Paparan Topik

Sejarah Ilmu Kriminologi dalam Memotret Kejahatan di Masyarakat

Dalam dunia akademik, Ilmu Kriminologi diperlukan sebagai dasar keilmuan untuk memahami, mencegah, dan mengendalikan terjadinya kejahatan di masyarakat. Sebagai ilmu pengetahuan, Ilmu Kriminologi dapat dipahami lewat dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Personel Brimob bersenjata lengkap menjaga kawasan rumah pribadi mantan Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa (9/8/2022). Puluhan petugas juga menyisir kawasan jalan menuju rumah Ferdy Sambo dan melakukan sterilisasi. Petugas mengenakan baju Inafis terlihat keluar masuk di lokasi tersebut. Mobil rantis Brimob juga dikerahkan untuk mengamankan lokasi tersebut.

Fakta Singkat

  • Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada kajian kejahatan di masyarakat.
  • Dalam filsafat ilmu pengetahuan, disiplin Ilmu Kriminologi dikaji melalui unsur ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
  • Istilah “Kriminologi” awalnya dikemukakan oleh Antropolog Prancis bernama P. Topinard pada abad ke-19.
  • Kelahiran ilmu Kriminologi ditandai oleh penerbitan statistik kriminal pertama di Perancis pada 1826 dan buku L’Uomo Delinquente oleh Cesare Lombrosso pada 1876.
  • Studi atas kejahatan sejatinya telah hadir sejak zaman Yunani Kuno, namun belum berada dalam naungan disiplin ilmu tersendiri.
  • Terdapat dua metode utama dalam Kriminologi, yakni Metode Statistik dan Metode Individual.
  • Arah utama ilmu Kriminologi adalah untuk mengendalikan kejahatan di tengah masyarakat.
  • Kebermanfaatan yang bisa ditawarkan kriminolog adalah menjabarkan faktor-faktor kejahatan, menjelaskan fenomena kejahatan secara spesifik, dan merumuskan usaha pemulihan masyarakat dari kejahatan.

Dalam periode Juli sampai dengan akhir Agustus 2022, masyarakat Indonesia tengah digegerkan kasus kejahatan pembunuhan terhadap Brigadir J oleh tersangka Ferdy Sambo. Dimulai dari tewasnya Brigadir Yosua Hutabarat, banyak sudut terkuak dan menjadi cerita panjang kriminalitas. Tidak hanya penembakan, turut terkandung pula penyalahgunaan kekuasaan, pembunuhan berencana, penipuan alur skenario kejadian, dan persekongkolan. Mengacu pada artikel Kompaspedia (18/08/2022), Ferdy Sambo dengan jabatan Inspektur Jenderal-nya, menjadi tersangka dan dalang utama.

Rentetan tindakan oleh kelompok Ferdy Sambo menjadi wujud nyata kejahatan manusia pada tataran dewasa ini. Kasusnya sendiri unik, kompleks, dan membutuhkan analisis kritis untuk menafsirkannya. Oleh karena ketidakpuasan penanganan kasus dan terus memanjangnya kronologi yang ada, perhatian masyarakat Indonesia secara luas pun tertarik. Tidak hanya itu, dalam konteks yang lebih spesifik, para kriminolog Indonesia pun ikut turut merespon sebagaimana kasus ini merupakan gejala empiris dalam bidang studi Kriminologi.

Agustinus Pohan, pengajar hukum pidana dan kriminolog dari Universitas Katolik Parahyangan misalnya, memberikan komentar perihal pengungkapan motif yang dilakukan Ferdy Sambo (Kompas.id, 11/08/2022, “Motif Harus Diungkap, Wujud Obyektivitas Polri”).

Ia memberikan masukan, meskipun motif yang ditemukan nantinya barangkali tidak termasuk unsur pidana, motif tersebut tetap harus disampaikan. Tujuannya untuk meyakinkan masyarakat bahwa pengungkapan pembunuhan telah obyektif.

Dorongan tersebut dilakukan Agustinus setelah masyarakat melihat sendiri bagaimana bahkan Sambo sebagai pejabat tinggi Kepolisian mampu membuat rekayasa. Hal demikian bahkan turut dilakukan oleh sejumlah anggota kepolisian lain untuk menutupi kasus.

