Paparan Topik | Politik dan Demokrasi

Mengenal Amicus Curiae

Amicus curiae adalah istilah hukum, yang secara harfiah berasal dari bahasa Latin yang berarti “friend of the court,” atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “sahabat pengadilan”

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Petugas Mahkamah Konstitusi membawa lembaran Amicus Curiae yang diserahkan perwakilan mahasiswa fakultas hukum Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Padjadjaran yang hadir di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, untuk diserahkan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, Selasa (16/4/2024). 

Fakta Singkat

Amicus Curiae

  • Amicus curiae adalah istilah hukum, yang secara harfiah berasal dari bahasa Latin yang berarti “friend of the court,” atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “sahabat pengadilan”.
  • Secara historis, praktik yang melibatkan amicus curiae berasal dari tradisi hukum Romawi.
  • Amicus curiae merupakan konsep hukum yang merujuk kepada seseorang yang tidak memiliki hubungan dan kepentingan dengan para pihak dalam satu perkara, namun memiliki ketertarikan dan berkepentingan terhadap hasil putusan pengadilan.
  • Praktik amicus curiae umumnya dipakai di negara dengan sistem hukum common law, namun belakangan juga dipraktikan oleh negara-negara dengan sistem civil law.
  • Amicus curiae bukanlah alat bukti, tetapi majelis hakim bisa mempertimbangkan amicus curiae yang diterima dalam memutus sebuah perkara.
  • Jika amicus curiae lebih dari satu orang/organisasi maka disebut “amici curiae” dan pengajunya disebut dengan amici(s).
  • Penerapan amicus curiae dalam peradilan di Indonesia dalam prakteknya secara umum didasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman; Pasal 180 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP; Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005.
  • MK menerima menerima 52 amicus curiae terkait sengketa Pilpres 2024 sampai Sabtu (20/04/2024).
  • MK mempertimbangkan 14 amicus curiae untuk putuskan sengketa Pilpres 2024.

 

Putusan perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah dibacakan pada Senin (22/4/2024). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Mahkamah Konstitusi menilai, seluruh dalil yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD tidak terbukti di persidangan. Dalil yang dikelompokkan menjadi enam kluster itu adalah independensi penyelenggara pemilu, keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden, bantuan sosial (bansos), mobilisasi/netralitas pejabat/aparatur negara, prosedur penyelenggaraan pemilu, serta pemanfaatan sistem informasi rekapitulasi (Sirekap).

Putusan MK yang diiringi dissenting opinion atau pendapat berbeda dari tiga hakim itu mengabsahkan kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden 2024.

Dalam persidangan ini, terdapat sejumlah terobosan. MK memanggil empat menteri untuk dimintai keterangan dan memberikan kesempatan kepada semua pihak terkait untuk menyampaikan kesimpulan. MK juga mempertimbangkan 14 amicus curiae yang diajukan sebelum 16 April 2024.

Selama menangani perkara sengketa hasil pilpres ini, MK telah menerima 52 amicus curiae terkait sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sampai Sabtu (20/04/2024). Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono mengatakan, jumlah amicus curiae yang diterima tersebut adalah paling banyak dalam catatan sejarah MK menangani Perkara PHPU Presiden. 

Berbondong-bondongnya masyarakat yang hendak menjadi amicus curiae ini menjadi fenomena menarik yang terjadi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Tahun 2024. Pengajuan amicus curiae datang dari berbagai elemen masyarakat mulai dari kelompok, kelembagaan, maupun perseorangan. Dengan latar belakang seperti akademisi, budayawan, seniman, advokat, hingga mahasiswa yang turut mengajukan permohonan menjadi sahabat peradilan.

Mereka adalah Barisan Kebenaran Untuk Demokrasi (Brawijaya); Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI); TOP GUN; Aliansi Akademisi dan Masyarakat Sipil; Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM; Pandji R Hadinoto; Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, Feri Amsari, Usman Hamid, Abraham Samad dan lain-lain; UGM-UNPAD-Undip-Universitas Airlangga; Megawati Soekarnoputri; dan Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI).

Kemudian, ada Yayasan Advokat Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN); Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI), Stefanus Hendriyanto; Komunitas Cinta Pemilu Jujur dan Adil (KCP-JURDIL); Indonesian American Lawyer Association (IALA); Reza Indragiri Amriel; dan Gerakan Rakyat Penyelamat Indonesia dengan Perubahan.

