada buruh bulanan dan harian, tetapi juga kepada buruh musiman. Akibatnya, perekonomian Indonesia terpukul.
16 Juli 1948
Perdana Menteri Hatta turun tangan menyelesaikan aksi pemogokan dengan melakukan pertemuan langsung dengan SOBSI. Disepakati bahwa aksi pemogokan akan dihentikan tanggal 18 Juli 1948 dan tuntutan para buruh dikabulkan.
10 Agustus 1948
Musso, tokoh PKI, tiba di Indonesia dari Moscow, Uni Soviet. Musso melarikan diri sampai ke Soviet karena menjadi buronan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kedatangan Musso memberi angin segar bagi FDR yang sedang berkonflik dengan Hatta.
23 Agustus 1948
Musso menulis di majalah Revolusioner milik Pesindo yang intinya mengkritik Soekarno-Hatta yang dinilai salah arah dalam memperjuangkan revolusi Indonesia. Musso mendesak Indonesia harus membatalkan Perjanjian Renville dan segera meresmikan hubungan diplomatik dengan Uni Soviet untuk mengimbangi tekanan dari Amerika Serikat dan Belanda terhadap Indonesia.
1 September 1948
Musso membentuk politbiro PKI yang merupakan fusi dari partai-partai yang tergabung dalam FDR. Pemimpin tertinggi berada di tangan Musso. Amir Sjarifuddin ditempatkan di bagian pertahanan.
2 September 1948
Perdana Menteri Mohammad Hatta menyatakan bahwa pemerintah tidak akan memihak salah satu kubu, baik kubu Amerika Serikat maupun kubu Uni Soviet.
13 September 1948
Orang-orang PKI menculik dan menunuh dr. Muwardi tokoh militer dari Barisan Banteng yang anti terhadap FDR. Akibatnya pecah pertempuran di Solo antara Barisan Banteng dengan pasukan FDR.
17 September 1948
Presiden Soekarno menyatakan bahwa daerah Solo dalam keadaan bahaya. Untuk memulihkan keamanan Kolonel Gatot Subroto diangkat menjadi Gubernur Militer Surakarta, Madiun, Semarang, dan daerah sekitarnya. Gatot Subroto memerintahkan untuk menghentikan peperangan di Solo, namun tidak efektif sehingga membuat pasukan Siliwangi dan pasukan FDR tetap bertempur.
18 September 1948
Setelah menguasai FDR, PKI mempersiapkan kantong-kantong pertahanan di beberapa kota yang dikuasainya seperti di Madiun, Kediri, Ponorogo, Blitar, Nganjuk, Ngawi, dan Purwodadi. Di Madiun kantor-kantor pemerintahan dan pertahanan dikuasai oleh PKI. Di Balai Kota Madiun, mereka meproklamirkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Supardi, tokoh PKI yang menjadi wakil walikota Madiun diangkat menjadi residen, sedangkan Kolonel Djoko Sujono menjadi gubernur militer.
19 September 1948
Kabinet Hatta bersidang untuk menghadapi pemberontakan dengan kekuatan senjata. Presiden Soekarno juga menyampaikan pidatonya di radio yang isinya “Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara mana pun.” Seruan Soekarno kemudian dijawab oleh Musso juga lewat radio yang mengatakan, “Soekarno-Hatta budak-budak Jepang dan Amerika … Musso selamanya menghamba rakyat Indonesia.”
20 September 1948
Dewan Siasat Militer menyatakan bahwa Madiun harus direbut secepatnya dan menumpas segala bentuk pemberontakan PKI. Operasi militer yang akan dijalankan menetapkan tiga sasaran yang harus direbut yakni Purwodadi, Pacitan, dan Madiun yang merupakan sasaran utama.
21 September 1948
Rapat siasat staf Gubernur Militer menetapkan rencana operasi. Brigade II/Siliwangi-Kru di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin bergerak dari arah Surakarta-Karanganyar-Tawangmangu-Sarangan-Plaosan-Magetan-Maospati dan merebut sasaran pokok Madiun. Brigade II/Siliwangi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Koesno Oetomo bergerak melalui Surakarta-Kalioso-Gemolong-Gundih merebut sasaran utama Purwodadi. Brigade tambahan Siliwangi terdiri dari Batalyon-batalyon Nasoehi dan Hoeseinsjah bergerak melalui Surakarta-Sukoharjo-Wonogiri-Baturetno-Giriwoyo-Punung merebut sasaran Pacitan.
22 September 1948
Panglima Besar Jenderal Soedirman di Balai Kota Solo menyampaikan amanahnya kepada pasukan Siliwangi yang akan merebut Madiun. Dukungan moral ini juga mengubah sikap masyarakat yang saat itu banyak mengumpat terhadap FDR.
23 September 1948
Djoko Sujono salah satu perwakilan militer yang mendukung PKI mengundang para perwira TNI untuk melakukan pertemuan di Balai Kota Madiun. Namun, Jenderal Soedirman menolak undangan tersebut karena mendakwa Djoko Sujono dan beberapa perwira TNI yang mendukung PKI telah melakukan pengkhianatan.
24-26 September 1948
Sejumlah pasukan Siliwangi yang melakukan operasi memenangkan pertempuran, sehingga wilayah yang dikuasai PKI dapat direbut kembali. Terjadi penangkapan terhadap tokoh-tokoh PKI setempat dan para tawanan berhasil dibebaskan. Pasukan Siliwangi semakin mendekat ke Madiun sebagai sasaran utama yang akan direbut.
28-29 September 1948
Operasi militer Siliwangi memberikan hasil bagus sehingga membuat PKI di Madiun semakin terdesak posisinya. Hal ini membuat Musso dan pimpinan PKI mudur dari Madiun menuju selatan ke arah Gunung Wilis.
30 September 1948
Mayor Sambar Atmadinata dan Batalyon Kian Santang, diikuti satu Peleton Taruna Akademi Militer, memasuki Kota Madiun tanpa perlawanan dari pasukan PKI. Mereka menduduki tempat-tempat yang penting untuk mencegah para pemberontak menguasai kembali Madiun, dan menyusun rencana pengejaran terhadap pasukan PKI yang melarikan diri.
31 Oktober 1948
Laporan yang diterima oleh Mayor Omon Abdurachman di Desa Sumoroto, Ponorogo memberitakan bahwa Musso, tokoh penting PKI, tertembak mati setelah baku tembak dengan pasukan militer.
28 November 1948
Pasukan PKI semakin terjepit setelah Musso pimpinannya tertembak mati. Sisa-sisa pasukan PKI ditangkap oleh pasukan Batalyon Kemal Idris di daerah Babalan, Purwodadi.
29 November 1948
Amir Sjariffudin beserta para pimpinan PKI menyerahkan diri kepada pasukan TNI di daerah Babalan, Purwodadi. Peristiwa ini mengakhiri pemberontakan PKI Madiun.
Referensi
- Abdullah, Taufik & Lapian, A.B. (ed.). 2013. Indonesia dalam Arus Sejarah 6: Perang dan Revolusi. Jakarta: Kemendikbud.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho (ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Poeze, Harry A. 2020. Madiun 1948 PKI Bergerak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & KITLV.
- Soetanto, Himawan. 1994. Perintah Presiden Soekarno: “Rebut Kembali Madiun…”, Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI/Moesoe 1948. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Penulis
Martinus Danang
Editor
Inggra Parandaru