“Pada kasus ini, masyarakat menyaksikan polisi dapat merekayasa sedemikian rupa sebuah kejahatan. Kenyataan itu sekaligus menimbulkan dugaan adanya rekayasa dalam penanganan kasus-kasus besar sebelumnya,” katanya. (Kompas.id, 11/08/2022).

Selain oleh Agustinus, kasus kriminalitas Sambo juga diperhatikan kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala. Adrianus memberikan pandangan dan masukannya perihal menjaga obyektivitas jalannya pengadilan nanti. “Saya mengutip pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD pada saat rapat dengan DPR, bahwa beliau mengatakan setelah ini mesti menjaga jaksa dan hakim agar kemudian proses penuntutan di pengadilan bisa berjalan fair, jujur dan adil,” kata Adrianus melalui program acara Sapa Pagi Kompas TV pada Selasa (23/08/2022).

Berangkat dari adanya kekhawatiran yang disampaikan Mahfud MD tersebut, Adrianus meyakini bahwa nantinya, akan ada pihak-pihak tertentu yang selalu mencoba mengganggu jalannya sidang. “Bahwa pihak sebelah sana selalu akan mencoba untuk mengganggu. Saya pikir (kekhawatiran itu) hal yang bisa diterima. Mengingat, ada kemungkinan uang bekerja, lalu kemudian tekanan-tekanan juga bekerja,” ujar Adrianus. Oleh karenanya, komentar tersebut disampaikan untuk menjaga jalannya persidangan pada jalur yang sesuai.

Kehadiran komentar Agustinus Pohan dan Adrianus Meliala sebagai krimonolog demikian menjadi wujud nyata kehadiran Ilmu Krimonologi dalam ruang-ruang publik, utamanya dalam merespon tindak-tindak kriminal yang terjadi di masyarakat. Berkaca pada kasus Ferdy Sambo, masukan yang diberikan sendiri relevan dengan kebutuhan penanganan kasus. Perspektif Kriminologi pun relevan untuk menghadirkan perspektif keilmuan objektif bagi penanganan gejala kriminalitas di masyarakat.

Memahami Kriminologi Lewat Filsafat Ilmu Pengetahuan

Melalui buku Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Budi Hardiman menyampaikan bahwa perdebatan mengenai bentuk ilmu pengetahuan telah terjadi secara konstan, terutama sejak pemisahan entitas ilmu dengan praktis hidup sehari-hari masyarakat Yunani Kuno. Konsep ilmu pengetahuan pun lahir pada masa itu.

Kini, diskusi atas keberadaan ilmu pengetahuan itu sendiri terus berlanjut. Perdebatan terjadi salah satunya mengenai penciptaan patokan objektif atas kriteria ilmu pengetahuan untuk dapat mencapai kebenaran ilmiah. Memasuki zaman filsafat modern, tokoh-tokoh seperti Rene Descartes, Thomas Hobbes, dan John Locke melanjutkan pergelutan soal demikian dalam perkembangan pemikiran filsafat. Dalam perkembangan demikian, ilmu pengetahuan kontemporer tengah identik dengan tradisi pemikiran positivistik.

Definisi dan kriteria ilmu pengetahuan ikut mengacu pada tradisi pemikiran positivistik. Kencenderungan tersebut mengarahkan cabang-cabang ilmu pengetahuan masa kini, termasuk Kriminologi untuk memiliki unsur-unsur ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiganya menjadi “prasyarat” kekhasan suatu cabang ilmu yang akan membedakannya dengan cabang lainnya.

Ontologi: Hakikat Ilmu Kriminologi

Mengacu pada buku Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer oleh Suriasumantri, kajian dalam ontologi mengacu pada pembedahan atas hakikat kehadiran ilmu pengetahuan itu sendiri, baik dalam konteks histori maupun mengenai hakikat objek yang masuk dalam telaah studinya.

Sejarah Asal Kriminologi

Dalam genealogi ilmu pengetahuan, Ravertz dalam buku Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan membaginya ke dalam dua cabang besar, yakni filsafat alam dan fisalafat moral. Keduanya menjadi cabang dari pertumbuhan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Pada satu sisi filsafat alam melahirkan ilmu-ilmu alam, sementara filsafat moral melahirkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Pada percabangan ini, Kriminologi masuk dan berasal dari cabang filsafat moral.