Selanjutnya, Burhan Saidi Chaniago (Mahasiswa STIH GPL Jakarta; Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia; M Subhan; Gerakan Rakyat Menggugat (GRAM); Tuan Guru Deri Sulthanul Qulub; serta Habib Rizieq Shihab, Din Syamsudin, Ahmad Shabri Lubis, Yusuf Martak, dan Munarman.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Konferensi pers Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto (tengah) bersama Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat dan tim penasehat hukum TPDIP saat di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, setelah menyerahkan Amicus Curiae yang diajukan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Selasa (16/4/2024). Megawati Soekarnoputri mengajukan Amicus Curiae atau sahabat pengadilan kepada MK terkait proses pengadilan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024. Pengajuan Amicus Curiae yang diajukan Megawati ini sebagai sikap atas dugaan kecurangan Pemilu yang sistematis, terstruktur, dan masif pada Pilpres 2024.

Apa itu Amicus Curiae?

Amicus curiae adalah istilah hukum, yang secara harfiah berasal dari bahasa Latin yang berarti “friend of the court,” atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “sahabat pengadilan”.

Merujuk buku Menjadi Sahabat Pengadilan: Panduan Menyusun Amicus Brief, amicus curiae merupakan konsep hukum yang merujuk kepada seseorang yang tidak memiliki hubungan dan kepentingan dengan para pihak dalam satu perkara, namun memiliki ketertarikan dan berkepentingan terhadap hasil putusan pengadilan. Jika amicus curiae lebih dari satu orang/organisasi maka disebut “amici curiae” dan pengajunya disebut dengan amici(s).

Dalam proses pengadilan, keterlibatan amicus curiae sebatas memberikan pendapat, keterangan atau informasi berdasarkan kompetensinya tentang masalah hukum atau fakta hukum atau hal lain yang terkait kasus tersebut ke pengadilan. Umumnya mencakup informasi yang terabaikan.

Amicus curiae tidak harus seorang pengacara atau ahli di bidang hukum, namun memiliki pengetahuan terkait dengan perkara yang membuat keterangannya itu berharga bagi pengadilan. Dapat juga seorang saksi yang melihat, mendengarkan, mengalami sendiri suatu peristiwa dan lain-lain. Tujuannya untuk membantu pengadilan dalam memeriksa dan mempertimbangkan suatu perkara, dan bukan perlawanan terhadap hakim.

Amicus curiae dapat memberikan keterangannya karena diminta oleh pengadilan atau karena sukarela, dan bisa diberikan sejak pemeriksaan dimulai sampai saat sebelum putusan dijatuhkan. Keterangan dapat berupa tulisan atau diberikan secara lisan dalam persidangan di pengadilan. Namun, umumnya banyak diberikan dalam bentuk tulisan atau yang disebut sebagai amicus brief.

Isi dari keterangan tersebut bisa berupa paparan fakta atau data, kesaksian atau pengalaman pribadi, pendapat hukum, atau pendapat ilmiah. Meski demikian, amicus curiae bukanlah alat bukti, tetapi majelis hakim bisa mempertimbangkan amicus curiae yang diterima dalam memutus sebuah perkara.

Secara historis, praktik yang melibatkan amicus curiae berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikan dalam sistem hukum negara-negara yang menganut sistem common law pada abad ke-9.

Seiring berjalannya waktu, pada abad ke-17 dan 18, partisipasi dalam amicus curiae secara luas tercatat dalam All England Report. Pada tahun 1686, amicus curiae muncul pada sebuah kasus yang bisa dibilang unik pada waktu itu yang terkenal dengan nama Case of Horton and Ruesby.

Memasuki abad ke-20, amicus curiae semakin mendapat tempat dan memainkan peran yang cukup penting dalam kasus-kasus besar di negara-negara yang menganut sistem hukum common law, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Di Amerika Serikat, misalnya, amicus curiae memainkan peranan penting dalam kasus-kasus hak sipil, berpartisipasi dalam proses persidangan di lebih dari 90 persen kasus-kasus yang masuk ke Mahkamah Agung Amerika Serikat (United States Supreme Court).

Awalnya, praktik amicus curiae umumnya dipakai di negara dengan sistem hukum common law. Belakangan, pelembagaan peran “sahabat pengadilan” pun telah diatur dan dipraktikan oleh negara-negara dengan sistem civil law.

Di negara-negara dengan sistem civil law, praktik amicus curiae memang untuk kepentingan dan tujuan perlindungan HAM. Terutama untuk perkara-perkara yang menarik perhatian publik serta membutuhkan padangan independen. Baik itu pandanan dari akademisi, praktisi, lembaga negara, maupun organisasi masyarakat sipil untuk menilai isu hukum yang menjadi pusat perhatian majelis hakim di pengadilan.