Buku Kriminologi: Suatu Pengantar yang disusun oleh Soekanto, Liklikuwata, dan Kusumah menuliskan bahwa secara historis, istilah Kriminologi ditelurkan oleh Antropolog Prancis, P. Topinard (1830–1911). Topinard memaknai istilah baru tersebut untuk ilmu pengetahuan baru yang secara spesifik mengangkat memfokuskan studi pada gejala kejahatan pada periode peradaban dunia pertengahan abad ke-19. Secara terminologis, kata Kriminologi berasal dari gabungan bahasa latin “crimen” dan “logos”. Crimen memiliki arti kejahatan sementara logos berarti ilmu pengetahuan.

Mengacu pada buku ajar Kriminologi dan Viktimologi oleh Gede Made Swardhana dan I Ketut Rai Setiabudhi, perumusan oleh Topinard tersebut bertolak dari kondisi sosial politik yang terjadi pada masa itu, terutama atas kebutuhan reformasi penjara pasca periode 1800-an dan peningkatan kasus kejahatan yang terus menerus.

Secara ilmiah, kelahiran studi Krimonologi ditandai dengan dua hal. Yang pertama adalah terbitnya statistik kriminal di Perancis pada tahun 1826. Kedua, setelah terbitnya buku L’Uomo Delinquente oleh Cesare Lombrosso, seorang kriminolog terkenal, pada tahun 1876.

Atas kondisi demikian, para pakar lantas mulai mengembangkan ilmu pengetahuan baru. Sebagai ilmu baru, Kriminologi pun kian berkembang pada abad ke-19. Diharapkan, ilmu ini tidak hanya dapat mempelajari kejahatan, melainkan juga kausa dari kejahatan tersebut dan untuk penanggulangannya.

Meski catatan kelahiran dan pertumbuhannya erat dimulai pada periode abad ke-19, studi-studi mengenai kejahatan sendiri sudah hadir sejak era Yunani kuno. Filsuf seperti Plato dan Arestoteles telah melakukan usaha-usaha konkret untuk memahami fenomena kejahatan di dalam masyarakat. Keduanya berpendapat bahwa harta menjadi penyebab utama manusia untuk melakukan kejahatan dan pemberontakan.

Melalui buku The Republic, Plato menyampaikan bahwa pengejaran manusia atas emas adalah sumber dari banyak kejahatan. Di sisi lain, Aristoteles menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan demi bertahan hidup. Sementara kejahatan yang besar dilakukan demi kemewahan.

Kehadiran historis demikian menunjukkan bahwa kejahatan telah hadir sejak berabad-abad lalu dan menganggu keseimbangan masyarakat. Oleh karenanya, usaha untuk memahami hal tersebut pun turut juga telah dilakukan selama berabad-abad. Hanya saja, sebelum abad ke-19, tradisi keilmuannya belum memiliki wadah khusus untuk menampung pengetahuan yang telah diperoleh dan metode yang diperlukan.

Kembali mengacu pada Swardhana dan Setiabudhi, ilmu pengetahuan yang spesifik mengkaji Kriminologi sangatlah diperlukan. Melalui kehadiran ilmu pengetahuan yang tunggal dan tersendiri ini, dapat disusun dan disimpan kerangka-kerangka ilmu pengetahuan, yang terdiri atas cara berpikir, metode perolehan pengetahuan, dan produksi teori. Unsur-unsur demikian dapat menjadi sumber referensi studi-studi kejahatan itu dan pada kelanjutannya, dapat memberikan pemahaman atas fenomena kejahatan secara lebih baik.

Menurut Soekanto, Liklikuwata, dan Kusumah, dalam catatan sejarahnya, ruang lingkup Kriminologi sendiri menjadi kian luas pasca-Perang Dunia II. Sebagaimana dijelaskan, perluasan ini dilakukan untuk menggapai keragaman bentuk kejahatan dan kemampuan pengkajian yang kian bertambah dalam peradaban dunia.

Selain itu, hal ini juga didorong oleh perkembangan ilmu-ilmu yang mendukung Kriminologi di dalamnya. Salah satunya adalah perkembangan Viktimologi sejak tahun 1950. Viktimologi sendiri merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara pelaku kejahatan dengan korbannya. Selain itu, Sosiologi Hukum yang kian berkembang juga makin memperluas lingkup Kriminologi.

Objek Studi Kriminologi

Perkembangan Krimonologi begitu erat dengan hilir-mudik aliran pemikiran, perkembangan teori sosial, dan juga pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan alam. Meski begitu, fokus utama Kriminologi tetaplah sama, yakni mengkaji kejahatan. Kini, kehadirannya kian berkembang menjadi disiplin ilmu yang menyelidiki fenomena kejahatan seluas-luasnya. Dalam tataran demikian, Kriminologi secara sistematis mengkaji berbagai kejahatan baik dalam tataran mikro, meso, maupun makro.

Dalam tataran dan proses sistematis yang meliputi berbagai lapisan tersebut, Kriminologi menjadi satu kesatuan pengetahuan mengenai fenomena kejahatan. Lingkup Kriminologi menjadi penyatuan cakupan berbagai pengetahuan berbeda tersebut. Oleh karena gabungan integrasi pengetahuan, Soekanto, Liklikuwata, dan Kusumah mengutip Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressy yang merumuskan pembagian Kriminologi ke dalam tiga bagian besar yang lebih spesifik, yakni:

  1. Sosiologi Hukum. Kehadirannya pada tubuh Kriminologi difungsikan sebagai analisis secara ilmiah mengenai kondisi-kondisi perkembangan hukum pidana dan relasinya dengan kemasyarakatan. Dalam kacamata sosiologi hukum, definisi kejahatan berpatokan pada hukum.
  2. Etiologi Kejahatan. Mewadahi usaha analisa ilmiah mengenai sebab-musabab kejahatan.
  3. Secara fokus meletakkan dimensi perhatiannya pada pengendalian suatu bentuk kejahatan. Pada dasarnya, Penologi merupakan ilmu mengenai hukuman. Namun, Sutherland kemudian memasukkan unsur-unsur yang terkait dengan usaha pencegahan kejahatan.

Sebagai multidisiplin ilmu, Kriminologi menjadi pegangangan dasar sebagai upaya mengidentifikasi akar penyebab kejahatan dan mengembangkan metode yang efektif untuk mencegahnya, menghukum pelakunya, dan mengurangi dampaknya terhadap korban.

Oleh karena fokus disiplin Kriminologi yang demikian, Swardhana dan Setiabudhi mengutip W.A. Bonger yang memformulasikan definisi ilmu Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dan gejalanya dalam arti seluas-luasnya. Sementara itu, formulasi dari E.H. Sutherland mencapai definsi Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial.

KOMPAS/ADITYA DIVERANTA

Sebuah kamera pengawas terlihat menghadap ke persimpangan Jalan Duren Tiga Barat dan Jalan Duren Tiga Utara, di dalam Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (1/8/2022). Kamera ini mengarah langsung ke lingkungan depan rumah lokasi kejadian tembak-menembak yang menewaskan Brigadir J.

Definisi Kejahatan sebagai Objek Studi

Secara panduan kebahasaan, “kejahatan” memiliki definisi yang tetap dan baku. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kejahatan dimaknai sebagai “perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis”. Pendefinisian demikian akan menjadi berbeda dan lebih relatif apabila dilakukan dalam lingkup ilmu pengetahuan.

Mengacu pada buku Kriminologi oleh Stephan Hurwitz, dalam lingkup disiplin ilmu Krimonologi, definisi kejahatan (sebagai objek studi utamanya) masih terus berkembang sebab terminologi kejahatan sendiri memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Perbedaan dan perubahan ini sendiri tidak lepas dari latar belakang hukum dan sosial yang juga terus berubah.

Hurwitz mencontohkan, di Denmark dulunya perbuatan seperti penghinaan terhadap Tuhan, homoseksualitas, dan sumpah-menyumpah dapat dikenai ancaman hukuman yang berat. Perbuatan seperti demikian dikategorikan sebagai kejahatan oleh negara. Namun kini, perbuatan tersebut tidak lagi dapat dikenai pidana.

Contoh lainnya di Denmark, pada masa lalu perbuatan membunuh manusia lain sangat mungkin hanya dikenakan pidana denda. Namun kini, Hukum Pidana Denmark memandang pembunuhan sebagai kejahatan berat yang pasti dikenakan sekurang-kurangnya pidana kurungan.

Berbagai ukuran kejahatan pun tidak bisa dipahami secara langsung dan lepas. Untuk membangun definisi yang objektif, Hurwitz menjabarkan diperlukan juga usaha untuk menghubungkannya dengan nilai-nilai lain di luar hukum, termasuk secara psikologis dan sosiologis.