Di Perancis, misalnya, sebelum memiliki pengaturan pada tahun 2010, praktik amicus curiae sudah mulai terjadi sejak tahun 1988, yaitu saat Pengadilan Tinggi Paris meminta Presiden Paris Bar Association menjadi amicus curiae dan memberikan pandangannya dalam suatu perkara terkait profesi advokat. Sementara di Belanda sejak tahun 2021 juga telah membuka pintu bagi masuknya amicus curiae walaupun masih terbatas pada peradilan administrasinya.

Amicus curiae dapat bertindak untuk tiga macam kepentingan, yaitu:

Pertama, untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompok yang diwakilinya yang mungkin terpengaruhi oleh putusan perkara, terlepas dari kepentingan para pihak, agar pengadilan tidak memutus hanya berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan para pihak.

Kedua, untuk kepentingan salah satu pihak dalam perkara dan membantu menguatkan argumennya agar pengadilan memiliki keyakinan untuk “memenangkan” pihak tersebut atau mengabulkan permohonannya.

Ketiga, untuk kepentingan umum, dalam hal ini sahabat pengadilan memberikan keterangan mengatasnamakan kepentingan masyarakat luas yang akan menerima dampak dari putusan tersebut.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Perwakilan mahasiswa fakultas hukum Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Padjadjaran hadir di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, untuk menyerahkan Amicus Curiae, Selasa (16/4/2024). Para mahasiswa fakultas hukum ini mengajukan Amicus Curiae atau sahabat pengadilan kepada MK terkait proses pengadilan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024. 

Praktik Amicus Curiae di Indonesia

Amicus curiae merupakan istilah yang mungkin masih jarang didengar di Indonesia. Sebab, dalam peradilan di Indonesia yang menganut civil law, amicus curiae memang belum secara tegas diatur di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak ada pengertian serta mekanisme untuk menyampaikan usulan amicus curiae ke pengadilan.

Meski demikian, dalam praktiknya amicus curiae telah cukup sering ada dalam berbagai perkara di pengadilan, mulai dari perkara perdata, tata usaha negara maupun pidana.

Praktik pengajuan amicus curiae tercatat pertama kali terjadi di perkara Peninjauan Kembali kasus gugatan perdata mantan Presiden Soeharto melawan Majalah Times. Sejak saat itu pengajuan amicus curiae semakin banyak setiap tahunnya. Pengajuan amicus curiae umum dilakukan oleh Komnas HAM dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum.

Belum lama, dalam kasus yang cukup menyita perhatian publik, amicus curiae  pernah mencuat dalam sidang kasus penembakan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Saat itu, jaksa menuntut Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiudengan pidana 12 tahun penjara.

Terhadap tuntutan itu, Aliansi Akademisi Indonesia kemudian menyerahkan amicus curiae kepada majelis hakim dan menyatakan dukungannya kepada Richard. Hal yang sama dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil, yakni Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Public Interest Lawyer Network (Pilnet), serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).

Mereka menekankan pentingnya kejujuran sebagai awal dari keadilan. Substansi permohonan amicus curiae dari para akademisi dan organisasi masyarakat sipil menilai Richard Eliezer layak menjadi justice collaborator karena kejujurannya untuk membongkar kejahatan.

Kemudian, dalam putusannya, majelis hakim memutuskan menerima permohonan amicus curiae tersebut, bahkan menilai substansi amicus curiae tersebut menjadi salah satu pertimbangan hukum untuk memutus hukuman pidana lebih ringan dari tuntutan JPU terhadap Richard Eliezer. 

Penerapan amicus curiae dalam peradilan di Indonesia dalam prakteknya secara umum didasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana isinya berbunyi bahwa “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Merujuk ketentuan tersebut, hakim memiliki kewajiban untuk membuka seluas-luasnya informasi dan pendapat dari berbagai kalangan, baik dari pihak yang berpekara maupun dari pihak di luar yang berpekara yang memahami permasalah yang sedang diselidiki. Dengan harapan, akan membantu hakim sendiri untuk menghasilkan pertimbangan serta putusan yang adil dan bijaksana, terutama ketika menyangkut suatu perkara yang kurang jelas.

Undang-undang lainnya yang memungkinkan adanya amicus curiae dalam peradilan adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang terdapat dalam Pasal 180 ayat (1) KUHAP.

Pasal 180 ayat (1) KUHAP tersebut menyebutkan bahwa “dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.” Frasa “dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan” secara tidak langsung menjadi dasar untuk hadirnya amicus curiae dalam proses persidangan di Indonesia.

Kemudian Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005, dalam Pasal 14 disebutkan “pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya” atau “pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud.”