Oleh karena perubahan terus menerus itulah, perdebatan atas definisi kejahatan sendiri masih dan akan terus berada dalam proses perumusan. Soekanto, Liklikuwata, dan Kusumah bahkan menyebutkan bahwa usaha perumusan dan pendefinisian kejahatan dalam Kriminologi sendiri hampir setua disiplin ilmunya itu sendiri.

Meski begitu, mereka mengutip Albert Cohen yang menyatakan bahwa “Jika kita tidak sepakat mengenai apa yang dibicarakan, kita tidak akan sepakat pula tentang apa yang relevan, lebih-lebih tentang apa yang penting”. Maka dari itu, pembuatan definsi atas kejahatan pun tetap dilakukan, dan meskipun belum mencapai kesimpulan tetap yang baku, sejumlah definisi dipilih menjadi patokan secara luas.

Salah satunya adalah definisi oleh W. A. Bonger pada tahun 1936. Menurut Bonger, kejahatan adalah perbuatan anti-sosial yang secara sadar lantas mendapat reaksi dari negara berupa derita (pemidanaan). Bonger berpendapat bahwa kejahatan tidak terpaku pada perilaku penyimpangan yang merupakan tindak pidana. Perilaku menyimpang yang belum dinyatakan sebagai tindak pidana pun bisa dikategorikan sebagai kejahatan.

Selain itu, terdapat juga definisi dari Sue Titus Reid yang disampaikan pada tahun 1979. Menurutnya, kejahatan adalah suatu bentuk tindakan sengaja melawan hukum yang memiliki niat jahat (men rea) di dalamnya.

Epistemologi: Pokok Kajian dan Metode Disiplin Ilmu

Mengacu pada artikel ilmiah Bahrum dengan judul Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, epistemologi dipahami sebagai bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan. Melalui kekhasan epistemologisnya, suatu ilmu melakukan usaha perolehan kebenaran dalam bidang kajiannya. Oleh karena itu, dalam telaah epistemologi terkandung metode ilmiah, teori, dan aliran pemikiran sebagai rumus berpikir untuk memperoleh kebenaran maupun pengetahuan yang ingin dicapai dari disiplin ilmu terkait.

Hurwitz menuliskan bahwa sumber pengetahuan dari Kriminologi begitu luas, sebab kriminalitas adalah gejala nyata yang merupakan bagian dari berbagai dimensi kehidupan manusia. Baik itu secara biologis, sosiologis, maupun psikologis. Meski begitu, sumber dari segala pengetahuan tersebut lantas ia rumuskan dalam dua golongan besar yakni, metode statistik dan metode individual.

Metode Statistik

Hurwitz mengangkat definisi Bunger yang menyebutkan metode statistik sebagai pengamatan mengenai faktor-faktor dalam jumlah besar yang dinyatakan dengan angka. Dalam metode ini, yang menjadi sumber pengetahuan adalah sumber-sumber tertulis kriminalitas, seperti:

  • Tabel
  • Catatan
  • Statistik Kriminalitas
  • Laporan-laporan Penjara
  • Putusan pengadilan
  • Catatan kepolisian
  • Riwayat hidup penjahat
  • Kompilasi
  • Berita

Dari sumber-sumber tersebut, lantas akan dilakukan usaha-usaha pengumpulan, analisa, dan interpretasi data. Metode ini identik dengan data-data yang dinyatakan dalam angka, termasuk stastistik kriminalitas. Dari data-data tersebut, lantas akan dilakukan pembacaan dan proses menghubungkan data satu sama lain untuk membangun gambaran situasi yang empiris/senyatanya di lapangan.

Di Indonesia sendiri, salah satu sumber metode statistik demikian dapat ditemukan lewat laporan Statistik Kriminal yang diterbitkan secara periodik oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan seri terbarunya pada tahun 2021. Statistik Kriminal menjadi salah satu aspek kunci yang penting untuk membaca keberhasilan pembangunan nasional. Tercapainya tingkat keamanan akan menjadi modal suasana kondusif bagi masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas pariwisata dan ekonomi.

Publikasi tahunan Statistik Kriminal oleh BPS dilakukan untuk memenuhi kebutuhan data kriminalitas di Indonesia antarwaktunya. BPS menuliskan bahwa penerbitan publikasi ini sangat bermanfaat untuk memonitor program-program pembangunan, khususnya dalam bidang keamanan. Salah satu sumber data dari Statistik Kriminal sendiri berasal dari data Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Meski memiliki fungsi dan kebermanfaatannya tersendiri, Hurwitz menyampaikan metode statistik memperoleh sejumlah kritik dari para kriminolog. Salah satunya adalah oleh Quetelet yang menyatakan bahwa apa yang dapat ditemukan lewat metode statistik tidak menunjukkan seluruh kondisi nyata di lapangan. Yang dapat dikemukakan di dalamnya hanyalah representasi dan generalisasi dari kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan.

Selain itu, menurut W. J. Thomas, apa yang dipaparkan dalam metode statistik terbatas pada penjelasan gejala dari kejahatan. Penggunaan metode ini tidak dapat memperoleh sebab-musabab dari kejahatan itu sendiri.

Metode Individual

Untuk meningkatkan pemahaman atas kondisi kriminalitas yang terjadi, maka Kriminologi juga memiliki metode individul. Melalui metode ini, sosok penjahat atau pelanggar yang berperan sebagai sumber pengetahuan. Peneliti Kriminologi melakukan penelitian terhadap seorang penjahat dan memperhatikan keadaan-keadannya secara teliti.

Mengacu kembali pada Hurwitz, pada awal kehadiran ilmu Kriminologi, metode individual dilakukan dengan berfokus pada penelitian atas watak seorang penjahat. Oleh karenanya, fokus penelitian dilakukan pada tataran mental atau kejiwaannya.

Namun, persepsi ini lantas berkembang. Seorang penjahat tidak bisa hanya dipandang sebatas pada sisi jiwanya yang abnormal. Lebih daripada itu, penelitian perlu juga mengkaji aspek yang lebih menyeluruh dari individu terkait, termasuk kerohanian dan jasmaninya.

Akhirnya, penelitian individual terhadap penjahat terus berkembang hingga melahirkan case study method yang dipelopori oleh tokoh Kriminologi, William Healy. Melalui cara ini, dilakukan pengkajian terhadap sejarah hidup menyeluruh orang terkait. Sejarah kehidupan memberikan nilai-nilai yang beragam antar-manusia, dan karenanya penelitian ini diharapkan dapat menemukan faktor asal mula terjadinya kejahatan.

Dari metode ini, lantas dapat ditemukan adanya kecenderungan-kecenderungan yang bercorak khusus. Dari masing-masing kekhususan yang diperoleh sebagai pengetahuan ilmiah tersebut, kemudian dihubungkan dengan temuan lainnya satu sama lain.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Ketua tim dokter forensik otopsi ulang jenazah Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang juga Ketua Umum Perhimpunan Kedokteran Forensik Indonesia (PDFI) Ade Firmansyah Sugiharto memberikan keterangan kepada wartawan seusai menyerahkan hasil otopsi ulang jenazah Nofriansyah ke penyidik Badan Reserse Kriminal Polri di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (22/8/2022). Perkembangan kasus ini menyedot perhatian warga di media sosial.

Hurwitz menyampaikan kedua metode, yakni metode statistik dan metode individu menjadi komplementer satu sama lain. Di sisi lain, data-data khusus yang diperoleh dari metode individual akhirnya mengarah pada generalisasi. Arthur Evans Wood dan John Barker Waite menjadi kriminolog yang lantas mempelopori metode gabungan dalam studi ilmiah pada Kriminologi.

Keduanya menggabungkan metode-metode sehingga terdiri atas rententan sistematik sebagai berikut:

  1. Studi kasus kejahatan melalui data-data statistik.
  2. Penelitian latar belakang penjahat. Termasuk di dalamnya menyangkut keadaan keluarga, pendidikan yang diperoleh, lingkungan sekitar, kebiasaan, kesenangan/hobi, dan keadaan lingkungan sekitar.
  3. Studi klinis, menyangkut sisi biologis dan psikologis.

Pada kelanjutannya, sisi epistemologi dalam ilmu Krimonologi juga menyangkut perspektif ilmiah sebagai dasar kajian fenomena kejahatan. Mengacu kembali pada Soekanto, Liklikuwata, dan Kusumah, setidaknya terdapat dua perspektif paling umum dalam menunjukkan kriminalitas di masyarakat. Menurut ketiganya, dalam segala teori yang ada dalam Kriminologi harus dipandang dalam kedua kerangka perspektif ini. Keduanya adalah Perspektif Konflik dan Perspektif Positivis/Konsensus.