Dengan demikian, meskipun belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya secara spesifik, amicus curiae secara tidak langsung sudah diadopsi dalam beberapa bagian perundang-undangan Indonesia yang berlaku saat ini dan dipraktikkan dalam persidangan. Namun, karena belum mempunyai dasar hukum yang mengakui secara jelas mengenai penggunaan, pengajuannya masih bersifat informal.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 

Sastrawati Ayu Utami menunjukkan bukti penyerahan surat Amicus Curiae para seniman dan budayawan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (1/4/2024). Surat pengajuan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada MK ini mewakili 159 seniman dan budayawan di Indonesia atas berjalannya persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). 

Amicus Curiae sebagai Pemeriksaan Publik

Posisi Amicus Curiae sebagai pihak yang tidak memiliki hubungan dan kepentingan dengan para pihak dalam satu perkara, namun dia memiliki perhatian terhadap suatu perkara.

Menurut Sukinta dalam artikel jurnal “Konsep dan Praktik Pelaksanaan Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” amicus Curiae bisa dilihat sebagai salah satu wujud partisipasi setiap warga negara terhadap penegakan hukum.

Amicus Curiae sekaligus sebagai bentuk eksaminasi publik atau pemeriksaan dari publik, terhadap berbagai aspek dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan, khususnya terhadap kasus yang menyangkut kepentingan publik.

Terkait dengan perkara perselisihan hasil Pilpres 2024 di MK, di mana banyak guru besar, akademisi, dan elemen masyarakat sipil mengajukan amicus curiae, bahkan hingga melebihi batas waktu yang ditentukan. Hal ini menunjukkan ada atensi publik atau masyarakat luas yang ikut memonitor perkara yang disidangkan oleh MK tersebut.

Atensi yang besar dari masyarakat tidak lepas dari berbagai kontroversi dan sengketa yang sudah sejak awal muncul dalam jalannya proses Pemilu 2024 hingga berujung pada  penolakan hasil pilpres.

Karena itu, keberadaan amicus curiae yang dilayangkan oleh berbagai kalangan bisa dilihat sebagai bentuk pemeriksaan publik terhadap jalannya penyelesaian perkara, sekaligus kegelisahan publik yang ingin didengarkan.

Adanya pemeriksaan publik terhadap jalannya suatu perkara di pengadilan terutama yang menyangkut kepentingan banyak orang, sangat penting untuk dilakukan. Pemeriksaan dari publik dilakukan dengan asumsi bahwa banyak produk hukum maupun proses hukum yang berjalan menyimpang.

Dalam Panduan Eksaminasi Publik yang diterbitkan Indonesia Corruption Watch (ICW), tujuan dari pemeriksaan publik secara umum adalah melakukan pengawasan terhadap produk-produk hukum yang dihasilkan maupun proses beracara oleh aparat hukum. Mendorong para hakim untuk meningkatkan integritas, kredibilitas dan profesionalitasnya di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara agar tidak menjadi putusan yang kontroversial, sehingga melukai rasa keadilan masyarakat.

Di sisi lain, banyaknya amicus curiae yang diajukan menunjukan adanya perkembangan hukum yang menuntut adanya ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses peradilan. Ini merupakan konsekuensi dari demokrasi. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan yang lebih jelas untuk mengakomodir amicus curiae ini. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku dan Jurnal
  • Aminah, Siti. 2014. Menjadi Sahabat Keadilan Panduan Menyusun Amicus Brief. Jakarta: Indonesia Legal Resource Center (ILRC).
  • Pralampita, Linda Ayu. 2020. “Kedudukan amicus curiae dalam sistem peradilan di Indonesia,” Jurnal Lex Reneissance, 5, No. 3.
  • Sukinta, Sukinta. 2021. “Konsep dan Praktik Pelaksanaan Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” Administrative Law and Governance Journal,4, No.1: 89-98.
  • Yuntho, Emerson, dkk. 2011. Panduan Eksaminasi Publik. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
Arsip Kompas
  • ”Amicus Curiae” dan Perlindungan HAM,” Kompas, 27 Februari 2023.
  • “Amicus Curiae”, Dipertimbangkan atau Diabaikan MK?” Kompas, 17 April 2024.
  • ”Amicus Curiae” hingga 16 April Pukul 16.00 Akan Dinilai Hakim MK,” Kompas, 18 April 2024.
  • ”Amicus Curiae” Wujud Atensi Masyarakat Cermati Perkara Pilpres 2024,” Kompas, 18 April 2024.
  • “Gelombang “Amicus Curiae” Masih Mengalir meskipun Tenggat Waktu Telah Berakhir,” Kompas, 19 April 2024.
  • “Kejahatan Tak Pernah Sempurna,” Kompas, 20 April 2024.
  • “Putusan Sengketa Pilpres Dibacakan Senin Ini, MK Diminta Dengarkan Suara Publik,” Kompas, 22 April 2024.
Internet