Pada perspektif pertama, ditekankan bahwa kehadiran kelas sosial menjadi motif utama dalam menghasilkan pembuatan dan pelaksanaan hukum pidana. Perspektif Konflik sendiri berangkat dari kacamata Karl Marx yang memandang secara skeptis kehadiran hukum kriminal. Menurutnya, tujuan kehadiran hukum bukanlah untuk menciptakan keadilan sosial, melainkan melanggengkan hierarki sosial yang ada. Oleh karenanya, kelompok dari kelas ekonomi atas menjadi produsen bagi hukum-hukum yang berlaku.

Dampaknya, sebagaimana disampaikan Sutherland, bisa saja sejumlah orang melakukan jumlah kejahatan yang sama. Namun, mereka yang berasal dari kelompok sosial-ekonomi atas cenderung lebih kecil kemungkinan diberikan label “kriminal”.

Teori-teori yang berada pada perspektif ini menekankan perhatian pada konflik antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Oleh karena itu, penekanan juga diberikan pada hadirnya usaha-usaha mencapai perubahan hukum yang lebih mengedepankan kesejahteraan masyarakat luas. Poin ini berguna bagi kajian pembentukan hukum pidana dan organisasi sosial di dalamnya.

Pada perspektif kedua, ditegaskan adanya kehadiran kepentingan bersama dari tiap-tiap manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Kepentingan bersama tersebut terdiri atas nilai-nilai fundamental yang diusahakan untuk tercapai. Kepentingan umum demikian diwujudkan dalam hukum pidana yang berlaku. Dalam Perspektif Konsensus ini, tiap manusia sebagai anggota masyarakat sepantasnya memahami konsensus/kepentingan bersama yang ada.

Dari landasan pemikiran tersebut, maka kejahatan dipandang dilakukan oleh manusia-manusia yang tidak rasional. Penyebab kejahatan dilihat sebagai dorongan dari hal-hal di luar rasionalitas. Pada titik ini, para pelaku kejahatan dianggap mengganggu kepentingan umum tersebut. Oleh karenanya, mereka dapat diisolasi ataupun disembuhkan lewat rehabilitasi.

Aksiologi: Arah dan Kebermanfaatan Kriminologi

Kembali mengacu pada Bahrum, dimensi aksiologi dipahami sebagai unsur kajian filosofis untuk menemukan kegunaan ilmu pengetahuan. Tiap-tiap ilmu, terutama ilmu modern, haruslah hadir secara ilmiah dengan memiliki kegunaannya bagi kemanusiaan.

Dalam menguraikan sisi aksiologis Kriminologi, akan ditemukan pertanyaan-pertanyaan misalnya “untuk apa pengetahuan tersebut hadir” dan “bagaimana hubungan penggunaan ilmu pengetahuan tersebut dengan kaidah moral yang berlaku”. Kekhasan aksiologis penting untuk membawa cabang ilmu pengetahuan pada arah penggunaan yang bermanfaat.

Harold E. Pepinsky dalam buku Crime Control Strategies: An Introduction to the Study of Crime menuliskan bahwa dalam alur historisnya, arah besar pembangunan disiplin ilmu Kriminologi adalah untuk mengendalikan kejahatan. Variasi atas kontrol terhadap kejahatan terus diperlukan dan dikembangkan. Tingkat efektivitasnya pun juga harus terus menerus ditingkatkan dibandingkan masa sebelumnya. Hal-hal demikian dapat dicapai melalui Kriminologi.

Berangkat dari poin tersebut, Pepinsky juga merumuskan tiga kebermanfaatan yang harus dapat diberikan oleh sosok kriminolog. Yang pertama, adalah kebermanfaatan untuk menjabarkan faktor-faktor yang dapat menjelaskan terjadinya suatu kejahatan atau potensi kejahatan. Dalam sebuah kasus kejahatan sendiri, ada banyak faktor yang menjadi latar belakang penyebabnya. Mulai dari faktor karakteristik personal, proses pendidikan, hingga keadaan budaya. Faktor-faktor tersebut membangun kombinasi spesifik terjadinya sebuah kejahatan.

Yang kedua, adalah kapasitas untuk menjelaskan fenomena-fenomena kejahatan yang langka dan spesifik. Bagaimanapun juga, kriminalitas dan kejahatan sejatinya adalah tindakan yang langka apabila dibandingkan dengan tindakan normal yang dilakukan masyarakat keseharian. Kemampuan analisa terhadap suatu tindak kejahatan dan bagaimana hal tersebut dilakukan penting untuk ditawarkan oleh seorang kriminolog.

Sementara yang ketiga, adalah mewujudkan usaha penyembuhan atau penghilangan penyakit-penyakit kejahatan dari tubuh masyarakat. Acapkali, tindakan yang ditujukan untuk penyembuhan ini justru dapat meningkatkan penyakit yang lebih parah. Pepinsky menyoroti bagaimana perlakuan yang tidak sesuai terhadap seorang mantan penjahat justru berpotensi mengarahkannya menjadi sosok yang lebih jahat.

Untuk salah satu solusi atas hal ini, Pepinsky mengutip Skinner yang merekomendasikan kontrol sosial berbasis penghargaan akan lebih baik dibandingkan berbasis hukuman. Analisis dan pertimbangan demikian dapat ditemukan dalam Kriminologi.

Mengacu pada Kompas (24/08/2016, “Tembak Kaki yang Ciutkan Nyali”), pada periode waktu tersebut Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat tengah disibukkan oleh kejahatan jalanan dengan kadar intensitas yang tinggi. Kejahatan jalanan meliputi pencurian sepeda motor dan perampokan dengan perlaku bersepeda motor. “Jumlah kasusnya sepekan bisa delapan sampai 10 kasus,” ucap Kanit Reskrim Polsek Palmerah Inspektur Satu Hudawami.

Namun, data dan pantauan Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat menunjukkan bahwa respon polisi dengan menembak kaki pelaku kejahatan ternyata mampu menurunkan angka kejahatan jalanan hingga rata-rata 80 persen. Sebagaimana disampaikan Kanit Reskrim Polsek Cengkareng, Poltar L Gaol, setelah menggunakan teknik tembak kaki jumlah kasus kejahatan jalanan tinggal 1–2 kasus per pekan.

Pada tataran inilah lantas peran kriminologi muncul. Kriminolog Universitas Indonesia, Eko Hariyanto hadir dan memberikan tanggapan secara sistematik dan holistik terkait rentetan fenomena tersebut. Ia memaparkan bahwa merosotnya kejahatan memang disebabkan pilihan polisi dalam melakukan tembak kaki. Hal demikian mendorong penjahat untuk berpikir rasional.

“Para pencuri sepeda motor yang piawai lebih memilih tidak melukai, apalagi membunuh korbannya. Mereka sudah sangat paham tentang jeratan pasal KUHP,” paparnya. Menurut Eko, penggunaan teknik kekerasan di lingkungan para penjahat telah menjadi pilihan utama. Oleh karena itu, sudah seharusnya pihak polisi juga turut menggunakan pilihan kekerasan terhadap mereka. “Para penjahat ini akan kembali berhitung untung rugi menghadapi risiko tembak kaki,” ujarnya.

Konsekuensi penggunaan teknik tembak kaki ini secara terus menerus akan berdampak pada perubahan perspektif masyarakat. Pihak masyarakat akan ikut terbawa dalam pemilihan teknik kekerasan yang menyebabkan peningkatan penggunaan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan. Oleh karenanya, diperlukan juga usaha perbaikan dari akar-akar yang menjadi sebab kejahatan itu sendiri, terutama permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan yang menjadi faktor utama. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Hardiman, F. B. (2009). Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.
  • Hurwitz, S. (1986). (L. Moeljatno, Penyunt.) Jakarta: Bina Aksara.
  • Pepinsky, H. E. (1980). Crime Control Strategies: An Introduction to the Study of Crime . New York: Oxford University Press.
  • Ravertz, J. R. (2004). Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Soekanto, S., Liklikuwata, H., & Kusumah, M. W. (1981). Kriminologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  • (2005). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Swardhana, G. M., & Setiabudhi, I. K. (2016). Buku Ajar Kriminologi dan Viktimologi . Denpasar: Universitas Udayana.
Jurnal
  • Bahrum. (2013). Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Jurnal Sulesana Volume 8 Nomor 2, 35-45.
Arsip Kompas
  • Kompas. (2016, Agustus 24). Tembak Kaki yang Ciutkan Nyali. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 27.
  • Kompas.id. (2022, Agustus 11). Motif Harus Diungkap, Wujud Obyektivitas Polri. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/08/11/motif-harus-diungkap-wujud-obyektifitas-polri
  • (2022, Agustus 18). Perjalanan Kasus Pembunuhan Brigadir J. Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/kronologi/perjalanan-kasus-pembunuhan-brigadir-j